tag:blogger.com,1999:blog-377828502024-03-13T07:48:24.719+07:00BENCANA EKOLOGISTerlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana...
adalah HAK DASAR MANUSIA..
lihat juga beberapa tulisan tentang pengelolaan risiko bencana di
http://www.sofyan-eyanks.blogspot.com/Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.comBlogger104125tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-29296519816577567742020-08-04T11:30:00.006+07:002020-08-04T11:48:32.480+07:00BAKTI PENCINTA ALAMSerombongan anak2 muda begitu sabar melayani warga yang kebanyakan ibu-ibu dan anak2. Berbaju flanel beragam warna dengan berbagai aksesoris khas; gelang tali prusik. Secara telaten memeriksa dan memberi penjelasan tentang kesehatan. Di sisi lain, tanpa alas, mereka duduk melingkar berbaur tanpa jarak dengan warga, berdiskusi tentang pertanian. dari mulai hama, pupuk sampai panen. Masalah ternak tidak ketinggalan menjadi topik yang hangat.<div>
<br /></div>
<div>
Pada hari berikutnya, mereka bersama seluruh warga kampung bersama-sama memperbaiki tempat ibadah, jalan dan jembatan. Sebagian melihat sumber air dalam goa. Menyiapkan proses pengangakatan air untuk memudahkan masyarakat mendapatkan kebutuhan air bersih. </div>
<div>
<div>
<span class="fullpost">
</span></div>
</div>
<div>
Indahnya suana itu.. Bakti Pencinta Alam, begitu judul kegiatan Sekretariat Bersama Perhimpunan Pencinta Alam Daerah Istimewa Yogyakarta (Sekber PPA DIY). Bagaimana ide keren ini bisa muncul dan dijalankan pada awal tahun 90-an?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Jogja memang istimewa. Kekeluargaan antar individu yang tergabung dalam organisasi pencinta alam begitu terasa. Saling berkunjung ke sekretariat, ngumpul dan ngobrol ngalor ngidul. Saling meminjamkan alat kegiatan kepentincaalaman, terutama peralatan <i>mountaineering</i> dan <i>caving</i> untuk kegiatan seperti diksar atau kegiatan lain menjadi hal umum. Terlihat sederhana atau bahkan sepele. Tapi melalui proses inilah terbangun kebersamaan. Dan jangan tanya jika ada informasi ada orang hilang di gunung. Secara serentak solidaritas itu bangkit. tidak peduli, apakah tersedia anggaran untuk operasi SAR atau tidak. karena keterlibatan dalam operasi SAR telah juga disertai mandat organisasi dengan berbagai bekal dan perlengkapan, selain logistik pribadi tentunya. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Bakti Pencinta Alam menjadi luar biasa karena mampu menyatukan berbagai keilmuan dari kelompok pencinta alam Jogja dalam satu kegiatan. Sekber PPA DIY sebagai rumah bersama KPA secara cantik mengemas dan menghubungkan dengan masyarakat tempat bermainnya KPA. Menyajikan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki yang bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat. Ragam latar belakang pendidikan kelompok pencinta alam menjadi sesuatu kekuatan luar biasa. Saat kekuatan dikelola, terwujudlah sebuah aktifitas yang saling melengkapi satu sama lainnya. Bagi anggota KPA yang terlibat, kegiatan ini juga menjadi ajang belajar bersama selain sebagai media memperat persaudaraan.</div><div><br /></div><div>Kapan even semodel bakti pencinta alam yang dikemas cantik ini bisa hadir kembali. menyatukan seluruh kekuatan Kelompok Pencinta Alam tanpa melihat status, apakah dia dari KPA Perguruan Tinggi; Universitas, Fakultas, Komunitas tongkorongan, KPA SMA, KPA komunitas atau KPA Kampung. Semua menyatu dalam satu ikatan; Komunitas Pencinta Alam.</div><div><br /></div><div>Kita patut menyayangkan beberapa even mulai dikemas secara elitis. Kode Etik PA yang tidak membeda2kan entitas pencinta alam mulai diotak atik dengan berbagai argumen "cupu" berbasis ego. Namun kita masih punya satu event pemersatu: Gladian Nasional Pencinta Alam yang masih terus bertahan dengan konsep awal. Mudah2an, Gladian Nasional yang rencananya akan dilakukan di Sulawesi Selatan dapat terlaksana di tengah pandemic Covid 19 yang belum terlihat ujungnya. tentu dengan cara berbeda dari biasanya... semoga... </div><div><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-6_lGsngLZ2o/Xyjk6K-rtsI/AAAAAAAAEnM/0VAE-7SQzBok_167xv3AyM_myX03xzkPACLcBGAsYHQ/s700/26linovasi2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="457" data-original-width="700" src="https://1.bp.blogspot.com/-6_lGsngLZ2o/Xyjk6K-rtsI/AAAAAAAAEnM/0VAE-7SQzBok_167xv3AyM_myX03xzkPACLcBGAsYHQ/s640/26linovasi2.jpg" width="640" /></a></div><div><br /></div><div>foto: proses pengangkatan air bersih dari goa Suruh Wonogiri oleh KMPA Giri Bahama Fak. Geografi UMS (Suara Merdeka) </div><div><br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-20704224205400246942020-08-03T01:26:00.004+07:002020-08-03T01:26:24.366+07:00RUU Penanggulangan Bencana dan krisis ekologisTiba-tiba saja, wakil rakyat kita di DPR begitu produktif. Beberapa Undang-undang mampu diselesaikan hanya dalam hitungan bulan. sebagai perbandingan, DPR priode 2014 - 2019 hanya mempu menyelesaikan 26 UU dari terget 189, jika dirata-rata, hanya menghasilkan 5 UU pertahun. RUU Minerba cukup 3 bulan untuk disahkan menjadi UU. Undang-undang lain adalah UU KPK dan yang masih dlm proses pembahasan adalah UU CILAKA (Cipta Kerja). Sebuah prestasi luar biasa di tengah pandemi COVID 19, jika dibandingkan dengan RUU Masyarakat Adat yang telah dua priode gagal disahkan.<div><br /></div><div>Diantara RUU yang sedang proses pembahasan, terselip RUU Penanggulangan Bencana sebagai inisiatif DPR. Dorongan untuk merevisi UU No 24/2007 pada dasarnya telah cukup lama didengungkan sejak UU memasuki usia 5 tahun. Ada beberapa persoalan yang dinilai menghambat kerja-kerja PB. Dorongan itu mendapat respon dengan dimasukannya pembahasan dalam Prolegnas priode 2014 - 2019 pada urutan bontot. Namun tidak menjadi prioritas hingga dianggap penting saat pandemi COVID 19 menjadi "hantu" yang sebelumnya menjadi <i>guyonan</i> para pejabat.</div><div><br /></div><div>Sudah nasibnya regulasi ini harus dipicu oleh sebuah kejadian besar. Kelahiran UU No 24/2007 tidak lepas dari rentetan kejadian besar; gempa dan tsunami Aceh - Sumut (2004), gempa Jogja - Jateng dan semburan lumpur panas Lapindo (2006) serta rentetan banjir tahun 2005 - 2006. dorongan kebutuhan Indonesia memiliki regulasi setingkat UU tentang PB sejatinya telah mulai digaungkan sejak pertengahan tahun 1990-an. Kebutuhan ini kerena negeri ini yang dipenuhi berbagai jenis ancaman (<i>hazard</i>), terabaikannya ancaman dalam berbagai kebijakan serta mulai lunturnya sensifitas dan kemamampuan bersikap atas berbagai ancaman yang ada. </div><div><br /></div><div>#NoNaturalDisaster, sebuah taggar tegas dalam pengurangan risiko bencana. tagar ini memiliki makna sangat fundamental bagaimana mengelola risiko yang tidak terjebak dari sisi pemicu bencana. Karena alam telah memiliki siklusnya. Sisi lain, manusia memiliki andil dalam merubah siklus alam, langsung atau tidak langsung, memperbesar atau meningkatkan intensitas lewat berbagai sikap dan prilaku tidak bijak dan merusak. Perubahan Iklim sebagai dampak dari pemanasan global, tidak saja hanya mengacaukan siklus musim, tapi juga memicu terjadinya pergeseran pergerakan lempeng bumi yang berpotensi memicu gempa dan aktivitas gunungapi (https://sains.kompas.com/read/2009/10/08/09513570/perubahan.iklim.membuat.gempa.menjadi.lebih.dahsyat?page=all).</div><div><br /></div><div>Dalam penanggulangan bencana (disaster risk management), difokuskan pada tata kelola risiko, menyiapkan kesiapsiagaan, efektivitas tanggap darurat serta upaya pemulihan dan pembangunan kembali. Tata kelola risiko ini tidak akan membedakan sumber pemicu dari mana, namun dari sisi dampak bencana yang ditimbulkan. Besaran dampak bencana sendiri tidak bisa dilepaskan dari seberapa besar kebijakan, sistem sosial, atau pemanfaatan ruang mempertimbangkan jenis ancaman. </div><div><br /></div><div>Jumlah kejadian bencana yang tercatat dalam DIBI BNPB sampai tahun tahun 2019: 1.967 (2015), 2.342 (2016), 2.175 (2017), 2.564 (2018), dan 3.622 (2019). Kita bisa berdebat tentang jumlah tersebut terkait metode pencatatan kejadian, ruang lingkup atau indikator kejadian berkatagori bencana atau membedakan satu kejadian pada satuan wilayah administratif. tapi seberapa besar perdebatan tersebut bermanfaat menekan risiko, baik pada wilayah terpapar atau wilayah berpotensi lain yang belum mendapatkan giliran. Yang pasti, negeri <i>gemah ripah loh jinawi</i> ini menyimpan "sejuta" ancamanan yang berpotensi menjadi bencana dengan dampak luar biasa jika kita tidak memiliki kemampuan mengurangi dan mengelola risikonya. Jika melihat berbagai jenis ancaman yang ada, boleh dibilang, tidak ada sejangkal tanahpun di negeri ini yang tidak berisiko. Wabah adalah salah satu jenis ancaman yang tidak mengenal ruang dan waktu. anda teledor atau abai, maka akan menjadi korban dan menjadi pambawa wabah itu sendiri untuk menyebar keluarga, teman dekat atau masyarakat.</div><div><br /></div><div><b>Naskah Akedemik, DIM dan Draft RUU</b></div><div>Naskah Akademik (NA) RUU Penanggulangan Bencana telah tersedia sejak tahun 2019. dokumen tersebut dapat dilihat dan diunduh di website DPR RI: http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20191017-032742-1149.pdf</div><div><br /></div><div>Dokumen setebal 54 halaman ini menyajikan kajian teoritis dan praktik empiris, evaluasi dan analisis keterkaitan peraturan sampai pertimbangan filosifis, sosiologis dan yuridis serta arah pengaturan dan ruang lingkup. Banyak hal menarik dari NA yang disajikan untuk dicermati. Termasuk literatur yang digunakan sebagai rujukan, pola analisis dari praktik penanggulangan bencana dalam kurun waktu 13 tahun pelaksanaan UU No 24/2007 maupun analisis keterkaitan dengan peraturan lain.</div><div><br /></div><div>Hal yang menarik pertama tentu dalam menyarikan konsepsi pengurangan risiko bencana sebagai paradima management risiko bencana (dalam konteks RUU dengan istilah penanggulangan bencana). Berbagai refrensi yang digunakan sekalipun belum menggunakan yang terbaru, namun cukup memadai sebagai landasan mengambil kesimpulan. diantaranya adalah terkait model dalam PB yang mengkritisi tentang model siklus atau daur. yang dalam penyelenggaraan PB mengalami berbagai kendala, karena dipahami sebagai tahapan. Dalam konteks teoritis, tahapan-tahapan dalam siklus manajemen bencana hanya untuk memudahkan pengertian dan ringkup pada masing-masing tahapan. Bukan lantas dipahami secara mentah dalam konteks praktik. Model "<i>contract-expand</i>" merupakan penjelasan, bagaimana manajemen bencana dioperasionalkan dalam daur bencana secara paralel. </div><div><br /></div><div>Kondisi ini seharusnya dapat dijabarkan secara gambang sebagai persoalan pada bagian selanjutnya, yakni praktik PB berdasarkan UU No 24/2007 dan permasalahannya: adanya permasalahan dalam memahami manajemen risiko bencana maupun pengurangan risiko bencana sebagai paradigma. Permasalahan yang akhirnya dikuatkan dalam kebijakan operasional secara otomatis menjadi penghambat efektifitas PB. Seperti upaya pemulihan, rehabitasi maupun rekonstruksi yang tidak bisa dilakukan sebelum fase tanggap darurat selesai dilakukan, persoalan pendanaan, maupun fungsi Badan Penanggulangan Bencana sendiri.</div><div><br /></div><div>Pada bagian analisis keterkaitan dengan paraturan lain sangat disayangkan tidak menyajikan secara lugas kesenjangan dari pasal-pasal antar undang-undang yang ada, status Undang-undang PB sebagai lex specialist atau perundang-undangan lain yang memiliki korelasi erat dengan peningkatan risiko bencana. Sebagai contoh, pada UU No 41/1999 tentang kehutanan hanya penekankan pada optimalisasi, penjagaan dan kelestarian. bagaimana keterkaitan dengan pasal-pasal yang membuka ruang atas konversi hutan menjadi fungsi lain? adakah kesenjangan dan upaya yang diperlukan dalam UU PB yang baru dalam memastikan optimalisasi, penjagaan dan kelestarian. pada UU No 27/2007 juga terasa sangat dangkal. padahal UU PWP3K memiliki pasal khusus terkait mitigasi bencana. Pulau-pulau kecil berisiko tinggi tidak hanya pada akses, tapi pulau-pulau kecil terancam oleh dampak perubahan iklim. Memastikan kualitas kehidupan dan penghidupan tetap terjaga harusnya lebih dijabarkan dengan mengkaitkan pasal-pasal yang ada dalam UU PWP3K. selain perlindungan terhadap eksistensi pulau dan ekosistemnya. UU No 32/2009 tentang PPLH tidak hanya melindungi fungsi lingkungan hidup dari bencana, tapi fungsi lingkungan hidup itu sendiri sebagai bagian dalam mengurangi risiko bencana. Keterkaitan ini juga perlu digali lebih dalam, sehingga pasal-pasal yang akan dirumuskan dalam RUU PB mengisi dan memperkuat upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian dari pengelolaan risiko bencana.</div><div><br /></div><div>Kesempulan dari serapan berbagai dasar pemikiran, landasan sampai landasan filosifis, sosialogis maupun yurudis pada akhirnya dapat terlihat pada materi muatan sebagai hasil akhir. Dari rumusan yang disajikan, secara tidak sadar membuat tangan kita menjambak rambut. Karena antara pembahasan sebelumnya yang telah dengan gagah perkasa menyatakan pengurangan risiko bencana sebagai paradima dalam PB atau penjabarkan persoalan siklus bencana yang dinilai menghambat operasional PB dan refrensi konsep yang mungkin lebih sesuai untuk diterapkan, tidak berbekas. Bahkan terkesan menyempitkan makna manajemen risiko bencana dan pengurangan risiko bencana yang saat ini terus berkembang. </div><div><br /></div><div>Penyempitan dimulai dari terminologi yang termuat pada halaman 29 yang menjadi bagian dari Bab V disebutkan: </div><div><i>"Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa disebabkan
faktor alam yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang menyebabkan timbulnya korban
jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, dan/atau dampak
psikologis serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan
dan penghidupan masyarakat"</i>. </div><div><br /></div><div>Bencana adalah <b><u>peristiwa atau rangkaian peristiwa</u></b>, kalimat ini jelas tidak mencerminkan paradigma PRB. Karena bencana bukan lagi dinilai dari peristiwanya, tapi kondisinya yang mengganggu terhadap keberfungsian kehidupan dan penghidupan serta menyebabkan kerugian. Pada pengertian bencana, juga membatasi ruang lingkup bencana hanya pada <b><u>faktor alam</u></b>. Artinya, jika terjadi bukan faktor alam, bukan lagi bencana. Bisa jadi, adanya UU No 7/2012 menjadikan UU PB tidak lagi perlu membahas tentang penanganan konflik. Juga UU No 36/2009 tentang Kesehatan dan UU No 6/2018 tentang karantina kesehatan yang menjadikan UU PB tidak lagi dianggap penting membahas tentang wabah. Pun terkait bencana lingkungan (UU PB mengkatorigikan sebagai kegagalan teknologi atau konstruksi) karena telah ada UU lain yang mengatur.</div><div><br /></div><div>Nampaknya, RUU ini akan disiapkan sebagai UU Penanggulangan Bencana Alam, sekalipun mungkin judulnya akan tetep sama dengan UU No 24/2007. Pemahaman tentang bencana dilihat dari sisi pemicu secara jelas memperlihatkan fakir terhadap pemahaman manajemen risiko bencana maupun paradigma pengurangan risiko bencncana. Konsep PRB secara jelas tidak lagi melihat bencana dari sisi pemicu, tapi lebih melihat dari sisi kondisi dan dampak yang terjadi. Pemahaman ini bukan tanpa sebab. Karena dilihat dari sisi manampun dari kejadian bencana, campur tangan manusia lah yang lebih dominan. Baik dari sisi kebijakan, pembangunan yang dilakukan pada wilayah berisiko, sistem sosial budaya masyarakat maupun pola dan sistem ekonomi yang dikembangkan. </div><div><br /></div><div>Alam secara tetap berjalan sesuai siklusnya. gempa bumi, tsunami, erupsi gunungapi, hujan, gerakan tanah, badai atau angin ribut dll. siklus itu berjalan sebagai bagian dari perjalanan kehidupan bumi. Sikap dan tindakan kita yang tidak menempatkan siklus alam itu lah yang menyebabkan bencana terjadi. Pemanfaatan ruang wilayah rawan bencana untuk berbagai kegiatan manusia dan penduduk yang rentan merupakan bagian tidak terpisahkan dari terjadinya bencana. Tidak akan terjadi bencana jika wilayah rawan tersebut tidak berpenghuni. Namun apakah mungkin mengosongkan seluruh wilayah rawan? Jika tidak mungkin, maka kebijakan, pembangunan dan sistem sosial budaya serta ekonomi lah perlu menyesuaikan dengan jenis ancaman yang ada. Jika wilayahnya banjir, tentu kita perlu melakukan penyesuaian atas siklus banjir yang akan terjadi, baik dari intensitas, besaran maupun durasi banjir. Demikian juga jika wilayah tersebut rawan gempa bumi. Maka lokasi, kekuatan dan bentuk bangunan serta berbagai fasum harus disiapkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gempa. Konteks ini yang menjadikan pemicu bencana; alam, non alam maupun akibat manusia ditempatkan dalam pengkatogorian bencana. #NoNaturalDisaster, demikian lah tagger kampanye yang sampai saat ini didengungkan.</div><div><br /></div><div>Meningkatkan daya rusak dari ancaman pun tidak lepas dari rusaknya keseimbangan lingkungan. Ini tidak saja terjadi pada tipe bencana hidrometeologis yang secara kasap mata terlihat korelasi antar variabel risiko. Pada bencana geologis seperti gempa bumi, erupsi gunung api atau tsunami, keseimbangan ekologis menjadi salah satu penentu besaran dampak yang ditimbulkan. keberadaan hutan mangrove telah terbukti meredam energi tsunami mencapai daratan. demikian juga keberadaan tebing, gumukpasir, padang lamun atau terumbu karang. Dan keberadaan peredam alamiah ini tergusur karena alasan pembangunan atau ekonomi. </div><div><br /></div><div>Cacatnya pemahaman atas MRB dan PRB pada akhirnya mengacaukan rumusan-rumusan lebih lanjut. termasuk pembahasan penyelesaian sengketa dan pidana. Terlihat janggal karena masih memuat atau diperuntukan terhadap bencana non alam atau sosial. </div><div><br /></div><div>NA RUU PB sebagai produk akademik dan menjadi landasan dalam perumusan DIM dan RUU idealnya diposisikan sebagai produk ilmiah. Sehingga isinya, jika dibutuhkan dapat diuji pada tingkat akademik, bersifat terbuka untuk dikritisi dan didialogkan sebelumnya resmi menjadi dokumen negara. </div><div><br /></div><div><b>Krisis Ekologis</b></div><div>Krisis ekologis yang terjadi saat ini memiliki korelasi dengan kejadian, intensitas, besaran maupun dampak ancaman. terganggu atau rusaknya fungsi ekologis kawasan bahkan dapat memunculkan risiko baru dari yang sebelumnya tidak ada. atau paling tidak, meningkatkan risiko yang ada. Pada kasus banjir, banjir bandang, banjir pasang surut/rob, banjir lahar hujan, longsor, kebakaran hutan dan lahan, wabah, abrasi, kekeringan dan angin ribut korelasi tersebut dapat dengan mudah terlihat. Masyarakat awam pun akan dengan mudah menjelaskan pola hubungan kejadian dengan terjadinya perubahan fungsi ekologis yang ada. Hutan gundul, lahan gambut dibakar, lereng dengan kemiringan di atas 40 % menjadi lahan pertanian semusim, adanya aktifas pertambangan atau perkebunan skala besar. </div><div><br /></div><div>Bacaan masyarakat yang tidak belajar ekologi dapat dipertanggung jawabkan karena berbasis fakta dan pengalaman. Jika dibuat forum debat terbuka pun, saya memiliki keyakinan mereka akan mampu bertanding dengan para akademisi bertitel panjang yang hanya mengandalkan teori dari fasilitas teknologi. Namun sayangnya, penghargaan atas pendapat masyarakat non gelar akademik di negeri ini masih sangat rendah. Sehingga pendapat didominasi oleh mereka. dan celakanya, tidak sedikit para akademisi rela mengorbankan gelar dan keilmuannya pada pihak-pihak yang berkontribusi meningkatkan risiko bahkan pemicu bencana.</div><div><br /></div><div>Besarnya kontribusi krisis ekologis terhadap risiko dan bencana masih belum tersentuh dalam NA, DIM maupun draft RUU yang saat ini dibahas. Lingkungan hidup dimasukan sebagai bagian dari prinsip, baik dalam UU No 24/2007 maupun RUU yang dibahas. Namun tidak dijabarkan kontribusinya sebagai bagian dalam PB. Dan hal yang paling krusial yang perlu disikapi adalah hilangnya sifat Lex Specialist dari UU PB yang memberikan kuasa dari UU ini untuk menyelaraskan perundang-undangan yang ada, demi mencapai tujuan paling hakiki dari negara: menjamin perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana untuk mendapatkan rasa aman.</div><div><br /></div><div>Krisis ekologis sejatinya tidak saja terhubung dengan tipe bencana hidrometeorogis, tapi juga pada bencana geologis. Fungsi ekologis wilayah-wilayah rawan bencana geologis tentu memiliki ukuran-ukuran dasar. Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup, kita mengenal daya dukung lingkungan (<i>carrying capacity</i>). daya dukung dalam konteks PB dengan paradigma PRB tentunya penting untuk melihat besaran daya dukung yang dapat meminalkan risiko bencana. kelebihan atas daya dukung, tentu akan berakibat risiko menjadi lebih besar. sebagai gambaran, wilayah rawan tsunami membutuhkan zona pengamanan yang mampu meredam energy tsunami yang mungkin terjadi. antar satu wilayah dengan wilayah lain bisa saja berbeda. sebagai zona lindung yang memiliki fungsi meredam energy tsunami, sudah selanjimnya akan ditempatkan berbagai sarana dan prasana, baik berupa fisik maupun non fisik. salah satu contoh adalah hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove dengan luasan tertentu (berdasarkan perhitungan kemungkinan potensi tsunami) merupakan bagian dari dukung ekologis pada PB. Hal yang sama berlaku pada ancaman erupsi gunungapi atau longsor.</div><div><br /></div><div>Menempatkan fungsi ekologis dalam manajemen risiko bencana inilah yang membutuhkan sinergi antar perundang-undangan. dan UU PB sebagai lex specialist menjadi penting tetap memiliki fungsi menyelaraskan peranturan perundang-undangan. sehingga jika pada suatu saat terdapat UU yang berpotensi meningkatkan atau memunculkan risiko bencana, maka UU PB lah yang akan menjadi salah satu alat untuk mengingatkan atau menyeleraskan. Dan sebagai UU dengan kewenangan menyelaraskan, regulasi ini pun dapat memaksa kebijakan lain untuk memasukan prinsip maupun upaya PB dalam implementasinya. Seperti mewajibakan penataan ruang untuk menimbang daya dukung terhadap lingkungan dan PB. </div><div><br /></div><div><br /></div><div><br /></div><div><br /></div>Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-26278643358775439422017-12-17T15:21:00.002+07:002017-12-17T15:21:26.901+07:00MAKSIAT DAN BENCANAHampir bisa dipastikan, setiap ada kejadian bencana akan ada opini yang mengkaitkan kejadian tersebut dengan maksiat. Bencana sebagai balasan atau azab akibat perbuatan maksiat. Dan sudah dipastikan juga, akan ada respon balik atas pernyataan tersebut. Baik yang bersifat "nyinyir", mempertanyakan atau mencoba menjawab ada tidaknya hubungan antara bencana dan maksiat.<div>
<br /></div>
<div>
UNISDR secara prinsip menyebut sebuah kejadian atau kondisi dari bahaya (hazard) menjadi bencana ketika : 1) menyebabkan gangguan yang meluas di masyarakat, 2) berdampak yang menyebabkan kerugian (jiwa atau sosial budaya, ekonomi, fisik dan lingkungan), dan 3) masyarakat terkena dampak tidak memiliki kemampuan mengatasi dampak yang ditimbulkan. Terminologi ini secara jelas menempatkan, TIDAK SEMUA ancaman menjadi bencana. Bisa saja gunungapi erupsi setiap hari, jika tidak memenuhi ketiga variabel di atas, bukan lah bencana. Dan ini tentu berlaku untuk jenis-jenis ancaman bencana yang ada. Gempa, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran gedung dan pemukiman atau hutan dan lahan dll.<br /><div>
<br /></div>
<div>
Terkait dengan terminologi bencana, sekalipun kita telah memiliki dan menjalankannya selama 10 regulasi PB, masih perlu upaya lebih dalam membumikan gambaran secara utuh dan ruang lingkupnya. Implikasinya, tentu terkait erat dengan berbagai upaya yang diperlukan dalam mengurangi risiko bencana.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Mengkaitkan Maksiat dengan bencana pada dasarnya tidak berbeda ketika banyak orang mengkaitkan Bencana dengan Takdir. Ketidak mampuan menterjemahkan atau menggunakan terminologi yang sama menempatkan peristilahan tersebut "salah tempat" dalam penggunaannya. Dan bisa jadi, akan benar dan semuanya akan sapaham atau sependapat, saat ruang yang digunakan telah sama.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Maksiat dan bencana memiliki hubungan. Saya pribadi sangat sepakat. Sama sepakatnya dengan pemahaman atas hubungan bencana dan takdir. Kesepahaman saya ini tidak lepas dari makna maksiat itu sendiri. Maksiat memiliki makna durhaka/tidak patuh (<i>maksiyah</i> - arab). Maksiat adalah lawan kata dari Taqwa, sebuah perbuatan dosa, tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Maksiat tidak hanya dimaknai sempit seperti judi, zina, minum minuman keras, dll. Hal yang sama dalam memaknai takdir dalam artian sempit hanya menerima tanpa ada upaya atau ikhtiar sebagai bagian dari kewajiban manusia.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Maksiat sebagai pemicu bencana menjadi sangat relevan jika kita memperluas makkna maksiat tersebut sebagai perbuatan yang meninggalkan perintah dan menjalankan larangan Allah SWT. Durhaka tentu tidak tidak hanya berjudi, minum khamer atau narkotik dan zina. adalah bagian dari durhaka adalah korupsi, membabat hutan, membunuh satwa, merusak sungai, mengeruk bahan tambang atau membuang limbah atau melakukan pencemaran. Juga termasuk maksiat adalah melanggar aturan, tidak menegakan hukum atau mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Secara jelas, perbuatan-perbuatan tersebut adalah mengangkangi perintah Alllah SWT untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi. Akibat dari perbuatan maksiat tersebut, Allah SWT menegur untuk memberi peringatan atau mengazab dengan bencana. Bencana yang relevan dengan perbuatan merusak alam.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dalam kotek pengelolaan risiko bencana, terdapat ancaman yang tidak dapat diintervensi. Paling tidak sampai saat ini, Iptek belum mampu meredam gempa bumi, tsunami atau letusan gunungapi. Untuk mengurangi risikonya, intervensi dilakukan mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tidak setiap kondisi atau ancaman menjadi bencana dapat menjadi dasar menempatkan pemahaman pola hubungan "maksiat dan bencana" atau "takdir dan bencana". Ancaman sebagai takdir yang termuat sebagai siklus alami cukup relevan. Sekalipun masih dapat digali faktor-faktor pemicu sebagai akibat perbuatan manusia. Gempa bumi terkait dengan perubahan iklim merupakan sebuah hipotesa yang telah dibuktikan relevansinya melalui penelitian Simon Dya (Oxford Univ), Mc Guire dan Serge Gueles (UCL) selama 30 tahun dan di paparakan dalam "Climate Forcing of Geological and Geomorphological Hazards", September 2009 di London Inggris.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Berbagai perbuatan yang melawan alam dan menyebabkan kerusakan dapat dipastikan adalah perbuatan maksiat. Perbuatan sebagai bentuk pembangkangkan atas perintah dan larangan Allah SWT. Karena Allah SWT melalui Al Quran dan Hadits secara jelas memerintahkan menjaga alam dan melarang berbuat kerusakan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Luasnya makna Maksiat, tidak hanya zina, mabuk atau berjudi membuka ruang bagi kita untuk tidak hanya sekedar NYINYIR. tapi ada tantangan untuk membuka wacana makna maksiat secara hakiki. dan dalam kontek manejemen risiko bencana, maksiat sebagai faktor peningkatan risiko, baik terhadap ancaman, kerentanan maupun kapasitas adalah fakta. Dari tidak dijalankannya kewajiban mengenal risiko, meningkatkan kapasitas, membuat regulasi reduksi risiko sampai upaya tanggap darurat dan pembangunan paska bencana. Menjadi bagian dari maksiat juga pengabaian terhadap pontensi bencana demi investasi, atau membuat kebijakan yang mendekatkan warga negara pada risiko bencana. dalam menetapkan tata ruang, pemberian izin pertambangan, perkebunan skala besar, alih fungsi kawasan dll.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Semoga, paparan bebas ini dapat menginspirasi pengembangan pemahanan atas pendekatan religi dalam manejemen risiko bencana dan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. kita sudah terlalu lelah perang opini hanya mengedepankan ego masing-masing. Negeri ini butuh solusi dan saling mengisi untuk mensikapi 94 % wilayahnya yang rawan bencana.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Mampang Prapatan, pertengahan Desember 2017</i></div>
<div>
<span class="fullpost">
</span></div>
</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-84222442226703132152017-11-01T17:40:00.001+07:002017-11-01T17:40:28.544+07:00AMDAL KIJANG<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-yAxdosCahJk/WfmjiYBQRsI/AAAAAAAADnw/YHEHai_2jRkvph1Y6fiTUusFgVk1OXdgQCLcBGAs/s1600/telapakkaki2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="310" data-original-width="303" height="200" src="https://1.bp.blogspot.com/-yAxdosCahJk/WfmjiYBQRsI/AAAAAAAADnw/YHEHai_2jRkvph1Y6fiTUusFgVk1OXdgQCLcBGAs/s200/telapakkaki2.jpg" width="195" /></a></div>
AMDAL KIJANG, cukup lama Kata itu tenggelam dalam pikiran. Terakhir tahun 1996 - 1999 atau 20-an tahun yang lalu mengemas ulang materi sebagai media belajar dengan kawan-kawan komunitas dari 6 kawasan sebagai wilayah kerja WALHI Jogjakarta. Masing-masing komunias yang memang sedang berhadapan dengan berbagai upaya pembongkaran atas nama pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Kawasan Merapi, Pesisir Selatan, Pegunungan Menoreh, Karts Pegunungan Sewu, Perkotaan Jogjakarta dan DAS dari wilayah Jogja.<div>
<br /></div>
<div>
Kebutuhan yang beragam dengan latar belakang komunitas masing-masing, menempatkan perlunya penyesuaian-penyesuain. Intinya saat itu, praktis dan mudah digunakan komunitas untuk kebutuhan transfer pengetahuan antar masyarakat dan masyarakat maupun masysarakat dengan para pendukungnya yang umumnya dari luar komunitas. Baik dari kalangan Ornop, pencinta alam, jurnalis maupun akademisi. selain itu, ada kebutuhan lain, metode ini juga harus mampu sebagai alat pengorganisasian, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kritis serta alat advokasi rakyat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Modul <b>AMDAL Kijang</b> (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Kaki Telanjang) telah ada sebelumnya yang digagas oleh WALHI Nasional dengan mengadopsi metode AMDAL yang ada. sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi penyusunan AMDAL oleh orang atau lembaga yang telah bersertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat, tentu harus memenuhi syarat, melalui proses dan membutuhkan biaya tidak sedikit. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Secara prinsip, AMDAL pada awal kemunculannya adalah sebuah piranti untuk menilai kelayakan rencana usaha/kegiatan yang berpotensi mengganggu lingkungan. Jika terbukti mengganggu dan tidak mampu dikendalikan, rencana tersebut tentu harus ditolak atau tidak boleh dilanjutkan. Namun proses perjalanan menjadi berbeda. AMDAL lebih ditempatkan sebagai syarat administrasi dari rencana usaha/kegiatan. Melalui AMDAL lah, usaha mendapatkan legitimasi untuk berjalan. Berbagai dampak negatif pun dimanipulasi dengan berbagai keuntungan yang akan diperoleh. Untuk mendapatkan dukungan dari warga, dampak negatif ditutupi, sementara dampak positif ditebar.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Adanya praktik yang mempertontonkan kesenjangan ini lah yang mendorong WALHI untuk menyiapkan piranti untuk masyarakat sendiri. Masyarakat harus tahu apa yang terjadi sesungguhnya sebagai hak yang dijamin oleh Negara. Hal yang lebih penting, dengan pengetahuan dan kesadaran kritis, warga dapat duduk sejajar dengan peserta lain dalam sidang komisi AMDAL maupun kesempatan lain memaparkan fakta-fakta yang ada.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
AMDAL Kijang pada dasarnya tidak memiliki metode baku. Metode dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Hal terpenting adalah, bagaimana masyarakat memahami, apa dampak lingkungan yang akan terjadi jika usaha yang akan beroperasi di wilayahnya. Untuk itu, warga perlu kembali mendalami sumberdaya yang dimiliki sebagai aset penting penghidupan mereka. Mengenali dampak yang dapat terjadi terhadap aset tersebut, dan bagaimana sikap yang harus diambil. Dalam memahami sumberdaya sebagai aset, warga dapat mengembangkan berbagai gagasan pengelolaan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Baik bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>WALHI Jogjakarta</b> saat itu, mengembangkan AMDAL Kijang dengan mengadopsi teknik PRA yang saat itu memang sedang populer digunakan oleh banyak pihak, khususnya Ornop. Para ahli PRA pun berkumpul bertemu dengan aktivis yang telah mengikuti kursus AMDAL, kursus penataan ruang maupun kursus-kursus lain yang umumnya menjadi syarat sebagai tim penyusunan dokumen resmi negara. Hasilnya sungguh luar biasa. Hampir seluruh materi dalam kursus AMDAL pada dasarnya dapat diakomodir melalui teknik PRA. Tantangannya saat itu adalah, bagaimana mengilmiahkan bahasa-bahasa komunitas dalam dokumen yang akan disusun sebagai alat advokasi. Dan itu tidak terlalu sulit, karena masyarakat yang terlibat juga mendapatkan materi pemetaan aktor dan pengembangan jejaring. Sehingga warga dapat dengan mudah mencari dukungan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. seperti mengetahui jenis tanah dan batuan menurut ilmu geologi atau menambah nama-nama latin dari flora dan fauna. Demikian juga untuk memahami aspek iklim - pun warga akan dengan mudah mencari dukungan para ahli iklim, tentu yang memiliki keberpihakan terhadap lingkungan dan masyarakat.</div>
<div>
<b><br /></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-4twgaDU0Jqc/WfmkL7JT8BI/AAAAAAAADn4/r8EOuOVW2T0gO0FrwWs6SLOz28UzOzzcACLcBGAs/s1600/22555190_10213396932573823_7041636775293660549_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://4.bp.blogspot.com/-4twgaDU0Jqc/WfmkL7JT8BI/AAAAAAAADn4/r8EOuOVW2T0gO0FrwWs6SLOz28UzOzzcACLcBGAs/s320/22555190_10213396932573823_7041636775293660549_n.jpg" width="320" /></a></div>
<div>
<b>Temu Wicara dan Kenal Medan (TWKM) Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA)</b> se Indonesia di Jakarta mengambalikan kembali memory proses dan implementasi <b>AMDAL Kijang</b>. Tidak mudah tentunya, karena telah banyak perubahan dan perkembangan zaman. Dulu untuk mendapatkan dokumen, harus mencuri-curi atau menipu sebagai mahasiwa lagi nyusun skripsi. atau kalau ada dana lebih, bisa lah menggunakan sogokan ke petugas yang sedikit pro kita sekedar untuk minum kopi. tentu dengan syarat... jangan "bilang-bilang". Saat ini, informasi begitu terbuka. Jika terhambat, media sosial dapat menjadi alat untuk menekan. Bisa juga menggunakan pendekatan hukum seperti yang dilakukan JATAM Kaltim dan JATAM Sulteng untuk membuka informasi publik. Demikian juga dulu, begitu sulitnya mendapatkan peta dasar, alat-alat pemetaan maupun SDM yang memiliki kemampuan untuk pemetaan. Jaman susah.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Akses informasi saat ini menjadi dasar, AMDAL Kijang lebih kaya informasi dan lebih mudah diterapkan. Warga masyarakat pun telah mampu mengakses berbagai informasi dan menyuarakan melalui internet. kondisi ini menjadi peluang atau modalitas untuk melakukan pembaharuan AMDAL Kijang sebagai piranti transfer pengetahuan antar warga, menumbuhkan kesadaran kritis, pengorganisian maupun advokasi.</div>
<div>
</div>
<div>
Tantangan yang menarik tentunya untuk kembali membuka memori, mencari berbagai literatur terbaru dan menerapkan konsep AMDAL Kijang dalam sebuah modul pendidikan rakyat maupun para aktifis. Spesial buat Pencinta Alam, tentu ini dapat menjadi piranti penting dalam melakukan kegiatannya berpetualang. tidak sekedar memenuhi hasrat diri, tapi juga terlibat aktif menyelamatkan lingkungan. Paling tidak lingkungan tempat mereka bermain. Kawasan Karts Maros di Sulsel, Sangkulirang - Kaltim, Aceh, Jawa sampai Papua sedang terancam. Karts adalah wilayah bermain Pencinta alam untuk caving dan rock climbing. apakah kita rela kawasan itu hancur seperti tebing-tebing di Cibinong atau Citatah? Pegunungan Jayawijaya sebagai gunung kebanggaan Indonesia pun saat ini terus mengalami tekanan ekosistem aktifitas pertambangan emas terbesar PT Freeport. Belum lagi gunung-gunung yang saat ini di eksploitasi menjadi kawasan wisata dengan pola mass tourism, sehingga dianggap membutuhkan berbagai fasilitas yang memanjakan pengunjung. Lihatlah Bromo Tengger Semeru, lihat juga Ijen yang sedang dibongkar keasriannya. </div>
<div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-3A83slGlya4/Wfmh2XWqaBI/AAAAAAAADnU/JbVpG5v2UvU1b5scBGfDcpH5v2EWhxRPACLcBGAs/s1600/bromo.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="112" src="https://3.bp.blogspot.com/-3A83slGlya4/Wfmh2XWqaBI/AAAAAAAADnU/JbVpG5v2UvU1b5scBGfDcpH5v2EWhxRPACLcBGAs/s200/bromo.jpg" width="200" /></a></div>
<div>
Kita baru berhasil menggagalkan kebodohan pengelola TN Rinjani yang memasang tulisan konyol di segara anakan. tapi mendapatkan tantangan dari TN Bromo Tengger Semeru dan Ijen. Entah gunung mana lagi yang mengikuti trend nora.</div>
<div>
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-B8M2wNAqLko/WfmiFJ1BBhI/AAAAAAAADnY/P4PPSATpvOMWtx-AHJ67zkJXgXYZlvh2ACLcBGAs/s1600/ijen.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="112" src="https://2.bp.blogspot.com/-B8M2wNAqLko/WfmiFJ1BBhI/AAAAAAAADnY/P4PPSATpvOMWtx-AHJ67zkJXgXYZlvh2ACLcBGAs/s200/ijen.jpg" width="200" /></a>Dimana posisi dan peran pencinta alam melakukan pembelaan kawasan? </div>
<div>
<br /></div>
<div>
melalui AMDAL Kijang yang dikuasai oleh kelompok Pencinta Alam, tentu akan menjadi modal dalam berkampanye atau beradvokasi. tidak hanya sekedar nyolot di media sosial tanpa tahu, kenapa harus protes bukan.</div>
