Sunday, December 17, 2017

MAKSIAT DAN BENCANA

Hampir bisa dipastikan, setiap ada kejadian bencana akan ada opini yang mengkaitkan kejadian tersebut dengan maksiat. Bencana sebagai balasan atau azab akibat perbuatan maksiat. Dan sudah dipastikan juga, akan ada respon balik atas pernyataan tersebut. Baik yang bersifat "nyinyir", mempertanyakan atau mencoba menjawab ada tidaknya hubungan antara bencana dan maksiat.

UNISDR secara prinsip menyebut sebuah kejadian atau kondisi dari bahaya (hazard) menjadi bencana ketika : 1) menyebabkan gangguan yang meluas di masyarakat, 2) berdampak yang menyebabkan  kerugian (jiwa atau sosial budaya, ekonomi, fisik dan lingkungan), dan 3) masyarakat terkena dampak tidak memiliki kemampuan mengatasi dampak yang ditimbulkan. Terminologi ini secara jelas menempatkan, TIDAK SEMUA ancaman menjadi bencana. Bisa saja gunungapi erupsi setiap hari, jika tidak memenuhi ketiga variabel di atas, bukan lah bencana. Dan ini tentu berlaku untuk jenis-jenis ancaman bencana yang ada. Gempa, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran gedung dan pemukiman atau hutan dan lahan dll.

Terkait dengan terminologi bencana, sekalipun kita telah memiliki dan menjalankannya selama 10 regulasi PB, masih perlu upaya lebih dalam membumikan gambaran secara utuh dan ruang lingkupnya. Implikasinya, tentu terkait erat dengan berbagai upaya yang diperlukan dalam mengurangi risiko bencana.

Mengkaitkan Maksiat dengan bencana pada dasarnya tidak berbeda ketika banyak orang mengkaitkan Bencana dengan Takdir. Ketidak mampuan menterjemahkan atau menggunakan terminologi yang sama menempatkan peristilahan tersebut "salah tempat" dalam penggunaannya. Dan bisa jadi, akan benar dan semuanya akan sapaham atau sependapat, saat ruang yang digunakan telah sama.

Maksiat dan bencana memiliki hubungan. Saya pribadi sangat sepakat. Sama sepakatnya dengan pemahaman atas hubungan bencana dan takdir. Kesepahaman saya ini tidak lepas dari makna maksiat itu sendiri. Maksiat memiliki makna durhaka/tidak patuh (maksiyah - arab). Maksiat adalah lawan kata dari Taqwa, sebuah perbuatan dosa, tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.  Maksiat tidak hanya dimaknai sempit seperti judi, zina, minum minuman keras, dll. Hal yang sama dalam memaknai takdir dalam artian sempit hanya menerima tanpa ada upaya atau ikhtiar sebagai bagian dari kewajiban manusia.

Maksiat sebagai pemicu bencana menjadi sangat relevan jika kita memperluas makkna maksiat tersebut sebagai perbuatan yang meninggalkan perintah dan menjalankan larangan Allah SWT. Durhaka tentu tidak tidak hanya berjudi, minum khamer atau narkotik dan zina. adalah bagian dari durhaka adalah korupsi, membabat hutan, membunuh satwa, merusak sungai, mengeruk bahan tambang atau membuang limbah atau melakukan pencemaran. Juga termasuk maksiat adalah melanggar aturan, tidak menegakan hukum atau mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Secara jelas, perbuatan-perbuatan tersebut adalah mengangkangi perintah Alllah SWT untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi.  Akibat dari perbuatan maksiat tersebut, Allah SWT menegur untuk memberi peringatan atau mengazab dengan bencana. Bencana yang relevan dengan perbuatan merusak alam.

Dalam kotek pengelolaan risiko bencana, terdapat ancaman yang tidak dapat diintervensi. Paling tidak sampai saat ini, Iptek belum mampu meredam gempa bumi, tsunami atau letusan gunungapi. Untuk mengurangi risikonya, intervensi dilakukan mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas.

Tidak setiap kondisi atau ancaman menjadi bencana dapat menjadi dasar menempatkan pemahaman pola hubungan "maksiat dan bencana" atau "takdir dan bencana". Ancaman sebagai takdir yang termuat sebagai siklus alami cukup relevan. Sekalipun masih dapat digali faktor-faktor pemicu sebagai akibat perbuatan manusia. Gempa bumi terkait dengan perubahan iklim merupakan sebuah hipotesa yang telah dibuktikan relevansinya melalui penelitian Simon Dya (Oxford Univ), Mc Guire dan Serge Gueles  (UCL) selama 30 tahun dan di paparakan dalam "Climate Forcing of Geological and Geomorphological Hazards", September 2009 di London Inggris.

Berbagai perbuatan yang melawan alam dan menyebabkan kerusakan dapat dipastikan adalah perbuatan maksiat. Perbuatan sebagai bentuk pembangkangkan atas perintah dan larangan Allah SWT. Karena Allah SWT melalui Al Quran dan Hadits secara jelas memerintahkan menjaga alam dan melarang berbuat kerusakan.

Luasnya makna Maksiat, tidak hanya zina, mabuk atau berjudi membuka ruang bagi kita untuk tidak hanya sekedar NYINYIR. tapi ada tantangan untuk membuka wacana makna maksiat secara hakiki. dan dalam kontek manejemen risiko bencana, maksiat sebagai faktor peningkatan risiko, baik terhadap ancaman, kerentanan maupun kapasitas adalah fakta. Dari tidak dijalankannya kewajiban mengenal risiko, meningkatkan kapasitas, membuat regulasi reduksi risiko sampai upaya tanggap darurat dan pembangunan paska bencana. Menjadi bagian dari maksiat juga pengabaian terhadap pontensi bencana demi investasi, atau membuat kebijakan yang mendekatkan warga negara pada risiko bencana. dalam menetapkan tata ruang, pemberian izin pertambangan, perkebunan skala besar, alih fungsi kawasan dll.

Semoga, paparan bebas ini dapat menginspirasi pengembangan pemahanan atas pendekatan religi dalam manejemen risiko bencana dan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. kita sudah terlalu lelah perang opini hanya mengedepankan ego masing-masing. Negeri ini butuh solusi dan saling mengisi untuk mensikapi 94 % wilayahnya yang rawan bencana.

Mampang Prapatan, pertengahan Desember 2017

Wednesday, November 01, 2017

AMDAL KIJANG

AMDAL KIJANG, cukup lama Kata itu tenggelam dalam pikiran. Terakhir tahun 1996 - 1999 atau 20-an tahun yang lalu mengemas ulang materi sebagai media belajar dengan kawan-kawan komunitas dari 6 kawasan sebagai wilayah kerja WALHI Jogjakarta. Masing-masing komunias yang memang sedang berhadapan dengan berbagai upaya pembongkaran atas nama pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Kawasan Merapi, Pesisir Selatan, Pegunungan Menoreh, Karts Pegunungan Sewu, Perkotaan Jogjakarta dan DAS dari wilayah Jogja.

Kebutuhan yang beragam dengan latar belakang komunitas masing-masing, menempatkan perlunya penyesuaian-penyesuain. Intinya saat itu, praktis dan mudah digunakan komunitas untuk kebutuhan transfer pengetahuan antar masyarakat dan masyarakat maupun masysarakat dengan para pendukungnya yang umumnya dari luar komunitas. Baik dari kalangan Ornop, pencinta alam, jurnalis maupun akademisi. selain itu, ada kebutuhan lain, metode ini juga harus mampu sebagai alat pengorganisasian, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kritis serta alat advokasi rakyat.

Modul AMDAL Kijang (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Kaki Telanjang) telah ada sebelumnya yang digagas oleh WALHI Nasional dengan mengadopsi metode AMDAL yang ada. sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi penyusunan AMDAL oleh orang atau lembaga yang telah bersertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat, tentu harus memenuhi syarat, melalui proses dan membutuhkan biaya tidak sedikit. 

Secara prinsip, AMDAL pada awal kemunculannya adalah sebuah piranti untuk menilai kelayakan rencana usaha/kegiatan yang berpotensi mengganggu lingkungan. Jika terbukti mengganggu dan tidak mampu dikendalikan, rencana tersebut tentu harus ditolak atau tidak boleh dilanjutkan. Namun proses perjalanan menjadi berbeda. AMDAL lebih ditempatkan sebagai syarat administrasi dari rencana usaha/kegiatan. Melalui AMDAL lah, usaha mendapatkan legitimasi untuk berjalan. Berbagai dampak negatif pun dimanipulasi dengan berbagai keuntungan yang akan diperoleh. Untuk mendapatkan dukungan dari warga, dampak negatif ditutupi, sementara dampak positif ditebar.

Adanya praktik yang mempertontonkan kesenjangan ini lah yang mendorong WALHI untuk menyiapkan piranti untuk masyarakat sendiri. Masyarakat harus tahu apa yang terjadi sesungguhnya sebagai hak yang dijamin oleh Negara. Hal yang lebih penting, dengan pengetahuan dan kesadaran kritis, warga dapat duduk sejajar dengan peserta lain dalam sidang komisi AMDAL maupun kesempatan lain memaparkan fakta-fakta yang ada.

AMDAL Kijang pada dasarnya tidak memiliki metode baku. Metode dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Hal terpenting adalah, bagaimana masyarakat memahami, apa dampak lingkungan yang akan terjadi jika usaha yang akan beroperasi di wilayahnya. Untuk itu, warga perlu kembali mendalami sumberdaya yang dimiliki sebagai aset penting penghidupan mereka. Mengenali dampak yang dapat terjadi terhadap aset tersebut, dan bagaimana sikap yang harus diambil. Dalam memahami sumberdaya sebagai aset, warga dapat mengembangkan berbagai gagasan pengelolaan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Baik bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya.

WALHI Jogjakarta saat itu, mengembangkan AMDAL Kijang dengan mengadopsi teknik PRA yang saat itu memang sedang populer digunakan oleh banyak pihak, khususnya Ornop. Para ahli PRA pun berkumpul bertemu dengan aktivis yang telah mengikuti kursus AMDAL, kursus penataan ruang maupun kursus-kursus lain yang umumnya menjadi syarat sebagai tim penyusunan dokumen resmi negara. Hasilnya sungguh luar biasa. Hampir seluruh materi dalam kursus AMDAL pada dasarnya dapat diakomodir melalui teknik PRA. Tantangannya saat itu adalah, bagaimana mengilmiahkan bahasa-bahasa komunitas dalam dokumen yang akan disusun sebagai alat advokasi. Dan itu tidak terlalu sulit, karena masyarakat yang terlibat juga mendapatkan materi pemetaan aktor dan pengembangan jejaring. Sehingga warga dapat dengan mudah mencari dukungan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. seperti mengetahui jenis tanah dan batuan menurut ilmu geologi atau menambah nama-nama latin dari flora dan fauna. Demikian juga untuk memahami aspek  iklim -  pun warga akan dengan mudah mencari dukungan para ahli iklim, tentu yang memiliki keberpihakan terhadap lingkungan dan masyarakat.

Temu Wicara dan Kenal Medan (TWKM) Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) se Indonesia di Jakarta mengambalikan kembali memory proses dan implementasi AMDAL Kijang. Tidak mudah tentunya, karena telah banyak perubahan dan perkembangan zaman. Dulu untuk mendapatkan dokumen, harus mencuri-curi atau menipu sebagai mahasiwa lagi nyusun skripsi. atau kalau ada dana lebih, bisa lah menggunakan sogokan ke petugas yang sedikit pro kita sekedar untuk minum kopi. tentu dengan syarat... jangan "bilang-bilang". Saat ini, informasi begitu terbuka. Jika terhambat, media sosial dapat menjadi alat untuk menekan. Bisa juga menggunakan pendekatan hukum seperti yang dilakukan JATAM Kaltim dan JATAM Sulteng untuk membuka informasi publik. Demikian juga dulu, begitu sulitnya mendapatkan peta dasar, alat-alat pemetaan maupun SDM yang memiliki kemampuan untuk pemetaan. Jaman susah.

Akses informasi saat ini menjadi dasar, AMDAL Kijang lebih kaya informasi dan lebih mudah diterapkan. Warga masyarakat pun telah mampu mengakses berbagai informasi dan menyuarakan melalui internet. kondisi ini menjadi peluang atau modalitas untuk melakukan pembaharuan AMDAL Kijang sebagai piranti transfer pengetahuan antar warga, menumbuhkan kesadaran kritis, pengorganisian maupun advokasi.
  
Tantangan yang menarik tentunya untuk kembali membuka memori, mencari berbagai literatur terbaru dan menerapkan konsep AMDAL Kijang dalam sebuah modul pendidikan rakyat maupun para aktifis. Spesial buat  Pencinta Alam, tentu ini dapat menjadi piranti penting dalam melakukan kegiatannya berpetualang. tidak sekedar memenuhi hasrat diri, tapi juga terlibat aktif menyelamatkan lingkungan. Paling tidak lingkungan tempat mereka bermain. Kawasan Karts Maros di Sulsel, Sangkulirang -  Kaltim, Aceh, Jawa sampai Papua sedang terancam. Karts adalah wilayah bermain Pencinta alam untuk caving dan rock climbing. apakah kita rela kawasan itu hancur seperti tebing-tebing di Cibinong atau Citatah? Pegunungan Jayawijaya sebagai gunung kebanggaan Indonesia pun saat ini terus mengalami tekanan ekosistem aktifitas pertambangan emas terbesar PT Freeport. Belum lagi gunung-gunung yang saat ini di eksploitasi menjadi kawasan wisata dengan pola mass tourism, sehingga dianggap membutuhkan berbagai fasilitas yang memanjakan pengunjung. Lihatlah Bromo Tengger Semeru, lihat juga Ijen yang sedang dibongkar keasriannya.  

Kita baru berhasil menggagalkan kebodohan pengelola TN Rinjani yang memasang tulisan konyol di segara anakan. tapi mendapatkan tantangan dari TN Bromo Tengger Semeru dan Ijen. Entah gunung mana lagi yang mengikuti trend nora.
Dimana posisi dan peran pencinta alam melakukan pembelaan kawasan? 

melalui AMDAL Kijang yang dikuasai oleh kelompok Pencinta Alam, tentu akan menjadi modal dalam berkampanye atau beradvokasi. tidak hanya sekedar nyolot di media sosial tanpa tahu, kenapa harus protes bukan.
Yuk ah... ini tantangan besar kita, mari selesaikan Kurikulum dan Modul AMDAL KIJANG untuk kelompok Pencinta Alam. Ya, menjawab, dimana posisi dan peran pencinta alam tentunya....


Wednesday, October 04, 2017

PENCINTA ALAM DAN KEBERLANJUTAN HUTAN JAWA

20 tahun silam.. tepatnya Oktober 1997 - ada poster sederhana dengan kertas buram yang bikin "sebel". Kalimat provokatif membuat panas hati. "DICARI, PENCINTA ALAM PEMBERANI TIDAK TAKUT MATI". Beuh..... bener-bener menyebalkan. 
sekalipun pada dasarnya, hampir semua manusia takut akan datangnya kematian -  kalimat jelas bikin rese. Memunculkan pemberontakan pikiran untuk rasa sebaliknya. SIAPA TAKUT????

Kira-kira begitu lah provokasi dari KAPPALA Indonesia -  dimana aktifisnya para "mantan" yang gak pernah mau disebut mantan pencinta alam. Karena pencinta alam pada dasarnya adalah melekat pada diri setiap manusia. Provokasi untuk mengajak - lebih tepatnya menantang para pencinta alam untuk turun ke hutan yang bener-bener hutan. Gak sekedar hutan yang ada jalan setapaknya, lebih sering berpapasan dengan manusia atau suara pengajian, azan atau bahkan musik dangdut masih terdengar dari yang disebut "hutan".

Hasil provokasi itu berhasil menggoda 130-an pencinta alam gagah berani. Mereka belajar bersama mengenal lingkungan lewat cara-cara sederhana. Mengamati prilaku hewan, khususnya Harimau dan Elang di kebun binatang Surabaya, mencetak jejak dengan gips, analisa vegetasi, identifikasi flora dan fauna maupun bagaimana mendokumentasikan dengan baik. Singkat saja, karena para pencinta alam tersebut selanjutnya lebih banyak menyeruak hutan Taman Nasional Merubetiri selama kurang lebih 26 hari.

Berbagai temuan mengarah keberadaan Harimau Jawa berhasil dikumpulkan. Bekas cakaran, feses, jejak kaki dan rambut adalah temuan luar biasa. Demikian juga rangkaian cerita penduduk yang bertemu langsung dengan sang diraja hutan. selain mengidentifikasi bukti-bukti keberadaan sang Macan Gembong, berbagai kekayaan TN Merubitiri pun berhasil dikumpulkan. Dari mulai berbagai jenis serangga, mamalia, aves, jamur dll.

Upsh..... diantara keasyikan mengamati lingkungan TN. Merubetiri, terdapat patok-patok aneh. dari Informasi penduduk, ada sekelompok orang dari perusahaan tambang emas sedang melakukan penelitian potensi emas disana. apakah Merubiri sebagai kawasan konservasi yang ditetapkan sebagai habitat terakhir harimau Jawa akan jadi kawasan pertambangan emas?????

Dialog diantara peserta ekspedisi Macan Jowo pun berkembang dengan sendirinya. Apakah penghakiman kepunahan simbah terkait dengan rencana eksploitasi mineral mahal ini? Jika ya -  cilaka lah manusia-manusia yang mendukung kepunahan Harimau Jawa. Terlepas mereka bermotif apa?

Viralnya foto carnivor besar di TN Ujung Kulon, pertengahan September 2017 laksana bom nuklir. Tak terkirakan rasa suka cita atas naiknya pembicaraan atas masih eksisnya sang raja. Sekalipun dari hasil identifikasi foto/video mengarah pada macan tutul (Penthera pardus), tapi tidak menutup menghilangkan rasa suka cita tersebut.

Tidak ada rasa sedih atau marah terhadap berbagai argumen yang dikeluarkan para ahli ataupun LSM penggiat hidupan liar. Yang ada justru rasa tertantang untuk membuktikan keberadaan satwa simbol Prabu Siliwangi. Berbagai informasi dari berbagai sumber keberadaan Harimau Jawa begitu berharga. Tidak hanya di Merubetiri, tapi juga di banyak wilayah dari hutan-hutan Pulau Jawa yang tersisa.

Kebijakan Kantor TN Ujung Kulon yang menindak lanjuti berbagai informasi keberadaan Harimau jawa di wilayahnya dengan menurunkan tim patut mendapatkan apresiasi dan dukungan. Memupus "OPINI" punah yang kadung mengkristal banyak kalangan.

Dimana Pencinta alam menempatkan posisi? akan kah semangat 20 tahun yang lalu kembali menggeliat. Menjadi baris pertama dalam membuktikan keberadaan Harimau Jawa. Ya.. Harimau Jawa Belum Punah.  tidak hanya untuk eksistensi sang satwa eksotis saja, tapi untuk menjamin keberadaan hutan-hutan di pulau jawa sebagai habitatnya yang kian kritis. 

Lihatlah hutan lindung di Tumpang pitu, yang saat ini telah menjadi kawasan tambang emas. Lihatkah hutan gunung Slamet yang tercabik pembangunan PLTG. Lihat juga hutan-hutan di Garut yang telah menjadi kebun dan vila atau hotel. Lihat... lihat keserahakan yang mengintai pada hutan-hutan jawa. Jangan juga melupakan berbagai bencana yang telah terjadi dan akan terus terjadi dimasa depan. banjir, longsor, konflik satwa, kekeringan akan menjadi ancaman yang diturunkan.

Melindungi dan menyelamatkan Harimau Jawa adalah untuk menyelamatkan kehidupan bermartabat kawan. Untuk kita saat ini, anak-anak kita ke depan dan turun-turunan kita di masa akan datang.
Siapkan diri kita... untuk tidak takut mati (karena kita akan menyiapkan pengetahuan dan skill hidup di alam bebas) plus perlengkapan standar perpetualang. tidak sedekar memenuhi hasrat memompa adrenalin... tapi juga mengamati dan mengidentifikasi lingkungan. Taman Nasional Ujung Kulon akan menjadi tempat belajar kita pada akhir Desember 2017.

MARI BERGABUNG - EKSPEDISI HARIMAU JAWA
Menolak Punah - Harimau Jawaku masih ada 

Tuesday, October 03, 2017

Bulletin itu teronggok dipojokan meja. Berbaur dengan beberapa Majalah dengan aneka warna. Tidak begitu mencolok, lebih terkesan sederhana. Sambil menikmati kopi petani lereng Gunung Sindoro yang diroasting medium -  aku mencoba mengambil dan membukanya. Simple dan sederhana menjadi daya tarik tersendiri saat dia bergerombol dengan beragam majalah yang merebut memamerkan diri. 

Judulnya retes. mengulas tentang geliat film Indonesia. Beberapa film yang sedang digarap dan berharap menjadi tuan dinegerinya sendiri; Wiro Sableng, Marlina, the murderer in four act dan docs by the sea. Luar biasa... hanya itu yang terbuncah dalam pikiran. Informasi tentang prestasi film-film pun cukup membuat optimis. Warkop DKI Reborn (2016), disaksikan 6.858.616 orang, disusul Laskar Pelangi dengan jumlah penonton mencapai 4.719.453 dan Habibi dan Ainun 4.583.641. but, please, jangan dulu bandingkan dengan film-film Hollywood ya.. karena itu memang menjadi bagian dari tantangan kita bersama. Gak cuma bagi pembuat film, tapi juga investor dan kita sebagai rakyat Indonesia untuk menjadi bagian dalam menempatkan film-film Indonesia lebih dicintai.

Rasa gemes kembali muncul. Bagaimana bisa mengangkat rentetan cerita perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dampak perubahan iklim atau pengurangan risiko bencana dalam alur film yang cantik dan bisa dinikmati seluruh kalangan. dan yang lebih penting, tentu dampak dari film tersebut mampu membuka mata dan pikiran. Kesadaran untuk lebih menempatkan diri sebagai khalifah di bumi yang menjaga amanah Tuhan untuk keberlanjutan kehidupan yang bermatabat.

telah banyak sih film-film yang dibuat, khususnya oleh organisasi lingkungan maupun organisasi kemanusiaan. tapiiiiii... mohon maaf, film yang diproduksi lebih untuk memenuhi proyek, merespon issue atau berupa dokumentasi proses. Tidak cukup asyik untuk ditonton khalayak. 

Apakah film-film advokasi atau pemberdayaan komunitas itu tidak menarik? ah... ya.. bisa iya juga. sekalipun beberapa film yang digarap apik dengan bintang moncor menghasilkan film dengan kualitas yang ok. Pelican Brief adalah salah satunya. film advokasi pencemaran yang dibintangi Julia Robert sukses dipasaran. atau film Burning Season yang mencerikan perjuangan Chico Mendez mempertahankan Hutan Amazon sebagai wilayah kelola rakyat.

Film layar lebar memang menantang untuk menyisipkan berbagai pesan tentang bagaimana kerusakan lingkungan telah sangat menghawatirkan. Sasaran film pun tidak hanya terbatas masyarakat pinggiran atau yang berkasus. tapi juga masyarakat pada umumnya. bahkan lebih utama sasaran adalah orang-orang perkotaan terpelajar. anak-anak para pejabat, anak para pengusaha atau kelas menengah atas. dimana mereka punya peluang yang lebih besar dalam menentukan masa depan bumi ini lewat keputusan dan dananya.
 
Banjir bandang di Wasior, Menado, Aceh atau Bangka belitung akibat kerusakan lingkungan apakah cukup menarik untuk menjadi film layar lebar? atau upaya warga Bali dalam mensikapi ancaman bencana gunung agung. dimana sumberdaya lokal dan masyarakat saling bahu membahu menyelesaikan berbagai kebutuhan. Bisa juga cerita paska gempa jogjakarta yang menunjukan kekerabatan lintas batas dalam proses pemulihan.

Ah.. terlalu banyak cerita-cerita jika dikemas menjadi film ciamik. tidak kalah dengan Pelician Brief nya Julia Robert.
BTW.... saya harus mengucapkan terimakasih pada Iip S Hanan yang mampu mengemas cerita tentang TKW dalam DUNUA TERBALIK yang serat makna. sekalipun kadang lebay.. tapi, pesan-pesan moral begitu kental. termasuk bagaimana menjaga lingkungan.

 


Friday, September 29, 2017

OPINI PUNAH MENGANCAM EKSISTENSI HARIMAU JAWA

Press release – mendialogkan (kembali) harimau Jawa dan keberlanjutan  hutan Pulau Jawa

Foto yang diunggah petugas TN Ujung Kulon (25/8) kembali mengangkat wacana “kepunahan” Harimau Jawa (panthere tigris sondaica). Sekalipun hasil identifikasi foto mengarah pada sosok Macan Tutul (Panthera Pardus), namun tidak menyurutkan keraguan atas pernyataan punah dari IUCN (1973) atau WWF (1996) dan beberapa peneliti carnivor besar. Berbagai data dan informasi kembali mengemuka tentang masih eksisnya Harimau Jawa. Tidak saja di TN Merubetiri sebagai salah satu kawasan yang ditetapkan sebagai habitat Harimau Jawa. Tapi juga di banyak wilayah-wilayah hutan yang tersisa di Jawa.

Sejak 20 tahun yang lalu (1997), pengumpulan data dan informasi secara terstruktur dilakukan. Melalui ekspedisi pencinta alam dan pemerhati lingkungan melalui PL KAPAI (Pendidikan Lingkungan untuk Kelompok Pencinta Alam) menjadi awal dimulainya pencarian sosok Harimau Jawa. Tidak hanya menunggu, tapi juga menjemput berbagai informasi dari berbagai sumber.
Menelusur hutan-hutan, memasang kamera trap, mengumpulkan bukti sampai mendengar dengan tekun aneka cerita dari berbagai sumber menjadi bagian dari proses panjang pembuktian keberadaan sang raja hutan jawa. Beragam data dan informasi tersebut saat ini terkelola dengan apik. Dari mulai feses (kotoran), gip jejak kaki, bulu/rambut, kulit, taring, kuku maupun foto-foto berupa cakaran serta rangkaian kalimat dari berbagai sumber.

Opini punah atas Harimau Jawa nampaknya masih cukup kuat. Sehingga apapun informasi maupun bukti-bukti yang mengarah keberadaan “macan gembong” ditempatkan sebagai rumor. Bahkan tidak jarang dikaitkan dengan klenik. Berbagai argumentasi kerap dikeluarkan untuk menepis bukti-bukti yang diajukan terhadap keberadaan Sruni atau Lareng sebagai sebutan lain dari Harimau Jawa.
Para aktifitis yang secara swadaya mencoba mengumpulkan dan menyajikan informasi keberadaan Harimau Jawa kerap dihadapkan respon negatif. Tidak saja argumentasi yang terkesan menyudutkan[1], tapi juga dianggap tidak pernah ada.
“Setiap infomasi (tentang harimau jawa), dari mana pun itu adalah sangat berharga. Masyarakat pinggiran hutan jelas memiliki pengetahuan lebih dalam membedakan spesies. Apalagi para pemburu. Mereka bisa membedakan spesies didasarkan atas harga, demikian juga si pembeli.  Gak mungkin penjual atau pembeli bertransaksi dengan barang yang salah”. Demikian mas Didik Raharyono menganalogikan tentang informasi keberadaan Harimau Jawa di banyak tempat. Tahun 2012 pemburu medapatkan Harimau Jawa di Jawa Timur. Dan tahun 2014, juga Harimau Jawa tertangkap.    

Lebih lanjut, Mas Didik juga menunjukan kebaradaan harimau Jawa tidak harus melalui foto yang saat ini seolah menjadi tuntutan. Berbagai temuan yang saat ini ada, sudah lebih dari cukup menjadi dasar analisis. Selain rambut yang dapat dibuktikan lewat test DNA, juga jejak kaki dengan ukuran yang mengarah pada Harimau Jawa dengan besar jejak di atas 14 x 16 cm. atau cakaran di atas 180 cm ke atas pada pohon di hutan sebagai habitat harimau jawa.

Perjalanan panjang yang dilakukan oleh Tim Pembela dan Pencari Fakta Harimau Jawa (TPPFJ) selama ini, keberadaan Harimau Jawa teridentifikasi di hutan-hutan diantaranya : Jawa Barat; Ciamis, Gunung Ciremai, Garut Selatan, Tasikmalaya. Banten di seputaran TN Ujung Kulon dan hutan diseputaran Baduy. Jawa Tengah; gunung Slemet, pegunungan Dieng – Banjarnegara, Blora dan  Jawa Timur pada hutan-hutan di Gunung Lawu, Gunung Semeru, Bojonegoro, Gunung Argopuro, Gunung Raung, TN Merubiri dan TN Alas Purwo. 

Hal utama dalam melindungi dan menyelamatkan Harimau Jawa adalah menghilangkan dulu asumsi punah. Penilaian subyektif ini, apalagi telah ada di kepala pemilik kebijakan atau orang-orang yang memiliki kewenangan jelas akan menghambat bebagai data dan informasi maupun upaya yang dilakukan para pihak dalam membuktikan keberadaan Harimau Jawa. Penurunan tim oleh TN Ujung Kulon untuk melacak keberadaan Harimau Jawa patut diapriasi. Dan ini akan menjadi langkah awal untuk dikembangkan ke wilayah-wilayah lain yang teridentifikasi menjadi bagian habitat Harimau Jawa.

Lebih jauh, keberadaan Harimau Jawa juga dapat menentukan keberlanjutan Hutan-hutan di Jawa. Perlakukan hutan Jawa saat ini mengalami tekanan yang sangat luar biasa. Hutan Gunung Slamet misalnya, saat ini mengalami tekanan akibat pembangunan PLTG. Pembukaan hutan untuk pembangunan energi bersih seolah melegalkan perusakan hutan dan abai dampak buruk yang dapat ditimbulkan. Dari mulai mengganggu fungsi hidrologi sampai risiko bencana. Selain itu, Gunung Slamet sebagai salah satu yang teridentifikasi sebagai habitat Harimau Jawa untuk wilayah jawa tengah dapat saja terganggu.

Siti Maimunah sebagai salah satu peserta Ekspedisi Harimau Jawa tahun 1997 juga mengingatkan. Bagaimana TN Merubetiri sebagai kawasan konservasi, saat itu juga terancam eksploitasi tambang emas. Status punah terhadap Harimau Jawa dapat saja menjadi salah satu alasan penurunan status kawasan yang akhirnya melegalkan aktifitas penambangan yang secara jelas akan menghancurkan fungsi-fungsi ekologis kawasan.

Talkshow mendialogkan (kembali) Harimau Jawa mendapatkan antusias dari kalangan luas. Seluruh peserta sepakat jika Harimau Jawa masih ada. Bukti-bukti yang disampaikan Didik Raharyono sebagai narasumber semakin memperkuat keyakinan keberadaan Harimau Jawa. Tinggal, bagaimana para pihak mengambil peran sesuai dengan keahliannya masing-masing saling mendukung upaya perlindungan dan penyelematan harimau jawa dan hutan-hutan tersisa di Pulau Jawa sebagai habitatnya. Gagagan ini disampaikan oleh Melir dari Lingkar Yogyakarta yang melihat banyak peluang untuk membangun sinergis. Baik dari pihak pemerintah, akademisi maupun organisasi non-pemerintah.

Informasi lebih lanjut tentang Harimau Jawa
-        Didik Raharyono : 0815 658 0056
Informasi pelaksanaan kegiatan talkshow
-        Sofyan eyanks : 0811 18 3760
Livestreaming proses talkshow : https://www.facebook.com/sofyan.eyanks


[1] Saat menunjukan jejak kaki dengan ukuran besar (14 x 16 atau lebih) , dianggap jejak macan terpeleset atau ditanah lunak, sehingga jejak menjadi lebih besar dari ukuran sebenarnya.

Saturday, February 11, 2017

RENCANA KONTIJENSI KOMUNITAS

Sudah 5 bulan blog ini tidak terurus. terakhir posting mengambil tulisan Pak Imam Prasojo tentang jembatan gantung yang justru diinisiasi oleh orang luar yang lebih peduli terhadap keselamatan anak bangsa dan kehidupan warga perdesaan. Kehidupan yang jauh dari gegap gempita Pilkada dan segudang isue yang mampu membuat sakit kepala.

Tulisan ini dipicu oleh sebuah kesempatan memfasilitasi pembaharuan rencana kontijensi untuk tiga kelurahan; Pejaringan, Kemal Muara dan Kampung Melayu. Sebuah proses pada  tiga tahun lalu (2013) sempat terlibat aktif dalam persiapan penyusunan awal yang difasilitasi oleh BPBD DKI Jakarta. Sebuah peluang yang juga membuat shock karena diluar kesiapan dan kemampuan yang ada saat itu. Peluang tidak boleh disia-siakan. Itulah yang terpikir oleh sekelompok relawan yang baru saja selesai mengikuti pelatihan untuk fasilitator di Pulau Harapan yang difasilitasi oleh program API Perubahan -  MercyCorps Indonesia. Pelatih berdarah dingin Iskandar Leman, mampu memompa semangat menerima tantangan Pak Edi (Kabid Data Informasi) BPBD DKI Jakarta untuk memfasilitasi 56 Kelurahan di DKI Jakarta yang rawan banjir.

Serangkaian diskusi dilakukan, baik formal maupun non formal diantara para relawan dengan staff BPBD dipimpin langsung oleh sang Kabid. Pembagian peran dengan sendirinya terbagi -  siapa melakukan apa. termasuk pembagian wilayah dalam memfasilitasi Kelurahan secara partisiatif. Berlomba dengan waktu -  itu lah yang terjadi. Karena para relawan, masing-masing tidak hanya memfasilitasi satu atau dua kelurahan. Sehingga dibentuklah Tim Fasilitator yang terdiri dari 3 - 4 orang untuk menangani 5 - 6 Kelurahan. 

Untuk membekali para fasilitator dalam memfasilitasi proses penyusunan -  tersusunlah panduan untuk fasilitator rencana kontijensi untuk kelurahan. sebagai panduan, tentu modul ini bukan lah barang mati. panduan ini bersifat dinamis. dapat dirubah atau disesuaikan mengikuti kondisi setempat. Namun begitu -  ada hal yang secara prinsip bersifat baku. Saya menempatkannya sebagai pra dan syarat dalam proses penyusunan. diantaranya adalah; Komitmen pemangku kepentingan -  khususnya Lurah sebagai kepala pemerintahan pada tingkat kelurahan dan jajarannya serta para tokoh masyarakat setempat. Karena tanpa adanya komitmen, sekalipun dokumen renkon telah tersusun -  dapat dipastikan akan sia-sia. 

selain komitmen dan rasa memiliki, beberapa syarat penting lain adalah; data dan informasi terkait ancaman bencana yang disusun rencana kontijensinya, hasil kajian dan peta risiko atau ancaman bencana, jalur dan tempat evakuasi serta tanda peringatan dini. Pada praktiknya, keseleruhan syarat ini dapat dilakukan bersamaan saat proses penyusunan renkon. Kecuali pra syarat berupa komitmen pemangku kepentingan tentunya.

Sayangnya -  banyak proses penyusunan renkon justru melawatkan pra syarat tersebut. alasannya klasik -  diburu waktu. wal hasil -  dapat ditebak, dokumen renkon yang telah tersusun - akhirnya hanya sebagai pemanis kegiatan dan capaian. namun tidak berdampak pada pelaksanaan tanggap darurat.

harus diakui - membangun komitmen dan rasa memiliki membutuhkan proses. Tidak mudah, apalagi banjir di Jakarta yang telah menjadi agenda tahunan. Banjir terkadang menjadi peluang sebagian orang untuk mendapatkan "keuntungan". Keuntungan ini tidak semata-mata dimaknai dalam bentuk material, tapi juga imatrial. eksistensi, mendapatkan pengaruh atau menjadikan sejata terhadap lawan (politik).

mengawali tulisan ditahun 2017, blog ini hanya akan membagikan file panduan rencana kontijensi kelurahan. semoga apa yang ada dalam modul yang disusun pada tahun 2013 ini dapat bermanfaat. tidak saja untuk kelurahan, tapi juga pada pemerintahan Desa. tentunya dengan menyesuaikan sistem pemerintahan yang ada.
file unduh klick  di sini