Banjir dan Sejarah
Dari sejarah bertumbuhannya - Jakarta atau doeloe di kenal dengan Jayakarta atau Batavia merupakan kawasan genangan. Adalah Jan Pieterszoon Coen yang saat itu menjabat Gubernur Jenderal VOC meminta Simon Stevin merancang kota di muara Kali Ciliwung. Sebuah kawasan yang memang langganan banjir. Mimpi JP. Coen adalah membuat kota replikasi Amsterdam di Asia. Untuk mengantisipasi banjir - sekeliling kota di bangun parit dan kanal (Ahmad Arief - Kompas, 2013)
Kejadian banjir besar Jakarta telah menjadi sejarah panjang sejak berdirinya kota ini tahun 1619 dengan nama Batavia. Bahkan jauh sebelum itu, 1.600 yang lalu jejak banjir telah tercatat melalui Prasasti Tugu peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang
ditemukan di Cilincing, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Prasasti yang
dibuat sekitar tahun 403 Masehi memuat tentang penggalian kanal
atau Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati sepanjang 11 Km sebagai media pengendali banjir sekaligus menampung air
saat musim panas (Detik.com, 2013)
Pembangunan kanal merupakan satu upaya mitigasi mengurangi ancaman banjir dan memfungsikannya untuk kepentingan lain. salah satunya adalah untuk transportasi, air baku atau sarana rekreasi. Itu juga yang menjadi salah satu dasar JP. Coan membangun memotong sungai Citarum yang berkelok menjadi lurus pada dua bagian untuk kebutuhan transportasi pelayaran.
Namun, mimpi menciptakan kota yang bebas banjir dengan pendektan teknis ini tidak bertahan lama. pertumbuhan kota yang tidak terkendali menyebabkan kota semerawut. Sendimentasi, sampah maupun bangunan-bangunan memenuhi ruang-ruang kota baru. Akhirnya, kota baru ini pun ditinggalkan setelah banjir besar tahun 1621 dan 1654. pada akhir abad 18, terjadi perpindahan besar2an ke tempat yang lebih tinggi yang di kenal dengan Weltevreden (sekitar lapangan Banteng)
Kota baru yang diresmikan sebagai Ibu Kota Batavia tahun 1830 ini tidak juga bebas banjir. Tahun 1892 Batavia tergenang setelah hujan lebih dari 8 jam (286mm). Restu Gunawan, sejarawan yang meneliti sejarah banjir Jakarta menceritakan kepada Ahmad Arif dari Kompas; "Batavia kembali kebanjiran pada 1895, 1899, 1904,
dan 1909. Pemerintah kolonial dinilai gagal mengatasi banjir. Pada 19
Februari 1909, koran de Locomotief menulis berita berjudul ”Batavia
Onder Water”, pelesetan dari singkatan BOW (Burgelijke den Openbare
Werken), kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk
pengairan.
Sejak itu, banjir di Batavia terus meluas seiring
pembengkakan jumlah penduduk. Januari 1918, Batavia dilanda banjir hebat
sehingga melumpuhkan aktivitas kota selama sebulan. ”Belanda coba
mengatasi banjir dengan membangun kanal dan pintu air,” kata Restu.
Peninggalan
itu, antara lain, Kanal Banjir Kalimalang, pintu air Matraman, dan
pintu air Karet. Kanal Banjir Kalimalang, menurut Restu, bisa
menyelamatkan kawasan Menteng dan sekitarnya yang dihuni kalangan elite
Belanda dari banjir tahun 1923. Namun, permukiman pribumi di Batavia
tetap banjir.
Dari dulu, kanal tidak memberi jaminan, apalagi Kanal Barat yang
dirancang Herman van Broeen tahun 1923 dan baru dibuat pada 1973. Proyek
itu sudah ketinggalan 50 tahun. Adapun Kanal Timur dibangun pada 2006.
”Sistem Kanal Banjir Kalimalang yang dibuat ketika penduduk Jakarta
masih di bawah 800.000 orang saja tidak bisa mengatasi banjir. Anehnya,
kita sekarang masih mengandalkan kanal, bahkan mau membangun deep
tunnel,” ungkapnya.