<div>
Yuk ah... ini tantangan besar kita, mari selesaikan Kurikulum dan Modul AMDAL KIJANG untuk kelompok Pencinta Alam. Ya, menjawab, dimana posisi dan peran pencinta alam tentunya....</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<span class="fullpost">
</span></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-15006185261054240012017-10-04T01:47:00.000+07:002017-10-04T01:47:03.455+07:00PENCINTA ALAM DAN KEBERLANJUTAN HUTAN JAWA<i>20 tahun silam.. tepatnya Oktober 1997 - ada poster sederhana dengan kertas buram yang bikin "sebel". Kalimat provokatif membuat panas hati. <b>"DICARI, PENCINTA ALAM PEMBERANI TIDAK TAKUT MATI"</b>. Beuh..... bener-bener menyebalkan. </i><div>
<i>sekalipun pada dasarnya, hampir semua manusia takut akan datangnya kematian - kalimat jelas bikin rese. Memunculkan pemberontakan pikiran untuk rasa sebaliknya. <b>SIAPA TAKUT????</b></i></div>
<div>
<b><br /></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-RmAact3a7nQ/WdPbBsMFE_I/AAAAAAAADgE/8xWYI_qUJ8YmgNwjmJuQEsjzY70j7N_ZQCLcBGAs/s1600/kaos%2Bmacan1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="990" data-original-width="700" height="320" src="https://4.bp.blogspot.com/-RmAact3a7nQ/WdPbBsMFE_I/AAAAAAAADgE/8xWYI_qUJ8YmgNwjmJuQEsjzY70j7N_ZQCLcBGAs/s320/kaos%2Bmacan1.jpg" width="225" /></a></div>
<div>
Kira-kira begitu lah provokasi dari KAPPALA Indonesia - dimana aktifisnya para "mantan" yang gak pernah mau disebut mantan pencinta alam. Karena pencinta alam pada dasarnya adalah melekat pada diri setiap manusia. Provokasi untuk mengajak - lebih tepatnya menantang para pencinta alam untuk turun ke hutan yang bener-bener hutan. Gak sekedar hutan yang ada jalan setapaknya, lebih sering berpapasan dengan manusia atau suara pengajian, azan atau bahkan musik dangdut masih terdengar dari yang disebut "hutan".</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hasil provokasi itu berhasil menggoda 130-an pencinta alam gagah berani. Mereka belajar bersama mengenal lingkungan lewat cara-cara sederhana. Mengamati prilaku hewan, khususnya Harimau dan Elang di kebun binatang Surabaya, mencetak jejak dengan gips, analisa vegetasi, identifikasi flora dan fauna maupun bagaimana mendokumentasikan dengan baik. Singkat saja, karena para pencinta alam tersebut selanjutnya lebih banyak menyeruak hutan Taman Nasional Merubetiri selama kurang lebih 26 hari.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Berbagai temuan mengarah keberadaan Harimau Jawa berhasil dikumpulkan. Bekas cakaran, feses, jejak kaki dan rambut adalah temuan luar biasa. Demikian juga rangkaian cerita penduduk yang bertemu langsung dengan sang diraja hutan. selain mengidentifikasi bukti-bukti keberadaan sang Macan Gembong, berbagai kekayaan TN Merubitiri pun berhasil dikumpulkan. Dari mulai berbagai jenis serangga, mamalia, aves, jamur dll.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Upsh..... diantara keasyikan mengamati lingkungan TN. Merubetiri, terdapat patok-patok aneh. dari Informasi penduduk, ada sekelompok orang dari perusahaan tambang emas sedang melakukan penelitian potensi emas disana. apakah Merubiri sebagai kawasan konservasi yang ditetapkan sebagai habitat terakhir harimau Jawa akan jadi kawasan pertambangan emas?????</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dialog diantara peserta ekspedisi Macan Jowo pun berkembang dengan sendirinya. Apakah penghakiman kepunahan simbah terkait dengan rencana eksploitasi mineral mahal ini? Jika ya - cilaka lah manusia-manusia yang mendukung kepunahan Harimau Jawa. Terlepas mereka bermotif apa?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Viralnya foto carnivor besar di TN Ujung Kulon, pertengahan September 2017 laksana bom nuklir. Tak terkirakan rasa suka cita atas naiknya pembicaraan atas masih eksisnya sang raja. Sekalipun dari hasil identifikasi foto/video mengarah pada macan tutul (Penthera pardus), tapi tidak menutup menghilangkan rasa suka cita tersebut.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tidak ada rasa sedih atau marah terhadap berbagai argumen yang dikeluarkan para ahli ataupun LSM penggiat hidupan liar. Yang ada justru rasa tertantang untuk membuktikan keberadaan satwa simbol Prabu Siliwangi. Berbagai informasi dari berbagai sumber keberadaan Harimau Jawa begitu berharga. Tidak hanya di Merubetiri, tapi juga di banyak wilayah dari hutan-hutan Pulau Jawa yang tersisa.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kebijakan Kantor TN Ujung Kulon yang menindak lanjuti berbagai informasi keberadaan Harimau jawa di wilayahnya dengan menurunkan tim patut mendapatkan apresiasi dan dukungan. Memupus "OPINI" punah yang kadung mengkristal banyak kalangan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dimana Pencinta alam menempatkan posisi? akan kah semangat 20 tahun yang lalu kembali menggeliat. Menjadi baris pertama dalam membuktikan keberadaan Harimau Jawa. Ya.. Harimau Jawa Belum Punah. tidak hanya untuk eksistensi sang satwa eksotis saja, tapi untuk menjamin keberadaan hutan-hutan di pulau jawa sebagai habitatnya yang kian kritis. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lihatlah hutan lindung di Tumpang pitu, yang saat ini telah menjadi kawasan tambang emas. Lihatkah hutan gunung Slamet yang tercabik pembangunan PLTG. Lihat juga hutan-hutan di Garut yang telah menjadi kebun dan vila atau hotel. Lihat... lihat keserahakan yang mengintai pada hutan-hutan jawa. Jangan juga melupakan berbagai bencana yang telah terjadi dan akan terus terjadi dimasa depan. banjir, longsor, konflik satwa, kekeringan akan menjadi ancaman yang diturunkan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Melindungi dan menyelamatkan Harimau Jawa adalah untuk menyelamatkan kehidupan bermartabat kawan. Untuk kita saat ini, anak-anak kita ke depan dan turun-turunan kita di masa akan datang.</div>
<div>
Siapkan diri kita... untuk tidak takut mati (karena kita akan menyiapkan pengetahuan dan skill hidup di alam bebas) plus perlengkapan standar perpetualang. tidak sedekar memenuhi hasrat memompa adrenalin... tapi juga mengamati dan mengidentifikasi lingkungan. Taman Nasional Ujung Kulon akan menjadi tempat belajar kita pada akhir Desember 2017.</div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<b>MARI BERGABUNG - EKSPEDISI HARIMAU JAWA</b></div>
<div style="text-align: center;">
<b><i>Menolak Punah - Harimau Jawaku masih ada </i></b></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-71329425660762355052017-10-03T11:34:00.000+07:002017-10-03T11:34:11.267+07:00Bulletin itu teronggok dipojokan meja. Berbaur dengan beberapa Majalah dengan aneka warna. Tidak begitu mencolok, lebih terkesan sederhana. Sambil menikmati kopi petani lereng Gunung Sindoro yang diroasting medium - aku mencoba mengambil dan membukanya. Simple dan sederhana menjadi daya tarik tersendiri saat dia bergerombol dengan beragam majalah yang merebut memamerkan diri. <div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-_ZXQaKhvD1I/WdMSQXS66JI/AAAAAAAADf0/ZGhDLYUDNq0O5XrhIgCwDYKiMqoWkEqLwCLcBGAs/s1600/IMG_20171001_111600.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="179" src="https://1.bp.blogspot.com/-_ZXQaKhvD1I/WdMSQXS66JI/AAAAAAAADf0/ZGhDLYUDNq0O5XrhIgCwDYKiMqoWkEqLwCLcBGAs/s320/IMG_20171001_111600.jpg" width="320" /></a></div>
<div>
Judulnya retes. mengulas tentang geliat film Indonesia. Beberapa film yang sedang digarap dan berharap menjadi tuan dinegerinya sendiri; Wiro Sableng, Marlina, <i>the murderer in four act</i> dan <i>docs by the sea. </i>Luar biasa... hanya itu yang terbuncah dalam pikiran. Informasi tentang prestasi film-film pun cukup membuat optimis. Warkop DKI Reborn (2016), disaksikan 6.858.616 orang, disusul Laskar Pelangi dengan jumlah penonton mencapai 4.719.453 dan Habibi dan Ainun 4.583.641. but, please, jangan dulu bandingkan dengan film-film Hollywood ya.. karena itu memang menjadi bagian dari tantangan kita bersama. Gak cuma bagi pembuat film, tapi juga investor dan kita sebagai rakyat Indonesia untuk menjadi bagian dalam menempatkan film-film Indonesia lebih dicintai.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Rasa gemes kembali muncul. Bagaimana bisa mengangkat rentetan cerita perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dampak perubahan iklim atau pengurangan risiko bencana dalam alur film yang cantik dan bisa dinikmati seluruh kalangan. dan yang lebih penting, tentu dampak dari film tersebut mampu membuka mata dan pikiran. Kesadaran untuk lebih menempatkan diri sebagai khalifah di bumi yang menjaga amanah Tuhan untuk keberlanjutan kehidupan yang bermatabat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
telah banyak sih film-film yang dibuat, khususnya oleh organisasi lingkungan maupun organisasi kemanusiaan. tapiiiiii... mohon maaf, film yang diproduksi lebih untuk memenuhi proyek, merespon issue atau berupa dokumentasi proses. Tidak cukup asyik untuk ditonton khalayak. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Apakah film-film advokasi atau pemberdayaan komunitas itu tidak menarik? ah... ya.. bisa iya juga. sekalipun beberapa film yang digarap apik dengan bintang moncor menghasilkan film dengan kualitas yang ok. Pelican Brief adalah salah satunya. film advokasi pencemaran yang dibintangi Julia Robert sukses dipasaran. atau film Burning Season yang mencerikan perjuangan Chico Mendez mempertahankan Hutan Amazon sebagai wilayah kelola rakyat.</div>
<div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-lbHGwhcKxNU/WdMRXWthbDI/AAAAAAAADfo/m4feXLzwjHoXV5KeHA8guRdmA4XDfk4hwCLcBGAs/s1600/p15247_p_v8_aa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1440" data-original-width="960" height="200" src="https://2.bp.blogspot.com/-lbHGwhcKxNU/WdMRXWthbDI/AAAAAAAADfo/m4feXLzwjHoXV5KeHA8guRdmA4XDfk4hwCLcBGAs/s200/p15247_p_v8_aa.jpg" width="133" /></a></div>
<div>
Film layar lebar memang menantang untuk menyisipkan berbagai pesan tentang bagaimana kerusakan lingkungan telah sangat menghawatirkan. Sasaran film pun tidak hanya terbatas masyarakat pinggiran atau yang berkasus. tapi juga masyarakat pada umumnya. bahkan lebih utama sasaran adalah orang-orang perkotaan terpelajar. anak-anak para pejabat, anak para pengusaha atau kelas menengah atas. dimana mereka punya peluang yang lebih besar dalam menentukan masa depan bumi ini lewat keputusan dan dananya.</div>
<div>
</div>
<div>
Banjir bandang di Wasior, Menado, Aceh atau Bangka belitung akibat kerusakan lingkungan apakah cukup menarik untuk menjadi film layar lebar? atau upaya warga Bali dalam mensikapi ancaman bencana gunung agung. dimana sumberdaya lokal dan masyarakat saling bahu membahu menyelesaikan berbagai kebutuhan. Bisa juga cerita paska gempa jogjakarta yang menunjukan kekerabatan lintas batas dalam proses pemulihan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ah.. terlalu banyak cerita-cerita jika dikemas menjadi film ciamik. tidak kalah dengan Pelician Brief nya Julia Robert.</div>
<div>
BTW.... saya harus mengucapkan terimakasih pada Iip S Hanan yang mampu mengemas cerita tentang TKW dalam DUNUA TERBALIK yang serat makna. sekalipun kadang lebay.. tapi, pesan-pesan moral begitu kental. termasuk bagaimana menjaga lingkungan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
</div>
<div>
<span class="fullpost">
</span><br />
<div>
<br /></div>
</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-35791568438458353302017-09-29T23:31:00.004+07:002017-09-29T23:31:57.849+07:00OPINI PUNAH MENGANCAM EKSISTENSI HARIMAU JAWA<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><i>Press release – mendialogkan
(kembali) harimau Jawa dan keberlanjutan
hutan Pulau Jawa<o:p></o:p></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-v4jUGPyTCE8/Wc51LpA6h_I/AAAAAAAADfM/cS7cizuOU_Q5ihgPX3KRTSEi0Y3kpX0ggCLcBGAs/s1600/WhatsApp%2BImage%2B2017-09-29%2Bat%2B08.21.36.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="904" height="200" src="https://1.bp.blogspot.com/-v4jUGPyTCE8/Wc51LpA6h_I/AAAAAAAADfM/cS7cizuOU_Q5ihgPX3KRTSEi0Y3kpX0ggCLcBGAs/s200/WhatsApp%2BImage%2B2017-09-29%2Bat%2B08.21.36.jpeg" width="141" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Foto yang diunggah petugas TN
Ujung Kulon (25/8) kembali mengangkat wacana “kepunahan” Harimau Jawa (<i>panthere tigris sondaica</i>). Sekalipun
hasil identifikasi foto mengarah pada sosok Macan Tutul (<i>Panthera Pardus</i>), namun tidak menyurutkan keraguan atas pernyataan
punah dari IUCN (1973) atau WWF (1996) dan beberapa peneliti carnivor besar.
