Wednesday, September 12, 2007

Mengenang Tragedi Wedus Gembel

http://www.suarapembaruan.com/News/2004/11/28/Nusantar/nus01.htm
SUARA PEMBARUAN DAILY


Seandainya Turgo Punya Puskesmas

Sepuluh tahun yang lalu, Gunung Merapi menunjukkan amarahnya. Tak kepalang tanggung, 43 orang warga Dusun Turgo tewas dan puluhan menderita cacat fisik.

Siang itu, sekitar pukul 11.30 WIB, tepatnya Selasa Kliwon, November 1994, tiba-tiba langit menjadi gelap. Butiran pasir panas dan debu berterbangan di udara. Asap hitam menggulung-gulung disertai hawa panas, menerjang apa saja yang ada di depannya.

Rencana Sudirjo untuk menikahkan anaknya Wantini dengan Marijo kacau balau. Puluhan tetangga termasuk Sudirjo sekeluarga, tak tertolong. Semuanya hangus, legam, bahkan tak tersisa. Jasat-jasat gosong hampir=20
tak terkenali.

Sabtu (20/11/2004) siang, di halaman rumah Dukuh Turgo Fx Suwaji mulai tampak kesibukan yang luar biasa. Kesibukan itu ternyata merupakan rangkaian acara mengenang 10 tahun bencana wedus gembel (awan panas).

Secara bergantian, warga Turgo Purwobinangun Pakem bersama Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan berbagai LSM, hingga Senin (22/11) menggelar acara doa dari berbagai agama untuk mendoakan arwah=20
korban Merapi.

Sabtu giliran penduduk yang beragama Muslim, menggelar tahlilan. Minggu, umat beragama Nasrani bersatu dalam Perayaan Ekaristi dan Misa Arwah dipimpin Romo Y Suyatno Hadiatmojo Pr.

Dari bantuan dan pengumpulan dana FPUB yang dipimpin KH A Muhaimin dan segenap LSM yang concern pada lingkungan hidup, diselenggarakanlah pasar murah dan pengobatan massal. Sedang Senin, dengan swadaya, masyarakat menanam 2.000 batang pohon di sekeliling dusun mereka
Ratusan masyarakat tetangga dusun, seperti Pakem, Turi, Tritis, bahkan Yogyakarta datang ke Dusun Turgo yang jaraknya kurang lebih 50 km dari Yogya.

Fx Suwaji yang menuturkan kembali kejadian sepuluh tahun yang lalu itu, mengatakan, kebanyakan warga RT 06 yang menjadi korban wedus gembel. Satu tahun, mereka harus hidup di lokasi relokasi Sudimoro Dusun Turgoadi.
Saat ini, katanya, 140 KK warga memilih kembali ke rumahnya dan 102 KK tetap tinggal di relokasi.

"Sebagian besar rumah-rumah yang rusak sudah diperbaiki dan ditinggali lagi. Tapi masih ada juga rumah yang sampai saat ini dibiarkan begitu saja kondisinya. Misalnya rumah milik Hadi Suwanto yang berada di utara makam Kyai Syech Kubro," ucapnya.

Suwaji yang terngiang-ngiang kejadian menyebutkan, selain menelan korban jiwa harta benda penduduk pun musnah. Lahan tanaman tertutup abu.

Hingga setahun lahan itu harus dibersihkan untuk bisa ditanam kembali. "Semua penduduk di sini merupakan penduduk asli. Tanah semua bersertifikat. Semua turun-temurun. Jadi banyak warga yang tidak kapok untuk kembali, meski kami sadar, sewaktu-waktu bencana serupa akan mengancam," katanya.

Paling tidak, kata dia, masyarakat jadi lebih mengenal watak Merapi dan bimbingan dari Dinas Vulkanologi dan Bencana Gunung Merapi, cukup membantu masyarakat. "Setidaknya kami belajar membaca watak Merapi," katanya.

Upacara seperti ini, lanjutnya, tidak hanya untuk mengenang musibah, tetapi sebagai wujud peringatan dan kewaspadaan.
Suwaji mengatakan, sebagian warga sudah membangun bunker perlindungan, tetapi karena biayanya cukup tinggi, antara Rp 3 sampai Rp 5 juta, hanya sedikit warga yang sanggup membangunnya. "Ada satu bunker umum, tetapi hanya mampu menampung 30-an orang dewasa," ujarnya.

Sepuluh tahun sudah bencana itu berlalu, namun kondisi alam tak bisa pulih secara alami. Air kini menjadi permasalahan utamanya.
"Kondisi ini makin parah dengan terbakarnya hutan tahun 2001 lalu. Entah terbakar atau dibakar. Setahu saya, api bermula dari bawah. Kalau kebakaran alami atau kena lahar, arahnya pasti dari atas," kata Suwaji.
Sadar akan sebab yang ditimbulkan oleh hutan yang gundul, Suwaji bersama warganya berswadaya melakukan penghijauan di hutan yang gundul. Sekitar 2.000 bibit gayam dan jenis lainnya ditanam.

Mengingat lereng Merapi tak lagi menyisakan air, pertumbuhan tanaman itu sangat lambat. Kemudian pada tahun 2003, mereka menerima bibit tanaman dari proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL).
"Bersamaan dengan peringatan dasa warsa ini, kami berniat membangun bak penampungan air di dekat sumber air di Alas Candi, untuk dialirkan ke Turgo, tetapi sampai saat ini, dananya belum cukup dan FPUB bersedia membantu mencari tambahan dananya," kata Suwaji.

Mengetuk Hati

Suwaji lalu menyampaikan, dalam peringatan ini mereka ingin mengetuk hati hadirin untuk turut membantu mengatasi berbagai permasalahan warga, khususnya masalah air, dengan mengumpulkan infaq dan kolekte yang akan digabung untuk keperluan itu.

Satu hal yang cukup membuat Suwaji berfikir, sekian tahun, dusun itu masih minim fasilitas. Tak ada Puskesmas permanen, listrik pun diupayakan warga sendiri dengan mengadakan tiang listrik secara mandiri.

Bahkan jalan menuju sungai Boyong mereka bangun dengan dana pribadi. "Jalan itu juga jadi nafkah bagi Dusun Turgo karena menghubungkan dusun dengan Sungai Boyong yang menjadi pusat penambangan pasir warga, dan akan sangat baik bila di sini dibangun Puskesmas karena pelayanan kesehatan yang paling dekat berjarak 10 km dari sini," kata Suwaji.

Kepala dusun itu memaparkan, setiap truk yang masuk untuk mengambil pasir, ditarik retribusi Rp 200.000/ tahun. "Semuanya masuk ke kas dusun dan hanya ini yang bisa membiayai pembangunan dusun," katanya.

Setahun yang lalu, kata Suwarji, pemerintah mengeluarkan kebijakan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Namun karena sosialisasi yang minim, tumbuh sikap pro-kontra.

"Sekarang, SK-nya sudah keluar, tetapi kami tidak jelas apa yang dimaksud TNGM itu. Setahu warga, nanti hutan itu tidak bisa lagi dimasuki penduduk. Tapi apa benar demikian, saya juga tidak jelas," katanya.

PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI
-----------------------------------------
Last modified: 25/11/04=20

Sejarah, Evolusi, dan Letusan Merapi

Oleh Sari Bahagiarti Kusumayudha
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/22/Fokus/2601459.htm)

Saat ini Merapi sedang giat, setelah lebih dari lima tahun lelap. Kita pun gelisah, khawatir ia meletus dan menimbulkan prahara. Gunung yang satu ini memang atraktif karena tidak pernah tidur nyenyak.

aktu istirahat biasanya 3-5 tahun, lalu giat lagi. Bahkan, kadang-kadang hanya dua tahun saja seperti terjadi pada tahun 1994-1998, atau 1980-1984. Sifat letusannya spesifik, disebut tipe Merapi.

Dulu, 1.000 tahun yang lalu (1006 Masehi), Merapi dikabarkan pernah meledak dahsyat, oleh Van Bemmelen (1949). Akibat dari letusan ini, sebagian puncak runtuh, melorot, dan longsor ke arah barat daya, tertahan oleh Perbukitan Menoreh, kemudian membentuk gundukan-gundukan bukit yang dikenal sebagai Gendol Hills.

Hipotesis letusan dahsyat Merapi 1.000 tahun silam ini ditentang oleh banyak ahli. Namun, pada kenyataannya hingga kini tak seorang pun mampu menyebut angka tahun secara pasti kapan letusan besar masa lampau itu terjadi.

Benarkah pernah ada letusan besar Merapi? Di dusun-dusun Kadisoka, Kedulan, dan Sambisari (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta) terdapat candi-candi kuno peninggalan masa Dinasti Sanjaya Mataram Hindu, yang ketika diketemukan terkubur oleh endapan lahar dan abu vulkanik setebal 6-8 meter.

Di tempat-tempat tersebut dapat dijumpai lapisan endapan abu vulkanik yang ketebalannya 20-60 sentimeter. Sementara itu, di daerah Borobudur tebal lapisan abu dan pasir vulkanik mencapai 200 sentimeter. Letusan kecil tidak mungkin menghasilkan lapisan abu setebal itu.

Aktivitas Merapi pada abad ke-9-11 disinyalir menjadi salah satu pendorong berpindahnya pusat kebudayaan Mataram ke Jawa Timur. Letusan-letusan Merapi masa lalu juga pernah menguruk danau yang dahulu mengitari Candi Borobudur. Konon, semula candi Buddha tersebut dibangun di tengah danau dan digambarkan bak ceplok bunga teratai di tengah kolam.

Merapi mengalami evolusi dalam masa hidupnya. Tipe letusannya berubah-ubah. Pada awalnya magma Merapi encer, bersifat basa, dan mobilitas cukup tinggi. Ketika itu tipe letusannya efusif, tidak meledak, hanya melerkan lava dalam volume besar.

Kemudian sifat magma berangsur-angsur berubah menjadi lebih kental, lebih asam, dan mobilitasnya merendah. Tipe erupsinya berselang-seling antara efusif dan eksplosif (meledak).

Pada perkembangan terakhir, magma Merapi menjadi sangat kental, tekanan gas rendah, dan pergerakannya sangat lamban. Karena kentalnya, maka ketika mencapai permukaan, magma akan mengonggok di sekitar mulut kawah membentuk kubah lava (Kusumayudha, 1988, Newhall & Bronto, 1995, Camus et al, 2000).

Gundukan kubah lava sewaktu-waktu dapat gugur oleh desakan dari dalam. Guguran itu menghasilkan aliran piroklastik yang dikenal sebagai awan panas atau wedus gembel (karena penampilannya bergulung-gulung berwarna kelabu kelam, bergerak cepat, seperti sekawanan domba menuruni lereng). Erupsi seperti ini yang disebut sebagai tipe Merapi.

Gunung Bibi di lereng timur Merapi merupakan endapan lava hasil kegiatan Merapi paling primitif (Proto Merapi). Sementara itu, Gunung Turgo dan Gunung Plawangan di Kaliurang merupakan produk Merapi berikutnya (Merapi Tua).

Berbeda dengan Merapi Tua dan Merapi Primitif yang menghasilkan endapan lava sangat tebal, Merapi yang lebih muda memproduksi endapan lava yang tipis-tipis, lahar hujan, dan piroklastik fraksi halus (tuf atau abu vulkanik). Letusan Merapi Musakini (2.000 tahun) pada umumnya ke arah barat, barat daya, dan selatan. Sebelumnya, letusan Merapi diduga ke segala arah.

Sejarah letusan

Sudah tidak terhitung berapa kali Merapi meletus, baik besar maupun kecil. Letusan-letusan Merapi yang membawa korban jiwa, yang tercatat dalam buku data dasar Gunungapi Indonesia (1979), antara lain terjadi pada tahun 1672, menghasilkan awan panas dan banjir lahar hujan yang menelan 300 jiwa manusia.

Diduga tipe letusan ketika itu adalah Plinian. Tahun 1930-1931 Merapi meletus dengan tipe Plinian, menghasilkan aliran lava, piroklastika, dan lahar hujan, dengan korban 1.369 orang meninggal. Tahun 1954, kegiatan Merapi menghasilkan awan panas, hujan abu dan lapili, korban 64 orang meninggal.

Pada tahun 1961, terjadi aliran lava, awan panas, hujan abu, dan bahaya sekunder berupa banjir lahar hujan, enam orang meninggal sebagai korban. Pada saat itu Magelang dan sekitarnya sempat remang-remang dibalut abu dan debu vulkanik.

Pada tahun 1969, terjadi letusan cukup besar, ada awan panas letusan, guguran kubah lava, hujan abu, dan bom gunung api, korban manusia tiga orang. Letusan tahun 1972-1973 termasuk tipe volkano, menghasilkan semburan asap hitam setinggi tiga kilometer di atas puncak, hujan pasir dan kerikil di Pos Babadan, guguran awan pijar ke Kali Batang sejauh tiga kilometer.

Pada hari Selasa, 22 November 1994, sekitar pukul 10.00 selama lebih kurang dua jam Merapi mengeluarkan wedus gembel-nya ke arah Kali Boyong, menelan 67 korban manusia. Februari 2001, Merapi giat lagi.

Seperti biasanya, aktivitas kali ini berupa guguran kubah lava membentuk awan panas. Arah guguran pada waktu itu ke selatan-barat daya. Kepulan wedus gembel-nya terlihat dari Kecamatan Depok yang berjarak 25 kilometer dari puncak.

Sekarang Merapi beraksi lagi. Inikah jawaban atas hipotesis 1.000 tahun letusan dahsyatnya yang dipertentangkan itu?

Dr Ir Sari Bahagiarti Kusumayudha MSc Ketua Penyelenggara Volcano International Gathering 2006; Dekan Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Tuesday, September 04, 2007

Tidur dengan Mangan

Oleh Siti Maemunah;
- Koordinator Nasional jaringan Advokasi Tambang
- Majlis Pertimbangan Organisasi Kappala Indonesia

Terkantuk-kantuk saya membaca laporan empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Nusa Tenggara Timur tentang PT Arumbai Mangan Bekti di Manggarai. Tapi sontak kantuk itu pergi, begitu mata saya meniti sederet kata, “Usaha penambangan mangan sudah cukup lama dilakukan dan relatif memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah setempat.”

Saya termangu memandangi laporan yang dibuat pada Agustus 2005 lalu ini. Sambil teringat dokumen lain yang berisi pengaduan warga Sirise, Luwuk, dan Lingko Lolok tentang perusahaan itu. Surat pengaduan enam halaman itu,
dikirim Solidaritas Perempuan Peduli Kekerasan (SOPPAN) di Ruteng – Manggarai ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jakarta.

Dalam surat itu warga Sirise dan lingko Lolok mengeluhkan soal pembongkaran lahan dan penggalian yang telah merusak tanah adat mereka, menebarkan debu, dan mengalirkan limbah yang akhirnya mencemari sumber-sumber air. Apakah
surat itu dikirimkan juga kepada keempat anggota dewan itu? Apakah keempat anggota dewan itu pernah mengunjungi warga di sana dan berdialog secara santai dengan mereka?

Laporan dan surat itu, membawa saya kembali mengunjungi Sirise.

***

Setiba di Ruteng – ibu kota Manggarai, dengan mobil sewaan kami meluncur ke Sirise. Jumlah kami empat orang, saya bersama tiga kawan dari SOPPAN dan PIKUL, berangkat atas undangan warga, khususnya empat perempuan - Margareta
Nelly, Ruth, Melti Yoyanti dan Maria Mene, yang Januari lalu datang melaporkan masalahnya kepada SOPPAN.

Sirise merupakan kampung kecil di tengah Manggarai yang lima tahun lalu sempat saya kunjungi, juga untuk melihat dampak pertambangan PT Arumbai kepada warga dan lingkungan.

Perjalanan ke Sirise menelan waktu tiga jam. Supir kami berkali-kali melambatkan mobil jika jalanan terhalang longsoran tanah. Di beberapa tempat, alat-alat berat sibuk membereskan tumpukan tanah itu. Terkadang, kami terpaksa berhenti sedikit lama, menunggu giliran melintas karena berbagi jalan dengan mobil lainnya. Ada sekitar tiga puluh kali gangguan
longsor itu menghambat kami.

Memasuki Sirise batu-batu kasar menyambut roda. Di sepanjang pinggiran jalan tetumbuhan terlihat kusam, senasib dengan rumah-rumah yang ada. Tak banyak, hanya 48 rumah. Sebagian besar masih berdinding bambu, sebagian lagi tak berdaun jendela. Masih seperti lima tahun yang lalu.

***
Sepuluh tahun sudah PT AMB beroperasi di sini. Mereka mendirikan pabrik tak jauh dari perkampungan, paling-paling berkisar 50-an meter.

Di awal perusahaan masuk, setiap warga berharap-harap sejahtera. Mereka memimpikan, berbagai kendaraan ramai melintas, anak-anak bisa bersekolah lebih baik, sehingga mutu hidup meningkat, kesejahteraan meningkat. Kesejahteraan yang bersumber dari mangan.

Batu Mangan berwarna hitam. Bijih-bijih mangan ditambang dengan cara pertambangan terbuka (open pit), dengan melakukan peledakan, pengeboran, pengangkutan hingga pemilahan bijih mangan, sebelum di kapalkan ke luar negeri.

Menambang mangan memang menguntungkan, tapi tidak untuk mereka, penduduk lokal yang mendiami Sirise. Setelah bertahun-tahun perusahaan itu bekerja, ternyata hidup mereka semakin tak nyaman. “Sumur sumber air bersih kami ikut tercemar. Saat hujan, dari tempat eksploitasi di puncak gunung, sampah mangan terbawa banjir lalu masuk ke sumur,” ungkap Maria Mene. Sampah mangan yang ia maksudkan berupa batuan dan tanah yang bercampur bijih mangan. Oleh perusahaan batuan ini dibuang dan ditumpuk begitu saja.

Sambungnya, “Bukan cuma di musim hujan. Waktu kemarau, setiap mesin pengolah berbunyi, sejak jam 8 pagi hingga 4 sore, debu-debu mangan beterbangan lalu menempeli semuanya, air sumur, perabotan, baju, meja makan, piring, makanan, pokoknya semua kena debu itu. Bahkan kami pun tidur diselimuti mangan.”
“Anak-anak jadi tidak bebas bermain di luar. Badan mereka jadi kotor, hitam, jika bermain tanpa baju.” tambahnya.

Lain lagi cerita Pak Martinus Eban. Setiap kali berangkat ke sekolah di Luwuk, anaknya akan melintasi pusat pengolahan mangan. Akibat itu, baju sekolahnya kotor terkena debu mangan. Pernah suatu saat di sekolah, sang anak dimarahi dan dipukul oleh gurunya. “Saya tidak terima,” kata Pak Eban, geram.

“Seperti itulah hidup kami sekarang. Tidur dengan mangan, makan dengan mangan, muntah juga dengan mangan” Ibu Ruth menimpali, ia sudah 9 tahun bekerja di PT Arumbai.

****

Dari kampung Sirise, kalau kita berjalan kaki sebentar menuju timur menaiki bukit maka akan menemui kampung lain. Orang-orang menyebutnya lingko Lolok, masuk desa Satar Teu. Di kampung inilah penggalian dilakukan untuk mendapatkan bijih mangan. Orang-orang lingko Lolok selama ini hidup dengan adat mereka mengolah hasil hutan dan berladang di lingko. Lingko merupakan tanah milik adat, milik bersama, sehingga tidak mudah orang untuk memilikinya kecuali melalui prosedur adat. Dan sejak penggalian bijih mangan, pelan tapi pasti mereka kehilangan akses menikmati hasil hutan dan
berladang. Perusahaan memanfaatkan aturan adat untuk menguasi lingko mereka.

Setelah setahun PT Arumbai beroperasi, warga lingko Lolok sempat menuliskan surat keluhan kepada pemerintah setempat. Mereka mendesak pemerintah segera menghentikan penambangan. Juga menuntut perusahaan menimbun lubang dan menanam kembali pohon di bekas lokasi galian. Hasilnya?

Nihil. Bahkan tanpa bersepakat dulu, di tahun 1997 perusahaan menggali lingko Lolok, dan terus menggali hingga tahun 2002. PT Arumbai menamai lokasi itu blok Satarnani I dan Satarnani II. Penggalian dilakukan juga di kawasan Bohorwani dan Golowiwit. Setelah warga dan para tetua adat protes, barulah terjadi musyawarah. Akhirnya, dalam pertemuan adat, perusahaan diputuskan bersalah dan harus membayar denda adat.

Melalui denda adat, mereka diharuskan menyediakan jenset untuk penerangan, membangun rumah gendang yaitu rumah adat, membuat jalan dari mata air ke rumah adat, menyediakan bahan untuk upacara syukur padi, yang biasanya dilakukan dua kali setahunnya.

Sayangnya denda adat yang tak seberapa untuk ukuran PT Arumbai, tak pernah dibayar lunas. Rumah gendang baru dibangun dan jenset baru disediakan setelah warga berdemo ke DPRD Manggarai. Yang lainnya? Tak tahu lagi warga, bagaimana harus menuntutnya.

Itu belum termasuk sawah-sawah yang rusak tertimbun batu dan tanah sampah mangan, yang ganti ruginya tak kunjung dibayar perusahaan. Sawah-sawah juga kesulitan air, karena sungai kecil yang mengairinya telah mati kekeringan. Hutan di hulunya sudah gundul, juga karena tingkah perusahaan.

Denda adat tak membantu. Puncak gunung di kawasan lingko Lolok yang dulu hijau, berubah gundul, gersang, berdebu. Juga berlubang. Waktu hujan mengguyur, lubang-lubang itu menjadi danau sepi tanpa kehidupan. Padahal daerah puncak itu merupakan kawasan larangan, semacam kawasan suci yang terlarang untuk sembarang kegiatan, yang karena itu mereka bisa terus memperoleh air.

Dari gunung, “celaka” itu terus menggulir ke perkampungan di bawahnya. Waktu musim hujan, sawah dan kebun penduduk penuh genangan lumpur hitam. Lumpur itu tadinya sampah mangan yang ditimbun yang kemudian meluncur mengikuti air hujan. Komplit sudah kerusakan di sana, dari hutan, sungai, sumur, juga sawah, juga ladang.

“Dulunya, sebelum perusahaan datang, tiap keluarga di lingko menghasilkan sekitar 30 karung padi ladang, dan bisa 3000 ikat jagung. Sekarang, 10 karung padi saja syukur, kalau jagung malah bisa kosong” geram Remigius Jameon, mewakili kegeraman warga lainnya.

***
Bukan dengan warga saja PT Arumbai memiliki masalah, karyawannya sendiri merasa menderita bekerja di situ. Enam tahun lalu, dua ratusan buruhnya mogok kerja menuntut alat kerja yang lebih sehat dan aman seperti masker, helm, kaos tangan dan sepatu kerja. Juga mereka meminta kenaikan gaji dan uang makan.

''Kami disuruh membeli masker sendiri. Mana kami mampu! Sesekali ada dokter yang datang memeriksa, tetapi bila sakit kita urus sendiri,'' ujar seorang pekerja tetap. Setiap bulan gaji yang ia bawa pulang sebesar 200 ribu rupiah. Jumlah yang terlalu kecil. Buruh harian di situ juga mendapatkan upah yang minim betul, hanya sembilan ribu rupiah per harinya. Semua uang
yang mereka terima setiap bulan dari perusahaan, manalah cukup menutupi kebutuhan hidup, belum lagi biaya menjaga kesehatan atau berobat jika sakit.

Sewaktu mendengarkan keluhan Nelly, salah seorang warga yang bekerja di perusahaan yang juga menjadi koordinator buruh perempuan, soal bagaimana perusahaan menghargai keringat mereka, sulit menampik untuk membenarkan mereka mogok bekerja.
“Sepuluh tahun saya bekerja di PT. Arumbai, hanya pas membiayai makan-minum, tidak cukup untuk tabungan, apalagi membangun rumah yang baik.”
Rumahnya di seberang kali, atap dan dindingnya masih dari Sante atau Bambu.

"Masyarakat gantung periuk nasi di perusahaan. Dulu kami bisa hidup sehat dan panjang. Tetapi sejak perusahaan datang, sudah tidak bisa lagi."

Ada juga Melti yang baru dua tahun bekerja di PT AMB. Menurut Melti, buruh perempuan bekerja dengan fasilitas sangat minim dan beresiko. “Kami mendapat satu masker setiap tanggal 10, pembagian berikutnya tanggal 20. Begitu setiap bulannya. Artinya satu masker harus dipakai dalam 10 hari”, ujar Melti. Padahal setiap hari mereka memilah batuan mangan, yang tentunya akan menghirup debunya.

Mereka sendiri sebenarnya telah berkali-kali mengeluhkan hal itu dan menyampaikannya kepada perusahaan. Tapi perusahaan tidak menanggapinya, bahkan terkesan menghindar untuk membicarakannya.

Negosiasi selama empat jam mengakhiri aksi mogok itu. Sebulan waktu yang diberikan pada perusahaan untuk menjawab tuntutan tersebut. Tak semuanya dipenuhi, termasuk perubahan status buruh harian lepas menjadi tetap.
“Sejak itu, gaji kami naik,”

Tahun kemaren mereka bisa mendapatkan gaji hingga 22 ribu rupiah per hari, ada tambahan Rp 6.600 per jam jika lembur.

***

Hari Sabtu, biasanya buruh diliburkan. Di hari itu dinamit-dinamit dipasang, lalu diledakkan sehingga memecahkan batuan mangan. Suara ledakan yang berasal dari bukit dan gunung itu terus bersambung dari pagi sampai sore. Suara itu beserta guncangannya bisa dirasa oleh mereka yang tinggal di Reo, yang jaraknya 6 kilometer dari lokasi tambang. Kadang jika dibutuhkan, peledakan dilakukan pada hari kerja, senin dan rabu.

Ledakan biasanya disertai semburan debu. Setelah diledakkan, batuan dipindahkan ke atas truk-truk raksasa yang sanggup menggendong 15 ton batu mangan. Sewaktu truk melintasi jalan, getaran yang keras terasa, sambil meninggalkan debu-debu yang beterbangan.

Dari puncak gunung, batu mangan diangkut truk menuju Sirise. Di sana bebatuan itu akan diproses lagi. Turun dari truk, batuan dibor agar ukurannya lebih kecil. Lantas diletakkan di atas eskavator, alat ini mirip meja panjang yang berjalan. Disinilah buruh perempuan berdiri di kanan dan kiri eskavator, mengambil dan membuang batu gamping dan batu lainnya, memisahkannya dari bijih mangan. Pemisahan dilakukan hingga dua kali. Lalu, bijih mangan beraneka ukuran itu diangkut ke pelabuhan Sirise, ditimbun disana, sesuai ukuran yang sama, hingga jumlahnya mencukupi untuk diangkut tongkang ke luar negeri.

Debu-debu hitam yang berterbangan sejak penggalian, pengangkutan, hingga pemisahan bijih mangan inilah yang diprotes warga.

****
Sekitar 90% unsur mangan dunia digunakan untuk peleburan logam (metalurgi), proses produksi besi-baja. Sedang 10 persen sisanya antara lain untuk produksi baterai kering, keramik, gelas, dan kimia.

Dalam tubuh kita sendiri secara alami menggunakan mangan untuk metabolisme. Ion-ion mangan baik agar glukosa, atau zat gula, di dalam tubuh bisa bekerja. Tentu saja, ada batas tertentu yang bisa diterima tubuh kita sehingga mangan tetap bermanfaat. Jika berlebih banyak, ia sanggup merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker pada manusia, hewan dan tumbuhanmelalui rantai makanan (food chain).

Sementara di Sirise, warga disana sudah terlalu berlebihan mengonsumsi mangan karena kegiatan penambangan. Mangan itu masuk melalui udara yang mereka hirup, air yang mereka minum hingga nasi yang mereka makan.

Dalam suratnya kepada Komnas Perempuan, mereka melaporkan gangguan kesehatan yang baru mereka rasakan setelah tambang beroperasi. Mulai batuk pilek, susah tidur, gangguan sesak napas ringan hingga berat, batuk berdarah, dada bagian kiri sakit, diare berlendir dan berdarah - warga menyebutnya “keluar WC darah”. Bahkan ada balita yang mulai menderita tumor di kemaluannya.

Salah satunya, Tadeus Nasor, 55 tahun, yang mengeluarkan darah setiap kali ia batuk atau buang air besar. Nasor bekerja di PT Arumbai sejak tahun 1995 hingga sekarang. Ia sempat dirawat di RSUD Ruteng, sebelum dokter menyarankan berobat ke Kupang atau Denpasar. Sayang, Nasor dan keluarga terpaksa tak mengindahkan saran itu, tak cukup uang.

Penyakit yang sama juga diderita Inhol Jahudin. Di malam hari, mereka menjadi sulit tidur dengan nafas terasa sesak. Dan penyakit ini bukan saja menyerang laki-laki, perempuan pun tak luput. Rosalita Mita, 38 th, mengaku tersiksa dengan batuk kering, bagian dadanya terasa sakit, sesak nafas dan susah tidur di malam hari. Tetangganya, Ibu Maria - juga menderita serupa.

Tak ketinggalan pula anak-anak. Laweriana Yormika yang berumur 10 tahun, siswa kelas 3 Sekolah Dasar Luwuk, menderita sakit dada dan sesak nafas di malam hari. Noviana Adi juga begitu, menderita batuk keluar dahak bercampur darah dan sesak nafas, tiga tahun ia lebih tua dari Yormika. Dan terasa semakin miris rasanya sewaktu melihat Tian, lengkapnya ia bernama Kristiani Tian, umurnya baru 3 tahun 4 bulan, tetapi sudah menderita sesak nafas yang akut, dan tumor di kemaluannya.

“Meski sejak lama ada pertambangan di sini, manfaatnya tak ada. Warga tidak pernah mendapat pengobatan gratis. Jangankan Puskesmas, Puskesmas pembantu pun tak ada. Untuk berobat kami harus datang ke Reo atau Dampek, 12 km dari kampung ini,” kata Maria Mene.

Selain tujuh orang di atas, saat ini terdapat sebelas warga lainnya yang melaporkan masalah gangguan kesehatan serupa. Dan bisa dipastikan ini semacam puncak gunung dalam lautan, bagian terbesarnya masih belum terlihat.

“Kami pernah mengeluh tentang kami punya kehidupan untuk masa depan, tapi pihak perusahan tidak pernah menjawab keluhan kami. Menurut pihak perusahan itu bukan urusan mereka, tapi itu urusan pemerintah karena perusahan sudah bayar semuanya kepada pemerintah,” tambah Maria.

****

Dalam satu kali pengangkutan mangan keluar negeri, pemda Manggarai mendapatkan pemasukan Rp. 66,4 juta. Untuk jumlah tersebut, mereka rela mati-matian membela perusahaan.

Di media lokal - bulan Februari lalu, Kadis Pertambangan dan Energi Pemda Manggarai - Ir. Ngkeros Maksimus menyatakan “PT Arumbai selalu berusaha memenuhi dan memperhatikan kebutuhan warga. Misalnya dengan memberi dua unit jenset, menggali dua sumur, membuka jalan, mendirikan rumah gendang, kapela serta bantuan pukat untuk nelayan. Pihak perusahan selalu berusaha memenuhi kebutuhan warga.“ Disana, warga menyebut gereja kecil dengan nama
kapela.

Pernyataan Ngkeros dibantah warga. “Kami tak pernah mendapat jenset, tak ada listrik di kampung kami, apalagi dibangunkan kapela. Kami harus pergi ke Reo untuk beribadah. Ada 6 keluarga menggunakan jenset milik pribadi
untuk listrik, sisanya menggunakan pelita minyak. Sumur sudah ada sebelum PT Arumbai masuk. Bantuan pukat memang ada. Tapi terpaksa kami terima karena ladang kami tak bisa ditanami, banyak warga yang beralih menjadi nelayan,” bantah Nelly.

Soal jalan, menurut warga PT Arumbai hanya merapikan jalan tanah berbatu kasar, selebar ukuran truk perusahaan. Sebenarnya PT Arumbai jyang paling banyak menggunakan jalan itu menjadi jalan utama perusahaan dari lokasi penggalian menuju tempat pengolahan. Tak begitu banyak warga yang menggunakan jalan ini, tak ada kendaraan umum yang rutin melintas, sementara sedikit sekali yang memiliki kendaraan pribadi. Jangan berharap nyaman berjalan kaki dijalan ini, setiap kali ada truk melintas selalu menyisakan debu.

Air bersih? Sirise dan lingko Lolok telah bercerita tentang sumber air mereka yang tercemar mangan. Sementara di kampung tetangga – Luwuk, perempuan harus antri beberapa jam membawa jerigen dan timba, untuk bisa menampungi air yang mengalir pelan dari sebuah pipa. Tidak ada bak penampung air di situ. Mereka yang tidak sabar biasanya memilih bergegas ke mata air, dan untuk itu habislah beberapa jam waktu mereka.

Soal Pendidikan? Sekolah Dasar I Luwuk. Satu-satunya sekolah yang terdekat, 60 anak berasal dari Sirise dan Luwuk belajar di situ. Empat orang tenaga pengajar SD Luwuk dibayar melalui dana BOS. Sekolah ini dibangun pemerintah tahun 1982, tujuh tahun kemudian direhablitasi. Tambahan ruangan baru dibangun berturut-turut dari tahun 2002 dan 2007. Semuanya dana ditanggung pemerintah.

Tak ada rupiah dari perusahaan untuk memperbaiki bangunan sekolah itu. Tak ada sedikitpun bantuan untuk hadirnya buku-buku bermutu. Tak sedikitpun bantuan bagi guru-guru di sana untuk maju. PT Arumbai? Ya, secuilpun mereka
tak pernah berniat ingin mencerdaskan anak-anak di sana, kecuali satu, menambang mangan.

Semakin sulit saya menemukan bukti jika pertambangan membawa kesejahteraan bagi orang-orang lokal, seperti yang dilaporkan anggota DPD NTT ini. Apa yang diperbuat perusahaan tambang persis politisi, menebar janji di awal, lalu mengingkarinya saat berkuasa.

Pertambangan membuka isolasi suatu wilayah sambil membawa peradaban baru yang lebih baik. Berbagai fasilitas publik akan dibangun, sekolah, air bersih, puskesmas bahkan perumahan, dan tempat hiburan. Begitu lagu lama yang selalu disampaikan pelaku pertambangan, diikuti koor ,“amin,” dari pemerintah dan kadang cerdik pandai kampus.

Kenyataan di kampung Sirise, lingko Lolok dan Luwuk - membuktikan
sebaliknya. Dan banyak di tempat lain juga begitu. (JM)

SELAMAT TINGGAL, BANDENG PRESTO, SEKAMAT DATANG BAYI-BAYI RADIO AKTIF

Dampak rutin dan akumulatif akibat pengoperasian PLTN
di Semenanjung Muria yang nyaris terlupakan

Oleh : George Junus Aditjondro[1]

tulisan ini karya besar George J Aditjondro. Sangat penting untuk diketahui bersama. Untuk itulah, tulisan beliau saya tempatkan di Blog ini. Makasih banyak Bang George..
Tulisan ini dibuat dan disajikan dalam Dialog & Mubahatsah 'Alim Ulama se-Jawa Tengah mengenai PLTN Muria menurut perspektif Fiqih, diselenggarakan PCNU Jepara-Kudus dalam rangka Harlah NU Ke-81 di Jepara, hari Sabtu, 1 September 2007.


SYUKUR ALHAMDULLILAH, saya ucapkan atas undangan PC NU Jepara, untuk ikut meramaikan acara Dialog dan Mubahatsah Alim Ulama se Jawa Tengah di Jepara. Dengan demikian, saya bisa bersilaturahmi dengan para Nahdliyin se Jawa Tengah, khususnya dari kawasan Jepara, Kudus, Pati dan Rembang, lengkapnya dari seluruh Semenanjung Muria, yang mendapat kehormatan dari para penguasa di Jakarta untuk menjadi tapak PLTN pertama yang mau dibangun oleh orang-orang pintar dari Jakarta.

Saya bersyukur, karena dengan demikian dapat kembali memperkuat gerakan anti-PLTN yang dicetuskan oleh WALHI di tahun 1980, 27 tahun lalu. Saya bersyukur, karena dengan menghadiri acara di pantai barat Semenanjung Muria ini, saya dapat menggenapi pelebaran sayap gerakan ini di Muria, yang saya mulai bersama kawan saya, M. Nasihin Hasan, sekarang Ketua Lakpesdam NU Nasional, yang waktu itu selain menjadi Direktur LP3M, juga menjadi Ketua Presidium WALHI, di mana saya menjadi Wakilnya. Kami berdua memulai gerakan penyadaran masyarakat di kampung orangtua Mas Nasihin Hasan di Rembang, di pantai timur Semenanjung Muria.

Mari kita kembali ke orang-orang pintar dari Jakarta, yang mau membangun PLTN ini. Mereka memang pintar, karena tahu seluk beluk membangkitkan tenaga listrik dari turbin yang digerakkan oleh uap dari air yang direbus oleh panas yang timbul akibat terurainya proton dan elektron dari atom-atom uranium di isotop sekecil isi potlot di reaktor nuklir. Sayangnya, orang-orang pintar ini tidak memikirkan akibat perbuatan mereka, khususnya dampak rutin dan dampak akumulatif yang harus ditanggung oleh penduduk di sekitar Semenanjung Muria (lihat Aditjondro 2003). Karena dalam forum ini akan ada sepuluh orang pembicara yang pintar-pintar, termasuk Menteri Negara Riset dan Teknologi, yang menjadi pembicara kunci, maka sebagai pembicara yang nyaris juru kunci, saya akan fokuskan pada salah satu dampak rutin dan salah satu dampak akumulatif pembangunan dan pengoperasian PLTN ini.

Saya memberanikan diri untuk bicara di forum alim ulama yang terhormat ini, bukan karena saya orang pintar di bidang nuklir, tapi juga bukan orang yang kemintar. Saya cuma mau bicara di sini, sebagai orang yang pernah meninjau dampak pembangunan PLTN di Semenanjung Bataan, Filipina, dan di Teluk Veracruz di Mexico. Kita perlu belajar dari pengalaman tragis bangsa Filipina, yang harus membayar hutang pembelian reaktor nuklir sebanyak 2,3 milyar dollar kepada maskapai Westinghouse di AS, walaupun tidak sampai menghasilkan satu Watt listrik buat rakyat Filipina, setelah pemerintah Corazon Aquino, menghentikan pembangunan reaktor nuklir itu, yang dibeli oleh Ferdinand Marcos, untuk keuntungan kroninya, Hermano Disini (Eurodad 2007).

DAMPAK RUTIN: POLUSI AIR PANAS.
TENTU saja, yang pertama kali dan seterusnya paling menderita dampak pembangunan sebuah reaktor nuklir, adalah para nelayan di sekeliling Semenanjung Muria. Sebab pada saat tapak nuklir seluas belasan, mungkin puluhan hektar, diratakan untuk pembangunan reaktor nuklir, menara pendinginnya, dan semua bangunan pelengkapnya, termasuk gardu listriknya, ke mana larinya tanah hasil perataan perbukitan di Desa Balong? Tentu saja ke laut, sebab laut, bagi banyak orang, memang keranjang sampah terbesar ciptaan Tuhan buat orang-orang malas yang tidak menghargai kebersihan. Nah, lumpur ribuan ton itu akan menghancurkan karang-karang di tepi pantai, tempat bersembunyi ikan-ikan yang juga harus bobo di malam hari.

Ikan-ikan yang selamat dari perataan tanah buat kompleks PLTN itu, menghadapi ancaman berikutnya: polusi air panas. Setiap pembangkit listrik yang menggunakan tenaga uap untuk menggerakkan turbin yang satu sumbu dengan generator listrik, selalu memerlukan menara pendingin uap panas itu. Kalau tidak, pembangkit tenaga listrik itu bisa meledak saking panasnya. Untuk itu, selain melalui menara pendingin, yang prinsip kerjanya sama seperti reaktor dalam mobil, uap yang telah berubah bentuk menjadi air panas perlu dikembalikan ke alam. Makanya, PLTU dan PLTN, selalu dibangun dekat sungai atau di tepi laut, supaya berjuta-juta liter air panas itu bisa dibuang ke sungai atau laut. Dari situlah timbul apa yang disebut polusi air panas (Aditjondro 2003: 221-223).

Nah, air panas yang merupakan produk sampingan PLTU dan PLTN, yang terlalu banyak untuk mendirikan pemandian air panas di Balong, terlalu banyak juga buat nener-nener di perairan sekeliling Semenanjung Muria, yang dicari oleh petani tambak di sekeliling Muria untuk menghasilkan ikan bandengnya. Bandeng yang selanjutnya dilego ke Juana untuk dijadikan bandeng presto.

Makanya, yang secara rutin akan menderita kerugian ekonomis dari pengoperasian PLTN Muria adalah para nelayan pengumpul nener bandeng, para petani tambak, para produsen bandeng presto, dan akhirnya, toko-toko bandeng presto di sepanjang Jalan Pandanaran, di kota Semarang. Itulah sebabnya, mengapa saya katakan: Selamat Tinggal, Bandeng Presto! di judul makalah saya.

DAMPAK AKUMULATIF: BAYI-BAYI RADIO-AKTIF.
WAKTU reaktor nuklir di Chernobyl, waktu itu masih termasuk Uni Soviet, meledak, karena macetnya sistem pendinginan reaktor itu, bukan cuma orang di Uni Soviet yang terkena dampak radio-aktifnya, tapi juga orang-orang di Jerman (saya lupa, Timur atau Barat). Soalnya, debu radio-aktif yang dibawa angin di udara, akhirnya jatuh ke rumput-rumput hijau di Jerman. Rumput hijau dimakan oleh sapi perah, dan susu sapi itu diminum oleh manusia. Bagaimana akibatnya kalau manusia terlalu banyak minum susu yang radio-aktif, tanya saja pada pak Iwan Kurniawan dan pak Budi Widianarko, ahli fisika nuklir dan biologi lingkungan yang satu panel dengan saya.

Semenanjung Muria, sependek pengetahuan saya, tidak terkenal sebagai daerah sapi perah. Itu harus ke Boyolali, dekat Salatiga, di mana saya sering minum susu sapi segar sebelum saya terpaksa hijrah ke Australia. Tapi radio-aktifitas dari PLTN Muria, bisa juga mempengaruhi kesehatan penduduk di sini, walaupun tidak melalui susu sapi. Sebab bayi-bayi di sini, masih banyak yang minum air susu ibu (ASI), kan? Walaupun kadang-kadang harus berebutan dengan bapaknya.

Nah, kalau tanaman dan hewan di sekeliling PLTN Muria tercemar radio-aktivitas, maka secara akumulatif, lewat susu ibu, bayi-bayi di Semenanjung Muria akan mendapatkan dosis radio-aktivitas yang melewati ambang batas. Boleh jadi, bayi dan balita di Semenanjung Muria akan menjadi semakin hiper-aktif, sebab coklat saja sudah dapat membuat bayi dan balita hiper-aktif, apalagi radio-aktivitas bocoran dari reaktor nuklir. Mudah-mudahan saja, BATAN akan menciptakan lapangan kerja khusus bagi bayi-bayi radio-aktif dari Muria, sebagai perwujudan dari tanggungjawab sosial mereka.

TITIKRAMA ORDE BARU
MENYADARI hal-hal di atas ini, serta berbagai pertimbangan lain yang sudah diungkapkan oleh pembicara-pembicara lain sebelum dan sesudah saya, dapatlah kita fahami penolakan masyarakat Semenanjung Muria, khususnya lagi di Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, terhadap pembangunan PLTN ini. Makanya, mengherankan sikap Polres Jepara, yang memanggil Setyawan Sumedi, Koordinator Persatuan Masyarakat Balong (PMB), pasca demo besar-besaran menolak rencana PLTN Muria di desa itu (Suara Merdeka, 7 Agustus 2007).

Semestinya BATAN lah, atau Menteri Ristek sekalian, yang dipanggil ke Mabes Polri, untuk menjelaskan mengapa pemerintah tetap mau ngotot membangun PLTN itu, gagasan peninggalan Menteri Ristek BJ Habibie yang kini dihidup-hidupkan kembali. Ataukah ini menunjukkan, bahwa rezim Orde Baru tidak pernah mati, tapi hanya bermetamorfosa, bertitikrama, menjadi rezim baru yang tetap mau mewujudkan impian-impian lama?

Titikrama Orde Baru ini dapat dilihat dari siapa yang sudah menyatakan minat untuk membangun PLTN Muria ini, kapan pernyataan itu dibuat, dan pada kesempatan apa. Maskapai penghasil migas swasta terbesar di Indonesia, Medco, telah menyatakan minatnya untuk membangun PLTN Muria. Saat kunjungan tiga hari Presiden SBY ke Seoul, Korea Selatan, akhir Juli lalu, Medco Energi Internasional dan Korea Hydro and Nuclear Power Co Ltd menandatangani perjanjian awal untuk pembangunan reaktor tenaga nuklir, dengan kontrak senilai 8,5 milyar dollar AS (sekitar Rp 78,5 trilyun). Kontrak itu ditandatangani di hadapan Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro di Seoul, hari Rabu, 25 Juli lalu. Seolah-olah sudah diangkat menjadi jurubicara Medco, Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa batas waktu pembangunannya sudah ditetapkan pada tahun 2016, dan reaktornya dijadualkan akan mulai beroperasi pada tahun 2017 (Suara Merdeka, 26 Juli 2007).

Model-model menandatangani kontrak dengan perusahaan asing, di saat-saat mendampingi Kepala Negara dalam muhibahnya ke luar negeri, memang merupakan salah satu modus operandi bisnis yang dekat dengan kalangan Istana. Memang, Medco dibangun oleh Arifin Panigoro di masa-masa jaya Soeharto, antara lain dengan merangkul besan Soeharto, Eddi Kowara Atmawinata, mertua Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut (Aditjondro 2006: 26, 288, 364-5, 405, 411-2, 443-4, 451).

Pasca Soeharto, Arifin mula-mula mendekat ke Amien Rais, lalu setelah kelihatan bahwa kans Amien Rais untuk menjadi Presiden pengganti Habibie sangat kecil, ia mendekat ke Megawati Soekarnoputri dengan masuk ke PDI-P, dan perhitungannya kali ini tepat. Setelah popularitas Megawati merosot, ia keluar dari PDI-P, dan bersama Laksamana Sukardi, mendirikan partai baru. Boleh jadi, ia sekarang sedang mendekat ke SBY, sambil melihat-lihat, apakah SBY akan berhasil merebut masa jabatan kepresidenan yang kedua, atau tidak.

Medco Energi Internasional yang sudah teken kontrak dengan maskapai Korea di atas untuk membangun PLTN di Muria, memang sedang melakukan diversifikasi dari pertambangan migas, ke proyek-proyek energi yang lain. Di Batam, Medco memiliki dua perusahaan pembangkit tenaga listrik, yakni PT Mitra Energi Batam yang mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Panaran I Batam yang sejak 2004 membangkitkan 2 x 27,75 MW, dengan nilai investasi US$ 30 juta; dan PT Dalle Energy Batam yang membangun PLTG Panaran II Batam dengan kapasitas 2 x 27,75 MW pula (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007: 31).

Itu belum semua. Medco juga pemilik 5% saham PT Energy Sengkang yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Sengkang di Sulawesi Selatan yang berkapasitas 135 MW. Baru-baru ini, Medco telah ditunjuk untuk mengoperasikan dan memelihara PLTU Tanjung Jati B dengan kapasitas 2 x 660 MW. Kemudian, bersama Ormat International Inc. dari AS dan Itochu Corp. dari Jepang, Medco juga telah menyatakan minatnya untuk membangun Pembangkit Tenaga Listrik Panasbumi di Sarulla, Sumatera Utara, dengan kapasitas 330 MW (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007, hal. 31-32).

Makanya, dari sudut logika bisnis, PT Medco Energi Internasional Tbk yang telah menjual 19,97 % sahamnya kepada Mitsubishi Corporation dari Jepang (Kompas, 27 Agustus 2007), masuk akallah bahwa perusahaan yang dipimpin oleh Hilmi Panigoro, adik kandung Arifin Panigoro, kini berusaha masuk ke pembangkitan listrik tenaga nuklir. Iming-imingnya kepada calon konsumennya, adalah bahwa harga listriknya bisa US$ 3 sen per kWh, lebih rendah dari pada harga listrik yang dihasilkan oleh PLTU atau PLTGU. Namun diakui oleh Hilmi Panigoro, bahwa “mendapat dukungan dari masyarakat adalah tantangan utama yang harus kita hadapi” (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007: 32).

TOLAK PLTN!!!
DARI uraian di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa rencana pembangunan PLTN, bukanlah karena krisis tenaga listrik yang sering didengung-dengungkan, sebab dengan berbagai pembangkit yang ada terutama PLTA, PLTU, dan PLTGU ­ kebutuhan listrik untuk industri dan rumah tangga di Jawa sudah dapat terpenuhi. PLTU dan PLTGU, juga tidak akan menambah ketergantungan kita pada bahan baku dari luar negeri, sebab batubara dan gas kita berlimpah. Sedangkan untuk keperluan PLTN, kita harus mengimpor uranium dari Australia, untuk dijadikan isotop yang ‘dibakar’ di dalam reaktor PLTN, yang menimbulkan permasalahan baru lagi, yakni pengamanan limbah nuklirnya.

Jadi sebenarnya, pembangunan PLTN lebih merupakan ambisi kaum pengusaha yang dekat ke Istana, atau mendekat ke Istana, dengan menawarkan iming-iming dukungan buat Pemilu dan Pilpres 2009. Sementara dampaknya, begitu banyak, dan sangat sulit dikendalikan. Karena itu, mengutip kata penyair Wijih Tukul, menghadapi rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria ini: Lawan!

Yogyakarta, 31 September 2007.

Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (2003). Korban-korban pembangunan: Tilikan terhadap beberapa kasus perusakan lingkungan di tanah air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagian II: Dilema Seputar Pembangunan PLTN, hal. 105 s/d 272.
--------------- (2006). Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkaki tiga: Istana, tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: LkiS.
Eurodad (2007). Skeletons in the cupboard: Illegitimate debt claims of the G7. Brusssels: Eurodad.

Friday, June 29, 2007

DETIK2 TERAKHIR MENJELANG IPC

Panikkk.. semua serba sibuk. Kurang dari 24 jam hajatan rakyat yang dikelola WALHI akan berlangsung. Sebagian besar peserta telah dalam perjalanan menuju Ibu Kota Negara RI. Naik bus, kereta atau kapal laut. Sedangkan yang menggunakan jalur udara, besok pagi mereka baru berangkat.

Tanpa muka2 layu para volunteer yang bekerja keras menyiapkan pesta rakyat ini. Suara keras menggelegar, atau kadang tawa renyah mengiasi hari2 sekretarian panitia di kantor WALHI, Jl. Tegal parang utara 14, Mampang. Umpatan, atau sekedar menggerutu pun menjadi hiasan dari menit ke menit. Namun canda tawa bak menghapus setahun kemarau lewat satu jam hujan. Itulah kesukarelawanan.... bekerja untuk membangun sebuah mimpi.. rakyat harus berdaulat.


yang mengharukan, tidak hanya dari jakarta yang bergerombol secara sukarela, bersama2 menyiapkan pesta rakyat ini. Bandung dan bogor ikut merapat. Saat kegiatan, volunteer2 dari pun siap bergabung untuk mensukseskan kegiatan ini. paling tdk, lampung, jambi, jogja telah menyiapkan diri untuk itu.

Sungguh mengharukan dan membanggakan.
Yang menyedihkan justru pembuktian kalau Dept. Agama adalah institusi negara yang terkorup. Penggunaan asrama haji, sebagai sarana publik betul untuk kegiatan ini betul2 dimanfaatkan. Ruang pertemuan dengan kapasitas 1.500 orang hanya disediakan kursi 150 biji. jika mau nambah.. sewa. Lapangan parkir pun dihargai permeter. Belum lagi komitmen yang gak pernah bisa dipegang. siapa mampu membayar lebih, dialah yang akan terfasilitasi dengan baik. sungguh menyedihkan. sebuah institusi yang konon dibuat untuk mendekatkan diri kepada illahi, justru menjadi media yang menjauhkan dari sang maha pencipta.

Seberapa siap kita mampu mengelola even sebesar IPC?
Pertanyaan ini akan terjawab dari mulai 30 Juni - 3 Juli 2007. Even yang akan dihadiri 1.700 orang ini akan membuktikan, kemampuan WALHI dalam mengelola sebuah rapat akbar masyarakat sipil. even yang diharapkan akan mampu menghasilkan berbagai resolusi, deklarasi dan rencana aksi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana.

Satu tekad yang masih terus bertahan dan akan terus dipertahankan...
Mendorong kedaulatan rakyat tidak hanya sekedar jargon...

terimakasih kawan2 volunteer WALHI. Tidak akan pernah diragukan komitmen kalian untuk WALHI. Bukan.. bukan untuk WALHI, tapi untuk mimpi besar bersama...
Rakyat terlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana.....

Monday, June 25, 2007

KETIDAK PEDULIAN & KERENTANAN BENCANA

"Yang mampu menyelesaikan masalah yang ada di Negeri ini adalah rakyat itu sendiri"..
Rakyat sendiri???? bisakah? bukankah pemerintah dibentuk untuk melayani warga negara. warga negara berarti ya rakyat itu sendiri. Lha kok malah rakyatnya yang harus menyelesaikan sendiri. Lalu fungsinya pemerintah apa? Bukankan mereka menerima segara fasilitas dari dan atas nama rakyat untuk menjalankan mandat itu.

Tapi kalau dipelototin dengan baik dan benar... itulah yang terjadi. tidak akan pernah terjadi sebuah perubahan kalau si rakyat tidak menginginkan perubahan tersebut. Gak akan pernah... dan gak pernah ada sejarah mencatat kalau perubahan itu datang dari sang pegawai negara.
Kekuasaan itu cenderung korup. atau lebih tepat... kekuasaan itu menghantarkan orang baik jadi jahat..
betulkah???

Indonesia, sebagai negara terkorup membuktikan itu. Logikanya, untuk menjadi seorang pegawai negara, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Paling enggak.. untuk penerimaan pegawai negara republik indonesia, secara terbuka dipatok antara Rp. 40 jeti. Tidak semua sih... ada beberapa gelintir yang memang menjadi pegawai negara tanpa harus menjual sawah, menjual ternak atau ngutang ke sanak saudara. tapi prosentase... kecccciiiilllllll.

Kondisi ini gak perlu pembuktian kan. karena memang udah bukan rahasia umum.
Jangankan untuk jadi pegawai negara, yang terjamin kehidupannya lewat pensiun. Untuk masuk sekolah SD, ngurus KTP, bahkan surat keterangan kehilangan dan kematian, kita perlu merogoh kocek. Untuk bekerja biar aman gak terganggu, pun dibutuhkan sogokan. uang keamanan bilangnya.

Korupsi dan Kerentanan Masyarakat
Sudah jelas, sangat erat kaitannya korupsi menciptakan kerentanan. Akibat korupsi yang telah mendarah daging, maka terjadi kerentanan warga negara. Apalagi tingkat kerawanan kawasan yang sangat tinggi di negeri ini. Bukan rahasia umum jika negari ini dilewati cincin api atau kerennya ring of fire. Adalah fakta juga kalau negari ini dihimpit tiga lempeng bumi aktif yan g saling menekan. So.. gempa dan tsunami serta erupsi gunungapi merupakan realitas akan dihadapi. topografi yang bergunung2 dengan jenis tanah yang beragam pula menyimpan ancaman lain. Ditambah dua musim yang mencengkram negari ini. Banjir, longsor, wabah pun menjadi keniscayaan.

Apa hubungannya dengan korupsi? Pengabaian dan ketidak pedulian atas potensi ancaman yang ada karena korupsi. Para pengambil kebijakan seharusnya tahu implikasi dari kebijakan yang dikeluarkannya. Namun kerena pelicin yang diterimanya, mengabaikan risiko dan dampak yang akan terjadi. Pemberian izin pemanfaatan hutan (HPH) misalnya. Apakah mereka yang diberi wewenang ngurus hutan buta tuli jika eksploitasi hutan dilakukan? Apalagi secara besar2an. Apakah mereka juga gak paham jika pembukaan hutan untuk perkebunan sawit akan menciptakan bencana?
Demikian juga dengan kebijakan lain. Tambang, tata ruang, kelautan atau air dan tanah. Tidak tahu, tidak peduli atau...????

Tidak ada yang tidak selesai dengan uang. Semakin berisiko maka semakin besar sogokan yang harus dikeluarkan. Sogokan akan bertambah jika dampak yang dihasilkan telah berbuah bencana. karena akan muncul pemeras2 lain dengan mulut penuh liur. penegak hukum. Industri media pun kadang ikut bermain jika gak tahan godaan. Preman2 pun akan ikut hajatan ketika tekanan semakin besar.

Wuihhhhh.... gak peduli, bencana yang tercipta telah menyengsarakan 10, 100, 1.000, 10.000 atau 1.000.000 bahkan lebih. Gak penting.. toh dia dan keluarganya gak kena. sekalipun kena... yang penting tidak terkena untuk dirinya sendiri. Bahkan bisa menciptakan keuntungan baru. Itulah wajah rakyat kita.

Ketidak pedulian atas kehidupan kolektif inilah yang menyebabkan negari ini terus terkungkung dalam derita. Tidak peduli atas nasib yang menimpa orang lain dan membiarkan mereka berjuang hidup sendiri. Ketika mereka yang tergusur, menderita dan sekarat melakukan protes, yang muncul justru cibiran. Bahkan umpatan karena membuat perjalanannya terganggu (macet boooo karena ada aksi demonstrasi).

Mengapa begitu sulit menghimpun kekuatan kolektif rakyat. Padahal.. secara kongrit, mereka pun bagian dari korban dari sistem, korban dari kebijakan dan korban perampasan hak. hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan kesehatan, hak mendapatkan air bersih, hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan hak mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari ancaman bencana.
Tidak merasa atau takut.. atau memang tidak peduli.. asalkan tidak menimpa dirinya sendiri.

Friday, June 22, 2007

BERJUANG YUUUUU.... BUT FOR WHAT?

"hidup adalah perjuangan.. perjuangan butuh pengorbanan. takut berkorban, jangan berjuang. takut berjuang.. jangan hidup".
begitu kira2 ungkapan spirit anak2 muda tahun 1980-an. Paling gak, ungkapan itu begitu populer dikalangan anak2 smu zamanku dulu. Begitu populer karena hampir ditulis ditiap buku pelajaran. entah nulisnya saat iseng, ngantuk menghadapi ocehan guru fisika, atau jengkel karena diputusin pacar. atau mungkin juga saat melawan rasa frustasi karena ditolak cintanya sama sang pujaan hati. whatever lah????

Berjuang... berjuang ayo berjuang...
Berjuang yang seperti apa? berjuang untuk apa?

Banyak orang sekarang mempertakan makna perjuangan. Berjuang untuk apa lek? Pikir dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain?
Jelas berbeda ketika sebelum taon '45, begitu telanjang makna dari perjuangan. Panggul senjata (sekalipun cuma banu runcing), atau menyiapkan logistik untuk para petempur (aku lebih suka menggunakan kata itu, karena para ibu yang menyediakan makanan, yang menyembunyikan para petempur dan alat2 perang juga pejuang kan???)
Makna tersebut tentu masih relevan kalau di Irak, Afganistan, atau Timur Tengah yang bergolak).

Sayup-sayup syair lagu darah juang mengalun. Semakin lama semakin jelas. Nyala semangat sekelompok orang jelas terlihat. Terik matahari diabaikan. Hujan pun tak menyurutkan mereka untuk membubarkan diri. Suara lentang penuh semangat pun merobek hiruk pikuk lalu lalang lalu lintas. "Hancurkan tirani, Gayang keangkuhan... Turunkan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat". "Perjuangan ini belum selesai kawan.. tak surut langkah sebelum cita2 terkabul".

Kata perjuangan atau berjuang kembali mengalun. Bertumburan dengan pertanyaan pasimistis, berjuang untuk apa? berjuang untuk kepentingan siapa? Berjuang atas ajakan siapa?
Sebagai anak muda idealis, pertanyaan pasimistis pasati langsung digasak.
Bagaimana gak, mereka betul2 tulus mengorbankan kepentingannya, keluarganya, lingkungannya... atau bahkan masa depannya. demi sebuah keyakinan. Perubahan hakiki. Perubahan yang gak cuma jargon. gak cuma celoteh merdu para elit yang saat ini menempati berbagai posisi dari perubahan sandiwara.. REFORMASI.

Tapi kadang, nyala api semangat yang membara terlalu polos. Bersih bak kain putih keluar dari pabrik textile. Kepolosan terbungkus gelora semangat dan kadang.. kesombongan. Hingga.. tanpa sadar, mereka kerap menjadi bulan2an si mulut manis kaki tangan para bromocorah politik. Rela mengorbankan semua yang mereka punya, untuk kepentingan sesaat sang aktor.

Guncangan bumi yang tiba2, gelombang pasang air laut masuk daratan, atau matrial perut bumi menenggelamkan ribuan rumah. Ratusan ton matrial atau air menghancurkan kampung.. meninggalkan kepedihan. Tanpa kabar.. tanpa isyarat. Bencana.. begitu tiba2 datang. kemiskinan pun tercipta sebagai dampak terdahsyat. Mereka pun harus berjuang untuk tetap bisa bertahan hidup.

Berjuang... mereka berjuang untuk dirinya sendiri. berjuang untuk keluarganya dan untuk komunitasnya. Jarang ada harapan mereka untuk dapat kembali pada kehidupan sebelumnya. Karena fakta.... mereka akan ditinggalkan setelah gegap gumpita respon darurat. Sementara... para bandit2 berpesta menikmati hak2 warga korban bencana. Langsung maupun tidak langsung. Ini adalah realitas bung.. not dream or illusion. You must ready if you want to live in republic of disaster.

tentu kita masih ingat, bagaimana dana bencana dialihkan untuk asuransi atau perubahan dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Dijadikan pundi2 para wakil rakyat melalui percaloan. Dialihkan untuk pembangunan gedung olah raga atau.... perjalanan dinas. Tentu kita pun masih ingat, bagaimana bencana dijadikan alat untuk mengajukan hutang baru. Membuka ruang untuk memasukan sampah2 tak berguna dengan alasan untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Kembali lagi.. kata berjuang berkumandang. Berjuang untuk siapa? berjuang untuk apa?
Masyarakat bahorok telah lebih dari 2 tahun melantunkan dana sedih. Warga Nabire mencibir atas ketidak jelasan masa depan yang ditawarkan negara. Warga Jogja pun harus puas menciptakan kehidupan bermartabat dengan 15 juta. Pangandaran, Sinjai, Pesisir selatan atau Sumatra Barat. Bahkan banyak warga yang hanya menelan ludah karena sang pembawa mandat gak peduli. Akh... cuma 3 orang yang mati.... busyet dah???

Lalu... apa yang secara hakiki diperjuangkan saat ini? Melawan pembawa mandat negara yang telah berkhianat? atau berjuang melawan apatisme dan egoisme? Untuk siapa?
Tentu untuk rakyat, untuk warga kebanyakan yang tertindas?
Lah... wong yang diperjuangkan (rakyat atau kaum marjinal) aja gak merasakan itu. Buktinya... mereka gak pernah punya keinginan untuk terlibat dalam perjuangan...
Lalu................ kita berjuang untuk siapa ya? atau jangan2, kita ini hanya berhalunisasi... bermimpi sebagai pejuang sejati pada waktu dan tempat yang salah






Wednesday, June 20, 2007

COMMUNITY BASE DISASTER MANAGEMENT.. KERENN!!!

Community Base Disaster Management.. keren ya. Tentu sangat keren segala kata ketika dienggriskan. Kalau di endonesiakan seolah menurun kualitasnya. Itulah hebatnya kata2.. lebih hebat lagi si bahasa penjajah, bahasa kapitalis yang sekarang udah resmi se resmi2nya jadi bahasa internasional. Akan ketinggalan pesawat dalam kehidupan sekarang kalau gak bisa speak2 english. Contohnya gw sendiri.. he. he...
Seolah menjadi orang bodooooooohhhhh banget ketika berhadapan dengan sekelompok orang yang cas cis cus.. sekalipun bule nya cuma satu ekor. 10 ekor lainnya melayu.

Bagaimana dengan substansi itu sendiri. Pengelolaan bencana berbasis masyarakat. Sebuah upaya terpadu, terinternalisasi dalam kehidupan sehari2, secara sadar kritis mengurangi risiko dan dampak bencana. CBDRM memang jadi populer sejak tsunami menggempur Aceh-Nias. Beda banget dengan tahun 90-an, ketika gw mulai belajar sekaligus jalanin di lereng Merapi. Gak banyak bahan bacaan yang siap saji. Ada, eh... pake bahasa kapitalis pula. Jadi harap maklum... kalau bukunya lebih banyak dijadikan hiasan. Belajar dari pengalaman... trial and error ja'e.

Dulu orang berkerut jidatnya kalau mendengar CBDM (sebelumnya belom ada R = risk). Sekarang, wuihhhh... orang begitu antusias lho. Seolah, gengsi kalau dibilang gak tahu tentang CBDRM. kalaupun gak jelas juga, apakah beneran muka berbinar penuh semangat itu dibarengin sama pemahaman dan ketertarikan untuk pengembangan CBDRM. tapi gw sendiri, lebih suka make pengelolaan bencana oleh masyarakat ajah.
Pengelolaan bencana oleh masyarakat beda gak dengan pengelolaan bencana berbasis masyarakat om eyanks? He.. he.. itu yang kerap dilontarkan banyak orang

Bisa beda bisa enggak sih. Tergantung orangnya memahami berbasis itu apa. WALHI sendiri menggunakan oleh untuk menegaskan saja untuk menempatkan masyarakat sebagai subject utama. Dengan menggunakan "oleh", menurut WALHI gak bisa tergantikan. Gak ada justifikasi yang bisa dipake untuk menempatkan masyarakat sebagai simbol. Implikasinya tentu sangat berat. Baik dalam kontek implementasi maupun pembuktian. Tapi itu konsekwensi yang harus diambil ditengah maraknya pengrajin project yang menempatkan CBDRM sebagai issue garapannya.

Masyarakat sebagai perencana dan pelaku

Merencanakan adalah bagian penting dari sebuah aksi. Terlalu banyak orang mengabaikan perencanaan untuk sebuah kegiatan. Bahkan pada orang yang menempatkan perencanaan sangat penting sekalipun. Contohnya ya para aktifis NGELESM itu. Masa iya, mau mengajak demo untuk perubahan kebijakan, hanya didiskusikan 1 minggu, bahkan ada yang cuma dua hari. itu pun kagak intensip. cuma 2 kali rapat ajah. weleh.. weleh..

Sebuah perencanaan pun tidak lepas dari analisis situasi, kecenderungan isu, aktor2 yang berkepentingan atau bahasa kerennya stake holders, kepasitas diri selain kebutuhan2 kenapa sebuah kegiatan dibutuhkan. Selain item2 tersebut, posisi masyarakat lah yang sangat penting. Tidak hanya keterlibatan, tapi masyarakat yang betul2 sebagai pelaku.

Susah lho melibatkan masyarakat sepenuhnya. Bisa dibayangkan, untuk satu desa aja (apalagi kalau di Jawa), bisa ribuan orang. Gimana caranya bisa melibatkan semua? Disinilah letak kecerdasan dan keterbukaan serta kepercayaan dibutuhkan. Kecerdasan artinya harus mempu berfikir, media apa, methode, atau materi apa yang bisa dipake. Juga peluang2 yang paling mungkin digunakan, resources yang dapat dimobilisasi dll. Keterbukaan adalah membuka diri terhadap input dari manapun. Keterbukaan pun harus bersifat aktif. Bukan gaya SBY atau para pejabat negeri ini yang hanya menggunakan "Open House". Kepercayaan, adalah percaya pada proses, percaya dengan individu dan kelompok atau organisasi yang ada.

Struktur dan sistem sosial serta administrasi di negari ini sudah sangat memadai. masalah hanya pada konsistensi dan mungkin tidak maksimal dikelola. Ditingkat yang paling kecil ada RT (rukun tangga), naik ke Rukum Warga, Dusun (jika di pedesaan), ada juga istilah jorong, gampong dll. Naik lagi ada kelurahan atau kantor desa sampai ke kabupaten.

Untuk bisa mensosialisasikan atau mengundang warga untuk sebuah rencana kerja atau akan membuat rencana, jika memanfaatkan struktur tersebut, sebesar apapun agenda yang akan dibuat dapat dilakukan. Gak ada dana...??? itu alasan banyak pemda ketika ngomong tentang keterlibatan masyarakat secara masif. makanya, jangan heran, kalau mereka cuma ambil satu dua ekor warga, dan dijustifiasi udah melibatkan warga. Nah.. apakah ornop yang protes mulu dengan gaya pemerintah juga akan melakukan hal yang sama????

Apakah seluruh warga harus ikut? Yang terpenting dari proses tersebut, warga harus tahu bahwa keterlibatan mereka penting. Implikasi jika gak terlibat juga tahu. dan apa pula implikasi ke depan buat kehidupan mereka. Kalau itu udah disampaikan dan pahami, kalau warga tetep gak mau ikut, itu adalah hak warga juga untuk tidak berpartisipasi. dan yang lebih penting adalah, woro2 tentang undangan atau sosialisai nilai penting (strategis) untuk sebuah pembahasan harus betul2 sampai dan dipahami warga. Pilihan ada di warga, ikut atau tidak ikut.

Masyarakat sebagai penentu kebijakan
Rakyat adalah pemegang mandat tertinggi. Melalui sistem kenegaraan Republik Disaster ini diterjemahkan dengan perwakilan. Ya.. DPR dan DPRD itu. sebelumnya, keterwakilan ditentukan oleh 3 Parpol resmi Negara. Rakyat cuma dikasih kesempatan nyoblos partai.
Sekarang rakyat udah milih langsung calon, tapi ternyata intervensi partai masih tetep menentukan, kalau gak masuk kuota. Presiden, gubernur ampe bupati pun sekarang dah dipilih langsung. Jadi, ya.. mau apalagi... menjadi sah kalau mereka memutuskan atas nama rakyat. contohnya pemerintah, ya dengan memutuskan mendukung resolusi PBB untuk kasih sangsi ke Iran. Kalau DPR mah lebih banyak lagi.. sekalipun keputusan2nya jauh dari kepentingan rakyat. Contohnya ya minta laptop ditengah banyaknya kejadian bencana.

Mengembalikan fungsi dan peran, rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat gak gampang. harus dimulai dari tingkat yang paling bawah. Tingkat dusun, atau RT. Setelah keputusan dibuat, gak serta merta selesai, perlu pengawasan atas keputusan tersebut. jagnan sampe diselewengkan untuk kepentingan yang lain.

Pada tataran ringan, ya dalam penyusunan rencana ditingkat kelompok atau dusun lah. Mempuat perencanaan program pengelolaan bencana oleh masyarakat. Yo kita coba, selain mengurangi risiko bencana yang menjadi fokus utama, juga mereduksi dominasi para elit atau tokoh dalam mengambil kebijakan. dari mulai rencana, sampe monitoringnya

he.. he.. kok gak nyambung ya dengan judul di atas. bodo akh... ambil aja manfaatnya kalau ada.. kalau gak, ya gak usah dianggap apa2.

Indonesia People Conference

Membangun Kekuatan Kolektif Masyarakat untuk Mereduksi Risiko dan Dampak Bencana Ekologis


Negara Indonesia memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Jajaran gunung api - pacific ring of fire, memunculkan ancaman erupsi gunungapi. Tiga lempeng bumi yang terus bergerak memunculkan ancaman gempa dan tsunami. Kawasan tropis pun berisiko terhadap acaman banjir, longsor, wabah penyakit. Tidak ditempatkannya potensi ancaman bencana dalam segala sektor, menjadikan 83 % kawasan Indonesia menjadi rawan bencana. Kondisi ini semakin diperburuk dengan belum dijadikannya ancaman sebagai pengetahuan dan kemampuan yang harus dimiliki rakyatnya. Akibatnya, 98 % dari 220 juta warga tidak siap menghadapi ancaman bencana. Potensi ancaman semakin bertambah dengan dampak pemanasan global yang telah nyata dirasakan banyak negara.

Hasil-hasil pembangunan dapat hilang dalam hitungan detik. Penderitaan warga terkena bencana pun cenderung berkepanjangan kerena pendekatan hanya difokuskan pada saat kejadian bencana. Paska bencana, cenderung terlupakan. Terlupakan oleh adanya bencana lain yang juga mengorbankan jiwa dan harta.

Paska bencana gempa dan tsunami di Aceh – Nias, DPR mengajukan usul RUU Penanggulangan Bencana. RUU PB telah disahkan tanggal 29 Maret 2007. Terlepas kekurangan yang ada, Indonesia telah memiliki payung hukum pengelolaan bencana. Penanggulangan yang tidak hanya dititik tekankan saat terjadinya bencana. Persoalan kelembagaan yang tidak efektif karena bersifat ad hock telah dijawab melalui Badan Nasional/Daerah Penanggulangan Bencana. Badan yang berperan aktif sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.

Tindakan progresif lain dalam pengelolaan bencana di Indonesia adalah disahkannya Rencana Strategis Nasional (RAN) Pengurangan Risiko Bencana (PRB) oleh BAPPENAS – BAKORNAS PBP. Sekalipun tidak mempunyai kekuatan hukum, strategi ini menjadi acuan dalam pembangunan nasional. Beberapa daerah seperti Yogjakarta, Aceh dan Jawa Tengah saat ini dalam proses penyusunan RAD PRB sebagai turunan RAN PRB.

Sisi lain, kebijakan PSDA masih cenderung ekstraktif. Ekstraksi PSDA akan semakin memburuk karena restorasi SDA tidak dilakukan secara maksimal dan serius. Kondisi ini semakin kontras dengan dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Pada beberapa daerah yang tidak pernah terkena amukan angin ribut, saat ini terkena. Demikian juga dengan kenaikan air laut menenggelamkan pemukiman dan wilayah pesisir. Kacaunya system alamini pula menyebabkan terjadinya gagal tanam dan gagal panen.


Latar Belakang

Banjir besar di Aceh, menutup tahun 2006. 96 orang tewas dan memaksa 110.000 warga mengungsi dan merelakan aset-aset kehidupannya rusak atau bahkan musnah. Awal Februari, Jakarta, Ibu Kota Negara RI lumpuh. 57 orang tewas. 422.300 jiwa mengungsi di tempat-tempat tidak layak. Berdesakan, bercampur antara bayi, anak-anak serta laki-laki dan perempuan pada ruang sempit. Bahkan di tempat-tempat terbuka.

Bencana di Indonesia adalah keniscayaan. Secara alamiah, Kawasan Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatra, Jawa, Bali-Nustra, Sulawesi dan Maluku. Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah, iklim tropis serta lahan gambut.

Kondisi ini semakin diperparah dengan diabaikannya dan tidak dipedulikannya ancaman dalam seluruh aspek kenegaraan. Ketidaksiapan menyebabkan ancaman dengan mudah berubah menjadi bencana. Gempa dan tsunami di Aceh-Nias serta gempa bumi di Jogjakarta adalah contoh kongkrit. Sekalipun pemicu bencana adalah alam, namun tidak ditempatkannya potensi ancaman oleh manusia menyebabkan dampak bencana menjadi lebih besar. Kondisi seperti ini merata di seluruh wilayah Indonesia.

Ketidaksiapan (kerentanan) atas risiko dan dampak bencana merupakan kunci atas terjadinya bencana. Kondisi ini menentukan banyaknya korban jiwa, harta maupun rusaknya lingkungan. Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta dan jaminan menjalani kehidupan bermartabat paska bencana. Hal yang terpenting dan masih terabaikan adalah : penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi dan warga terkena dampak bencana menjadi lebih baik, lebih kuat dan lebih siap menghadapi ancaman dan dampak bencana berikutnya.

WALHI mencatat, selama 2006 telah terjadi 135 kejadian bencana ekologis. Lebih dari 7.000 jiwa meninggal dan lebih dari 10 juta warga terpaksa menjadi pengungsi. Tingginya intensitas bencana menyebabkan Negara harus merubah anggaran negara (APBN) tahun 2006 dari Rp 500 milyar menjadi Rp 2,9 triliyun pada APBN Perubahan tahun 2007 untuk penanganan bencana di Indonesia. Kondisi ini menunjukan, daam penyusunan anggaran negara, potensi ancaman dan kerentanan warga belum dijadikan dasar. Demikian juga berbagai upaya integral pengurangan risiko dan dampak bencana.

Hal yang positif adalah telah disahkannya RUU PB dan RUU Tata ruang menjadi kebijakan resmi Negara. Terlepas kekurangan yang ada, masih dibutuhkan perangkat perundangan lain untuk mengimplementasikannya, baik berupa peraturan pemerintah atau Keputusan Presiden. UU memandatkan pemerintah untuk membuatnya perangkat operesional tersebut dalam waktu 6 bulan sejak diundangkan. Itidakat positif lain adalah telah ditetapkannya Rencana Aksi Nasional Pengurangan risiko bencana (RAN PRB).

Kebijakan lain terkait pengurangan risiko bencana adalah yang masih proses pembahasan adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam, pesisir dan keluatan serta pulau-pulau kecil, Migas, Ilegal logging, persampahan, dan Ibu Kota Negara. Rancangan Undang-undang ini perlu mendapatkan pengawalan maksimal sehingga dapat secara sinergis mampu meredam risiko bencana.

Sisi lain, terdapat kebijakan yang cenderung dan potensial meningkatkan risiko bencana. Perpres 36/2004, Perpu No 1/2001 tentang pertambangan dikawasan lindung, UU Investasi, Maupun kebijakan-kebijakan ekstraktif. Kontradiksi kebijakan dapat melahirkan benturan kepentingan. Pendekatan kekuasaan cenderung mengalahkan berbagai pertimbangan ilmiah maupun sosial kultur. Kondisi ini akan terus belanjut jika masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai warga negara. Perubahan iklim (climate change) adalah realias. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam “Climate change impact, adaptation and vulnerablity” menunjukan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Krisis air dan pangan, kesehatan, badai, kekeringan, banjir-longsor adalah hal telah mulai dirasakan dampaknya.

Indonesia tidak lepas dari dampak pemanasan global. Akibat naiknya air laut, diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Banjir-longsor serta badai akan semakin parah. Perubahan iklim pun akan menurunkan produktifitas pangan. Perubahan suhu dan curah hujan memungkinkan pemindahan distribusi nyamuk malaria dan demam berdarah. Penyakit lain yang akan mengancam sampai pada kematian adalah diare dan kolera.

WALHI sebagai organisasi masyarakat sipil melihat, persoalan-persoalan di atas perlu direspon dan disikapi secara serius. Ancaman bagi kehidupan dan keberlanjutannya merupakan hal terpenting untuk segera diterjemahkan dengan berbagai tindakan nyata. Kerja kolektif seluruh unsur, khususnya ditingkat masyarakat akan menentukan kehidupannya itu sendiri. Kehidupan yang bermartabat. Sebagaimana mandat berdirinya Negara Republik Indonesia : “Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah..” termasuk dari seluruh ancaman bencana.

Tujuan
1. Menghimpun pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencana ekologis berbasis hak
2. Mengkonsolidasikan kekuatan rakyat sebagai kekuatan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mengurangi risiko dan dampak bencana
3. Merumuskan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai potensi ancaman bencana.
4. Melakukan tekanan politik untuk mengubah arah kebijakan/ pola pembangunan

Hasil yang diharapkan
1. Terhimpunnya pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencana ekologis berbasis hak
2. Terkonsolidasinya kekuatan rakyat sebagai kekuatan kontrol dan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mereduksi risiko bencana.
3. Adanya rumusan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas kondisi ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai pontensi ancaman bencana
4. Adanya agenda kolektif – implemantatif untuk menjalankan resolusi-resolusi yang terumuskan

Jenis Kegiatan
Bentuk kegiatan adalah :
1. Seminar/stadium general dan lokakarya:
2. Dialog
3. Workshop perumusan
4. Public campaign
5. Civil society declaration on disaster risk reduction.

1. Pra kegiatan
a. Pengelolaan dan disiminasi data - informasi
b. fokus group diskusi di tingkat wilayah
c. musyarakat wilayah

2. Konferensi Rakyat Indonesia
a. Seminar/stadium general : Mensinergiskan gerakan sosial, kebijakan dan rencana aksi pengurangan risiko bencana dalam system kehidupan dan kenegaraan berbasis hak.
b. Lokakarya : a) pengurangan risiko bencana dan b) management bencana
c. Dialog tematik : Perubahan iklim, ancaman bencana dan tantangan adaptasi.
d. Workshop perumusan “civil society declaration on disaster risk reduction”
e. Hight level policy dialog and Public hearing
f. Campaign public : a) press briefing, b) pameran dan c) dialog tematik dan pentas budaya
g. Civil society declaration on ecological disaster risk reduction

3. Paska kegiatan – keberlanjutan project
a. pengelolaan dan disiminasi data - informasi
b. high level policy dialog ditingkat wi- layah
c. Public hearing ditingkat wilayah
d. Kampanye dan pengorganisasian publik ditingkat nasional dan wilayah
e. Policy monitoring

Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan ini bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta telp. 021. 80883155, dari tanggal 30 Juni - 4 Juli 2007. Peserta telah sampai ke lokasi kegiatan maksimal 30 Juni 2007.

Peserta Kegiatan
Peserta Konferensi Rakyat Indonesia untuk pengurangan risiko bencana ekologis direncanakan dapat dihadiri 1.165 orang perwakilan dari 150 Kabupaten di 26 propinsi di Indonesia.

Dampak
Posisi tawar rakyat dengan pemangku kepentingan semakin kuat sehingga upaya reduksi risiko bencana tidak lagi didominasi oleh pemerintah, akademisi atau kelompok lain dengan mengatasnamakan Rakyat. Reduksi resiko bencana akan lebih melibatkan masyarakat berdasarkan kekuatan kolektif dan sumberdaya lokal.

Proses pembahasan penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan reduksi bencana (RUU Pengalolaan Sumberdaya alam) maupun kebijakan yang berpotensi meningkatkan kerentanan (RUU Minerba) semakin termonitor dan menjadi persoalan publik. Proses ini juga akan berdampak pada penterjemahan ditingkat daerah dalam berbagai upaya pengurangan risiko bencana, seperti penyusunan RAD PRB sebagai terjemahan dari RAN PRB,
Raperda penaggulangan Bencana, anggaran belanja daerah dll. Dan Terlibatnya warga masyarakat dalam agenda mengurangi risiko bencana secara masif.
Memberi kontribusi bagi terwujudnya proses demokratisasi dan akselarasi pengelolaan Sumber Daya alam yang berkeadilan, berkedaulatan rakyat dan berkelanjutan.

Indikator
Dari sisi kuantitas, indikator akan dilihat dari kehadiran jumlah peserta. Kegiatan akan berhasil jika dihadiri 75 % dari target peserta. Kegiatan pun akan dikatakan berhasil jika sesuai dengan waktu, agenda sesuai dengan yang direncanakan serta dan pendanaan tidak melebihi 15 % kelebihan anggaran.

Sedangkan dari sisi kualitas, indikator keberhasilan dalam dilihat dari :
• Keberagaman gender; ada keseimbangan antara jumlah peserta laki-laki dan perempuan serta dari sisi usia.
• Keberagaman perwakilan ; peserta mewakili seluruh wilayah sebagai target group kegiatan
• Keluaran hasil ; hasil-hasil kegiatan sesuai dengan capaian yang direncanakan; rencana aksi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana dan deklarasi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana serta perumusan rekomendasi isu sektoral

•Untuk publikasi dan mejadi awal gerapan massa;
kegiatan di liput selama : 2 minggu sebelum dan 2
minggu sesudah kegiatan :
•Delapan Televisi Nasional, 10 Radio nasional dan internasional, 12 Koran/Majalah Nasional dan 8 Koran lokal

Informasi lebih lanjut “Indonesia People Conference” :
Hubungi hotline
WALHI Eksekutif Nasional
Jl. Tegal Parang Utara No 14 Jakarta 12790
Telp : 021.794 1672, 7919 3363
Fax : 021.794 1673
www.walhi.or.id
email : info@walhi.or.id
Kontak person : Andi Armansyah (0815 1066 5310), Riza Damanik
(0818 77 3515), Syahrul Sagala (0813 8667 2188), Sofyan (0811 18 3760)
Eksekutif Daerah WALHI di masing-masing propinsi.

Wednesday, June 13, 2007

Menjelang Indonesia People Conference

14 hari lagi kawan... 30 Juni - 03 Juli 2007, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta..
WALHI bersama 1200 warga negari sejuta bencana.. akan mencoba membongkar mitos, hidup bertabat dapat terwujud. Sinergis antar warga dapat dilakukan dalam satu tekad dan tujuan. cukup sudah, 200 ribu warga Aceh menjadi korban gempa dan tsunami. 7000 warga Jogja dan klaten jadi korban gempa. 700 warga pesisir jawa tergulung tsunami. Dan ribuan lainnya tertimbun tanah longsor, tersapu banjir bandang, terendam banjir atau peluru2 nyasar. cukup juga korban sia2 akibat wabah tak tertangani...
Reduksi bencana ekologis sekarang.... Mari bersama dan bersatu.. untuk satu tuntutan, hak atas perlindungan dan keselamatan dari berbagai ancaman bencana


Semua manusia di dunia, pasti sudah mengenal Indonesia. Negara dengan segudang julukan.. dari yang indah, sampe yang busuk. Dari Negara terkorup sampe nominator guiness book of record untuk perusakan hutan. Untuk urusan korban dan penanganannya, Indonesia juga mendapatkan angka merah. Pada musim asap, Indonesia pun melesat menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar. Weleh.. weleh.. welehhhhhh.... hebat tho???
Indonesia menempati rengking 10 besar.


Itulah Negeri yang zaman baheula disebut dengan zamrud katulistiwa. Negeri yang diincar para penjajah dari berbagai daratan untuk ditaklukan. Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa membuat liur para pengeruk untung tak tertampung jika hanya ditampung 10 biji ember. Tak heren, kalau para pedagang dan negara2 eropa rela mengeluarkan investasi besar. termasuk menginvestatikan nyawa para serdadu. Kekayaan alam yang luar biasa tentu dengan perhitungan cermat akan menutup biaya investasi yang dikeluarkan. Modal serebu, dapat sepuluh juta.

Paska tsunami rata menyapu pemukiman sepanjang pesisir selatan, barat sampai utara tanah rencong, semua mata tertuju ke Indonesia. Sebelumnya, orang lebih mengenal Bali dibanding Indonesia sebagai Negara. Setelah 26 Desember 2004, satu lagi daerah terkenal di Indonesia go public. Nangroe Aceh Darusalam. Daerah paling ujung Negeri yang dimerdekakan tahun 1945 ini menjadi sangat terkenal. Negeri yang seharusnya telah terkenal karena didera kemelut bersenjata. Negeri yang seharusnya menjadi perhatian dunia karena pelanggaran HAM. Negeri yang juga menghasilkan gas alas terbesar. Tapi nyatanya, terkenalnya aceh karena 200 ribu jiwa meninggal secara berjamaah digulung gelombang salah jalur. tsunami.

Ketika Aceh collapse karena bencana, semua orang mungkin sedikit maklum. Dampak yang luar biasa karena Aceh memang dalam dekapan ketidak amanan. Gak main2, 30 puluh tahun konflik bersenjata menghimpit Aceh. Maklum ketika tidak sempat informasi dan pengetahuan tentang risiko gempa dan tsunami sampai ke warga masyarakat. Tidak pula banyak kesempatan dapat dilakukan untuk membangun kesiapsiagaan, membangun pola adaptasi dll. mensikapi ancaman bencana. Permakluman pun berlanjut ketika kacau balaunya penanganan bencana. Semua negara tidak akan sanggup menangani bencana sebesar Aceh-Nias. Termasuk Amrik si super power. Apalagi Aceh masih dalam masa konflik. Maklum.. dan harap maklum...

Tapi, apakah masih maklum ketika bencana merobek ketentraman warga di Pulau Jawa. Negeri yang selama ini menjadi pusat segala pusat di Indonesia. 27 Mei 2006 Gempa mengoyak kehidupan warga Bantul, Gunungkidul, Sleman, Kulonprogo, Kodya sampe Klaten. Tsunami kembali menggulung pesisir pangandaran yang sebelumnya dianggap aman damai oleh sang Bupati. Ibu Kota pun direndam pelarian air dari wilayah sekitarnya. dan terakhir, banjir pasang secara merata kembali memporak porandakan desa2 sepanjang pesisir Jawa. dan Penanganan pun sami mawon. tetap gagap, tetep kacau balau.

68 % bencana yang terjadi akibat dari kerusakan lingkungan. Bahkan kalau kita mau jujur, berbicara dengan hati nurani, dampak bencana yang luar biasa tidak lepas dari manusia itu sendiri. Gempa bisa terjadi akibat tumbukan lempeng bumi. erupsi bisa jadi karena Gunungapi batuk karena terserang flu. Atau puting beliung karena angin yang gak punya mata. Tapi, kerusakan sebagai dampak kan karena manusia mengabaikan potensi ancaman itu sendiri. Bangunan tidak disiapkan untuk menyambut goyangan bumi dengan SR atau MMI tertentu. Bikin rumah gak liat2 dulu jalur awan panas. Tata ruang dibuat lebih atas dasar potensial pengembangan kawasan. Akibatnya, ada gula ada semut.. Pusat2 ekonomi secara otomatis akan menjadi pusat pertumbuhan penduduk.

Celaka lagi, warga yang tinggal pada kawasan rawan, tidak disiapkan pula informasi, pengetahuan dan kemampuannya untuk memahami dan menghadapi ancaman bencana. Bahkan, ancaman bencana yang disampaikan segelintir orang dianggap fitnah, gosip, provokator dll. SEhingga gak perlu didengar, kalau perlu dicari dan gantung karena dianggap menghambat investasi dan meresahkan warga. Kalau tertangkap dan terbukti, bisa jadi si penabar gosip kena pasal teroris, sparatis atau bahkan makar. karena telah mengganggu stabilitas negara.

Negeri ini kaya akan ancaman, itu harus disadar dan diakui dengan lapang dada. Lalu, bagaimana mensikapinya setelah kesadaran tersebut muncul. Ya, tentu harus mulai dilakukan berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. sehingga risiko dan dampak bisa direduksi. itu idealnya kan. sehingga semua kebijakan, sistem, prilaku dll searah. disaster risk reduction for safety and protect of citizen. because.. it's a basic right of human.

tapi, ketika pemerintahnya sebagai pengemban mandat negara ndableg, gak peduli, gak urus, what can you do hai... Indonesia people????? menyerahkan hukuman pada Tuhan, diakherat sana. Mendoakan para PNS dan pejabat negara cepet mati karena gak menjalankan tanggungjawabnya tapi selalu menuntut haknya, atau cukup ndumel aja???
tidak pernah ada kebaikan dari pemegang kekuasaan tanpa tekanan. "Lah piye, untuk jadi pejabat atau untuk jadi PNS aja perlu modal je". "Wis tho lek, untuk jadi anggota legislatif, perlu berapa jut-jut atau bahkan milyar?", untuk jadi Bupati, gubernur, berapa duit. atau untuk diterima jadi serdadu, guru, PNS, berapa jut-jut". dan itu bukan rahasia umum kan? semua orang tahu itu. karena tetangga dan saudara2 kita adalah sebagai pelaku juga. atau bahkan kita sempet ditawari ketika iseng2 atau serius melamar jadi PNS kan?

Lawan!!!! angkat tangan kiri (tapi jangan tinggi2), teriak dan maju. dobrak semua penghalang. rakyat bersatu tak bisa dikalahkan! begitu kira2 yel2 para peoples tergusur saat unjuk ketidak setujuan atau ketidak puasan. Kaum tergusur, orang2 kalah, manusia2 tersingkir mencoba turun ke jalan. Membangun semangat diantara keputus asaan. Putus asa, karena wakil rakyat yang mereka pilih lebih suka main mata dengan para pebisnis dan birokrat. juga para pedagang hukum. Setelah investasi kembali, apalagi kalau bukan mulai menumpuk harta. Dan tidak sedikit pula para pelopor garakan2 rakjat menjadi bisu tuli ketika jabatan lekat dipundaknya. Menjadi sami mawon dengan mereka2 yang dimaki2 sekarang.

Kembalikan lagi dikembalikan sama Tuhan.. tunggu waktu pembalasan tiba, dimana pengadilan Tuhan gak bisa lagi disuap. gak bisa dijual belikan seperti hukum dinegeri ini. Atau kita lebih memilih, napsi-napsi (apatis, skeptis). yang penting guwe kenyang, guwe bisa idup, sabodo nyaho dengan orang lain. Mau bersikap ketika ada imbalan. Mau nyoblos kalau dpt sempako atau amplop. Urusan setelah itu, yang dicoblos mau korup, bodo amit deh...

Waddduuuuhhhh... itulah yang terjadi di Negeri ini. paling gak, kecenderungan itu sudah muncul. PUTUS ASAKAH WARGA NGERA REPULIK INDONESIA ini karena perubahan tak kunjung datang? Semua orang tidak lagi dpt dipercaya. Semua orang gak lagi malu bermuka dua. Pamer harta dari hasil korupsi. duuuuuuhhhhh.... pakde.. piye tho

Kesadaran kritis harus dibangun. kesadaran atas dirinya, posisi dan perannya. Sebagai rakyat sang pemegang kedaulatan tertinggi. Kesadaran kolektif yang mampu bergerak atas dasar pengetahuan, kemampuan dan keyakinan. Negari yang sakit ini harus disembuhkan. Kalau perlu amputasi, amputasi. Jika perlu cangkok jantung, lakukan. Bahkan kalau perlu baju baru, ya harus berani untuk mengganti baju.

Ya, status quo harus dihancurkan. Jargon2 indah para aktor yang sedang menikmati kekuasaan atau percikan dari kekuasaan harus dikerangkeng. Kemerdekaan hakiki harus diwujudkan. Kemerdekaan yang betul2 merdeka. merdeka dari korupsi, merdeka dari penggusuran, merdeka dari kemunafikan dan merdeka dari rasa takut. Merdeka juga dari ancaman Bencana.

14 hari lagi.... WALHI akan mencoba membangkitkan kesadaran kritis warga negara atas kemerdekaan tersebut. Membangunkan keraguan atas fungsi dan peran sebagai rakyat. Memunahkan virus2 apatisme para penikmat duniawi. Kembali menyatukan kekuatan..
Disaster Risk Reduction By Your Hands...







Friday, June 08, 2007

PANIK LAGI..

Pedih rasanya ketika membaca berita hari ini.. "Isu gempa dan tsunami bikin resah, sekolah minta diliburkan", begitu Pos Kota memberi judul untuk isu ancaman bencana di Bandung Selatan. Sementara Tempo menurukan berita yang sama, tapi di daerah lain, NTT. Dan isu demi isu bak teror.. Akan ada gempa besar dan akan diikuti oleh tsunami di Pangandaran.. begitu terus. Hal yang dahsyat pun terjadi. Alarm tanda early warning system tiba2 merobek langit serambi mekah, sehari setelah hari lingkungan hidup se-dunia.

it's the real baby in the republic of disaster. real of panic, not issues. Ini benar2 gila. Sinting, gelo alian kentir. Teror yang mencengkram warga seolah tek berkesudahan. traumatik akibat mengalami kejadian bencana atau pobi karena membaca atau menonton berita kejadian2 bencana diseantero jagat bumi yang konon zamrud katulistiwa ini. What are you doing hey pengemban amanat rakyat??????????????

Harus diakui, sejak gempa dan tsunami memporakporandakan sepanjang pesisir barat-utara bumi rencong dan nias, bencana telah menjadi teror. Gempa susulan, banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, wabah seolah menjadi menu harian. Belum selesai masa emergency response pada kejadian bencana, muncul bencana ditempat lain. Jika dikalkulasi, hampir setiap hari sepanjang 2006, Negeri ini tidak pernah absen dari bencana. 364 kejadian bencana. Lebih dari 10 ribu jiwa meregang nyawa. 4 juta jiwa pun berstatus sebagai pengungsi pada tahun 2006. Sungguh layak disebut sebagai tahun bencana.


Hak atas Informasi
Besarnya potensi ancaman bencana serta tingginya kerentanan warga, menjadikan bencana sebuah keniscayaan. Mengurangi kerentanan adalah tindakan bijak sebagai upaya reduksi risiko bencana. Salah satunya adalah memberikan informasi kebencanaan sebagai hak mutlak warga.
Panik, cemas, was2 dan kawan2nya adalah bentuk ketidak siapan warga terhadap ancaman bencana. Hal yang paling mendasar dari itu adalah tidak sampainya informasi dasar tenteng kebencanaan. Sehingga, tidak ada juga upaya lain untuk mengurangi kerencanan, baik melalui upaya mitigasi maupun kesiapsiagaan. Sekalipun ada upaya mitigasi struktural oleh pemerintah, ketidak tahuan atas upaya mitigasi menjauhkan fungsi mitigasi itu sendiri. Bahkan ketidak tahuan tersebut kerap memicu tindakan2 yang semakin meningkatkan kerentanan.

Hak yang lain dari warga negara adalah terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman. Jika 2 hak itu saja, maka tidak ada alasan bagi pemerintah sebagai "pesuruh" rakyat untuk tidak melakukan tindakan kongkrit. tindakan yang mengarah pada penyelamatan seluruh aset2 kehidupan manusia. Human/jiwa, financial, environment/natural, socioculture and fisik. Tidak ada alasan lagi, bahwa semua informasi tidak dapat dilakukan karena tidak ada anggaran. Atau menguatkan masyarakat menghadapi ancaman karena belum dianggarkan.

Hal yang paling mendasar adalah, bagaimana menghargai informasi itu sendiri. Sungguh tidak dapat dihitung, berapa banyak ilmu dan pengetahuan serta keterampilan di bumi Indonesia. Perguruan tinggi, pusat-pusat penelitian, dan gedung2 pemerintahan. Sumberdaya tersebut tidak lah kurang untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mensikapi ancaman bencana yang ada. Bahkan jika disadari betul, potensi ancaman yang ada, tidak perlu anggaran khusus untuk pengelolaan bencana. Ini karena semua pembangunan, kebijakan, pendidikan dll terintegrasi dalam rangka mengurangi kerentanan.

Mari belajar.. memahami ancaman
Indah nian, kata orang Jambi ketika sekolah2, dari mulai TK, SD sampai perguruan tinggi menggali informasi dan menyampaikannya kepada siswa dan mahasiwa tentang ancaman yang ada di daerahnya. Erupsi gunungapi, gempa, tsunami, banjir, longsor, kebakaran lahan dll. Dari pengetahuan tersebut, akan muncul berbagai ide, gagasan dll sebagai bagian dari pengetahuan untuk mensikapinya. Mereduksi dan melakukan pola adaptasi. Tidak akan pernah ada kebingungan warga ketika tiba2 terjadi gonjangan bumi. Tidak juga terjadi kepanikan ketika gunungapi tiba2 aktif. Tidak juga terjadi penumpukan jalan2 raya akibat bunyi alarm peringatan dini. Bahkan tereduksi kepanikan susulan warga akibat mencari anggota keluarganya yang terpisah.

Ini semua karena berbagai informasi telah terserap dan menjadi bagian dari hidup. Tahu kemana harus berlindung ketika ancaman datang. Paham bagaimana menuju tempat sementara pengungsian dengan jalan yang paling aman. Apa saja yang harus diselamatkan dari aset-aset kehidupannya.
Pemerintah sendiri, tidak akan panik, bingung dan dihina2 karena tidak siap atau bahkan ketidaktersediaan kebutuhan dasar warga yang terpaksa mengungsi.

Indah... sungguh indah.. Damai... sungguh damai negeri ini. Sekalipun negeri ini 83 % wilayahnya rawan bencana. namun Jika warganya 98 % siap dan mempunyai kemampuan.. pemerintahnya siap dan punya kapasitas, ancaman hanya lah ancaman. Namun, bencana tidak akan pernah terjadi. Gempa, tsunami, letusan gunungapi, banjir, longsor dll.. hanya lah fenomena alam. sama halnya dengan hari yang selalu berubah.. dari pagi menjadi siang dan sore serta malam. sebuah siklus alam yang memang pasti akan terjadi.
Bencana... no way

Thursday, May 31, 2007

1 TAHUN GEMPA - 1 TH LUMPUR PANAS

Ya... 29 Mei 2007, genap satu tahun semburan lumpur panas akibat mata bor PT Lapindo Brantas menenggelamkan 3 Kecamatan di Kab. Sidoarjo. Dua hari sebelumnya, tepatnya 27 Mei 2007, genap pula satu tahun peristiwa gempa yang merontokan DI Jogjakarta dan Kab. Klaten. Sebuah tragedi yang sungguh luar biasa di tanah Jawa.

Kepadatan penduduk adalah faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah warga terkena dampak. Maklum aja, Jawa sebagai pulau harapan dihuni lebih dari 60% penduduk Indonesia. terpusatnya semua bidang di Pulau kecil ini menyebabkan Jawa menjadi satu2nya harapan untuk hidup lebih sejahtera. Degradasi pemahaman sejahtera yang hanya pada aspek ekonomi, derasnya iklan serta kepemilikan media informasi (TV dan Radio), menyeret masyarakat berlomba mendapatkan uang. Menunjukan kesuksesan dengan berbagai barang produksi. Yang mungkin tidak begitu penting bagi kehidupannya.


Bencana gempa dan lumpur panas begitu dahsyat. Bahkan sampai saat ini masih belum jelas, bagaimana cara mengatasinya. Diantara gegap gumpita peringatan, tak sedikitpun menjamin mereka yang terkena dampak dapat kembali hidup bermartabat. Janji para pemimpin bangsa, hanyalah sebuah janji. Kenyataan membuktikan lain. Sejuta teori berkumandang menawarkan selosi. Realitas berkata lain. Dan bermilyar, bahkan trilyun dana dikeluarkan. tapi tidak untuk menuntaskan akar persoalan. Menjadikan warga terkena dampak hidup lebih baik. Lebih bermartabat dari sebelum kejadian bencana.

Satu tahun bukan waktu pendek. Seorang bayi telah dapat berjalan lewat proses alamiah. Tanaman padi lokal telah menghasilkan bulir2 padi untuk dipetik. Seekor kambing muda telah menghasilkan 2 ekor anak kambing yang siap berkembang biak.
Tapi bagi Negeri sejuta ancaman. Repulik Bencana ini semakin tidak menjanjikan apa2. Ancaman yang mencapai 83% dari kawasannya belum dijadikan sebagai dasar. Dasar untuk melindungi dan menyelamatkan warganya dari ancaman bencana.

satu tahun bukanlah waktu pendek.... lalu??????


terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Monday, May 21, 2007

BENCANA LAGI.. GAK SALAH???

Pagi subuh, 17 Mei 2007.. wilayah pantai barat Sumatra tiba2 dikejutkan oleh gelombang besar air laut. Tsunami??? bukan. tapi kekuatannya tidak kalah kuat. ratusan rumah kandas. Infrastruktur publik pun porak poranda. Beberapa ruas jalan terputus aksesnya. Dan.. ada pula korban jiwa. Ribuan pengungsi pun mengalir. Dan ternyata, tidak hanya Sumatra. Sepanjang pesisir utara Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Papua serta sebagian Kalimantan mengalami hal yang serupa. Bencana lagi???? jangan becanda akh...

Ya.. ini sudah menjadi bencana. Karena sebuah kejadian atau rentetan kejadian yang menyebabkan ketergangguan sistem sosial, merugikan jiwa atau harta serta komunitas terkena dampak tidak mampu mengatasi sendiri masuk dalam katagori bencana. Nah.. kalau udah ada ribuan yang ngungsi, rumah pada rusak, bahkan hancur total. mata pencaharian nelayan berenti bahkan ada pula korban jiwa, apa masih mangkir disebut bencana?


Supermarket Bencana, begitu tempo memberi judul liputan khususnya dalam edisi minggu ini. Fakta-fakta kejadian bencana, jauh sebelum mega bencana tsunami dibeberkan. Kejailan2 wartawan profesional mengungkap "goblok"nya Negeri ini mengurus bencana dipajang. Plus bonus sanggahan orang2 yang dipercaya menjabat posisi penting si supermarket.

Udah gak terhitung deh masukan2, nasihat, hujatan sampe caci maki ketidak pedulian negeri ini menghadapi berjuta ancaman bencana. Gak sedikit para pakar, baik yang tulus hati sampe sang penjilat menurunkan tim-nya untuk mengurangi dampak bencana. Dari yang rajin nulis di koran sampe ngocol di seminar2. Apakah para pejabat Negeri ini gak pernah baca koran? nonton berita? karena kalau ngikuti diskusi atau seminar, udah kita udah tahu bersama. Mereka pasti mangkir. Sekalipun datang, mereka enggan untuk mendengar. mereka lebih suka menjadi narasumber atau key note speaker. Yang setelah berkhutbah bak pen-dai, trus ngacir dengan alasan ada acara yang lebih penting. Ketemu presiden lah, dipanggil wapres lah, rapat dengan para menteri lah de el el. yang intinya, mereka enggan mendengar.

Mungkin inilah yang menyebabkan mereka super bodoh. Mereka takut membaca realitas, kalau mereka gak becus ngurus negeri ini. Negeri yang telah mengorbankan jutaan orang untuk memerdekakan diri. Negeri yang juga ditumbali warga2 tak berdosa tergilas rentetan kejadian bencana.

Menjadi sangat logis, Tuhan menurunkan ayat pertama kepada Nabi Muhammad adalah perintah : bacalah!!! Iqra!!! "bacalah atas nama Tuhanmu.." ya... membaca atas nama Tuhan sang pencipta berarti membaca dengan kejujuran hati. Dengan ketulusan jiwa dan raga. Tanpa ada bias apapun, apalagi karena iming2 godaan duniawi. Baca.. liat.. dan analisis. apa yang terjadi? Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban dari kepemimpinannya. begitulah kira2 Nabi Muhammad SAW berpesan. Atas dirinya sendiri saja akan dituntut, apalagi ketika dibebankan tanggung jawab untuk menjaga 220 juta jiwa.

Tapi, apakah pesan religi ini masih bisa efektif? Sepertinya terlalu sulit untuk menjawab "Iya". karena untuk mendapatkan jabatan saja dilakukan dengan cara2 haram. Saat menjabat pun cenderung dimanfaatkan untuk mendapatkan yang haram. Atas nama rakyat, atas nama keadilan, atas nama Tuhan..
Lalu, apakah cukup meminimalisasi ancaman bencana dengan doa? Tablig akbar yang digelar dan disorot media dan disaksikan jutaan pasang mata. Sementara berbagai kebijakannya (diamnya seorang pemimpin adalah kebijakan), mendorong untuk jatuhnya korban jiwa dan harta.

Gelombang pasang kembali memaksa kita untuk melihat, membaca dan menganalisis. Negeri ini memang repubik bencana..


terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Wednesday, May 16, 2007

PENGURASAKAN KREATIF

Kreatif Mencipta Ancaman Bencana

Agak terkejut saat kawanku menyebut istilah itu. Kreatif kok merusak? tapi setelah dia sedikit menjelaskan maksudnya, bener juga apa yang dia sebutkan. Sungguh ngeri jadinya. Apalagi keratifitas tersebut didukung kekuasaan. Maka terciptakah sebuah kerentanan baru yang sebetulnya telah dapat diprediksi dengan mudah.

Kedungombo, tentu kita masih ingat lokasi yang sebetulnya jauh dari keramaian. Tidak jarang disebut2. tapi mendadak nge-top setelah ditetapkan lokasi sebegai project bendungan besar. Sebuah waduk yang dipersiapkan menampung 750 juta M3 air. Peruntukan waduk yang wah telah diworo2 seriring response negatif banyak pihak terhadap rencana yang serat pelanggaran HAM. Waduk yang menelan lahan nyaris sama dengan luas Taman Nasional Merapi tersebut harus menyingkirkan 30.000 jiwa penduduk. Menghasilkan energi listrik 22,5 MW, serta mampu mengairi sawah seluas 70.000 ha. Kedungombo pun akan menciptakan lapangan pekerjaan baru seperti petani ikan dan dari sektor pariwisata. Waduk ini juga menjanjikan dapat mengendalikan banjir.


Selain pelanggaran HAM, prediksi Kedungombo akan menciptakan bencana telah disampaikan. Perubahan secara drastis fungsi alam tentu akan berdampak buruk bagi lingkungan. Daratan yang disulap menjadi lahan basah melalui rekayasa bukan mustahil akan menciptakan kerusakan. Kekeringan dan banjir justru akan terjadi jauh melebihi fungsi DAM yang mampu mengairi 70.000 ha sawah. Krisis air disepanjang DAS yang dibendung, atau kelebihan air yang harus dibuang untuk menjaga bangunan DAM akan menjadi ancaman banjir bandang. Belum lagi kerusakan ekologis yang tercipta akibat pemaksaan daratan menjadi lahan basah. Yang harus tetap diingat adalah, tujuan akhir dari pembangunan yang harus lebih mensejahterakan rakyat.

Pro kontra para akademisi mulai berlangsung. Pengabaian terhadap disiplin ilmu tertentu menjadi lumrah. Masalah teknis menjadi jawara diatas disiplin ilmu yang lain. analisis dampak lingkungan begitu mudah ditutup dengan berbagai pendekatan rekayasa. Dampak sosial yang ditimbulkan cukup ditutup dengan sosialisasi. Jika masih membangkang atau menolak, pendekatan premanisme pun akan menjadi jurus pamungkas.

Kedungombo adalah salah satu contoh, bagaimana perusakan kreatif dilakukan. Hasilnya, terjadi peningkatan kerentanan. Tidak hanya warga yang tergusur dan sampai saat ini masih terus berjuang menuntut haknya. Kemiskinan menjadi kado 30.000 jiwa yang dipaksa angkat kaki. Keadilan masih belum berpihak pada warga Kedungombo, sekalipun telah terjadi pergantian pemimpin Negari ini. Bahkan sampai Presiden yang langsung dipilih oleh rakyat.

Pengrusakan kreatif adalah sebuah upaya yang dilakukan secara sistematis, melibatkan berbagai disiplin ilmu sebagai penguat, melibatkan banyak orang dengan latar belakang berbeda dalam satu komando, dan menciptakan kertanan terhadap bencana dimasa depan jauh melebihi manfaatnya. Dengan mudah kita bisa mendapatkan contoh lain, bagaimana pengurasakan kreatif dilakukan. Eksploitasi hutan yang saat berlangsung seperti HPH, IPPHK, HTI dll adalah contoh kongrit, bagaimana pengrusakan kreatif dilakukan. Demikian juga dengan pembangunan berbagai MAL dipusat kota, perumahan atau kawasan elit maupun pertambangan. Secara sempurna, mereka mengetahui, apa dan bagaimana dampak dari pengurusan alam tersebut akan terjadi. Namun, dengan berbagai dalik science dan didukung oleh kekuasaan, toh pemanfaatan sumber-sumber kehidupan yang mengarah pada kerusakan tetap dilakukan. dan perguruan tinggi menjadi pintu utama atas upaya pengurasakan kreatif tersebut.

Dualisme perguruan tinggi sebagai sarana belajar berbaur dengan peran mencari untung. Project2 penelitian menjadi lahan basah bagi para dosen dan birokrat kampus. AMDAL, menyusun tata ruang, meneliti berbagai dampak akibat beroperasinya perusahaan sampai menjalankan project community development nya perusahaan yang jelas2 merusak lingkungan dan merugikan masyarakat tempatan. Bagaimana kita bisa saksikan, sebuah perguruan tinggi besar di Sulawesi Utara tega mengabaikan penderitaan masyarakat Buyat Pante yang telah sekarat. Kita bisa saksikan, bagaimana Perguruan besar di Jawa Barat, Jogjakarta, Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah mengabaikan dampak negatif akibat dari berbagai project gila. Tambang, perkebunan skala besar sampai lahan gambut sejuta hektar. Bagaimana ketika dampak buruk tersebut telah nyata? Semua akan tutup mata tutup telinga. Atau bahkan ramai2 mencari pembenar. jika perlu ikut2 menghujat sang penguasa penebar gagasan.
Betul2 kreative bukan... dalam merusak dan menciptakan ancaman bencana.
Masih percayakan anak cucu kita dititipkan pada sekolah2 yang jelas2 menciptakan kehancuran. jawabnya.... tidak ada pilihan kawan.....

terlindungi & terselamatkan dari bencana.. adalah HAK DASAR MANUSIA