Tuesday, October 03, 2017

Bulletin itu teronggok dipojokan meja. Berbaur dengan beberapa Majalah dengan aneka warna. Tidak begitu mencolok, lebih terkesan sederhana. Sambil menikmati kopi petani lereng Gunung Sindoro yang diroasting medium -  aku mencoba mengambil dan membukanya. Simple dan sederhana menjadi daya tarik tersendiri saat dia bergerombol dengan beragam majalah yang merebut memamerkan diri. 

Judulnya retes. mengulas tentang geliat film Indonesia. Beberapa film yang sedang digarap dan berharap menjadi tuan dinegerinya sendiri; Wiro Sableng, Marlina, the murderer in four act dan docs by the sea. Luar biasa... hanya itu yang terbuncah dalam pikiran. Informasi tentang prestasi film-film pun cukup membuat optimis. Warkop DKI Reborn (2016), disaksikan 6.858.616 orang, disusul Laskar Pelangi dengan jumlah penonton mencapai 4.719.453 dan Habibi dan Ainun 4.583.641. but, please, jangan dulu bandingkan dengan film-film Hollywood ya.. karena itu memang menjadi bagian dari tantangan kita bersama. Gak cuma bagi pembuat film, tapi juga investor dan kita sebagai rakyat Indonesia untuk menjadi bagian dalam menempatkan film-film Indonesia lebih dicintai.

Rasa gemes kembali muncul. Bagaimana bisa mengangkat rentetan cerita perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dampak perubahan iklim atau pengurangan risiko bencana dalam alur film yang cantik dan bisa dinikmati seluruh kalangan. dan yang lebih penting, tentu dampak dari film tersebut mampu membuka mata dan pikiran. Kesadaran untuk lebih menempatkan diri sebagai khalifah di bumi yang menjaga amanah Tuhan untuk keberlanjutan kehidupan yang bermatabat.

telah banyak sih film-film yang dibuat, khususnya oleh organisasi lingkungan maupun organisasi kemanusiaan. tapiiiiii... mohon maaf, film yang diproduksi lebih untuk memenuhi proyek, merespon issue atau berupa dokumentasi proses. Tidak cukup asyik untuk ditonton khalayak. 

Apakah film-film advokasi atau pemberdayaan komunitas itu tidak menarik? ah... ya.. bisa iya juga. sekalipun beberapa film yang digarap apik dengan bintang moncor menghasilkan film dengan kualitas yang ok. Pelican Brief adalah salah satunya. film advokasi pencemaran yang dibintangi Julia Robert sukses dipasaran. atau film Burning Season yang mencerikan perjuangan Chico Mendez mempertahankan Hutan Amazon sebagai wilayah kelola rakyat.

Film layar lebar memang menantang untuk menyisipkan berbagai pesan tentang bagaimana kerusakan lingkungan telah sangat menghawatirkan. Sasaran film pun tidak hanya terbatas masyarakat pinggiran atau yang berkasus. tapi juga masyarakat pada umumnya. bahkan lebih utama sasaran adalah orang-orang perkotaan terpelajar. anak-anak para pejabat, anak para pengusaha atau kelas menengah atas. dimana mereka punya peluang yang lebih besar dalam menentukan masa depan bumi ini lewat keputusan dan dananya.
 
Banjir bandang di Wasior, Menado, Aceh atau Bangka belitung akibat kerusakan lingkungan apakah cukup menarik untuk menjadi film layar lebar? atau upaya warga Bali dalam mensikapi ancaman bencana gunung agung. dimana sumberdaya lokal dan masyarakat saling bahu membahu menyelesaikan berbagai kebutuhan. Bisa juga cerita paska gempa jogjakarta yang menunjukan kekerabatan lintas batas dalam proses pemulihan.

Ah.. terlalu banyak cerita-cerita jika dikemas menjadi film ciamik. tidak kalah dengan Pelician Brief nya Julia Robert.
BTW.... saya harus mengucapkan terimakasih pada Iip S Hanan yang mampu mengemas cerita tentang TKW dalam DUNUA TERBALIK yang serat makna. sekalipun kadang lebay.. tapi, pesan-pesan moral begitu kental. termasuk bagaimana menjaga lingkungan.

 


No comments: