Wednesday, March 27, 2013

MANDI DAN MINUM AIR HUJAN, BERANI?

Oleh: Yovi Toni (sudah diposting sebelumnya di blog Kompasiana)
tulisan ini merupakan karya Yovi Toni. Sangat menarik buah karya beliau dan tentu penting untuk menjadi pembelajaran kita bersama dalam penangguangan bencana. tidak hanya dalam tanggap darurat, tapi juga untuk upaya pra maupun paska bencana. tinggal, bagaimana kita melihat proses panen hujan tersebut dilakukan. apakah air hujan yang telah tertampung tersebut melalui media lain yang memiliki tingkat higienist yang cukup baik. sehingga tidak perlu sentuhan apapun karena merupakan air murni....


Rata-rata curah hujan Indonesia di atas 2 meter per tahun. Yang artinya kalau semua air hujan yang turun tidak mengalir ke mana-mana, tidak meresap dan tidak menguap maka Indonesia terendam setinggi 2 meter. Jumlah yang terlalu banyak, sehingga malah menimbulkan keluhan. Kita senang di hari-hari pertama musim hujan, lalu mengeluh di hari-hari berikutnya dan sangat lega ketika musim hujan akhirnya benar-benar pergi. Sekali lagi, karena kita menganggap hujan turun melampaui kebutuhan sehari-hari kita.

Di banyak tempat, dalam situasi banjir dan tanah longsor, sumber air tawar yang paling utama adalah air hujan. Bahkan untuk beberapa daerah beriklim kering di Indonesia, air hujan menjadi satu-satunya sumber air sepanjang tahun.
Tapi untuk daerah yang berlimpah air bersih, air hujan kurang mendapatkan tempat, bahkan imejnya buruk. Ini hanya gara-gara ada anak kena flu sehabis kehujanan, atau kena diare sehabis minum air hujan. Air hujan dituduh sebagai biangnya.
Dan karena Indonesia berkelimpahan air tanah, kita lebih sering mendengarkan cerita buruk tentang air hujan. Beda dengan wilayah beriklim kering seperti Afrika, Australia Utara atau di Pakistan, di mana air hujan sangat dihargai.


Monday, January 21, 2013

PEMBERITAAN BENCANA

Kadang dilematis menyaksikan pemberitaan tentang bencana. satu sisi, kita membutuhkan info terkini yang diberitakan -  tapi sisi lain kadang etika jurnalistik kerap terabaikan. Tidak jarang kita mengumpat menyaksikan reporter dalam mebawakan berita atau mewawancarai narasumber. Kadang -  tanpa tersisa perasaan sebagai orang yang berada dilokasi bencana. Gambar-gambar yang ditayangkan pun kadang "ajaib". guna mendukung pemeritaan - kerap gambar yang ditampilkan bukan gambar terkini. tapi gambar yang teleh lewat yang menunjukan "kehororannya".

Kawan Armin Bell dari Ruteng - Flores dengan rasa gemas menuliskan unek2 dalam milis bencana. Kegeraman Armin bukan tanpa alasan. Beliau menuliskannya setelah menyaksikan salah satu stasiun swasta dalam meliput banjir Jakarta. Sang Reporter yang tidak menunjukan empati terhadap kerja relawan serta telah memiliki persepsi sendiri berusaha mendesak narasumber yang saat itu seorang relawan -  seolah kerja2 kemanusiaan yang dilakukan adalah salah.

Satrio Arismundandar, salah seorang jurnalis stasiun swasta juga menuliskan pemikirannya yang intinya mengingatkan kepada jurnalis untuk mengedepankan etika jurnalistik. diantara tekanan dan kebutuhan berita yang diperoleh dilapangan. Hal yang wajar tentunya jika berita yang dibawa harus spesial. karena selain akan menunjukan spesial bagi stasiun televisi yang bersangkutan -  juga akan membawa hal yang spesial bagi si reporter itu sendiri.

SELALU ADA PELUANG DIANTARA KONDISI KRISIS..

Kagak bisa lewat om.. aernya di tengah sepinggang. Naek grobak aja, kagak dimahalin kok? emang si Om mau kemana?

Tawaran jasa mengantarkan warga yang terhadang banjir menjadi fenomena umum. berbagai jenis dan ukuran grobak yang sebelumnya berfungsi mengangkut sampah, barang bekas atau barang dagangan beralih fungsi. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok kecil untuk melayani jasa mengangkut orang, barang atau kendaraan roda dua. Biaya jasa tentu bervariatif. dari 20.000 -  50.000. Bahkan tidak jarang lebih.

Tentu tidak hanya gerobak yang di karyakan. Perahu/rakit pun bermunculan dengan jenis, bentuk dan ukuran. Bahkan dibeberapa kawasan elit, menurut laporan statius TV Swasta - harga sewa perahu mencapai jutaan. berbagai usaha dadakan pun bermunculan. Yang juga muncul adalah mengelola lahan parkir atau penitipan kendaraan.

Bagi sebagian orang, banjir bisa menciptakan peluang ekonomi. Bahkan peluang temporary ini pun jauh melampaui pendapatan hariannya. "Lumayan lah om -  sekedar buat beli rokok sama kopi. dari pada nganggur dan mikirin banjir. udah barang2 ancur di rumah - kagak ada makanan -  istri ngomel2, anak nangis minta jajan -  mending kerja khan?".

Sunday, January 20, 2013

AKUNTABILITAS VS KEBUTUHAN DAN RELAWAN

Banjir yang kembali menggenangi banyak kawasan di Jakarta, kembali mengingatkan kita pada perdebatan panjang; akuntabulitas vs kebutuhan para penyintas. Akuntablitas yang umum di usung lembaga-lembaga kemanusiaan menduduki pringkat pertama. jangan harap bicara tentang distrubusi bantuan tanpa ada data detil penyintas yang mengungsi. Dari mulai lokasi, jumlah jiwa, jenis kelamin, kelompok umur sampai hal-hal yang kadang membuat kening berkerut.

Akuntabilitas menjadi hal penting, bahkan terpenting tidak lepas karena perjalanan waktu penanganan bencana sebelumnya. Bantuan tidak tepat sasaran, menumpuknya bantuan sampai penyelewengan bantuan. bagi pekerja kemanusiaan, tentu tragedi penanganan pengungsi di Rwanda menjadi momok yang menakutkan. Niat tulus membantu berbuah petaka. saat Bantuan susu balita yang tidak diimbangi dengan informasi akurat terkait ketersediaan air bersih memunculkan wabah. Dan kematian balita akibat wabah justru jauh besar ketimbang korban balita akibat konflik itu sendiri.

Friday, January 18, 2013

Banjir dan gagap lagi.....

Banjir dan Sejarah
Dari sejarah bertumbuhannya - Jakarta atau doeloe di kenal dengan Jayakarta atau Batavia merupakan kawasan genangan. Adalah Jan Pieterszoon Coen yang saat itu menjabat Gubernur Jenderal VOC meminta Simon Stevin merancang kota di muara Kali Ciliwung. Sebuah kawasan yang memang langganan banjir. Mimpi JP. Coen adalah membuat kota replikasi Amsterdam di Asia. Untuk mengantisipasi banjir -  sekeliling kota di bangun parit dan kanal (Ahmad Arief - Kompas, 2013)

Kejadian banjir besar Jakarta telah menjadi sejarah panjang sejak berdirinya kota ini tahun 1619 dengan nama Batavia. Bahkan jauh sebelum itu, 1.600 yang lalu jejak banjir telah tercatat melalui Prasasti Tugu peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang ditemukan di Cilincing, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Prasasti yang dibuat sekitar tahun 403 Masehi memuat tentang penggalian kanal atau Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati sepanjang 11 Km sebagai media pengendali banjir sekaligus menampung air saat musim panas (Detik.com, 2013)

Pembangunan kanal merupakan satu upaya mitigasi mengurangi ancaman banjir dan memfungsikannya untuk kepentingan lain. salah satunya adalah untuk transportasi, air baku atau sarana rekreasi. Itu juga yang menjadi salah satu dasar JP. Coan membangun memotong sungai Citarum yang berkelok menjadi lurus pada dua bagian untuk kebutuhan transportasi pelayaran.