Hidup Harmonis Bersama Risiko
"Living harmony with risk". Ungkapan itu mulai akrab ditelinga kita paska erupsi Merapi 2010. Ungkapan senada sudah banyak diungkapkan untuk isu yang lain yang mendorong hubungan harmonis antara masyarakat dengan lingkungan.Hidup harmonis bersama risiko tidak lepas dari wilayah Indonesia yang secara alamiah rawan bencana. tidak saja geologis seperti gempa, tsunami, erupsi gunung api atau longsor. tapi juga ancaman bencana lain seperti banjir, angin puting beliung sampai bencana sosial dan kegagalan teknologi.
Melihat fenomena Jakarta yang sejak awal memang merupakan daerah banjir - konsepsi living harmony with risk (LHwR) merupakan keharusan. Banjir yang tidak mungkin dihilangkan pada beberapa wilayah di Jakarta harus ditempatkan tidak semata-mata ancaman berisiko yang harus ditakuti dan dihilangkan. Karena sebuah konsekwensi logis bagi siapapun saat menempati wilayah rawan bencana - suatu saat ancaman tersebut akan datang. Menjadi bencana atau tidak tergantung dari manusianya itu sendiri terkait dengan seberapa besar kerentanan dan kapasitas yang dimiliki dalam menghadapi ancaman tersebut.
Memahami risiko yang akan timbul akibat banjir merupakan langkah awal. dan bisa dipastikan, risiko tersebut, baik dari sisi manusianya, sosial-budaya, ekonomi, infrastrukr maupun lingkungan secara umum telah dipahami. Bahkan beberapa hal yang lebih teknis pun telah dikuasai warga. seperti memantau perkembangkan dan kemungkinan banjir melalui informasi dari pintu air Katulampa, Karet dll. Juga menyiapkan berbagai keperluan evakuasi dan penyelamatan aset-aset berharga.
Mengungsi sebagai sarana penyelamatan dan perlindungan diri dari ancaman banjir bukan lah hal baru baru. khususnya bagi wilayah yang selalu tergenang banjir. Kondisi ini jelas menjadikan warga memahami berbagai kebutuhan untuk proses tersebut. Dari mulai kapan dan dimana tempat mengungsi, jalur evakuasi menuju tempat pengungsian, kemungkinan lama tinggal di tempat pengungsian sampai kebutuhan pribadi dan komunal.
Mengungsi sebagai sebuah "kewajiban" seharusnya menjadi bagian dari daur kehidupan warga. demikian juga prosesi evakuasi, menyiapkan makanan, air bersih dan air minum, maupun kebutuhan dasar lainnya; seperti hunian/shelter, sanitasi maupun pelayanan kesehatan. Rutinitas banjir dan mengungsi juga seharusnya menjadi bagian yang ditempatkan sebagai daur kehidupan masyarakat pada sektor-sektor lain. seperti pendidikan, kesehatan juga mata pencaharian.
Dalam kondisi apapun, toh kita tetep harus makan. Kalau sakit, kita juga kadang perlu obat. Nah, kalau sudah seperti itu - kenapa saat banjir kita menjadi berharap bantuan? Apalagi yang namanya banjir sudah menjadi rutinitas? Kedatangan banjir pun sudah bisa dipastikan telah dikatahui bersamaan dengan musim hujan. tidak adakah persiapan menghadi tamu rutin tersebut jauh sebelum air tersebut menggenangi wilayah mereka?
LHwR adalah sebuah konsep kuno yang ada dan berkembang dibanyak komunitas. Rumah panggung adalah salah satu bukti, bagaimana sebuah komunitas menyesuaikan tempat tinggalnya dari binatang buas atau banjir. Demikian juga jenis-jenis tanaman budidaya, diversifikasi pangan, bahkan alat mobilitas. Komunitas juga umumnya memiliki pengetahuan dan kearifan lokal - termasuk deteksi dini terhadap datangnya ancaman bencana. Dari mulai yang bersifat alamiah maupun klenik (mistis). Namun jika kita cermati lebih dalam - apa yang ada di komunitas kerap dapat kita terjemahkan dalam kontek science. termasuk yang bersifat mistik.
LHwR dalam Ancaman Banjir
Wilayah pemukiman yang tidak lagi dapat dihilangkan ancamannya seperti banjir di wilayah Jakarta, LHwR adalah sebuah pilihan. Memilih untuk tetap tinggal artinya telah memilih risiko yang akan dihadapi saat banjir. termasuk kehilangan jiwa dan harta benda jika kita tidak siap menghadapi ancaman bencana tersebut. tidak siap dalam artian berisiko tinggi karena tingkat kerentanan lebih tinggi dari ancaman yang ada. hukum alam mengajarkan, siapa tidak mampu beradaptasi - maka akan tersingkir, mati atau punah.
Risiko disini tentu tidak saja menjelang dan saat kejadian. tapi juga paska kejadian yang merupakan fase pemulihan dan pembangunan kembali (rehab - rekon) atau sebelum kejadian bencana. ruang lingkup LHwR meliputi seluruh fase-fase dalam daur bencana. LHwR bukan dominasi pra bencana terkiat mengelola dan menyiapkan diri mengelola risiko. Pada saat kejadian (tanggap darurat) - LHwR pun menjadi bagian tidak tidak terpisahkan. Risiko bencana sekunder selalu mengintip. akan menjadi bencana jika penanganan bencana primer tidak dilakukan dengan baik. Wabah atau sektor kesehatan adalah salah satu yang menjadi ancaman bencana sekunder yang kerap menyertai jenis bencana apapun.Jenis-jenis ancaman lain juga bisa terjadi. seperti longsor, banjir bandang atau kebakaran untuk jenis ancaman gempa, lahar dingin untuk erupsi gunungapi, atau pencemaran untuk bencana teknologi.
LHwR untuk banjir dalam kontek makro adalah upaya adaptasi terhadap ancaman bencana. menenpatkan ancaman bencana sebagai peluang atau paling tidak sebagai kejadian yang menjadi bagian dari sistem kehidupan. Kondisi ini memposisikan kita yang secara sadar tinggal pada wilayah berisiko menyesuaikan atau menyiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Hal yagn terpenting adalah - tidak menggantungkan pemenuhan kebutuhan dasar pada orang atau pihak lain. sebagaimana kita menentukan tetap tinggal dan hidup pada wilayah rawan bencana itu sendiri.
Menyiapkan jalur, tempat dan sistem evekuasi, membangun peringatan dini, membentuk tim siaga bencana, serta menyiapkan diri memenuhi kebutuhan dasar menjadi hal mutlak. tidak lagi menggantungkan pihak lain untuk membantu. Kebutuhan krusial justru terjadi pada sebelum kejadian bencana. apa dan bagaimana menyiapkan diri menghadap ancaman banjir yang ada. termasuk mempredisi kemungkinan-kemungkinan banjir yang lebih besar dari biasanya. Ini tentu terkait dengan kepasitas maupun tingkat kerentanan yang telah ada sebelumnya.
Hal-hal yang diluar kemampuan komunitas lah yang perlu di petakan. seperti tempat evakuasi yang mungkin harus menggunakan fasilitas pihak lain, sumber dan akses informasi penting (seperti prakiraan cuaca/curah hujan, informasi ketinggian air, wilayah2 genangan dll), pelayanan kesehatan lanjutan (khusus), atau terkait keamanan lingkungan yang membutuhkan tenaga polisi atau tentara.
Sedangkan kebutuhan dasar lain seperti pangan, air bersih, pelayanan kesehatan dasar, sanitasi atau hunian/penampungan sementara seharusnya telah disiapkan jauh hari sebelum banjir datang. Setiap orang dari komunitas yang berisiko (pasti kena banjir dan mengungsi)- sudah seharusnya telah menyiapkan bahan pangan selama waktu pengungsian yang dibutuhkan. demikian juga dengan pakaian, air bersih dll.
Kondisi ini terkait dengan ketapatan - kapan waktu komunitas harus evakuasi. sehingga berbagai kebutuhan dapat disiapkan dan dibawa ketempat pengungsian. Sedangkan kebutuhan yang bersifat komunal - telah disiapkan secara bersama-sama oleh komunitas itu sendiri
Jika kondisi tersebut dapat tercipta - pemeirntah, pemerintah daerah atau kelompok masyarakat sipil tinggal memenuhi gaps dari kebutuhan yang ada bukan?
No comments:
Post a Comment