Tuesday, September 04, 2007

Tidur dengan Mangan

Oleh Siti Maemunah;
- Koordinator Nasional jaringan Advokasi Tambang
- Majlis Pertimbangan Organisasi Kappala Indonesia

Terkantuk-kantuk saya membaca laporan empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Nusa Tenggara Timur tentang PT Arumbai Mangan Bekti di Manggarai. Tapi sontak kantuk itu pergi, begitu mata saya meniti sederet kata, “Usaha penambangan mangan sudah cukup lama dilakukan dan relatif memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah setempat.”

Saya termangu memandangi laporan yang dibuat pada Agustus 2005 lalu ini. Sambil teringat dokumen lain yang berisi pengaduan warga Sirise, Luwuk, dan Lingko Lolok tentang perusahaan itu. Surat pengaduan enam halaman itu,
dikirim Solidaritas Perempuan Peduli Kekerasan (SOPPAN) di Ruteng – Manggarai ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jakarta.

Dalam surat itu warga Sirise dan lingko Lolok mengeluhkan soal pembongkaran lahan dan penggalian yang telah merusak tanah adat mereka, menebarkan debu, dan mengalirkan limbah yang akhirnya mencemari sumber-sumber air. Apakah
surat itu dikirimkan juga kepada keempat anggota dewan itu? Apakah keempat anggota dewan itu pernah mengunjungi warga di sana dan berdialog secara santai dengan mereka?

Laporan dan surat itu, membawa saya kembali mengunjungi Sirise.

***

Setiba di Ruteng – ibu kota Manggarai, dengan mobil sewaan kami meluncur ke Sirise. Jumlah kami empat orang, saya bersama tiga kawan dari SOPPAN dan PIKUL, berangkat atas undangan warga, khususnya empat perempuan - Margareta
Nelly, Ruth, Melti Yoyanti dan Maria Mene, yang Januari lalu datang melaporkan masalahnya kepada SOPPAN.

Sirise merupakan kampung kecil di tengah Manggarai yang lima tahun lalu sempat saya kunjungi, juga untuk melihat dampak pertambangan PT Arumbai kepada warga dan lingkungan.

Perjalanan ke Sirise menelan waktu tiga jam. Supir kami berkali-kali melambatkan mobil jika jalanan terhalang longsoran tanah. Di beberapa tempat, alat-alat berat sibuk membereskan tumpukan tanah itu. Terkadang, kami terpaksa berhenti sedikit lama, menunggu giliran melintas karena berbagi jalan dengan mobil lainnya. Ada sekitar tiga puluh kali gangguan
longsor itu menghambat kami.

Memasuki Sirise batu-batu kasar menyambut roda. Di sepanjang pinggiran jalan tetumbuhan terlihat kusam, senasib dengan rumah-rumah yang ada. Tak banyak, hanya 48 rumah. Sebagian besar masih berdinding bambu, sebagian lagi tak berdaun jendela. Masih seperti lima tahun yang lalu.

***
Sepuluh tahun sudah PT AMB beroperasi di sini. Mereka mendirikan pabrik tak jauh dari perkampungan, paling-paling berkisar 50-an meter.

Di awal perusahaan masuk, setiap warga berharap-harap sejahtera. Mereka memimpikan, berbagai kendaraan ramai melintas, anak-anak bisa bersekolah lebih baik, sehingga mutu hidup meningkat, kesejahteraan meningkat. Kesejahteraan yang bersumber dari mangan.

Batu Mangan berwarna hitam. Bijih-bijih mangan ditambang dengan cara pertambangan terbuka (open pit), dengan melakukan peledakan, pengeboran, pengangkutan hingga pemilahan bijih mangan, sebelum di kapalkan ke luar negeri.

Menambang mangan memang menguntungkan, tapi tidak untuk mereka, penduduk lokal yang mendiami Sirise. Setelah bertahun-tahun perusahaan itu bekerja, ternyata hidup mereka semakin tak nyaman. “Sumur sumber air bersih kami ikut tercemar. Saat hujan, dari tempat eksploitasi di puncak gunung, sampah mangan terbawa banjir lalu masuk ke sumur,” ungkap Maria Mene. Sampah mangan yang ia maksudkan berupa batuan dan tanah yang bercampur bijih mangan. Oleh perusahaan batuan ini dibuang dan ditumpuk begitu saja.

Sambungnya, “Bukan cuma di musim hujan. Waktu kemarau, setiap mesin pengolah berbunyi, sejak jam 8 pagi hingga 4 sore, debu-debu mangan beterbangan lalu menempeli semuanya, air sumur, perabotan, baju, meja makan, piring, makanan, pokoknya semua kena debu itu. Bahkan kami pun tidur diselimuti mangan.”
“Anak-anak jadi tidak bebas bermain di luar. Badan mereka jadi kotor, hitam, jika bermain tanpa baju.” tambahnya.

Lain lagi cerita Pak Martinus Eban. Setiap kali berangkat ke sekolah di Luwuk, anaknya akan melintasi pusat pengolahan mangan. Akibat itu, baju sekolahnya kotor terkena debu mangan. Pernah suatu saat di sekolah, sang anak dimarahi dan dipukul oleh gurunya. “Saya tidak terima,” kata Pak Eban, geram.

“Seperti itulah hidup kami sekarang. Tidur dengan mangan, makan dengan mangan, muntah juga dengan mangan” Ibu Ruth menimpali, ia sudah 9 tahun bekerja di PT Arumbai.

****

Dari kampung Sirise, kalau kita berjalan kaki sebentar menuju timur menaiki bukit maka akan menemui kampung lain. Orang-orang menyebutnya lingko Lolok, masuk desa Satar Teu. Di kampung inilah penggalian dilakukan untuk mendapatkan bijih mangan. Orang-orang lingko Lolok selama ini hidup dengan adat mereka mengolah hasil hutan dan berladang di lingko. Lingko merupakan tanah milik adat, milik bersama, sehingga tidak mudah orang untuk memilikinya kecuali melalui prosedur adat. Dan sejak penggalian bijih mangan, pelan tapi pasti mereka kehilangan akses menikmati hasil hutan dan
berladang. Perusahaan memanfaatkan aturan adat untuk menguasi lingko mereka.

Setelah setahun PT Arumbai beroperasi, warga lingko Lolok sempat menuliskan surat keluhan kepada pemerintah setempat. Mereka mendesak pemerintah segera menghentikan penambangan. Juga menuntut perusahaan menimbun lubang dan menanam kembali pohon di bekas lokasi galian. Hasilnya?

Nihil. Bahkan tanpa bersepakat dulu, di tahun 1997 perusahaan menggali lingko Lolok, dan terus menggali hingga tahun 2002. PT Arumbai menamai lokasi itu blok Satarnani I dan Satarnani II. Penggalian dilakukan juga di kawasan Bohorwani dan Golowiwit. Setelah warga dan para tetua adat protes, barulah terjadi musyawarah. Akhirnya, dalam pertemuan adat, perusahaan diputuskan bersalah dan harus membayar denda adat.

Melalui denda adat, mereka diharuskan menyediakan jenset untuk penerangan, membangun rumah gendang yaitu rumah adat, membuat jalan dari mata air ke rumah adat, menyediakan bahan untuk upacara syukur padi, yang biasanya dilakukan dua kali setahunnya.

Sayangnya denda adat yang tak seberapa untuk ukuran PT Arumbai, tak pernah dibayar lunas. Rumah gendang baru dibangun dan jenset baru disediakan setelah warga berdemo ke DPRD Manggarai. Yang lainnya? Tak tahu lagi warga, bagaimana harus menuntutnya.

Itu belum termasuk sawah-sawah yang rusak tertimbun batu dan tanah sampah mangan, yang ganti ruginya tak kunjung dibayar perusahaan. Sawah-sawah juga kesulitan air, karena sungai kecil yang mengairinya telah mati kekeringan. Hutan di hulunya sudah gundul, juga karena tingkah perusahaan.

Denda adat tak membantu. Puncak gunung di kawasan lingko Lolok yang dulu hijau, berubah gundul, gersang, berdebu. Juga berlubang. Waktu hujan mengguyur, lubang-lubang itu menjadi danau sepi tanpa kehidupan. Padahal daerah puncak itu merupakan kawasan larangan, semacam kawasan suci yang terlarang untuk sembarang kegiatan, yang karena itu mereka bisa terus memperoleh air.

Dari gunung, “celaka” itu terus menggulir ke perkampungan di bawahnya. Waktu musim hujan, sawah dan kebun penduduk penuh genangan lumpur hitam. Lumpur itu tadinya sampah mangan yang ditimbun yang kemudian meluncur mengikuti air hujan. Komplit sudah kerusakan di sana, dari hutan, sungai, sumur, juga sawah, juga ladang.

“Dulunya, sebelum perusahaan datang, tiap keluarga di lingko menghasilkan sekitar 30 karung padi ladang, dan bisa 3000 ikat jagung. Sekarang, 10 karung padi saja syukur, kalau jagung malah bisa kosong” geram Remigius Jameon, mewakili kegeraman warga lainnya.

***
Bukan dengan warga saja PT Arumbai memiliki masalah, karyawannya sendiri merasa menderita bekerja di situ. Enam tahun lalu, dua ratusan buruhnya mogok kerja menuntut alat kerja yang lebih sehat dan aman seperti masker, helm, kaos tangan dan sepatu kerja. Juga mereka meminta kenaikan gaji dan uang makan.

''Kami disuruh membeli masker sendiri. Mana kami mampu! Sesekali ada dokter yang datang memeriksa, tetapi bila sakit kita urus sendiri,'' ujar seorang pekerja tetap. Setiap bulan gaji yang ia bawa pulang sebesar 200 ribu rupiah. Jumlah yang terlalu kecil. Buruh harian di situ juga mendapatkan upah yang minim betul, hanya sembilan ribu rupiah per harinya. Semua uang
yang mereka terima setiap bulan dari perusahaan, manalah cukup menutupi kebutuhan hidup, belum lagi biaya menjaga kesehatan atau berobat jika sakit.

Sewaktu mendengarkan keluhan Nelly, salah seorang warga yang bekerja di perusahaan yang juga menjadi koordinator buruh perempuan, soal bagaimana perusahaan menghargai keringat mereka, sulit menampik untuk membenarkan mereka mogok bekerja.
“Sepuluh tahun saya bekerja di PT. Arumbai, hanya pas membiayai makan-minum, tidak cukup untuk tabungan, apalagi membangun rumah yang baik.”
Rumahnya di seberang kali, atap dan dindingnya masih dari Sante atau Bambu.

"Masyarakat gantung periuk nasi di perusahaan. Dulu kami bisa hidup sehat dan panjang. Tetapi sejak perusahaan datang, sudah tidak bisa lagi."

Ada juga Melti yang baru dua tahun bekerja di PT AMB. Menurut Melti, buruh perempuan bekerja dengan fasilitas sangat minim dan beresiko. “Kami mendapat satu masker setiap tanggal 10, pembagian berikutnya tanggal 20. Begitu setiap bulannya. Artinya satu masker harus dipakai dalam 10 hari”, ujar Melti. Padahal setiap hari mereka memilah batuan mangan, yang tentunya akan menghirup debunya.

Mereka sendiri sebenarnya telah berkali-kali mengeluhkan hal itu dan menyampaikannya kepada perusahaan. Tapi perusahaan tidak menanggapinya, bahkan terkesan menghindar untuk membicarakannya.

Negosiasi selama empat jam mengakhiri aksi mogok itu. Sebulan waktu yang diberikan pada perusahaan untuk menjawab tuntutan tersebut. Tak semuanya dipenuhi, termasuk perubahan status buruh harian lepas menjadi tetap.
“Sejak itu, gaji kami naik,”

Tahun kemaren mereka bisa mendapatkan gaji hingga 22 ribu rupiah per hari, ada tambahan Rp 6.600 per jam jika lembur.

***

Hari Sabtu, biasanya buruh diliburkan. Di hari itu dinamit-dinamit dipasang, lalu diledakkan sehingga memecahkan batuan mangan. Suara ledakan yang berasal dari bukit dan gunung itu terus bersambung dari pagi sampai sore. Suara itu beserta guncangannya bisa dirasa oleh mereka yang tinggal di Reo, yang jaraknya 6 kilometer dari lokasi tambang. Kadang jika dibutuhkan, peledakan dilakukan pada hari kerja, senin dan rabu.

Ledakan biasanya disertai semburan debu. Setelah diledakkan, batuan dipindahkan ke atas truk-truk raksasa yang sanggup menggendong 15 ton batu mangan. Sewaktu truk melintasi jalan, getaran yang keras terasa, sambil meninggalkan debu-debu yang beterbangan.

Dari puncak gunung, batu mangan diangkut truk menuju Sirise. Di sana bebatuan itu akan diproses lagi. Turun dari truk, batuan dibor agar ukurannya lebih kecil. Lantas diletakkan di atas eskavator, alat ini mirip meja panjang yang berjalan. Disinilah buruh perempuan berdiri di kanan dan kiri eskavator, mengambil dan membuang batu gamping dan batu lainnya, memisahkannya dari bijih mangan. Pemisahan dilakukan hingga dua kali. Lalu, bijih mangan beraneka ukuran itu diangkut ke pelabuhan Sirise, ditimbun disana, sesuai ukuran yang sama, hingga jumlahnya mencukupi untuk diangkut tongkang ke luar negeri.

Debu-debu hitam yang berterbangan sejak penggalian, pengangkutan, hingga pemisahan bijih mangan inilah yang diprotes warga.

****
Sekitar 90% unsur mangan dunia digunakan untuk peleburan logam (metalurgi), proses produksi besi-baja. Sedang 10 persen sisanya antara lain untuk produksi baterai kering, keramik, gelas, dan kimia.

Dalam tubuh kita sendiri secara alami menggunakan mangan untuk metabolisme. Ion-ion mangan baik agar glukosa, atau zat gula, di dalam tubuh bisa bekerja. Tentu saja, ada batas tertentu yang bisa diterima tubuh kita sehingga mangan tetap bermanfaat. Jika berlebih banyak, ia sanggup merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker pada manusia, hewan dan tumbuhanmelalui rantai makanan (food chain).

Sementara di Sirise, warga disana sudah terlalu berlebihan mengonsumsi mangan karena kegiatan penambangan. Mangan itu masuk melalui udara yang mereka hirup, air yang mereka minum hingga nasi yang mereka makan.

Dalam suratnya kepada Komnas Perempuan, mereka melaporkan gangguan kesehatan yang baru mereka rasakan setelah tambang beroperasi. Mulai batuk pilek, susah tidur, gangguan sesak napas ringan hingga berat, batuk berdarah, dada bagian kiri sakit, diare berlendir dan berdarah - warga menyebutnya “keluar WC darah”. Bahkan ada balita yang mulai menderita tumor di kemaluannya.

Salah satunya, Tadeus Nasor, 55 tahun, yang mengeluarkan darah setiap kali ia batuk atau buang air besar. Nasor bekerja di PT Arumbai sejak tahun 1995 hingga sekarang. Ia sempat dirawat di RSUD Ruteng, sebelum dokter menyarankan berobat ke Kupang atau Denpasar. Sayang, Nasor dan keluarga terpaksa tak mengindahkan saran itu, tak cukup uang.

Penyakit yang sama juga diderita Inhol Jahudin. Di malam hari, mereka menjadi sulit tidur dengan nafas terasa sesak. Dan penyakit ini bukan saja menyerang laki-laki, perempuan pun tak luput. Rosalita Mita, 38 th, mengaku tersiksa dengan batuk kering, bagian dadanya terasa sakit, sesak nafas dan susah tidur di malam hari. Tetangganya, Ibu Maria - juga menderita serupa.

Tak ketinggalan pula anak-anak. Laweriana Yormika yang berumur 10 tahun, siswa kelas 3 Sekolah Dasar Luwuk, menderita sakit dada dan sesak nafas di malam hari. Noviana Adi juga begitu, menderita batuk keluar dahak bercampur darah dan sesak nafas, tiga tahun ia lebih tua dari Yormika. Dan terasa semakin miris rasanya sewaktu melihat Tian, lengkapnya ia bernama Kristiani Tian, umurnya baru 3 tahun 4 bulan, tetapi sudah menderita sesak nafas yang akut, dan tumor di kemaluannya.

“Meski sejak lama ada pertambangan di sini, manfaatnya tak ada. Warga tidak pernah mendapat pengobatan gratis. Jangankan Puskesmas, Puskesmas pembantu pun tak ada. Untuk berobat kami harus datang ke Reo atau Dampek, 12 km dari kampung ini,” kata Maria Mene.

Selain tujuh orang di atas, saat ini terdapat sebelas warga lainnya yang melaporkan masalah gangguan kesehatan serupa. Dan bisa dipastikan ini semacam puncak gunung dalam lautan, bagian terbesarnya masih belum terlihat.

“Kami pernah mengeluh tentang kami punya kehidupan untuk masa depan, tapi pihak perusahan tidak pernah menjawab keluhan kami. Menurut pihak perusahan itu bukan urusan mereka, tapi itu urusan pemerintah karena perusahan sudah bayar semuanya kepada pemerintah,” tambah Maria.

****

Dalam satu kali pengangkutan mangan keluar negeri, pemda Manggarai mendapatkan pemasukan Rp. 66,4 juta. Untuk jumlah tersebut, mereka rela mati-matian membela perusahaan.

Di media lokal - bulan Februari lalu, Kadis Pertambangan dan Energi Pemda Manggarai - Ir. Ngkeros Maksimus menyatakan “PT Arumbai selalu berusaha memenuhi dan memperhatikan kebutuhan warga. Misalnya dengan memberi dua unit jenset, menggali dua sumur, membuka jalan, mendirikan rumah gendang, kapela serta bantuan pukat untuk nelayan. Pihak perusahan selalu berusaha memenuhi kebutuhan warga.“ Disana, warga menyebut gereja kecil dengan nama
kapela.

Pernyataan Ngkeros dibantah warga. “Kami tak pernah mendapat jenset, tak ada listrik di kampung kami, apalagi dibangunkan kapela. Kami harus pergi ke Reo untuk beribadah. Ada 6 keluarga menggunakan jenset milik pribadi
untuk listrik, sisanya menggunakan pelita minyak. Sumur sudah ada sebelum PT Arumbai masuk. Bantuan pukat memang ada. Tapi terpaksa kami terima karena ladang kami tak bisa ditanami, banyak warga yang beralih menjadi nelayan,” bantah Nelly.

Soal jalan, menurut warga PT Arumbai hanya merapikan jalan tanah berbatu kasar, selebar ukuran truk perusahaan. Sebenarnya PT Arumbai jyang paling banyak menggunakan jalan itu menjadi jalan utama perusahaan dari lokasi penggalian menuju tempat pengolahan. Tak begitu banyak warga yang menggunakan jalan ini, tak ada kendaraan umum yang rutin melintas, sementara sedikit sekali yang memiliki kendaraan pribadi. Jangan berharap nyaman berjalan kaki dijalan ini, setiap kali ada truk melintas selalu menyisakan debu.

Air bersih? Sirise dan lingko Lolok telah bercerita tentang sumber air mereka yang tercemar mangan. Sementara di kampung tetangga – Luwuk, perempuan harus antri beberapa jam membawa jerigen dan timba, untuk bisa menampungi air yang mengalir pelan dari sebuah pipa. Tidak ada bak penampung air di situ. Mereka yang tidak sabar biasanya memilih bergegas ke mata air, dan untuk itu habislah beberapa jam waktu mereka.

Soal Pendidikan? Sekolah Dasar I Luwuk. Satu-satunya sekolah yang terdekat, 60 anak berasal dari Sirise dan Luwuk belajar di situ. Empat orang tenaga pengajar SD Luwuk dibayar melalui dana BOS. Sekolah ini dibangun pemerintah tahun 1982, tujuh tahun kemudian direhablitasi. Tambahan ruangan baru dibangun berturut-turut dari tahun 2002 dan 2007. Semuanya dana ditanggung pemerintah.

Tak ada rupiah dari perusahaan untuk memperbaiki bangunan sekolah itu. Tak ada sedikitpun bantuan untuk hadirnya buku-buku bermutu. Tak sedikitpun bantuan bagi guru-guru di sana untuk maju. PT Arumbai? Ya, secuilpun mereka
tak pernah berniat ingin mencerdaskan anak-anak di sana, kecuali satu, menambang mangan.

Semakin sulit saya menemukan bukti jika pertambangan membawa kesejahteraan bagi orang-orang lokal, seperti yang dilaporkan anggota DPD NTT ini. Apa yang diperbuat perusahaan tambang persis politisi, menebar janji di awal, lalu mengingkarinya saat berkuasa.

Pertambangan membuka isolasi suatu wilayah sambil membawa peradaban baru yang lebih baik. Berbagai fasilitas publik akan dibangun, sekolah, air bersih, puskesmas bahkan perumahan, dan tempat hiburan. Begitu lagu lama yang selalu disampaikan pelaku pertambangan, diikuti koor ,“amin,” dari pemerintah dan kadang cerdik pandai kampus.

Kenyataan di kampung Sirise, lingko Lolok dan Luwuk - membuktikan
sebaliknya. Dan banyak di tempat lain juga begitu. (JM)

No comments: