Wednesday, November 01, 2017

AMDAL KIJANG

AMDAL KIJANG, cukup lama Kata itu tenggelam dalam pikiran. Terakhir tahun 1996 - 1999 atau 20-an tahun yang lalu mengemas ulang materi sebagai media belajar dengan kawan-kawan komunitas dari 6 kawasan sebagai wilayah kerja WALHI Jogjakarta. Masing-masing komunias yang memang sedang berhadapan dengan berbagai upaya pembongkaran atas nama pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Kawasan Merapi, Pesisir Selatan, Pegunungan Menoreh, Karts Pegunungan Sewu, Perkotaan Jogjakarta dan DAS dari wilayah Jogja.

Kebutuhan yang beragam dengan latar belakang komunitas masing-masing, menempatkan perlunya penyesuaian-penyesuain. Intinya saat itu, praktis dan mudah digunakan komunitas untuk kebutuhan transfer pengetahuan antar masyarakat dan masyarakat maupun masysarakat dengan para pendukungnya yang umumnya dari luar komunitas. Baik dari kalangan Ornop, pencinta alam, jurnalis maupun akademisi. selain itu, ada kebutuhan lain, metode ini juga harus mampu sebagai alat pengorganisasian, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kritis serta alat advokasi rakyat.

Modul AMDAL Kijang (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Kaki Telanjang) telah ada sebelumnya yang digagas oleh WALHI Nasional dengan mengadopsi metode AMDAL yang ada. sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi penyusunan AMDAL oleh orang atau lembaga yang telah bersertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat, tentu harus memenuhi syarat, melalui proses dan membutuhkan biaya tidak sedikit. 

Secara prinsip, AMDAL pada awal kemunculannya adalah sebuah piranti untuk menilai kelayakan rencana usaha/kegiatan yang berpotensi mengganggu lingkungan. Jika terbukti mengganggu dan tidak mampu dikendalikan, rencana tersebut tentu harus ditolak atau tidak boleh dilanjutkan. Namun proses perjalanan menjadi berbeda. AMDAL lebih ditempatkan sebagai syarat administrasi dari rencana usaha/kegiatan. Melalui AMDAL lah, usaha mendapatkan legitimasi untuk berjalan. Berbagai dampak negatif pun dimanipulasi dengan berbagai keuntungan yang akan diperoleh. Untuk mendapatkan dukungan dari warga, dampak negatif ditutupi, sementara dampak positif ditebar.

Adanya praktik yang mempertontonkan kesenjangan ini lah yang mendorong WALHI untuk menyiapkan piranti untuk masyarakat sendiri. Masyarakat harus tahu apa yang terjadi sesungguhnya sebagai hak yang dijamin oleh Negara. Hal yang lebih penting, dengan pengetahuan dan kesadaran kritis, warga dapat duduk sejajar dengan peserta lain dalam sidang komisi AMDAL maupun kesempatan lain memaparkan fakta-fakta yang ada.

AMDAL Kijang pada dasarnya tidak memiliki metode baku. Metode dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Hal terpenting adalah, bagaimana masyarakat memahami, apa dampak lingkungan yang akan terjadi jika usaha yang akan beroperasi di wilayahnya. Untuk itu, warga perlu kembali mendalami sumberdaya yang dimiliki sebagai aset penting penghidupan mereka. Mengenali dampak yang dapat terjadi terhadap aset tersebut, dan bagaimana sikap yang harus diambil. Dalam memahami sumberdaya sebagai aset, warga dapat mengembangkan berbagai gagasan pengelolaan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Baik bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya.

WALHI Jogjakarta saat itu, mengembangkan AMDAL Kijang dengan mengadopsi teknik PRA yang saat itu memang sedang populer digunakan oleh banyak pihak, khususnya Ornop. Para ahli PRA pun berkumpul bertemu dengan aktivis yang telah mengikuti kursus AMDAL, kursus penataan ruang maupun kursus-kursus lain yang umumnya menjadi syarat sebagai tim penyusunan dokumen resmi negara. Hasilnya sungguh luar biasa. Hampir seluruh materi dalam kursus AMDAL pada dasarnya dapat diakomodir melalui teknik PRA. Tantangannya saat itu adalah, bagaimana mengilmiahkan bahasa-bahasa komunitas dalam dokumen yang akan disusun sebagai alat advokasi. Dan itu tidak terlalu sulit, karena masyarakat yang terlibat juga mendapatkan materi pemetaan aktor dan pengembangan jejaring. Sehingga warga dapat dengan mudah mencari dukungan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. seperti mengetahui jenis tanah dan batuan menurut ilmu geologi atau menambah nama-nama latin dari flora dan fauna. Demikian juga untuk memahami aspek  iklim -  pun warga akan dengan mudah mencari dukungan para ahli iklim, tentu yang memiliki keberpihakan terhadap lingkungan dan masyarakat.

Temu Wicara dan Kenal Medan (TWKM) Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) se Indonesia di Jakarta mengambalikan kembali memory proses dan implementasi AMDAL Kijang. Tidak mudah tentunya, karena telah banyak perubahan dan perkembangan zaman. Dulu untuk mendapatkan dokumen, harus mencuri-curi atau menipu sebagai mahasiwa lagi nyusun skripsi. atau kalau ada dana lebih, bisa lah menggunakan sogokan ke petugas yang sedikit pro kita sekedar untuk minum kopi. tentu dengan syarat... jangan "bilang-bilang". Saat ini, informasi begitu terbuka. Jika terhambat, media sosial dapat menjadi alat untuk menekan. Bisa juga menggunakan pendekatan hukum seperti yang dilakukan JATAM Kaltim dan JATAM Sulteng untuk membuka informasi publik. Demikian juga dulu, begitu sulitnya mendapatkan peta dasar, alat-alat pemetaan maupun SDM yang memiliki kemampuan untuk pemetaan. Jaman susah.

Akses informasi saat ini menjadi dasar, AMDAL Kijang lebih kaya informasi dan lebih mudah diterapkan. Warga masyarakat pun telah mampu mengakses berbagai informasi dan menyuarakan melalui internet. kondisi ini menjadi peluang atau modalitas untuk melakukan pembaharuan AMDAL Kijang sebagai piranti transfer pengetahuan antar warga, menumbuhkan kesadaran kritis, pengorganisian maupun advokasi.
  
Tantangan yang menarik tentunya untuk kembali membuka memori, mencari berbagai literatur terbaru dan menerapkan konsep AMDAL Kijang dalam sebuah modul pendidikan rakyat maupun para aktifis. Spesial buat  Pencinta Alam, tentu ini dapat menjadi piranti penting dalam melakukan kegiatannya berpetualang. tidak sekedar memenuhi hasrat diri, tapi juga terlibat aktif menyelamatkan lingkungan. Paling tidak lingkungan tempat mereka bermain. Kawasan Karts Maros di Sulsel, Sangkulirang -  Kaltim, Aceh, Jawa sampai Papua sedang terancam. Karts adalah wilayah bermain Pencinta alam untuk caving dan rock climbing. apakah kita rela kawasan itu hancur seperti tebing-tebing di Cibinong atau Citatah? Pegunungan Jayawijaya sebagai gunung kebanggaan Indonesia pun saat ini terus mengalami tekanan ekosistem aktifitas pertambangan emas terbesar PT Freeport. Belum lagi gunung-gunung yang saat ini di eksploitasi menjadi kawasan wisata dengan pola mass tourism, sehingga dianggap membutuhkan berbagai fasilitas yang memanjakan pengunjung. Lihatlah Bromo Tengger Semeru, lihat juga Ijen yang sedang dibongkar keasriannya.  

Kita baru berhasil menggagalkan kebodohan pengelola TN Rinjani yang memasang tulisan konyol di segara anakan. tapi mendapatkan tantangan dari TN Bromo Tengger Semeru dan Ijen. Entah gunung mana lagi yang mengikuti trend nora.
Dimana posisi dan peran pencinta alam melakukan pembelaan kawasan? 

melalui AMDAL Kijang yang dikuasai oleh kelompok Pencinta Alam, tentu akan menjadi modal dalam berkampanye atau beradvokasi. tidak hanya sekedar nyolot di media sosial tanpa tahu, kenapa harus protes bukan.
Yuk ah... ini tantangan besar kita, mari selesaikan Kurikulum dan Modul AMDAL KIJANG untuk kelompok Pencinta Alam. Ya, menjawab, dimana posisi dan peran pencinta alam tentunya....