Tuesday, September 27, 2016

DIMANA NURANI BANGSA SANTUN INI...????

Tentu kita masih ingat foto routers yang memenuhi jagat media sosial.  Anak2 yang bertaruh nyawa untuk pergi ke sekolah. judul keren pun disematkan pada sebuah film box office -  Indiana Jhones from Indonesia. Berkat publikasi itu, ya ada sedikit kasak kusuk daerah yang kebetulan menjadi sorotan.. Kabupaten Pandeglang - Provinsi Banten. Paling tidak, kampung dimana foto itu dibuat segera dibangun jembatan baru. Padahal sebelumnya -  mungkin tidak terpikir sedikitpun sang kepala daerah dan para wakil rakyat daerah untuk membenahinya. sekalipun sejuta janji dikeluarkannya saat kampanye. demi meraih simpati dan dukungan. dan setelah dukungan itu didapat, maaf  - anda belum beruntung. begitu kira2 jika kita mengikuti undian berhadian.

Rasa empati yang seharusnya keluar dari para putra daerah yang mendapatkan kepercayaan memimpin daerahnya, justru muncul dari orang lain yang berbeda  kulit, bahasa, kepercayaan - apalagi keturuan. Orang bule yang kerap disebut2 sebagai penjajah, kafir (kerena berbeda keyakinan), dan segunang cap negatif. Jembatan sebagai penghubung ke pusat belajar yang mempertaruhkan nyawa, menyentuh nilai kemanusiaannya. Seorang Toni Rottimenn -  warga negara Swiss nampaknya jauh lebih peduli ketimbang para pemimpin yang jelas-jelas mendapatkan mandat atas nama konstitusi dan dibawah sumpah atas nama Tuhan. Tidak kurang dari 60 an jembatan telah terbangun tanpa publikasi dan seremoni penuh basa basi. Seremoni sendiri, kadang membutuhkan dana yang tidak sedikit - bahkan bisa jadi seharga yang diresmikan itu sendiri.

Sebuah catatan dari groups WA peduli bencana, semoga membuka mata dan telinga kita. Bahwa kita masih memiliki PR besar. Terutama pendidikan politik bagi pemilih yang entah bagaimana bisa - masih mau memilih para calon yang jelas2 tidak pernah memperdulikan kehidupannya. Hanya dengan iming2 uang saku antara 20 - 50 ribu per suara. Sungguh miris tentunya, apalagi jika nilai tersebut dibagi dalam 1.800 hari masa kerja para politisi busuk. Yang tega membiarkan rakyatnya bertaruh nyawa untuk menuju sekolah.

Dari catatan ini juga -  kita bisa saksikan, bagaimana busuknya para "abdi negara" menghambat bantuan sampai 3 tahun. dimana hati nurani bangsa ini yang konon terkenal santun, ramah dan peduli terhadap sesama karena berlandaskan agama dan budaya...



KITA PERLU BERGERAK AGAR BANTUAN JEMBATAN GANTUNG UNTUK RAKYAT KECIL TAK TERHENTI

Saat saya menulis catatan ini, saya ingin sekali tak mengeluh. Saya tak ingin mengeluh pada negeri ini karena saya cinta pada bangsa ini. Namun, kesabaran seringkali seperti hampir hilang bila melihat praktek di lapangan begitu banyak rintangan yang membuat hati ini kesal setengah mati. Padahal apa yang kita lakukan semata-mata untuk perbaikan hidup rakyat marginal sebagaimana dicita-citakan para pendiri negeri ini. Coba perhatikan ceritera berikut ini.

Ini terkait dengan nasib seorang relawan asal Swiss bernama Toni Ruttiman yang diam diam sudah tiga tahun keluar masuk kampung wilayah terlencil di Indonesia, mengajak warga bergotong royong membangun jembatan gantung sendiri karena akses jalan terputus. Kisah kepedulian Toni pernah saya ceriterakan pada Facebook saya sebelumnya.

Toni datang ke negeri kita karena ia melihat begitu banyak anak-anak di negeri ini bergelantungan harus pergi sekolah menyebrangi sungai dengan jembatan yang rusak. Coba lihat foto yang sudah sering kita lihat beredar di sosial media ini:

1.
https://goo.gl/images/qKZo7C

2.
http://news.detik.com/read/2012/01/21/062518/1821642/10/anak-sd-meniti-jembatan-rusak-dpr-ini-seperti-negara-belum-merdeka

Karena keadaan ini, Toni Ruttiman datang ke negeri kita. Ia kumpulkan bahan bahan jembatan gantung dari negerinya Swiss. Ia upayakan bantuan pipa dari perusahaan ternama yang pemiliknya ia kenal  baik (seperti Tenaris) agar bersedia mengirim bantuan pipa tiang jembatan dari Argentina ke Indonesia. Ia pun merekrut beberapa tenaga kerja Indonesia untuk dijadikan stafnya untuk membantu semua upaya ini. (Saat ini seorang pemuda bernama Suntana, dengan setia membantu misi kemanusiaan Toni yang tengah ia jalankan.) 

Dan akhirnya, sudah tiga tahun ia bekerja tanpa banyak bicara, membangun bergotong royong dengan rakyat desa seperti terlihat pada tayangan ini:

https://youtu.be/T8S4qEC3Yn0

Dengan cara seperti ini, kini Toni Ruttiman telah berhasil memasang 61 jembatan gantung di berbagai daerah termasuk Banten, Jabar, Jateng, Jatim, dan bahkan hingga Sulawesi, Maluku Utara dan NTT (lihat foto).

Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini. Upaya pengiriman bantuan terhambat. Bantuan bahan jembatan seperti wirerope (kabel pancang) yang selama tiga tahun telah secara rutin ia kirim dari Swiss terhambat oleh lambannya birokrasi. Padahal Presiden Jokowi justru tengah keras kerasnya mendorong agar arus barang import lancar. Namun kenyataannya sangat lamban.

Saya yang ikut terlibat dan mengikuti betapa sulitnya mengurus proses administrasi import barang bantuan ini merasa kesal menghadapi birokrasi yang begitu ruwet dan lambat ini, walaupun untuk import barang bantuan sekalipun.

Coba kita baca surat dari Suntana, asisten Toni Ruttiman yang berceritera liku liku proses pengurusan barang bantuan ini yang berakhir dengan denda yang harus dibayar. 
--------------------------------------------------------------------

Malam Pak Imam,

Malam ini saya dapat dua informasi perihal update proses import donasi wirerope untuk program bantuan jembatan gantung dari Toni Ruttiman di  Indonesia yang memakan waktu lebih dari lebih dari 2 bulan sejak container tiba di Tanjung Priok karena lamanya proses rekomendasi dari kementrian-kementrian terkait yg harus ditempuh untuk proses hibah ini.

Pertama, atas bantuan dan upaya rekan-rekan di Bea cukai Tanjung Priok, biaya storage 3 kontainer donasi wirerope untuk Program Bantuan Jembatan Gantung Toni Ruttiman di Indonesia yg sudah tiba di pelabuhan Tanjung Priok sejak tgl 16 Juli 2016 sampai dengan hari ini 26 September 2016 akhirnya dibebaskan biaya penyimpanan. Tagihan storage tersebut pertanggal 19 September 2016 sebesar Rp 84.036.410,-

Kedua, untuk proses permintaan pengurangan/penghapusan tagihan denda demurrage (batas waktu container) atas 3 container tsb dari pihak pelayaran masih memerlukan waktu yg lebih lama semantara biaya untuk denda demurrage terus berjalan perhari sedangkan untuk mengeluarkan kontainer dari area penyimpanan kita memerlukan dana yg tidak sedikit. Saya lampirkan tagihan demmurage per tgl 19 September 2016 adalah Rp 169.890.000,- dan konfimasi terbaru tagihan  demmurage per hari ini 26 September 2016 adalah Rp 195.650.000,-

Mohon kiranya Bapak bisa mencarikan solusi terbaik untuk permasalahan yg kami hadapi saat ini demi terus berlangsungnya Program Bantuan Jembatan Gantung Toni Rutiimann untuk masyarakat dan anak2 Indonesia di pelosok tanah air yang menantikan sarana penyebrangan untuk aktifitas sehari-hari.

Salam dan Hormat

Suntana Juhana
Team Jembatan Toni Ruttimann
------------------------------------------------------------------
Lihat lampiran tagihan yang harus dibayar.

Membaca surat ini jelas saya merasa sangat terpukul. Namun saya lebih terpukul lagi saat membaca komentar Toni Ruttiman yang ia kirimkan pada saya lewat email yang isinya menyatakan bahwa ia ingin menyudahi upaya bantuan yang ia lakukan setelah periode bantuan ini selesai. (Semoga ia masih bisa dibujuk untuk bertahan tinggal di negeri ini).

Terus terang saya malu menghadapi kejadian ini. Saya ingin sekali berteriak sekerasnya mewakili rakyat yang selama ini masih mengharapkan bantuan Toni Ruttiman. Maukah pemerintah mengabil alih denda yang harus dibayar ini? Saya juga terfikir, bisakah kita bersama-sama urunan untuk mengganti denda demmurage agar kita sebagai bangsa setidaknya memiliki harga diri? Entahlah!

Berikut surat Toni Ruttimann.

----------------------------------------------------------------

Dear Imam,

I'm not surprised by this news. The shipping business is strict about demurrage charges, and I know that since many years. We had a formal green light from Public Works Ministry before embarking the 3 containers in Switzerland.

We can help pay for part or all of theses charges, and finally get these containers out of port before racking up more charges, which now already cost 3x more than the actual shipping from Switzerland.

But after this last batch of cables and pipes I will want to stop working in Indonesia. We have been bothering you more than enough already, and without your permanent and selfless help over all these years we wouldn't have made it very far.

With these cables we will reach 100 bridges in your country, and for 800'000 people this is better than nothing. 

Please let me know and we'll transfer the money to get this done.

Thank you very much,

Toni.
_____
Toni Ruttimann
Bridgebuilder

Monday, June 06, 2016

HUTAN WAKAF, inisiatif menyelamatkan hutan ala masyarakat


Cukup lama tergelitik dengan inisiatif luar biasa sekelompok aktifis lingkungan Aceh sebagai bentuk menyelamatkan hutan secara nyata. HUTAN WAKAF. Menjadi menarik ketika kata Wakaf digunakan yang umum digunakan untuk kegiatan keagamaan. Wakaf untuk tempat ibadah, pamakaman, panti asuhan atau lahan pertanian -  dimana hasilnya untuk kegiatan-kegiatan keagamaan.

Jarang kita mendengar -  wakaf untuk kebutuhan lain. Wakaf untuk pembangunan jalan, rumah fakir miskin dll. Sekalipun di wilayah perkotaan, telah muncul banyak inisiatif Wakaf dalam bentuk produktif. Wakaf untuk tempat usaha misalnya atau perkantoran.

4 Februari 2008, Pemerintah SBY mengeluarkan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar kegiatan kehutanan, WALHI menggugat regulasi yang menempatkan hutan lindung dan produksi yang dihargai sangat murah. Bisa dibayangkan, PP tersebut khususnya memberikan keleluasaan izin bagi 14 perusahaan tambang untuk melakukan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan tambangnya, infrastruktur dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun. Harga itu sangat lebih murah (bahkan) dengan harga sebuah pisang goring yang biasa dijual. Dalam skema PP tersebut maka bisa diperkirakan sekitar 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia bakal hancur lebur. Tentu saja bisa dipastikan dalam waktu ke depan Indonesia akan semakin parah mengalami bencana ekologis yang lebih dahsyat yang pasti akan menyengsarakan masyarakat kita akibat diberlakukannya PP itu (SiaranPers WALHI, 2008). 

Saat itu, terkumpul dana sebesar Rp. 1.614.000 dan diserahkan kepada Dept Keuangan, Kabag Pengelolaan Opini, Agung Adhianto. Beberapa hari kemudian - dana yang tersebut dikembalikan ke WALHI karena belum ada mekanisme yang mengatur tentang peruntukan sewa hutan.
Terlepas dari besaran dana yang terkumpul saat itu, secara substansi menjadi menarik untuk dicermati terkait keterlibatan masyarakat terhadap pelestarian hutan. WALHI saat itu percaya, jika mekanisme yang telah ada, dana yang akan terkumpul untuk menyelamatkan hutan sebagai pengganti dana yang akan diperoleh dari 14 perusahaan tambang akan terlampau dalam waktu singkat. Keyakinan tersebut tentu tidak berlebihan mengingat daya rusak pertambangan yang masif. Tidak pernah ada contoh kasus pertambangan tidak merusak. Baik pada proses eksplorasi maupun eksploitasi. Dan yang pasti, tidak pernah ada contoh kasus reklamasi paska tambang dilakukan dengan benar.

Wednesday, May 25, 2016

Mendudukan Pemahaman Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana


"Adaptasi Perubahan Iklim (API) itu untuk masa depan. Paling tidak dilihat untuk 30, 50 atau 100 tahun ke depan. Kalau Pengurangan Risiko Benana (PRB) kan hanya melihat jangka pendek"; 
"API tidak hanya melihat sisi negatif, tapi juga sisi positif yang dapat dikelola sebagai peluang, sedangkan PRB untuk mengurangi dampak bencana". 
"Ruang lingkup API luas, sedangkan PRB lokus atau hanya pada wilayah terkena bencana". 

Ungkapan ini kerap mengemuka saat dialog terkait API dan PRB dalam satu forum dengan melibatkan para penggiat dari masing-masing isu. Argumentasi terkait perbedaan semakin mengemuka saat mulai masuk wilayah metodologi, kebijakan maupun penggiat dari kedua issue tersebut.

Ya, kita akan melihat banyak perbedaan jika kita memulai mengidentifikasi sisi perbedaan. karena keduanya berangkat dari titik awal yang berbeda. Berkembang sendiri-sendiri dengan penggiat yang berbeda -  dari tingkat lokal sampai internasional. IPCC mewakili para ahli bidang perubahan iklim dengan gerbong sediri. UNISDR mewakili golongan manajemen risiko bencana. Sama-sama dibawah naungan UN atau perserikatan bangsa-bangsa. Dengan tujuan - bagaimana risiko dapat diminimalisasi sehingga kehidupan mahluk hidup terlindungi dan terselamatkan.

Upaya integrasi dua issue telah dimulai cukup lama. WALHI, sebagai sebuah organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia telah menggaungkan intergrasi perubahan iklim dan manajemen bencana sejak tahun 1996. Sebagai organisasi lingkungan, WALHI melihat dampak kerusakan lingkungan berkontribusi besar terhadap kejadian bencana. Dan trend dampak perubahan iklim cenderung memperburuk faktor-faktor pemicu risiko bencana. Tahun 1997, saat fenomena elnino membungkus wilayah Indonesia -  WALHI mengingatkan kepada pemerintah atas risiko bencana yang mungkin terjadi; dari mulai kebarakan hutan dan lahan, krisis air bersih maupun krisis pangan yang akan memiliki dampak sampingan; kesehatan, malnutrisi sampai konflik yan dipicu oleh perebutan akses terhadap sumberdaya. Dan 1997/1998 kita tahu -  Indonesia mengalami bencana yang juga dirasakan oleh negara-nagara tetangga. Kebakaran hutan dan lahan yang cukup parah. tidak hanya itu, beberapa wilayah juga mengalami krisis air bersih yang hebat dan gagal panen.

Thursday, May 12, 2016

FUNGSI LINGKUNGAN DALAM KAJIAN RISIKO BENCANA



Pengkajian Risiko Bencana (KRB) diposisikan sangat penting dalam manajemen risiko bencana atau disaster risk manajement (DRM). Dengan memahami risiko bencana, berbagai upaya yang dilakukan dalam kontek mengurangi risiko menjadi tepat sasaran dan berdasarkan skala prioritas yang ada. Fungsi KRB juga diidentikan dengan ciri dari paradigma pengurangan risiko bencana (PRB).


R = H*V/C menjadi rumusan populer dalam metode KRB. Rumusan yang menggambarkan pola hubungan antar variabel dalam membentuk risiko. Bukan semata-mata rumusan matematis. sekalipun saat ini, selain kajian risiko partisipatif (komunitas) -  pendekatan matematis lebih mendominasi dalam menentukan kelas, untuk menentukan hazard, kerentanan maupun risiko. 

Terlepas perdebatan aktualisasi rumusan dalam KRB, hal menarik untuk dicermati dalam menempatkan lingkungan sebagai bagian bagian dari komponen kerentanan. Menjadi menarik karena penempatan lingkungan sebagai bagian yang menentukan kerentanan maupun risiko bencana memiliki fungsi lain, selain sebagai bagian yang terpapar. Fungsi ekologis misalnya -  lingkungan mampu meredam besaran ancaman. Baik melalui proses alamiah maupun pada saat terjadinya tragedi atau kejadian ancaman. Kasus tsunami Aceh yang menjadi bencana internasional misalnya -  membuktikan kehadiran tanaman mangrove mampu meredam energi tsunami sehingga kerusakan menjadi lebih minimalis dibandingkan wilayah terbuka. Kasus-kasus banjir, banjir bandang, angin puting peliung atau angin kencang atau kekeringan juga membuktikan fungsi ekologis menentukan besaran bencana yang terjadi.

Pada dasarnya, tidak hanya pada aspek lingkungan, pada aspek lain pun menunjukan dua sisi dari masing-masing komponen maupun indikator yang digunakan dalam menentukan kelas kerentanan. Seperti pada aspek sosial -  dimana populasi menjadi salah satu indikator. Jumlah populasi yang besar (padat) pada wilayah terpapar tidak serta merta menunjukan tingkat kerentanan tinggi. Jika populasi tersebut memiliki pengetahuan maupun skill atau sumberdaya lain dalam menghadapi ancaman -  maka besaran populasi dapat menunjukan ketidak rentanan. Demikian juga pada aspek ekonomi -  dimana penduduk pada wilayah terpapar memiliki alternatif mata pencaharian atau mata pencaharian yang adaptif dengan ancaman yang ada, memiliki tabungan, asuransi, memiliki akses terhadap lembaga keuangan dll -  maka ekonomi yang terpapar ancaman tidak serta merta menurukan tingkat kerentanan.

Tuesday, April 26, 2016

KAJIAN RISIKO BENCANA KOMUNITAS

Kajian risiko bencana dari sisi fungsi -  bisa dibilang sebagai ciri manajemen risiko bencana (di Indonesia disebut penanggulangan bencana) dengan paradigma pengurangan risiko bencana (PRB). Menjadi ciri atau indikator karena melalui proses kajian, risiko yang akan dikelola sebagai bentuk pengurangan risiko diketahui secara lebih pasti. Tentu impllikasinya pada efektifitas dan efesiensi dalam penyusunan perencanaan maupun implementasinya. Termasuk memantau dan mengukur hasil dan dampak yang ditimbulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan. 

Namun, saat kita berbicara terkait metode atau pendekatan, tentu kajian risiko bencana tidak serta merta harus mengikuti satu atau dua metode/pendekatan. sekalipun metode tersebut telah ditetapkan sebagai piranti yang diakui. Seperti kehadiran Perka BNPB No 2/2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Dalam kontek mengurangi risiko bencana -  tidak ada ikatan mutlak untuk menggunakan satu metode. Namun dari sisi prinsip kajian - tentu harus dipatuhi dan memenuhi unsur-unsur substansifnya. Seperti Kajian risiko bencana harus mampu menemukenali penyebab dan pembentuk risiko bencana itu sendiri. Baik terkait dengan hazard (bahaya), vulnerability (kerentanan) maupun capacity (kapasitas).

Disadari, kajian risiko bencana merupakan proses rumit dan multi disiplin ilmu serta lintas pemangku kepentingan. Kajian risiko bencana juga bukan sekedar untuk mengetahui kelas (tinggi, sedang atau rendah) sebuah risiko bencana yang selanjutnya diaktualisasikan melalui bentuk peta dengan tiga warga (merah, kuning dan hijau atau gradasi warna dari ketiganya) untuk menunjukan lokus yang berisiko. Tidak sekedar itu. Kajian risiko bencana adalah sebuah proses membangun komitmen bersama, mengidentifikasi dan memutuskan bersama atas upaya dan tindakan yang harus dilakukan secara sinergis untuk mengurangi risiko-risiko yang berpotensi terjadi akibat bencana. Komitmen akan tumbuh dan berkembang jika para pihak mengetahui dan menyadari serta timbul kesadaran atas risiko dan pentingnya upaya bersama. Lebih lanjut -  tentu kesadaran tersebut akan mendorong mendalami (identifikasi dan analisis) atas risiko yang ada. Kenapa risiko bisa muncul - baik dari aspek bahaya, kerentanan maupun kapasitas.

Pertanyaan yang kerap muncul adalah -  seberapa besar kemampuan para pihak (pemerintah dan seperangkat sumberdaya dan kewenangannnya), sektor bisnis dan masyarakat memiliki kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana yang ada? Untuk mendapatkan jawaban seberapa besar -  tentu dibutuhkan kajian yang mendalam yang mampu mengidentifikasi sampai pada tingkat faktor penyebab maupun pembentuknya. 

Banjir bisa datang setiap tahun. Sebab banjir dapat teridentifikasi -  selain masuknya musim hujan, juga terkait dengan intensitas curah hujan yang ada. Apakah hanya itu sebagai penyebab banjir? tidak, tapi banjir juga dipengaruhi oleh tipikal dari DAS, kemiringan lahan, wilayah cekungan, jenis tanah, daya dukung lingkungan (tutupan lahan misalnya dalam menyerap air), drainase, sampah dll. Jika berbicara Risiko banjir, tentu tidak hanya ditentukan oleh hal-hal diatas. tapi juga tentang seberapa besar ketidak mampuan (kerentanan) aspek manusia, sosial budaya, ekonomi, lingkungan dan infrastruktur dalam menghadapi ancaman. Ini memberikan pengertian lebih luas lagi. Apakah masyarakat mendiami lokasi yang terpapar, berapa banyak, komposisi laki-laki dan perempuan, dari sisi usia dll. Juga mata pencaharian masyarakat diwilayah terpapar, apakah terpengaruh terhadap ancaman banjir atau tidak. apakah memiliki mata pencaharian alternatif saat banjir? apakah memiliki akses terhadap lembaga keuangan? apakah memiliki asuransi untuk meminimalisasi kerugian dst.. dst.

Menemukenali pembentuk dan penyebab risiko dalam proses kajian merupakan hal krusial. Karena akan menjadi dasar - upaya apa yang perlu dilakukan dalam kerangka mengelola risiko risiko bencana, sehingga risiko menjadi berkurang. Jika persoalan teridentifikasi sebagai risiko adalah mata pencaharian, maka upaya mengelola risiko akan terfokus pada mata pencaharian yang lebih tahan terhadap ancaman yang ada. Misalnya petani yang membutuhkan jenis tanaman yang lebih tahan terhadap genangan banjir, memanfaatkan banjir sebagai sumber mata pencaharian, atau menyiapkan mata pencaharian alternatif untuk menghadapi banjir. Hal yang sama dilakukan untuk komponen lainnya, seperti infrastuktur yang perlu disesuaikan dengan ancaman, baik dari sisi fungsi maupun dari sisi kekuatan.

Kajian risiko bencana pada levil komunitas - akan lebih mudah mendapatkan unsur penyebab dan pembentuk risiko bencana. Jika proses kajian dilakukan dengan pendekatan partisipatif berbasis pemberdayaan. Bukan pendekatan partisipatif alakadarnya. Yang hanya mengandalkan keterwakilan masyarakat dan waktu terbatas karena alasan terbatasnya pendanaan atau waktu yang tersedia. Karena partisipatif, bukan sekedar berorientasi pada output berupa dokumen atau kelas dari risiko. Tapi hal lebih krusial adalah, bagaimana terjadi transfer pengetahuan dan kemampuan, tumbuhnya kesadaran serta terbangunnya komitmen bersama. Untuk itulah, pendekatan partisipatif cenderung lebih lama dan membutuhkan kesabaran. Karena di tingkat masyarakat sendiri -  tidak serta merta dapat menerima setiap gagasan atau usulan yang datang dari luar. Secara alami, masyarakat akan melihat, mengkaji dan menguji -  seberapa penting inisiatif tersebut bermanfaat bagi mereka.

Kajian risiko bencana komunitas yang berkembang saat ini, pada umumnya mengembangkan metode yang telah ada. Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah metode yang paling banyak digunakan sebagai dasar pengembangan. Beberapa alat (tools) dikembangkan sesuaikan dengan kebutuhan dalam mengidentifikasi dan menganalisis serta menentukan rencana tindak (action plans). Seperti peta desa atau peta sumberdaya, dikembangkan juga untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah terpapar. Demikian juga dengan sejarah desa yang dikembangkan untuk mengidentifikasi dan menggali informasi secara lebih mendalam terkait kejadian bencana, dampak maupun respon yang dilakukan oleh masyarakat. Perubahan dan kecenderungan dikembangkan untuk melihat terjadinya perubahan-perubahan yang terjadi serta kecenderungannya melihat bencana dari waktu ke waktu. apakah ada perubahan seiring dengan perubahan kondisi alam, perubahan iklim dll.

Dari rangkaian pengalaman mendampingi komunitas dalam mengelola risiko bencana berbasis komunitas, terkumpul metode yang mungkin bisa menjadi landasan dalam melakukan kajian risiko bencana komunitas. Modul ini merupakan bagian dari proses konvergensi API PRB pada level komunitas. Modul dapat di unduh disini

Tuesday, April 12, 2016

PENCINTA ALAM DAN SEGELAS KOPI HITAM

Rytem Gitar Bolong diiringi drum dari galon air meniral terdengar begitu ceria. Alunan Balada, country, terkadang diselingi lagu dandut, atau tidak jarang lagu melow - seakan merobek keheningan malam. Tak terlihat ada rasa lelah atau kantuk. Keceriaan itu terlalu berharga untuk dilewatkan. Dan -  kopi hitam dan tembakau tidak pernah absen menemani segerombolan anak2 muda bergaya cuek sambil berhaha hihi dengan berbagai topik obrolan disudut-sudut kampus, kontrakan sampai di kaki-kaki gunung dan tebing-tebing yang menjulang.

Suasana meriah, ceria riang gembira tak kan pernah pudar bersamaan sang mentari mulai bergeser menuju peraduannya. Rutinitas seharian yang kadang menjenuhkan - harus diganti dengan suasana penuh keakraban. Menganang masa-masa pendidikan dasar yang penuh cerita, operasi SAR yang kadang menumui hal2 yang tidak umum, atau perjelajahan2 yang telah dilewati bersama. Tapi, kadang topik diskusi bisa bergeser pada hal yang HOT. dari mulai politik sampe gosip murahan para artis dan sinetron. Bebas saja -  karena malam adalah masanya untuk mengeskpresikan kegembiraan.

Kopi yang saat ini sudah ditawarkan dengan beraneka rasa menjadi menu wajib. Ya kopi, tanaman yang konon berasal dari Brazil dan masuk ke Indonesia saat masa Kompeni mulai menjarah kekayaan negeri subur ini. 

Tanaman kopi menjadi tanaman umum yang dtemui para pencinta alam saat melakukan pendakian selain tanaman teh. Ya, karena tanaman kopi  memang cocok ditanam di ketinggian, khususnya jenis arabika. Latimojong sebagai salah satu gunung tertinggi di Bumi Celebes misalnya, merupakan komoditi unggulan. Merapi, saat jalur selatan masih menjadi tempat favorit pendakian di era 90-an, juga tersedia kopi yang ditanam oleh warga Kaliadem dan Kinahrejo. Burni Telong, Bener Meriah, Ijen dan banyak wilayah lain menjadikan kopi sebagai tanaman andalan.

Friday, April 08, 2016

PERTAMBANGAN, ANTARA RISIKO DAN RISIKO PLUS RISIKO

Tidak ada hujan, tidak ada angin (istilah jawa yang mengindikasikan kejadian tiba2 tanpa peringatan), luapan lumpur yang sebelumnya bersemayam didalam perut bumi menggenangi sawah, ladang, pemukiman, pabrik-pabrik maupun fasilitas publik. Mud Volkano -  tiba-tiba saja populer di Bumi dengan julukan Zamrud Katulistiwa karena kesuburannya. Ya, sekalipun lumpur panas (mud volcano) telah ada seperti  Bludug Kuwu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Yang Konon telah ada secara alamiah sebelum Kerajaan Mataram Kuno (732 - 928 M).
Coretan lepas dan bebas ini tidak akan mengulas tentang bencana lumpur panas Lapindo yang terus berpolemik terkait dengan sebab musababnya. Sekalipun sebagian besar para ahli Geologi lebih banyak yang menemapatkannya sebagai kesalahan manusia. Kesalahan Pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Namun -  Pengadilan nampaknya punya asumsi sendiri, sehingga memutuskannya sebagai Bencana Alam yang memiliki hubungan dengan Gempa Jogjakarta (5,9 SR) yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006. 

Tidak terduga, karena memang tidak ada informasi apapun terkait dengan risiko yang mungkin terjadi akibat upaya penambangan migas ini. Karena sebagaimana umumnya sebuah proyek investasi besar -  selalu dikaitkan dengan pembangunan negara. Yang namanya pembangunan -  sudah pasti berdampak positif yang berujung pada kesejahtaraan.

DR. Ir. Eko Teguh Paripurno, MT, Geolog yang juga pakar pengurangan risiko bencana (PRB), pada tiap kesempatan selalu mengingatkan. Pembangunan dapat berimplikasi seperti mata tombak. Dapat mensejahaterakan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Tapi bisa juga berdampak sebaliknya. Menimbulkan kerentanan dan menyebabkan risiko semakin tinggi. Bisa untuk saat ini, bisa juga untuk masa yang akan datang. Bisa pada lokasinya (lokus) - bisa juga untuk wilayah lain. Pembangunan dapat menjadi sebuah peluang untuk mengurangi risiko, jika pembangunan dikemas dengan pendekatan PRB.

Pertambangan sebagai bentuk kegiatan ekstraktif, nampaknya masih belum ditempatkan sebagai usaha yang perlu diredam implikasi-implikasi yang mungkin dapat diterjadi. Paling tidak, ini tergambar dalam Draft RUU Minerba versi Pemerintah (Kementerian ESDM) yang digadang-gadang akan menggantikan UU No 4 tahun 2009. Tidak saja tidak peka terhadap risiko bencana, RUU yang konon dikebut penyusunannya hanya dalam 3 hari ini juga terkesan memanjakan investor tambang - yang sampai saat ini tidak menunjukan "niat baik" terlibat dalam membangun Indonesia serta sangat sektoral karena mengabaikan Perundang-undangan lain yang ada dan sangat berkorelasi. Sebut saja UU 32/2009 tentang PPLH, UU No 27/2009 jo UU No 1/2014 tentang pesisir dan kalautan, UU No 32/2014 tentang Kelautan, UU No 26/2007 tenteng tata ruang dll. RUU Minerba seolah hanya mengakodir UU Pemerintahan Daerah terkait dengan perizinan. Draft RUU Minerba,download di sini.  Naskah Akademik,download di sini.

Tuesday, April 05, 2016

MEMAKNAI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Dullah yang telah berusia senja, cukup melihat sekumpulan siput laut untuk melihat, seberapa tinggi kemungkinan rob yang akan sampai ke rumahnya. Berpuluh-puluh tahun beliau hanya mengandalkan salah satu hewan kecil laut ini untuk menyiapkan diri. Apakah perlu mengamankan barang2 rumahnya dari banjir pasang surut, atau tidak. Siput laut yang menaiki batang kayu, tembok rumah atau tanaman menjadi salah satu pertanda. Dan selama ini informasi tersebut cukup akurat. Warga cukup melihat mayoritas siput rata-rata berada diketinggian mana. disitulah kemungkinan tinggi banjir rob sampai di Kampung halamannya.

Tidak tahu pasti, sejak kapan pengetahuan lokal itu dipercaya dan menjadi bagian dari kearifan lokal. tanda-tanda alam juga digunakan dengan melihat sekelompok burung migran maupun beragam perkembangan tanaman untuk menandai pergantian musim. Bunga Gadung misalnya saat berkembang menandai musim kemarau. Tidak hanya flora dan fauna, tanda alam lain juga digunakan seperti formasi bintang; lintang luku dan kukusan, planet dll. Tradisi berbasis pengetahuan lokal ini berpuluh tahun selaras. Di Jawa dikenal Pronoto Mongso yang sangat dekat dengan dunia pertanian. Namun, sejatinya, nelayan pun menggunakannya untuk kebutuhan menangkap ikan.   

Paling tidak, 3 tahun terakhir, Pak Dullah maupun ribuan masyarakat yang masih menggunakan tanda-tanda alam dalam melihat perubahan musim atau cuaca mengalami kesulitan. Mulai muncul keraguan -  apakah tanda-tanda alam yang selama ini cukup akurat tidak lagi bisa digunakan? Namun jika dikaitkan dengan penyebabkan -  berbagai pendapat disertai argumentasi kerap terkait dengan hal-hal diluar kontek ilmiah. Misalnya, karena banyak dosa orang kampung atau tidak lagi dilakukannya tradisi, sehingga penguasa lautan atau wilayah-wilayah yang dianggap kramat menunjukan ketidak sukaannya. Tidak banyak argumentasi muncul terkait dengan perubahan-perubahan fisik yang terjadi atau perubahan yang terjadi secara global-seperti pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim.

Tradisi atau pengetahuan dan kearifan lokal yang masih berlangsung -  kerap telah diposisikan sebagai daya adaptasi. daya adaptasi ini ketika dikaitkan dengan perubahan iklim bisa langsung di claim sebagai adaptasi perubahan iklim. Tidak hanya memahami tanda alam, tapi juga berbagai upaya penyesuaian yang dilakukan berdasarkan respon atas perubahan yang terjadi. Sebagai respon, umumnya penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan akan disesuaikan dengan perubahan yang ada. Pada tipe perubahan yang terjadi secara langsung dan tidak lagi terjadi perubahan lanjutan dalam waktu lama, penyesuaian yang dilakukan masyarakat cederung sesuai dengan konteks. Penyesuaian juga akan sesuai dengan kebutuhan pada perubahan-perubahan yang berlangsung secara terus menerus dan cenderung sama. seperti banjir yang terjadi secara rutin dengan luasan dan waktu yang relatif sama. Tapi akan mengalami kesulitan jika perubahan tersebut berlangsung perlanan dan terjadi peningkatan ancaman. Seperti banjir rob yang semakin lama semakin tinggi yang terjadi di sepanjang pesisir utara jawa.

Adaptasi perubahan iklim dimaknai sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim, mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan dan mengatasi konsekwensinya. UU No 32.2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan penjelasan pasal 57 ayat 4 (a) adalah; Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim” adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.

Merujuk pengertian dari adaptasi sebagai kemampuan atau meningkatkan kemampuan untuk dapat menyesuaikan dari dampak perubahan iklim -  terdapat hal substansial yang tidak dapat diabaikan. Apakah berbagai upaya yang telah dilakukan komunitas seperti contoh-contoh di atas dan tentu banyak contoh lain yang serupa dapat dikatakan sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan iklim?

Friday, April 01, 2016

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARING, PRB dan PRAMUKA

Coretan tak terstruktur ini lanjugan dari pemikiran liar sebelumnya tentang CTL, bagaimana jika diterapkan pada PRB sebagai paradigma manajemen risiko bencana alias penanggulangan bencana. Tentu pemikiran liar ini hanya berupa asumsi yang pasti dibumbui subyektifitas dari hasil bacaan cepat dan mencoba mengkaitkan dengan serangkaian proses yang telah dilalui penulis


Jakarta, dimusim yang seharusnya telah memasuki masa kemarau, masih juga dibayangi mendung yang berpotensi untuk hujan. Ramalan cuaca yang masuk melalui HP adroidku menunjukan -  sesiang ini, Rumah Perlawanan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) yang berada di Mampang Prapatan No 30 B - Jakarta Selatan akan cerah berawan. Menjelang malam, akan terjadi petir. Tapi jangan harap informasi ini benar 100%. Karana yang namanya ramalah -  bisa benar, bisa juga salah. Apalagi informasi yang diberikan BMKG sebagai lembaga Negara yang ngurus masalah Meteorologi dan Klimatologi, menyebetnya dengan PRAKIRAAN. Artinya - sebelum dikira2. jadi cukup jadi bahan pertimbangan aja. Tapi bagi mental PRB, tentu informasi apapun yang terkait mengurangi risiko, harus dijadikan landasan untuk berprilaku antisipatif, mitigasi dan siapsiaga.

Siapa yang tidak pernah merasakan bangganya memakai seragam coklat muda dan coklat tua sebagai uniform Gerakan Pramuka Indonesia. Apa lagi jika pada seragam tersebut telah terpasang aneka tanda kecakapan khusus (TKK). Menjadi lebih bangga lagi, jika TKK telah melebih batas di seragam, sehingga harus ditempatkan pada selendang yang menghiasi seragam kebesaran. Jika kita mau jujur -  dari keterlibatan dan kesempatan ber Pramuka jua lah, muncul pengembangan-pengembangan kegiatan luar ruang yang beragam. Dari mulai kelompok pencinta alam, kelompok peduli lingkungan, kelompok yang aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan (penanggulangan bencana), pertahanan dan keamanan dll. Jayalah Pramuka ku, Pramuka mu, Pramuka kita semua...

Jika sedikit kita merenung mengembalikan pikiran kita ke masa kecil, saat kita masih di sekolah dasar. Maka keriangan mengikuti kegiatan Pramuka, yang saat ini menggunakan hari Jumat siang akan tergambarkan dengan jelas. Yel-yel selalu dikumandangkan setiap Regu untuk menambah spirit kelompok masing-masing. Materi-materi  seperti tali temali, mempelajari berbagai sandi, tanda jejak, P3K adalah materi favorit  karena sudah dipastikan akan ada praktik. Apa lagi materi diterapkan dilapangan, seperti mencari jejek atau berkemah.

Pramuka memang identik dengan kegiatan luar ruang. Berbagai pengetahuan dan keterampilan begitu mudah diserap saat materi disampaikan dipraktikan dengan susasa yang riang gembira. Namun seingat penulis, sekalipun kegiatan Pramuka yang sempet diikuti sepanjang Sekolah Dasar -  tidak begitu banyak materi yang mengkaitkan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kegiatan lebih banyak diarahkan dengan membekali pribadi dan kelompok pada skill kegiatan luar ruang. Tapi itu dulu. Dan dari sisi tahapannya -  memang baru pada tahapan Penggalang  Meramu.

Terlepas dari materi-materi yang diajarkan saat itu, hal yang menarik untuk menjadi pelajaran tentu adalah bagaimana materi yang diberikan dapat diserap dengan baik. Sehingga, tidak saja materi dapat dikuasai, tapi juga dapat dipraktikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk tali temali misalnya -  kemampuan menguasai berbagai simpul akhirnya dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dengan P3K dasar, maupun berbagai upaya menyangkut hidup sehat.

Wednesday, March 30, 2016

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARING DALAM PRB

Pagi yang cerah... teringat permintaan Om Agus Bengkulu (FPRB Bengkulu) untuk minta refrensi tentang laporan pembelajaran. Melalui sohib yang baik hati, Om Google, coba mencari2 materi terkait. Sampailah ke halaman Blog Ahmad Archery yang menyuguhkan Contextual Teaching and Learing (TCL) - (http://ahmadarchery.blogspot.co.id/2014/04/contoh-laporan-analisis-pembelajaran.html). 

Sangat menarik ulasan yang disuguhkan sekalipun dalam bentuk laporan. Pikiran pun menerawang kepada Sekolah/Madrasah Aman yang sedang didorong segenap Ornop dan mendapatkan respon positif dari BNPB dan Kemendikbud. Juga inisiasi yang mendorong API PRB untuk menjadi bagian materi dalam Gerakan Pramuka Indonesia. Sebuah pengembangan dari inisiatif di tingkat Global Kepanduan Internasional untuk membuat Bedge atau Tanda Kecakapan untuk isu perubahan iklim. Dengan judul Climate Change Challange Challange Badge, FAO sebagai salah satu unit di PBB menjadi lembaga yang akan mengembangkan di dunia. 

TCL menjadi menarik ketika pendekatan yang ditawarkan adalah sebuah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh. Siswa didorong untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mampu menerapkannya dalam kehidupan mereka. 

Pada masa penulis sekolah, jadi teringat pendekatan yang mulai diperkenalkan saat itu dengan judul CBSA (Cara belajar siswa aktif). Ya, itu kurang lebih 30an tahun yang lalu. Dan masih teringat dengan lekat, bagaimana kegagapan guru-guru untuk menerapkan perubahan kebijakan pendidikan yang sebelumnya cenderung satu arah. Namun jika dicermati, CBSA sebagai pendekatan baru pada dasarnya tidak lah baru. Karena di luar jam sekolah, Guru-guru kami melakukan dialog dengan siswa secara bebas. Tidak jarang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk mendapatkan jawaban secara mandiri. Tentu di luar materi sekolah. Dan jika ditelisik lebih jauh - proses belajar yang mungkin dianggap bukan menjadi bagian pelajaran di sekolah lebih dapat diterima. Misalnya, Guru meminta siswa untuk membawa tanaman dari rumah untuk ditanam di sekolah. Jika menjadi tugas sekolah, maka permintaan itu sekedar membawa jenis tanaman tertentu dan segera ditanam di depan kelas. Berbeda saat guru melepaskan diri dari tuntutan pelajaran. Guru kami akan meminta juga mempelajari bagaimana tanaman tersebut tumbuh, bagaimana merawatnya juga manfaat dari tanaman tersebut. sehingga terjadi dialog yang lebih konstruktif dari permintaan membawa tanaman. Dan ini yang kami rasakan sebagai CBSA yang sesungghnya.

Dalam Blognya yang diambil dari Laporan Observasi Lapangan yang dilakukan di SD Pancasila Lembang, Ahmad S.Pd, M. Pd menekankan tiga hal yang perlu dipahami dari konsep CTL. 
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan siswa hanya menerima pelajaran saja, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapa memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

FUNGSI EKOLOGIS DAN RISIKO BENCANA

Fungsi ekologis memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk risiko bencana. Fungsi tersebut dapat terkait erat dengan membentuk atau penyebab ancaman bencana, kerentanan maupun kapasitas. Sayangnya, komponen ini masih belum dijadikan sebagai salah satu  yang menentukan tingkat risiko bencana. 

Mempertimbangkan fungsi ekologis dalam menentukan risiko bencana, sekalipun dianggap penting, namun nampaknya masih enggan untuk didalami kemungkinan menjadi bagian dalam pengkajian risiko bencana. Keengganan tersebut, bisa jadi karena adanya kerumitan-kerumitan yang akan dihadapi dari metode yang berkemang saat ini. Bisa dibayangkan, bagaimana risiko banjir misalnya harus juga menghitung fungsi hutan dari sisi daya dukung menangkap, menyimpan atau menahan air hujan. selain indikator yang saat ini digunakan berupa tutupan lahan, kemiringan, jenis tanah, bentuk sungai dll. dan dalam menentukan kemampuan hutan (tidak sekedar tutupan lahan), juga akan dipertimbangkan jenis-jenis tanaman yang ada, bagaimana pola pengelolaan hutan, tingkat kerusakan dll.

Thursday, March 24, 2016

RENCANA KONTIJENSI KOMUNITAS

catatan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya. yang akan membuat tentang apa dan bagaimana rencana kontijensi yang disusun untuk kesiapsiagaan komunitas..

Pada dasarnya, rencana kontijensi yang disusun ditingkat komunitas tidak berbeda secara prinsip dengan rencana kontijensi (renkon) pada level Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Nasional. Sebuah rencana yang disusun untuk situasi tak terduga (bencana) untuk memobilisasi sumberdaya yang telah disiapkan secara sistematis, cepat dan tepat. sehingga dampak bencana yang ditimbulkan dapat ditekan semaksimal mungkin untuk mengurangi risiko bencana yang ada. 

Renkon pada tingkat komunitas merupakan gambaran riil, bagaimana pengurangan risiko bencana (PRB) dioperasionalkan dalam bentuk manajemen risiko bencana. Renkon sebagai sebuah proses membangun kesiapsiagaan komunitas, merupakan jauh lebih penting. dari mulai membangun komitmen dan kesepakatan para pihak, mengidentifikasi risiko, memetakan kebutuhan, ketersediaan dan kesenjangan maupun menyiapkan strategi dan rencana operasionalnya. Dokumen Renkon akan menjadi bagian penting untuk para pihak ingat apa saja komintmen dan tanggung jawab saat kondisi tak terduga (bencana) terjadi. Dan sebuah regulasi, apapun bentuknya akan memperkuat secara keseluruhan dari proses dan kesepakatan yang telah dibuat.

Renkon Komunitas Sebagai Cermin PRB
Sekalipun Renkon hanya bagian kecil dari manajemen risiko bencana yang dibutuhkan ditingkat komunitas,  namun dapat menjadi salah satu indikator - bagaimana PRB telah menjadi bagian dari budaya di Masyarakat. Renkon sebagai bagian dari indikator tentu tidak hanya dilihat dari keberadaan dan bentuk dokumen yang dihasilkan. Dari seberapa tebal atau bagusnya design dokumen tersebut. Atau dari keberadaan regulasi seperti Peraturan Desa atau sejenisnya.

Renkon komunitas sebagai cermin dan budaya PRB dapat dilihat dari seberapa besar komunitas maupun para pihak menempatkan tujuan, fungsi dan peran dari Renkon itu sendiri. Menempatkannya sebagai sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari kebutuhan untuk mengurangi dampak bencana yang akan dihadapi dan diterima oleh komunitas sendiri. Kesadaran akan risiko diri dan adanya komitmen untuk mengatasi merupakan dasar proses penyusunan Renkon. Tanpa kesadaran atas bahaya dan upaya diri dan komunitas untuk mengatasi ancaman tersebut - proses Renkon sebaiknya ditunda atau tidak dilakukan. Namun bukan berarti proses untuk penyusunan renkon menjadi tidak layak atau tidak perlu dilakukan. Tapi fokus kegiatan atau program - lebih diprioritaskan pada membangun kesadaran kritis komunitas itu sendiri. Rekayasa sosial diperlukan pada komunitas yang tidak menempatkan ancaman bencana sebagai masalah - karena akan diselesaikan oleh orang atau pihak luar.

Banyaknya dokumen Renkon yang tidak operasional (tidak menjadi acuan saat dibutuhkan) - sebagian besar karena terlewatkannya tahapan krusial ini. Banyak faktor yang menyebabkan proses ini terlewatkan. Namun sebagian besar dikarenakan adanya target project yang dibatasi oleh waktu. Persoalan muncul saat penyusunan perencanaan untuk menyusun renkon, perencana tidak paham akan esensi dari renkon. Otak project hanya menempatkan kesuksesan sebuah kegiatan ditandai dengan adanya dokumen Renkon, foto-foto kegiatan, absensi peserta penyusun, atau besaran serapan anggaran sesuai dengan yang direncanakan.

Terminologi Bencana yang dirumuskan oleh UN ISDR (2004), dimana sebuah kondisi atau kejadian dapat disebut bencana dengan menempatkan kemampuan dan sumberdaya komunitias dalam mengatasi dampak yang ada. Kondisi atau kejadian yang menyebabkan ketergangguan dan merugikan dapat ditutupi untuk tidak menjadi BENCANA, jika komunitas terkena dampak mampu mengatasinya. Baik dalam proses tanggap darurat, bantuan darurat, pemulihan maupun rehabilitasi dan rekonstruksi. Kondisi ini juga menunjukan, bagaimana upaya pra bencana, baik upaya preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan menjadi kunci terhadap kemampuan komunitas dalam menghadapi ancaman bencana yang ada.

Terbangunnya kesadaran kritis atas ancaman dan dampak yang ditimbulkan serta keharusan semua penduduk terkena dampak untuk berbuat dalam kerengkan mengurangi risiko -  menjadi dasar tindakan lebih lanjut. Baik proses mengidentifikasi risiko bencana lebih spesifik, baik terkait ancaman bencana (karakteristik, besaran, luasan, durasi,  atau perulangan kejadian), kerentanan (aspek manusia, sosial budaya, ekonomi, infrastrutur dan lingkungan) maupun kapasitas. Proses analisis risiko dapat menjadi bagian dalam mengidentifikasi potensi dan sumberdaya yang dibutuhkan maupun yang tersedia  di tingkat lokal dalam menghadapi ancaman bencana. 
 
Serangkaian pengalaman komunitas dalam mensikapi bencana yang ada, merupakan media pembelajaran untuk mendapatkan berbagai gagasan dan inovasi dalam penanggulangan tanggap darurat. Apa yang sudah dilakukan dan bagaimana hasilnya dapat menjadi media pembelajaran bersama. selanjutnya dapat mulai menggali apa saja rencana yang telah disiapkan namun belum dapat dilakukan. Dialog menggali, bagaimana rencana yang ada mempengaruhi terhadap pengurangan dampak atau risiko menjadi point penting sebelum mendialogkan -  kenapa rencana tersebut tidak atau belum dapat dilakukan. Pengalaman dan rencana yang telah ada, lebih lanjut dapat menjadi warna saat didapatkan hasil kajian risiko bencana yang menunjukan kelas risiko pada wilayah komunitas.

Terbangunnya kekuatan kolektif komunitas dalam mensikapi dan berkomitmen untuk mengelola risiko bencana adalah wujud kongkrit -  bagaimana PRB diaktualisasikan. Prinsip lain yang harus melengkapi cara pandang (paradigma) PRB dalam PB adalah Renkon tidak memunculkan implikasi terhadap sektor atau risiko bencana lainnya. Implikasi ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, Seperti Renkon yang dibuat dan disepakati, menyebabkan fungsi fasilitas publik tidak berjalan sebagaimana fungsinya. Seperti Gedung Sekolah yang dijadikan tempat pengungsian, Puskesmas tidak berjalan karena tenaga kesehatan lebih diarahkan melayani tempat-tempat pengungsian atau bentuk lainnya. Memunculkan risiko baru dapat terjadi jika Renkon tidak mempertimbangkan risiko bencana baru. seperti kemungkinan terjadinya wabah penyakit, konflik sosial, kebakaran dll.

Kondisi ini menunjukan - penyusunan Renkon tidak lah sederhana. Keterlibatan para pihak serta orang yang memiliki kemampuan dalam manajemen risiko bencana menjadi sangat penting. Paling tidak, dibutuhkan fasilitator yang memiliki kemampuan tidak saja teknik fasilitasi, tapi juga memahami konsepsi PRB -  selain teknis Renkon. Pada bebarapa kasus, kemungkinan dibutuhkan narasumber sebagai bagian dari proses peningkatan kapasitas.

Konsep strategis (Strategic concept) penyusunan Renkon menjadi salah satu media penting penyamaan  persepsi para pihak atas Renkon.  Sebagai dokumen bersama -  para pihak perlu satu persepsi, tujuan dan memahami seluruh proses serta kerja-kerja yang akan dilakukan  dalam penyusunan Renkon. Gambaran menyeluruh tentang proses Renkon yang akan dilakukan - menjadikan para pihak dapat mengalokasikan waktu, tenaga maupun bentuk lainnya terlibat dalam proses penyusunan Renkon.

Pengalaman proses penyusunan Renkon untuk kelurahan di DKI Jakarta, dibutuhkan panduan untuk fasilitator yang mendapatkan mandat mempermudah proses penyusunan Renkon. Panduan dapat menjadi acuan bagi fasilitator dalam menyiapkan maupun apa yang perlu dilakukan dalam proses penyusunan Renkon. Sebagai panduan -  tentu tidak bersifat baku. karena dinamika setiap tempat tentu memiliki karakteristik berbeda antar satu dengan yang lain. Namun, prinsip-prinsip mendasar dari tahapan penyusunan Renkon relatif sama. Panduan Fasilitator untuk proses penyusunan Renkon, download disini

Wednesday, March 16, 2016

CONTINGENCY PLANNING

Paparan ini merupakan bagian dari proses penyusunan rencana kontijensi (contungency planning) komunitas tingkat kelurahan yang difasilitasi oleh BPBD DKI Jakarta tahun 2013 - 2014. Sebuah gagasan dalam membangun ketangguhan komunitas dalam menghadapi ancaman bencana banjir yang menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat DKI Jakarta. Kelompok masyarakat sipil berkolaborasi bersama BPBD DKI Jakarta dalam menyiapkan berbagai persiapan. Dari mulai training yang difasilitasi oleh MercyCorps Indonesia untuk Program Adaptasi Perubahan Iklim dan pengurangan Risiko Bencana untuk Ketangguhan (API Perubahan), Wahana Visi Indonesia, Child Fund, MPBI, Forum API PRB DKI Jakarta, Dompet Duafa, Bingkai Indonesia juga kelompok masyarakat Jelambar baru, Kedoya, Komunitas bantaran sungai Ciliwung dll.



Jakarta identif dengan banjir. Tidak satupun pimpinan daerah yang mampu menyelesaikan banjir secara tuntas. Sekalipun topik ini selalu diangkat dalam pemilu kepala daerah sebagai isu yang diharapkan mampu meraup suara. Sama halnya dengan kemacetan yang telah menjadi bagian tidak tidak terpisahkan dari kehidupan Ibu Kota Negara RI sekaligus pusat ekonomi, sosial -  budaya.

Ya, Jakarta tidak akan betul-betul bebas bajir. Karena secara alamiah wilayahnya merupakan wilayah tampungan air. 13 sungai mengalir melewati wilayah Jakarta dan bermuara di laut jawa. Sungai Ciliwung dan Cisadane merupakan sungai besar yang berhulu di kawasan Jawa Barat. adanya aliran sungai besar ini lah justru menjadikan wilayah ini dipilih sebagai wilayah strategis yang menarik minat para pencari kehidupan material. 

Banjir Jakarta tempo dulu - sumber : Kaskus
Masa penjajahan Belanda, banjir telah menjadi permasalahan utama. kejadian banjir besar tercatat antara lain tahun 1621, 1654, 1873, dan 1918. Sedangkan banjir pada umumnya tetap berlaku pada wilayah bantaran sungai dan daerah cekungan sepanjang tahun. Namun, banjir yang tergolong besar 20 tahun terakhir dapat dilihat pada tahun 1996, 1999, 2002, 2007 dan 2012. Untuk itulah, dikenal pula siklus 5 tahunan untuk banjir besar Jakarta. Namun banjir yang terjadi tahun 2013 - 2014 nampaknya memutus persepsi banjir besar terjadi setiap lima tahunan.

Mengurus banjir untuk wilayah Jakarta yang telah menjadi pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, telah diurus secara serius pada masa pemerintahan Belanda. Dibentuknya Burgelijke Openhare Werken tahun 1850an sebagai badan khusus mengurus banjir Jakarta adalah salah satu bukti keseriusan tersebut. Paska Banjir besar tahun 1918, upaya lebih komprehensif dilakukan. Banjir Kanal Barat yang dibangun tahun 1922 merupakan artefak hidup hasil kerja tim penyusun rencana pencegahan banjir yang dikepalai oleh Dr. Herman Van Breen (Mustafak, Tempo -  23 Februari 2005).


Thursday, March 10, 2016

KAJIAN RISIKO BENCANA TERINTEGRASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Tulisan ini merupakan pokok pikiran dari sebuah proyek yang didukung oleh SC DRR -  UNDP dalam mengintegrasikan analisis perubahan iklim dalam kajian risiko bencana. Melalui proses panjang tentunya.. Masih menjadi wacana dalam pengimplementasiannya dari berjalan saat ini. Baik di BNPB dengan Kajian Risiko Bencana, maupun KLHK dengan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim maupun K/L lainnya sebagai dasar pengambilan kebijakan. Sehingga program pembangunan di Indonesia memiliki pradigma pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.


Sudah dimafhumi, jika Indonesia merupakan negara dengan sejuta ancaman. Beberapa peristiwa bahkan menjadi bagian dari perubahan sistem bumi. Letusan Gunung Toba, Tambora atau Krakatau tercatat sebagai peristiwa luar biasa yang mempengaruhi sistem iklim bumi. Dipercaya, letusan yang gunung Toba yang terjadi 74.000 tahun yang lalu dipercaya, salah satu penyebab punah sebagian kehidupan yang ada dibumi. Tidak saja karena dampak primer, tapi juga dampak sekunder. Dimana bumi mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan erupsi Gunung Tambora (1815) yang tercatat lebih rinci -  menyebabkan daratan Eropa gagal merasakan  musim panas pada dua musim. Peristiwa ini dikenal dengan  Tahun tanpa musim panas.

Tsunami Aceh, 2004 - sumber Tempo
Gempa yang diikuti gelombang tsunami, 26 Desember 2004 seolah menyadarkan kembali jika negeri ini memang republic of disaster. Tidak kurang dari 160.000 jiwa menjadi korban akibat amuk gelombang maha dahsyat di sepanjang pesisir Aceh, dari selatan sampai utara. selain Aceh dan Nias, negara tetangga pun ikut terdampak seperti Thailand, Laos, Maldives, India hingga afrika. Disusul dengan gempa Jogja dua tahun berikutnya (2006), tsunami Pangandaran (2006), Gempa di Sumbar sampai erupsi merapi (2007 dan 2009), tsunami di mentawai dan banjir bandang di Wasior yang berlangsung secara bersamaan pada tahun 2010. Dan yang tidak kalah dahsyat dan menjadi perhatian dunia adalah bencana semburan lumpur lapindo -  Sidorajo yang akhirnya berbuntut polemik, akibat peristiwa alam, yakni gempa Jogja atau karena kesalahan pengeboran.

Wednesday, March 09, 2016

PENCINTA ALAM DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA


Pandangan masyarakat atas diri pencinta alam (PA) cukup beragam. Bagi warga seputar gunung-gunung yang menjadi salah satu aktifitas, digambarkan dengan sekelompok orang berpakaian "nyentrik" dengan tas punggung besar besar. Bisa berbeda dengan warga masyarakat pada lokasi goa, tebing atau sungai berarus deras. Bagaimana dengan warga perkotaan dalam menilai sang pencinta alam? cuek, berpakaian tidak rapi dengan beragam aksesoris "aneh". 


Paling tidak, penilaian umum gak jauh2 amat dari kesan coboy. Namun bagi yang melihat lebih dalam, beragam pujian pun kerap muncul. Lebih dalam lagi, semakin mengagumi. Bahkan tidak jarang orang tua yang sebelumnya tidak memiliki background PA, mendorong anaknya untuk terlibat aktif dalam kegiatan PA.

Bekerja dalam kesunyian. Paling tidak itu yang terlihat jika kita bersama-sama melakukan kegiatan pencarian dan penyelamatan. entah karena ada sesama rekan PA yang hilang digunung, kecelakaan yang terjadi di hutan, laut atau sungai, maupun terlibat dalam kegiatan-kegiatan tanggap darurat bencana. Ya, sangat jarang terlihat, aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan membawa bendera atau uniform. sekalipun tidak pernah ada larangan secara tertulis. Namun etika diri untuk bersatu dalam kebersamaan -  menghilangkan ego diri maupun kelembagaan. 

Kerja-kerja kemanusiaan pada operasi tanggap darurat telah menjadi bagian utama kelompok pencinta alam (KPA). Dimana pun ada kejadian bencana, bisa dipastikan anggota KPA hadir disana. Baik secara resmi diutus oleh organisasi, maupun mengikuti panggilan jiwa dan tergabung dengan organisasi kemanusiaan atau lembaga resmi negara (SAR, BNPB/BPBD). Meraka akan berjibaku tanpa mengenal lelah dan berbaur dengan tim-tim yang ada. Gempa dan Tsunami Aceh, Desember 2004, mungkin menjadi momen terlibatnya KPA seluruh Indonesia dalam kerja-kerja kemanusiaan. dari mulai evakuasi jenazah, mengumpulkan dan distribusi bantuan, pendataan penduduk terkena bencana, pengelolaan data base maupun penguatan komunitas. Ribuan anggota pencinta alam berbaur menjadi satu. dan..... tanpa label yang menyertai, dari mana organisasi pencinta alam mana mereka berasal. demikan juga saat bencana gempa bumi di Jogjakarta, Maret 2006 atau Gempa Sumatera Barat 2007 dan 2009.

Pada kerja-kerja tanggap darurat, bantuan darurat sampai pada fase pemulihan, peran KPA begitu nyata. Ini juga yang menjadikannya salah satu penilaian positif dari banyak kalangan. Karena tulusnya kerja-kerja yang dilakukan KPA ini, tidak jarang banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk mengangkat nama besar mereka sendiri. Ya melibatkan para pencinta alam tidak lebih hanya sebagai "pekerja". namun luar biasanya -  panggilan kemanusiaan yang melekat pada diri para relawan dari KPA, tidak menjadikannya persoalan. "kami bekerja hanya untuk kemanusiaan -  tidak lebih".


Sunday, March 06, 2016

PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Sudah lama ternyata gak lagi menyentuh blog ini...
mencoba untuk mencoret-coret apa yang ada di kepala.. juga kegelisahan hati terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai paradigma. Ya sebagai cara pandang yang menjadi acuan para penggiat Manajemen Risiko Bencana (MRB) yang di Indonesia dikenal dengan Penanggulangan Bencana (PB).

PRB sebagai Paradigma, dari waktu ke waktu
Sudah mafhum, ketika para penggiat PB menempatkan PRB sebagai paradigma. Paling tidak, wacana ini mulai menggeliat paska konverensi dunia tentang PB tahun 1994 di Yokohama. Selanjutnya, tahun 1999, Dewan Ekonomi - Sosial PBB mengeluarkan resolusi 63/99 tentang dekade pengurangan risiko bencana. satu tahun berikutnya (2000), PBB membentuk ISDR (international strategi disaster risk) dengan empat fungsi utama; 1) kebijakan, strategi dan koordinasi; 2) advokasi dan komunikasi; 3) manajemen informasi dan jejaring; serta 4) regional outrech dan kemitraan untuk implementasi. Puncaknya, tahun 2005 diadakan pertemuan tingkat tinggi (World Converence) Pengurangan Risiko Bencana kembali di Kobe - Hyogo dan menghasilkan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Frameworks for Action - HFA) dan menjadi kiblat seluruh Negara anggota PBB dalam mengelola risiko bencana di negara masing-masing.

PRB sebagai paradigma atau cara pandang -  tentunya tidak dibatasi oleh judul. Tapi lebih pada substansinya. Kontek itulah yang menempatkan PRB telah menjadi cara pandang dalam manajemen bencana pada era akhir 80 -  90-an. Dan World Converence di Yokohama yang menghasilkan strategy and plan for safer world, sekalipun fokus pada lingkup sosial ekonomi -  telah meletakan cara pandang holistik dalam penanggulangan bencana.