Berbagai data dan informasi kembali mengemuka tentang masih eksisnya Harimau
Jawa. Tidak saja di TN Merubetiri sebagai salah satu kawasan yang ditetapkan
sebagai habitat Harimau Jawa. Tapi juga di banyak wilayah-wilayah hutan yang
tersisa di Jawa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sejak 20 tahun yang lalu (1997),
pengumpulan data dan informasi secara terstruktur dilakukan. Melalui ekspedisi
pencinta alam dan pemerhati lingkungan melalui PL KAPAI (Pendidikan Lingkungan
untuk Kelompok Pencinta Alam) menjadi awal dimulainya pencarian sosok Harimau
Jawa. Tidak hanya menunggu, tapi juga menjemput berbagai informasi dari
berbagai sumber. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menelusur hutan-hutan, memasang
kamera trap, mengumpulkan bukti sampai mendengar dengan tekun aneka cerita dari
berbagai sumber menjadi bagian dari proses panjang pembuktian keberadaan sang
raja hutan jawa. Beragam data dan informasi tersebut saat ini terkelola dengan
apik. Dari mulai feses (kotoran), gip jejak kaki, bulu/rambut, kulit, taring,
kuku maupun foto-foto berupa cakaran serta rangkaian kalimat dari berbagai
sumber.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Opini <b><u>punah</u></b> atas Harimau Jawa nampaknya masih cukup kuat. Sehingga
apapun informasi maupun bukti-bukti yang mengarah keberadaan “macan gembong”
ditempatkan sebagai rumor. Bahkan tidak jarang dikaitkan dengan klenik.
Berbagai argumentasi kerap dikeluarkan untuk menepis bukti-bukti yang diajukan
terhadap keberadaan Sruni atau Lareng sebagai sebutan lain dari Harimau Jawa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Para aktifitis yang secara
swadaya mencoba mengumpulkan dan menyajikan informasi keberadaan Harimau Jawa
kerap dihadapkan respon negatif. Tidak saja argumentasi yang terkesan
menyudutkan<a href="file:///C:/Users/Eyank/Desktop/OPINI%20PUNAH%20MENGANCAM%20EKSISTENSI%20HARIMAU%20JAWA.docx#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri",sans-serif; font-size: 11.0pt; line-height: 107%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>,
tapi juga dianggap tidak pernah ada. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i>“Setiap infomasi (tentang harimau jawa), dari mana pun itu adalah
sangat berharga. Masyarakat pinggiran hutan jelas memiliki pengetahuan lebih
dalam membedakan spesies. Apalagi para pemburu. Mereka bisa membedakan spesies
didasarkan atas harga, demikian juga si pembeli. Gak mungkin penjual atau pembeli bertransaksi
dengan barang yang salah</i>”. Demikian mas Didik Raharyono menganalogikan
tentang informasi keberadaan Harimau Jawa di banyak tempat. Tahun 2012 pemburu
medapatkan Harimau Jawa di Jawa Timur. Dan tahun 2014, juga Harimau Jawa
tertangkap. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Lebih lanjut, Mas Didik juga
menunjukan kebaradaan harimau Jawa tidak harus melalui foto yang saat ini
seolah menjadi tuntutan. Berbagai temuan yang saat ini ada, sudah lebih dari
cukup menjadi dasar analisis. Selain rambut yang dapat dibuktikan lewat test
DNA, juga jejak kaki dengan ukuran yang mengarah pada Harimau Jawa dengan besar
jejak di atas 14 x 16 cm. atau cakaran di atas 180 cm ke atas pada pohon di
hutan sebagai habitat harimau jawa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Perjalanan panjang yang dilakukan
oleh Tim Pembela dan Pencari Fakta Harimau Jawa (TPPFJ) selama ini, keberadaan
Harimau Jawa teridentifikasi di hutan-hutan diantaranya : <b>Jawa Barat</b>; Ciamis, Gunung Ciremai, Garut Selatan, Tasikmalaya. <b>Banten</b> di seputaran TN Ujung Kulon dan
hutan diseputaran Baduy. <b>Jawa Tengah</b>;
gunung Slemet, pegunungan Dieng – Banjarnegara, Blora dan <b>Jawa
Timur </b>pada hutan-hutan di<b> </b>Gunung
Lawu, Gunung Semeru, Bojonegoro, Gunung Argopuro, Gunung Raung, TN Merubiri dan
TN Alas Purwo. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hal utama dalam melindungi dan
menyelamatkan Harimau Jawa adalah menghilangkan dulu asumsi punah. Penilaian
subyektif ini, apalagi telah ada di kepala pemilik kebijakan atau orang-orang
yang memiliki kewenangan jelas akan menghambat bebagai data dan informasi
maupun upaya yang dilakukan para pihak dalam membuktikan keberadaan Harimau
Jawa. Penurunan tim oleh TN Ujung Kulon untuk melacak keberadaan Harimau Jawa
patut diapriasi. Dan ini akan menjadi langkah awal untuk dikembangkan ke
wilayah-wilayah lain yang teridentifikasi menjadi bagian habitat Harimau Jawa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Lebih jauh, keberadaan Harimau
Jawa juga dapat menentukan keberlanjutan Hutan-hutan di Jawa. Perlakukan hutan
Jawa saat ini mengalami tekanan yang sangat luar biasa. Hutan Gunung Slamet
misalnya, saat ini mengalami tekanan akibat pembangunan PLTG. Pembukaan hutan
untuk pembangunan energi bersih seolah melegalkan perusakan hutan dan abai
dampak buruk yang dapat ditimbulkan. Dari mulai mengganggu fungsi hidrologi
sampai risiko bencana. Selain itu, Gunung Slamet sebagai salah satu yang
teridentifikasi sebagai habitat Harimau Jawa untuk wilayah jawa tengah dapat
saja terganggu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Siti Maimunah sebagai salah satu
peserta Ekspedisi Harimau Jawa tahun 1997 juga mengingatkan. Bagaimana TN
Merubetiri sebagai kawasan konservasi, saat itu juga terancam eksploitasi tambang
emas. Status punah terhadap Harimau Jawa dapat saja menjadi salah satu alasan
penurunan status kawasan yang akhirnya melegalkan aktifitas penambangan yang
secara jelas akan menghancurkan fungsi-fungsi ekologis kawasan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-eRy8cXmaxm4/Wc51BDOOgFI/AAAAAAAADfI/C6-mbev2e8IMgL-7y2rInMvpnrFzNry2QCLcBGAs/s1600/WhatsApp%2BImage%2B2017-09-29%2Bat%2B18.52.14.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="180" src="https://2.bp.blogspot.com/-eRy8cXmaxm4/Wc51BDOOgFI/AAAAAAAADfI/C6-mbev2e8IMgL-7y2rInMvpnrFzNry2QCLcBGAs/s320/WhatsApp%2BImage%2B2017-09-29%2Bat%2B18.52.14.jpeg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Talkshow mendialogkan (kembali) Harimau
Jawa mendapatkan antusias dari kalangan luas. Seluruh peserta sepakat jika
Harimau Jawa masih ada. Bukti-bukti yang disampaikan Didik Raharyono sebagai
narasumber semakin memperkuat keyakinan keberadaan Harimau Jawa. Tinggal,
bagaimana para pihak mengambil peran sesuai dengan keahliannya masing-masing
saling mendukung upaya perlindungan dan penyelematan harimau jawa dan
hutan-hutan tersisa di Pulau Jawa sebagai habitatnya. Gagagan ini disampaikan
oleh Melir dari Lingkar Yogyakarta yang melihat banyak peluang untuk membangun
sinergis. Baik dari pihak pemerintah, akademisi maupun organisasi
non-pemerintah.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Informasi lebih lanjut tentang
Harimau Jawa<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraph" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]-->-<span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> </span><b>Didik Raharyono</b> : 0815 658 0056<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Informasi pelaksanaan kegiatan
talkshow<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]-->-<span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> </span><b>Sofyan eyanks</b> : 0811 18 3760<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Livestreaming proses talkshow : https://www.facebook.com/sofyan.eyanks<o:p></o:p></div>
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: .5in;">
<a href="file:///C:/Users/Eyank/Desktop/OPINI%20PUNAH%20MENGANCAM%20EKSISTENSI%20HARIMAU%20JAWA.docx#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri",sans-serif; font-size: 10.0pt; line-height: 107%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Saat menunjukan jejak kaki dengan ukuran besar (14 x 16 atau lebih) , dianggap
jejak macan terpeleset atau ditanah lunak, sehingga jejak menjadi lebih besar
dari ukuran sebenarnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
</div>
</div>
<span class="fullpost">
</span>Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-85206891883797702652017-02-11T00:16:00.001+07:002017-02-11T00:16:16.869+07:00RENCANA KONTIJENSI KOMUNITASSudah 5 bulan blog ini tidak terurus. terakhir posting mengambil tulisan Pak Imam Prasojo tentang jembatan gantung yang justru diinisiasi oleh orang luar yang lebih peduli terhadap keselamatan anak bangsa dan kehidupan warga perdesaan. Kehidupan yang jauh dari gegap gempita Pilkada dan segudang isue yang mampu membuat sakit kepala.<span class="fullpost">
</span><br />
<div>
<br /></div>
<div>
Tulisan ini dipicu oleh sebuah kesempatan memfasilitasi pembaharuan rencana kontijensi untuk tiga kelurahan; Pejaringan, Kemal Muara dan Kampung Melayu. Sebuah proses pada tiga tahun lalu (2013) sempat terlibat aktif dalam persiapan penyusunan awal yang difasilitasi oleh BPBD DKI Jakarta. Sebuah peluang yang juga membuat shock karena diluar kesiapan dan kemampuan yang ada saat itu. Peluang tidak boleh disia-siakan. Itulah yang terpikir oleh sekelompok relawan yang baru saja selesai mengikuti pelatihan untuk fasilitator di Pulau Harapan yang difasilitasi oleh program API Perubahan - MercyCorps Indonesia. Pelatih berdarah dingin Iskandar Leman, mampu memompa semangat menerima tantangan Pak Edi (Kabid Data Informasi) BPBD DKI Jakarta untuk memfasilitasi 56 Kelurahan di DKI Jakarta yang rawan banjir.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Serangkaian diskusi dilakukan, baik formal maupun non formal diantara para relawan dengan staff BPBD dipimpin langsung oleh sang Kabid. Pembagian peran dengan sendirinya terbagi - siapa melakukan apa. termasuk pembagian wilayah dalam memfasilitasi Kelurahan secara partisiatif. Berlomba dengan waktu - itu lah yang terjadi. Karena para relawan, masing-masing tidak hanya memfasilitasi satu atau dua kelurahan. Sehingga dibentuklah Tim Fasilitator yang terdiri dari 3 - 4 orang untuk menangani 5 - 6 Kelurahan. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Untuk membekali para fasilitator dalam memfasilitasi proses penyusunan - tersusunlah panduan untuk fasilitator rencana kontijensi untuk kelurahan. sebagai panduan, tentu modul ini bukan lah barang mati. panduan ini bersifat dinamis. dapat dirubah atau disesuaikan mengikuti kondisi setempat. Namun begitu - ada hal yang secara prinsip bersifat baku. Saya menempatkannya sebagai pra dan syarat dalam proses penyusunan. diantaranya adalah; Komitmen pemangku kepentingan - khususnya Lurah sebagai kepala pemerintahan pada tingkat kelurahan dan jajarannya serta para tokoh masyarakat setempat. Karena tanpa adanya komitmen, sekalipun dokumen renkon telah tersusun - dapat dipastikan akan sia-sia. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
selain komitmen dan rasa memiliki, beberapa syarat penting lain adalah; data dan informasi terkait ancaman bencana yang disusun rencana kontijensinya, hasil kajian dan peta risiko atau ancaman bencana, jalur dan tempat evakuasi serta tanda peringatan dini. Pada praktiknya, keseleruhan syarat ini dapat dilakukan bersamaan saat proses penyusunan renkon. Kecuali pra syarat berupa komitmen pemangku kepentingan tentunya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sayangnya - banyak proses penyusunan renkon justru melawatkan pra syarat tersebut. alasannya klasik - diburu waktu. wal hasil - dapat ditebak, dokumen renkon yang telah tersusun - akhirnya hanya sebagai pemanis kegiatan dan capaian. namun tidak berdampak pada pelaksanaan tanggap darurat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
harus diakui - membangun komitmen dan rasa memiliki membutuhkan proses. Tidak mudah, apalagi banjir di Jakarta yang telah menjadi agenda tahunan. Banjir terkadang menjadi peluang sebagian orang untuk mendapatkan "keuntungan". Keuntungan ini tidak semata-mata dimaknai dalam bentuk material, tapi juga imatrial. eksistensi, mendapatkan pengaruh atau menjadikan sejata terhadap lawan (politik).</div>
<div>
<br /></div>
<div>
mengawali tulisan ditahun 2017, blog ini hanya akan membagikan file panduan rencana kontijensi kelurahan. semoga apa yang ada dalam modul yang disusun pada tahun 2013 ini dapat bermanfaat. tidak saja untuk kelurahan, tapi juga pada pemerintahan Desa. tentunya dengan menyesuaikan sistem pemerintahan yang ada.</div>
<div>
file unduh klick <a href="http://www.mediafire.com/file/t57rxbe3w4dag2c/panduan_renkon_jakarta.pdf" target="_blank">di sini</a></div>
<div>
</div>
<div>
</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-35538037294884339832016-09-27T23:47:00.000+07:002016-09-27T23:47:16.805+07:00DIMANA NURANI BANGSA SANTUN INI...????<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-XK_LOw75Jvw/V-qhTtKywqI/AAAAAAAACrY/iquVoybqlHE4C9q9cip_kfHEGb4ngPK0QCLcB/s1600/router.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="201" src="https://3.bp.blogspot.com/-XK_LOw75Jvw/V-qhTtKywqI/AAAAAAAACrY/iquVoybqlHE4C9q9cip_kfHEGb4ngPK0QCLcB/s320/router.jpeg" width="320" /></a></div>
Tentu kita masih ingat foto routers yang memenuhi jagat media sosial. Anak2 yang bertaruh nyawa untuk pergi ke sekolah. judul keren pun disematkan pada sebuah film box office - Indiana Jhones from Indonesia. Berkat publikasi itu, ya ada sedikit kasak kusuk daerah yang kebetulan menjadi sorotan.. Kabupaten Pandeglang - Provinsi Banten. Paling tidak, kampung dimana foto itu dibuat segera dibangun jembatan baru. Padahal sebelumnya - mungkin tidak terpikir sedikitpun sang kepala daerah dan para wakil rakyat daerah untuk membenahinya. sekalipun sejuta janji dikeluarkannya saat kampanye. demi meraih simpati dan dukungan. dan setelah dukungan itu didapat, maaf - anda belum beruntung. begitu kira2 jika kita mengikuti undian berhadian.<span class="fullpost">
</span><br />
<div>
<br /></div>
<div>
Rasa empati yang seharusnya keluar dari para putra daerah yang mendapatkan kepercayaan memimpin daerahnya, justru muncul dari orang lain yang berbeda kulit, bahasa, kepercayaan - apalagi keturuan. Orang bule yang kerap disebut2 sebagai penjajah, kafir (kerena berbeda keyakinan), dan segunang cap negatif. Jembatan sebagai penghubung ke pusat belajar yang mempertaruhkan nyawa, menyentuh nilai kemanusiaannya. Seorang Toni Rottimenn - warga negara Swiss nampaknya jauh lebih peduli ketimbang para pemimpin yang jelas-jelas mendapatkan mandat atas nama konstitusi dan dibawah sumpah atas nama Tuhan. Tidak kurang dari 60 an jembatan telah terbangun tanpa publikasi dan seremoni penuh basa basi. Seremoni sendiri, kadang membutuhkan dana yang tidak sedikit - bahkan bisa jadi seharga yang diresmikan itu sendiri.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sebuah catatan dari groups WA peduli bencana, semoga membuka mata dan telinga kita. Bahwa kita masih memiliki PR besar. Terutama pendidikan politik bagi pemilih yang entah bagaimana bisa - masih mau memilih para calon yang jelas2 tidak pernah memperdulikan kehidupannya. Hanya dengan iming2 uang saku antara 20 - 50 ribu per suara. Sungguh miris tentunya, apalagi jika nilai tersebut dibagi dalam 1.800 hari masa kerja para politisi busuk. Yang tega membiarkan rakyatnya bertaruh nyawa untuk menuju sekolah.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dari catatan ini juga - kita bisa saksikan, bagaimana busuknya para "abdi negara" menghambat bantuan sampai 3 tahun. dimana hati nurani bangsa ini yang konon terkenal santun, ramah dan peduli terhadap sesama karena berlandaskan agama dan budaya...</div>
<div>
<b><br /></b></div>
<div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-bRi0rDzrjZo/V-qibl-Sa4I/AAAAAAAACrg/HKU_09hN2Mws57WXU_5FomQJWgT1vrKtACLcB/s1600/kisah-pelajar-sd-meniti-jembatan-darurat-ke-sekolah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="160" src="https://2.bp.blogspot.com/-bRi0rDzrjZo/V-qibl-Sa4I/AAAAAAAACrg/HKU_09hN2Mws57WXU_5FomQJWgT1vrKtACLcB/s320/kisah-pelajar-sd-meniti-jembatan-darurat-ke-sekolah.jpg" width="320" /></a></div>
<div>
<b><br /></b></div>
<div>
<b><br /></b></div>
<div>
<b>KITA PERLU BERGERAK AGAR BANTUAN JEMBATAN GANTUNG UNTUK RAKYAT KECIL TAK TERHENTI</b></div>
<div>
<br /></div>
<div>
Saat saya menulis catatan ini, saya ingin sekali tak mengeluh. Saya tak ingin mengeluh pada negeri ini karena saya cinta pada bangsa ini. Namun, kesabaran seringkali seperti hampir hilang bila melihat praktek di lapangan begitu banyak rintangan yang membuat hati ini kesal setengah mati. Padahal apa yang kita lakukan semata-mata untuk perbaikan hidup rakyat marginal sebagaimana dicita-citakan para pendiri negeri ini. Coba perhatikan ceritera berikut ini.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ini terkait dengan nasib seorang relawan asal Swiss bernama Toni Ruttiman yang diam diam sudah tiga tahun keluar masuk kampung wilayah terlencil di Indonesia, mengajak warga bergotong royong membangun jembatan gantung sendiri karena akses jalan terputus. Kisah kepedulian Toni pernah saya ceriterakan pada Facebook saya sebelumnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Toni datang ke negeri kita karena ia melihat begitu banyak anak-anak di negeri ini bergelantungan harus pergi sekolah menyebrangi sungai dengan jembatan yang rusak. Coba lihat foto yang sudah sering kita lihat beredar di sosial media ini:</div>
<div>
<br /></div>
<div>
1.</div>
<div>
https://goo.gl/images/qKZo7C</div>
<div>
<br /></div>
<div>
2.</div>
<div>
http://news.detik.com/read/2012/01/21/062518/1821642/10/anak-sd-meniti-jembatan-rusak-dpr-ini-seperti-negara-belum-merdeka</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Karena keadaan ini, Toni Ruttiman datang ke negeri kita. Ia kumpulkan bahan bahan jembatan gantung dari negerinya Swiss. Ia upayakan bantuan pipa dari perusahaan ternama yang pemiliknya ia kenal baik (seperti Tenaris) agar bersedia mengirim bantuan pipa tiang jembatan dari Argentina ke Indonesia. Ia pun merekrut beberapa tenaga kerja Indonesia untuk dijadikan stafnya untuk membantu semua upaya ini. (Saat ini seorang pemuda bernama Suntana, dengan setia membantu misi kemanusiaan Toni yang tengah ia jalankan.) </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dan akhirnya, sudah tiga tahun ia bekerja tanpa banyak bicara, membangun bergotong royong dengan rakyat desa seperti terlihat pada tayangan ini:</div>
<div>
<br /></div>
<div>
https://youtu.be/T8S4qEC3Yn0</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dengan cara seperti ini, kini Toni Ruttiman telah berhasil memasang 61 jembatan gantung di berbagai daerah termasuk Banten, Jabar, Jateng, Jatim, dan bahkan hingga Sulawesi, Maluku Utara dan NTT (lihat foto).</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini. Upaya pengiriman bantuan terhambat. Bantuan bahan jembatan seperti wirerope (kabel pancang) yang selama tiga tahun telah secara rutin ia kirim dari Swiss terhambat oleh lambannya birokrasi. Padahal Presiden Jokowi justru tengah keras kerasnya mendorong agar arus barang import lancar. Namun kenyataannya sangat lamban.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Saya yang ikut terlibat dan mengikuti betapa sulitnya mengurus proses administrasi import barang bantuan ini merasa kesal menghadapi birokrasi yang begitu ruwet dan lambat ini, walaupun untuk import barang bantuan sekalipun.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Coba kita baca surat dari Suntana, asisten Toni Ruttiman yang berceritera liku liku proses pengurusan barang bantuan ini yang berakhir dengan denda yang harus dibayar. </div>
<div>
--------------------------------------------------------------------</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Malam Pak Imam,</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Malam ini saya dapat dua informasi perihal update proses import donasi wirerope untuk program bantuan jembatan gantung dari Toni Ruttiman di Indonesia yang memakan waktu lebih dari lebih dari 2 bulan sejak container tiba di Tanjung Priok karena lamanya proses rekomendasi dari kementrian-kementrian terkait yg harus ditempuh untuk proses hibah ini.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pertama, atas bantuan dan upaya rekan-rekan di Bea cukai Tanjung Priok, biaya storage 3 kontainer donasi wirerope untuk Program Bantuan Jembatan Gantung Toni Ruttiman di Indonesia yg sudah tiba di pelabuhan Tanjung Priok sejak tgl 16 Juli 2016 sampai dengan hari ini 26 September 2016 akhirnya dibebaskan biaya penyimpanan. Tagihan storage tersebut pertanggal 19 September 2016 sebesar Rp 84.036.410,-</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kedua, untuk proses permintaan pengurangan/penghapusan tagihan denda demurrage (batas waktu container) atas 3 container tsb dari pihak pelayaran masih memerlukan waktu yg lebih lama semantara biaya untuk denda demurrage terus berjalan perhari sedangkan untuk mengeluarkan kontainer dari area penyimpanan kita memerlukan dana yg tidak sedikit. Saya lampirkan tagihan demmurage per tgl 19 September 2016 adalah Rp 169.890.000,- dan konfimasi terbaru tagihan demmurage per hari ini 26 September 2016 adalah Rp 195.650.000,-</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Mohon kiranya Bapak bisa mencarikan solusi terbaik untuk permasalahan yg kami hadapi saat ini demi terus berlangsungnya Program Bantuan Jembatan Gantung Toni Rutiimann untuk masyarakat dan anak2 Indonesia di pelosok tanah air yang menantikan sarana penyebrangan untuk aktifitas sehari-hari.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Salam dan Hormat</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Suntana Juhana</div>
<div>
Team Jembatan Toni Ruttimann</div>
<div>
------------------------------------------------------------------</div>
<div>
Lihat lampiran tagihan yang harus dibayar.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Membaca surat ini jelas saya merasa sangat terpukul. Namun saya lebih terpukul lagi saat membaca komentar Toni Ruttiman yang ia kirimkan pada saya lewat email yang isinya menyatakan bahwa ia ingin menyudahi upaya bantuan yang ia lakukan setelah periode bantuan ini selesai. (Semoga ia masih bisa dibujuk untuk bertahan tinggal di negeri ini).</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Terus terang saya malu menghadapi kejadian ini. Saya ingin sekali berteriak sekerasnya mewakili rakyat yang selama ini masih mengharapkan bantuan Toni Ruttiman. Maukah pemerintah mengabil alih denda yang harus dibayar ini? Saya juga terfikir, bisakah kita bersama-sama urunan untuk mengganti denda demmurage agar kita sebagai bangsa setidaknya memiliki harga diri? Entahlah!</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Berikut surat Toni Ruttimann.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
----------------------------------------------------------------</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Dear Imam,</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>I'm not surprised by this news. The shipping business is strict about demurrage charges, and I know that since many years. We had a formal green light from Public Works Ministry before embarking the 3 containers in Switzerland.</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>We can help pay for part or all of theses charges, and finally get these containers out of port before racking up more charges, which now already cost 3x more than the actual shipping from Switzerland.</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>But after this last batch of cables and pipes I will want to stop working in Indonesia. We have been bothering you more than enough already, and without your permanent and selfless help over all these years we wouldn't have made it very far.</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>With these cables we will reach 100 bridges in your country, and for 800'000 people this is better than nothing. </i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>Please let me know and we'll transfer the money to get this done.</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>Thank you very much,</i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>Toni.</i></div>
<div>
<i>_____</i></div>
<div>
<i>Toni Ruttimann</i></div>
<div>
<i>Bridgebuilder</i></div>
</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-42816804324279671842016-06-06T20:45:00.003+07:002016-06-06T20:50:07.073+07:00HUTAN WAKAF, inisiatif menyelamatkan hutan ala masyarakat<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<i>Cukup lama tergelitik
dengan inisiatif luar biasa sekelompok aktifis lingkungan Aceh sebagai bentuk
menyelamatkan hutan secara nyata. HUTAN WAKAF. Menjadi menarik ketika kata
Wakaf digunakan yang umum digunakan untuk kegiatan keagamaan. Wakaf untuk tempat
ibadah, pamakaman, panti asuhan atau lahan pertanian - dimana hasilnya
untuk kegiatan-kegiatan keagamaan.</i><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-Hji1SYjlwDg/V1V5AOij_fI/AAAAAAAACk4/POeqTblbW1g87pfuUt2WILPTgTxpKaHowCKgB/s1600/DSC06248aa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://3.bp.blogspot.com/-Hji1SYjlwDg/V1V5AOij_fI/AAAAAAAACk4/POeqTblbW1g87pfuUt2WILPTgTxpKaHowCKgB/s320/DSC06248aa.jpg" width="240" /></a></div>
Jarang kita mendengar - wakaf untuk kebutuhan lain.
Wakaf untuk pembangunan jalan, rumah fakir miskin dll. Sekalipun di wilayah
perkotaan, telah muncul banyak inisiatif Wakaf dalam bentuk produktif. Wakaf
untuk tempat usaha misalnya atau perkantoran.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br />
4 Februari 2008, Pemerintah SBY mengeluarkan PP No. 2 Tahun
2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar kegiatan kehutanan, WALHI menggugat
regulasi yang menempatkan hutan lindung dan produksi yang dihargai sangat
murah. Bisa dibayangkan, PP tersebut khususnya memberikan keleluasaan izin bagi
14 perusahaan tambang untuk melakukan pembukaan hutan lindung dan hutan
produksi untuk kegiatan tambangnya, infrastruktur dan jalan tol dengan tarif
sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per
tahun. Harga itu sangat lebih murah (bahkan) dengan harga sebuah pisang goring
yang biasa dijual. Dalam skema PP tersebut maka bisa diperkirakan sekitar 11,4
juta hektar hutan lindung Indonesia bakal hancur lebur. Tentu saja bisa
dipastikan dalam waktu ke depan Indonesia akan semakin parah mengalami bencana
ekologis yang lebih dahsyat yang pasti akan menyengsarakan masyarakat kita
akibat diberlakukannya PP itu (<a href="https://bataragoa.wordpress.com/2008/04/01/walhi-kampanyekan-cabut-pp-no-22008-dan-serahkan-donasi-penyelamatan-hutan-indonesia-ke-depkeu/" target="_blank">SiaranPers WALHI, 2008</a>). <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br />
<div style="text-align: justify;">
Saat itu, terkumpul dana sebesar Rp. 1.614.000 dan
diserahkan kepada Dept Keuangan, Kabag Pengelolaan Opini, Agung Adhianto.
Beberapa hari kemudian - dana yang tersebut dikembalikan ke WALHI karena belum
ada mekanisme yang mengatur tentang peruntukan sewa hutan.<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Terlepas dari besaran dana yang terkumpul saat itu, secara
substansi menjadi menarik untuk dicermati terkait keterlibatan masyarakat
terhadap pelestarian hutan. WALHI saat itu percaya, jika mekanisme yang telah
ada, dana yang akan terkumpul untuk menyelamatkan hutan sebagai pengganti dana
yang akan diperoleh dari 14 perusahaan tambang akan terlampau dalam waktu
singkat. Keyakinan tersebut tentu tidak berlebihan mengingat daya rusak
pertambangan yang masif. Tidak pernah ada contoh kasus pertambangan tidak
merusak. Baik pada proses eksplorasi maupun eksploitasi. Dan yang pasti, tidak
pernah ada contoh kasus reklamasi paska tambang dilakukan dengan benar.</div>
<a name='more'></a><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<b>Hutan Wakaf sebagai
alternatif</b></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-5i-6hnNi3ds/V1V3rKV1iMI/AAAAAAAACkc/MUPxuZAtLyUWZE4X6ged7kaJ-ggbluVRQCKgB/s1600/13278116_1220443074662364_1748110442_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://4.bp.blogspot.com/-5i-6hnNi3ds/V1V3rKV1iMI/AAAAAAAACkc/MUPxuZAtLyUWZE4X6ged7kaJ-ggbluVRQCKgB/s200/13278116_1220443074662364_1748110442_n.jpg" width="150" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak pernah berkurang inisiatif upaya masyarakat dalam
menyelematkan hutan. Tidak hanya yang disokong proyek2 berdana gendut dibawah
NGO's Internasional atau nasional dengan donor raksasa - tapi justru
bertebaran dengan inisiatif berbasis komitmen. Meraka terus bergerilya diantara
gagahnya para pekerja NGO's dengan segudang fasilitas. Ya, mereka kadang
tidak pernah dianggap layak untuk menjalankan sebuah proyek karena tidak
memenuhi kriteria penerima dana hibah. Kualitas proposal, kelembagaan yang
dinilai tidak mampu atau SDM yang tidak bergelar akademik. Mereka berhenti?
tidak, mereka terus bergerak dan membangun kesadaran serta meyakinkan
banyak pihak - jika mereka memiliki kemampuan untuk membangun mimpi.<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-PxlLi2bcDdo/V1V4aNC02yI/AAAAAAAACk0/ec0gnlyqPg4MbDBzNKFyduzZgAJTlszDgCKgB/s1600/MIND%2BMAP.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://1.bp.blogspot.com/-PxlLi2bcDdo/V1V4aNC02yI/AAAAAAAACk0/ec0gnlyqPg4MbDBzNKFyduzZgAJTlszDgCKgB/s200/MIND%2BMAP.jpg" width="150" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Hutan Wakaf, begitu luar biasa gagasan tersebut terlahir.
Saat banyak aktifitas lebih memilih mencari dana hibah melalui dokumen
proposal, saat banyak aktifias mulai frustasi dan memilih melamar menjadi staff
lembaga-lembaga yang menawarkan gaji dan fasilitas - mereka membuka
donasi publik. Memproduksi marchandise yang keuntungannya untuk membiayai mimpi
membangun hutan wakaf. gerakan ini pun menjual produk kopi gayo, dimana 25 %
keuntungannya untuk membiayai gerakan hutan wakaf. Saat ini telah terkumpul
dana sebesar Rp. 12.358.632,90 per 3 juni 2016.<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Perjalanan masih panjang. Tentu.. sebagai gerakan, perjalan
tidak akan pernah akan berhenti. Namun, dukungan publik harus lebih real. tidak
cukup rasanya mendukung gerakan ini dengan memijit "like and share"
pada media sosial. Membeli produk adalah bagian minimum mendukung <o:p></o:p></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-FRT3HS-gFao/V1V32ZHSIAI/AAAAAAAACko/3xM7Ipnfza4JtKYKuw_bnh7JdJysdLAlACKgB/s1600/13330990_594990734007617_9114288916639492635_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://3.bp.blogspot.com/-FRT3HS-gFao/V1V32ZHSIAI/AAAAAAAACko/3xM7Ipnfza4JtKYKuw_bnh7JdJysdLAlACKgB/s200/13330990_594990734007617_9114288916639492635_n.jpg" width="150" /></a></div>
gerakan ini.
Mendonasikan untuk mempercepat perwujudan hutan wakaf, tentu akan jauh lebih
bernilai.</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wakaf atau Waqf (arab - waqafa) berarti
menahan; berhenti; berdiam di tempat atau tetap berdiri. Wakaf menurut
fiqh adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang
memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb, 2002:414). Wakaf dapat juga berarti
menyerahkan susatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seserang atau nadzir
(penjaga wakaf), baik berupa perorangan ataupun badan pengelola dengan
ketentuan hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan
syariat Islam (M. Zein 2005:425)<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wakaf bertujuan tawarrub kepada Allah SWT untuk
mendapatkan kebaikan dan ridha-Nya. Mewakafkan lebih utama karena sifatnya
kekal dan manfaatnya lebih besar. Pahala wakaf akan terus mengalir kepada wakif
meskipun dia telah meninggal. Tujuan wakaf berdasarkan hadist Ibnu Umar ra
dapat dipahami untuk mencari ridha Allah SWT dan untuk kepentingan masyarakat.
terdapat rukun (syarat) dan tata cara berwakaf. Berdasarkan UU No 41/2004
pasal 6; ketentuan atau unsur wakaf diantaranya adalah; 1) wakif; 2) nadzir; 3)
harta benda wakaf; 4) ikrar wakaf; 5) peruntukan harta benda wakaf; dan 6)
jangka waktu wakaf.<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketentuan-ketentuan sebagaimana disyariatkan tentu tidak
dapat diabaikan begitu saja saat gerakan Hutan Wakaf telah dideklarasikan.
Wakaf baru dapat dikatakan sah apabila tidakan atau perbuatan yang menunjukan
pada wakaf dan adanya ikrar atau ucapan yang mengarah pada wakaf.<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Hutan Wakaf yang mulai diinisiasi di Aceh, wajib didukung
dan dorong. Sehingga dapat menjadi model dan pembelajaran bagi wilayah lain.
Menjadi menarik pada negara yang dengan jumlah muslim terbesar di dunia -
seharusnya mewujudkan hutan wakaf tidak lah sulit. Dengan 87,18% atau
207.176.162 jiwa (BPS, 2010) jika masing-masing mendonasikan Rp. 1.000 (seribu
rupiah) saja, maka akan terkumpul Rp. 207 milyar. Jika kita merujuk pada PP No
2/2008 dimana harga sewa hutan untuk pertambangan adalah sebesar Rp. 300 untuk
hutan lindung dan 120 untuk hutan produksi; maka dana tersebut telah mampu
menyewa hutan untuk tidak ditambang seluas 690.587.206.66 ha hutan lindung.
Upsh... ini tentu melebihi dari luas hutan di Indonesia. Data terakhir dari
Kemenhut tahun 2012 tersisa 130 juta ha. Hutan alam saat itu seluas
4.730.704,04 ha; hutan konservasi seluar 20 juta ha dan hutan lindung seluas
32,43 ha. sisanya adalah hutan produksi seluas 77,83 juta ha.<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah besaran dari donasi Rp. 1.000 itu hanya sebuah mimpi?
atau kita bicara realitis - berapa kemampuan kita mengumpulkan donasi
untuk membangun Hutan Wakaf? berapa lama kita bisa mewujudkan mimpi tersebut?
dan dengan cara apa kita bisa mendapatkan target kita?<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
semoga ini tidak sekeddar mimpi..... semoga Allah SWT
meridloi kita semua.. aamiin.<o:p></o:p></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Info lebih lengkap tentang Hutan Wakaf bisa kontak :<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Akmal Senja : https://www.facebook.com/akmal.senja?fref=nf<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
website
: http://www.hutan-tersisa.org/2013/12/merchandise.html<o:p></o:p></div>
<span class="fullpost">
</span>Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-39269378889973448682016-05-25T23:55:00.003+07:002016-05-25T23:55:40.910+07:00Mendudukan Pemahaman Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana<div style="text-align: justify;">
<i><br /></i>
<i>"Adaptasi Perubahan Iklim (API) itu untuk masa depan. Paling tidak dilihat untuk 30, 50 atau 100 tahun ke depan. Kalau Pengurangan Risiko Benana (PRB) kan hanya melihat jangka pendek"; </i></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<i>"API tidak hanya melihat sisi negatif, tapi juga sisi positif yang dapat dikelola sebagai peluang, sedangkan PRB untuk mengurangi dampak bencana". </i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>"Ruang lingkup API luas, sedangkan PRB lokus atau hanya pada wilayah terkena bencana". </i><span class="fullpost">
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-371aHIzoRsA/V0XXLdqUQ1I/AAAAAAAACjU/sEIEY9cxRN8TkyL_b7HoKEsoasoDPpFlACLcB/s1600/_DSC1995a1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://3.bp.blogspot.com/-371aHIzoRsA/V0XXLdqUQ1I/AAAAAAAACjU/sEIEY9cxRN8TkyL_b7HoKEsoasoDPpFlACLcB/s200/_DSC1995a1.jpg" width="133" /></a></div>
Ungkapan ini kerap mengemuka saat dialog terkait API dan PRB dalam satu forum dengan melibatkan para penggiat dari masing-masing isu. Argumentasi terkait perbedaan semakin mengemuka saat mulai masuk wilayah metodologi, kebijakan maupun penggiat dari kedua issue tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya, kita akan melihat banyak perbedaan jika kita memulai mengidentifikasi sisi perbedaan. karena keduanya berangkat dari titik awal yang berbeda. Berkembang sendiri-sendiri dengan penggiat yang berbeda - dari tingkat lokal sampai internasional. IPCC mewakili para ahli bidang perubahan iklim dengan gerbong sediri. UNISDR mewakili golongan manajemen risiko bencana. Sama-sama dibawah naungan UN atau perserikatan bangsa-bangsa. Dengan tujuan - bagaimana risiko dapat diminimalisasi sehingga kehidupan mahluk hidup terlindungi dan terselamatkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Upaya integrasi dua issue telah dimulai cukup lama. WALHI, sebagai sebuah organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia telah menggaungkan intergrasi perubahan iklim dan manajemen bencana sejak tahun 1996. Sebagai organisasi lingkungan, WALHI melihat dampak kerusakan lingkungan berkontribusi besar terhadap kejadian bencana. Dan trend dampak perubahan iklim cenderung memperburuk faktor-faktor pemicu risiko bencana. Tahun 1997, saat fenomena elnino membungkus wilayah Indonesia - WALHI mengingatkan kepada pemerintah atas risiko bencana yang mungkin terjadi; dari mulai kebarakan hutan dan lahan, krisis air bersih maupun krisis pangan yang akan memiliki dampak sampingan; kesehatan, malnutrisi sampai konflik yan dipicu oleh perebutan akses terhadap sumberdaya. Dan 1997/1998 kita tahu - Indonesia mengalami bencana yang juga dirasakan oleh negara-nagara tetangga. Kebakaran hutan dan lahan yang cukup parah. tidak hanya itu, beberapa wilayah juga mengalami krisis air bersih yang hebat dan gagal panen.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a>Melihat dari sisi perbedaan, kita tentu akan melihat sisi perbedaan. Demikian juga jika kita melihat dari sisi persamaan. Akan ditemukan sisi persamaan-persamaan. cara pandang yang sama saat kita memandang sebuah masalah dengan ditempatkan sebagai tantangan. Memandang dengan cara berpikir positif atau negatif. Akhirnya, kita akan kembali pada tujuan kita masing-masing. Metode atau cara pandang kita akan ditempatkan untuk tujuan apa. Terlalu dini untuk memvonis cara pandang keduanya dengan salah dan benar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika kita melihat dari sisi persamaan antara API dan PRB, paling tidak kita akan menemukan persamaan dari sisi tujuan. Bagaimana umat manusia dapat terlindungi, terselamatkan serta lebih siap menghadapi kemungkinan adanya perubahan yang dapat merugikan penghidupannya. Juga mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk memperbaiki kualitas kehidupannya.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ungkapan yang kerap muncul tentang perbedaan - umumnya terjadi karena para penggiat keduanya hanya fokus pada satu issue saja. Penggiat API misalnya, belum secara mendalam memahami substansi dari PRB sebagai paradigma dari majamen risiko bencana (MRB) atau di Indonesia lebih dikenal dengan penanggulangan bencana. Demikian juga para penggiat PRB, baru memahami API secara general. Namun menjadi berbeda saat keduanya (para penggiat API dan PRB) sama-sama memiliki refrensi yang utuh. Ini terlihat dari proses konvergensi API PRB yang diinisiasi SC DRR UNDP sebagai bagian supporting untuk BNPB dan KLHK. Menggali perbedaan dari mulai cara pandang sampai metodologi dengan tujuan menemukan titik temu dari keduanya.<br />
<span style="font-size: x-small;"><br /></span>
<i><span style="font-size: x-small;">Konsepsi integrasi API PRB dari sudut pandang aktifitas</span></i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-5t3eB0ml6yY/V0XOATXwruI/AAAAAAAACjE/cRTLjk2rF5IlfZJ4vvqiisy43W7s8XywACLcB/s1600/Screenshot%2B%25287%2529.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="205" src="https://3.bp.blogspot.com/-5t3eB0ml6yY/V0XOATXwruI/AAAAAAAACjE/cRTLjk2rF5IlfZJ4vvqiisy43W7s8XywACLcB/s320/Screenshot%2B%25287%2529.png" width="320" /></a>Hal yang umum terjadi pada ungkapan terkait perbedaan adalah terkait persepsi PRB sebagai kegiatan. Lebih spesifik dipahami pada kegiatan pra bencana, dari mulai preventif, mitigasi dan kesiapsiagaan. Bukan dipahami sebagai paradigma atau cara pandang manajemen risiko bencana yang meliputi seluruh fase baik pra, saat maupun paska bencana. Selain itu, pemahaman PRB juga kerap dipandang hanya terbatas pada mengelola atau terkait ancaman bencana saja. Sementara komponen dari kerentanan dan kapasitas kerap tidak dipandang sebagai penentu risiko bencana. Kondisi ini kerap menempatkan cara pandang yang berbeda dalam praktik API dan PRB. Padahal jika kita coba mandalami konsepsi PRB itu sendiri, mata pencaharian penduduk pada wilayah terdampak bencana menjadi salah satu yang menentukan tingkat risiko bencana. Semakin tidak rentan karena mata pencaharian tidak berpengaruh ancaman, semakin tidak berisiko penduduk tersebut. Kondisi ini menggambarkan, semakin adaptif mata pencaharian penduduk semakin resilence dalam kontek perubahan iklim. Hal yang sama dari sisi infrastruktur, ekonomi maupun sosial budaya.<br />
<br />
PRB sebagai sebuah paradigma atau cara pandang dalam manajemen risiko bencana, menempatkan risiko sebagai hubungan (tidak terpisahkan) antara variabel ancaman bencana, kerentanan dan kapasitas. Risiko bencana tidak saja ditentukan oleh ancaman bencana, tapi juga ditentukan seberapa besar tingkat kerentanan dan kapasias yang ada dalam menghadapi ancaman bencana. Untuk itu lah muncul konsepsi living harmony with risk - sebuah visualisasi atas korelasi tiga variabel. Artinya, kita bisa tinggal pada kawasan rawan bencana dengan catatan - kita sadar dan faham serta seluruh pola hidup dan penghidupan harus selaras dengan ancaman yang ada. Baik pada sebelum adanya kejadian bencana, saat maupun paska bencana.<br />
<br />
Hal yang cukup tegas menggambarkan substansi dari PRB pada dasarnya dapat diambil dari terminologi bencana itu sendiri yang dikeluarkan oleh UNISDR, 2004. Baru dapat dikatakan bencana jika telah kejadian atau kondisi menyebabkan ganguan yang meluas, adanya kerugian baik dari sisi jiwa, ekonomi, lingkungan maupun infrastruktur serta dampak yang terjadi melebihi kemampuan dari penduduk terkena bencana. Terminologi ini telah mempu merangkum ruang lingkup bencana. Kejadian atau kondisi juga menggambarkan tidak saja yang bersifat tiba-tiba (<i>quick on side</i>), tapi juga dapat yang terjadi secara perlahan (<i>slow on side</i>). Tidak lagi digunakannya pemicu, baik alam maupun non alam - karena disadari, kejadian bencana tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor, sepertinya ancaman bencana, tapi juga faktor kerentanan dan kapasitas. Dan hal yang menjadi penentu - selain adanya kerugian adalah kemampuan dalam mengelola dampak itu sendiri dengan sumberdaya yang mereka miliki.<br />
<br />
PRB juga tidak dibatasi waktu seperti anggapan selama ini. waktu 5 lima tahun yang berlaku di Indonesia lebih sebagai bentuk penyesuaian sistem pemerintahan atau rencana pembangunan jangka menengah. PRB juga tidak dibatasi hanya dari sisi lokus atau wilayah terpapar. Karena PRB sebagai paradigma akan melihat pola hubungan atau relasi yang mempenaruhi masing-masing komponen dari variabel risiko. Kerentanan komunias, dapat terbentuk karena adanya pengaruh dari wilayah lain. Seperti dalam penanganan banjir yang sangat dipengaruhi oleh DAS. bukan hanya sekedar bantaran sungai. Demikian juga pada ketersediaan kebutuhan pokok pada wilayah remote, pengairan pertanian yang tergantung saluran yang lintas wilayuah dll.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-uwShrX5fu58/V0XX_qQsgnI/AAAAAAAACjc/zbawXoReDhAJUpbjb3KXOAOOuC1TRBzDQCLcB/s1600/_DSC2030a1.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://3.bp.blogspot.com/-uwShrX5fu58/V0XX_qQsgnI/AAAAAAAACjc/zbawXoReDhAJUpbjb3KXOAOOuC1TRBzDQCLcB/s320/_DSC2030a1.jpg" width="320" /></a></div>
Kontek PRB sebagai paradigma manajemen risiko bencana akan nyata saat diaktualisasikan dalam bentuk rencana aksi atau upaya penanggulangan bencana. Bagi penduduk dengan mata pencaharian sebagai petani - menyesuaikan tempat bertani, jenis tanaman pertanian atau waktu bertanam menjadi bagian dari upaya mengurangi kerentanan. Sehingga saat adanya ancaman, pertanian seminimal mungkin terpengaruh negatif. Jika memungkinkan - tidak terdampak. Pada wilayah banjir, memilih jenis padi tahan genangan banjir sesuai dengan kondisi banjir yang ada adalah sebuah pilihan dalam mengurangi kerentanan dari aspek ekonomi. Menyesuaikan tata ruang, bangunan perumahan dengan jenis ancaman yang ada merupakan bagin dari mengurangi kerentanan pada aspek infrastruktur. demikian juga dengan fasilitas publik atau fasilitas vital yang ada.<br />
<br />
Pada kontek ini - adakah yang perlu diperdebatkan sebagai perbedaan antara API dan PRB? Kebutuhan yang ada adalah, bagaimana PRB juga mempertimbangkan kemungkinan terjadinya perubahan ke depan, baik karena dampak perubahan iklim maupun fungsi ekologis. Yang tentu ini akan mempengaruhi tingkat risiko bencana.<br />
<br />
Salah satu aksi prioritas yang termuat dalam Sendai Frameworks for Disaster Risk Reduction dalam mengenali risiko bencana - adalah mendorong untuk mempertingkan skenario iklim dalam kajian risiko bencana. Arahan ini tentu menjadi hal krusial untuk disikapi. Kajian risiko bencana yang selama ini berdasarkan <i>historical</i> dalam menentukan prediksi/proyeksi ke depan perlu dilengkapi dengan analisis kemungkinan terjadinya perubahan akibat perubahan iklim.<br />
<br />
Gagasan konvergensi yang telah berjalan akan menemui titik terang dengan mandat SFDRR yang menjadi dasar manajemen risko bencana ke depan. tidak saja di Indonesia, tapi juga ditingkat internasional. Sementara, dari sisi isu adaptasi perubahan iklim, kajian kerenanan dan risiko iklim telah juga mengakomodir hazard sebagai salah satu variabel yang menentukan kelas kerentanan dan risiko iklim. Tinggal kembali pada para pihak berkepentingan untuk melihat kedua issue ini kembali pada tujuan akhir. Apakah kita masih lebih suka melihat perbedaan atau lebih melihat persamaan dan saling mengisi dari keduanya. Toh pada tingkat yang paling bawah - pada tataran operasional, perbedaan issue sama sekali tidak relevan untuk diperdebatkan. Komunitas hanya memerlukan informasi yang jelas atas risiko yang akan dihadapi. dan dengan sumberdaya yang mereka miliki, mengorganisir diri untuk melakukan upaya penyesuaian (adaptasi) dan mengurangi risiko bencana yang ada.<br />
<br />
Tentu tidak lucu jika program-program adaptasi perubahan iklim tidak mau atau tidak dapat dilakukan pada wilayah-wilayah rawan bencana. Karena satu alasan, API tidak mengurus kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Sementara, wilayah tersebut teridentifikasi akan mengalami tekanan lebih berat untuk ke depan karena adanya dampak perubahan iklim. Lalu, jika pun itu dilakukan - apakah kegiatan-kegiatan mensikapi atas risiko bencana yang ada saat itu tidak menjadi bagian dari adaptasi perubahan iklim?</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-33130284503776326452016-05-12T23:55:00.001+07:002016-05-12T23:55:34.396+07:00FUNGSI LINGKUNGAN DALAM KAJIAN RISIKO BENCANA<div style="text-align: center;">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-sqFJqPJXR5g/VzS1VxKCnsI/AAAAAAAACiA/uJp0wnvwm_kmMwg4-nJEAM1CJaq4cHDIACLcB/s1600/DSC06251aa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://4.bp.blogspot.com/-sqFJqPJXR5g/VzS1VxKCnsI/AAAAAAAACiA/uJp0wnvwm_kmMwg4-nJEAM1CJaq4cHDIACLcB/s400/DSC06251aa.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
Pengkajian Risiko Bencana (KRB) diposisikan sangat penting dalam manajemen risiko bencana atau disaster risk manajement (DRM). Dengan memahami risiko bencana, berbagai upaya yang dilakukan dalam kontek mengurangi risiko menjadi tepat sasaran dan berdasarkan skala prioritas yang ada. Fungsi KRB juga diidentikan dengan ciri dari paradigma pengurangan risiko bencana (PRB).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
R = H*V/C menjadi rumusan populer dalam metode KRB. Rumusan yang menggambarkan pola hubungan antar variabel dalam membentuk risiko. Bukan semata-mata rumusan matematis. sekalipun saat ini, selain kajian risiko partisipatif (komunitas) - pendekatan matematis lebih mendominasi dalam menentukan kelas, untuk menentukan hazard, kerentanan maupun risiko. <span class="fullpost">
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terlepas perdebatan aktualisasi rumusan dalam KRB, hal menarik untuk dicermati dalam menempatkan lingkungan sebagai bagian bagian dari komponen kerentanan. Menjadi menarik karena penempatan lingkungan sebagai bagian yang menentukan kerentanan maupun risiko bencana memiliki fungsi lain, selain sebagai bagian yang terpapar. Fungsi ekologis misalnya - lingkungan mampu meredam besaran ancaman. Baik melalui proses alamiah maupun pada saat terjadinya tragedi atau kejadian ancaman. Kasus tsunami Aceh yang menjadi bencana internasional misalnya - membuktikan kehadiran tanaman mangrove mampu meredam energi tsunami sehingga kerusakan menjadi lebih minimalis dibandingkan wilayah terbuka. Kasus-kasus banjir, banjir bandang, angin puting peliung atau angin kencang atau kekeringan juga membuktikan fungsi ekologis menentukan besaran bencana yang terjadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada dasarnya, tidak hanya pada aspek lingkungan, pada aspek lain pun menunjukan dua sisi dari masing-masing komponen maupun indikator yang digunakan dalam menentukan kelas kerentanan. Seperti pada aspek sosial - dimana populasi menjadi salah satu indikator. Jumlah populasi yang besar (padat) pada wilayah terpapar tidak serta merta menunjukan tingkat kerentanan tinggi. Jika populasi tersebut memiliki pengetahuan maupun skill atau sumberdaya lain dalam menghadapi ancaman - maka besaran populasi dapat menunjukan ketidak rentanan. Demikian juga pada aspek ekonomi - dimana penduduk pada wilayah terpapar memiliki alternatif mata pencaharian atau mata pencaharian yang adaptif dengan ancaman yang ada, memiliki tabungan, asuransi, memiliki akses terhadap lembaga keuangan dll - maka ekonomi yang terpapar ancaman tidak serta merta menurukan tingkat kerentanan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Gambaran di atas, paling tidak dapat memafhumi, atas beragamnya rumusan RISIKO yang berkembang. R = H/V misalnya - dimana V (vulnerable/kerentanan) dengan menjabarkan pada aspek negatif dan positif. Negatif dimaknai sebagai rentanan dan positif dimaknai tidak rentan atau berkapasitas. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pada komponen lingkungan berdasarkan Perka BNPB No 2/2012 ditempatkan sebagai aset terpapar. Sama halnya dengan komponen lain seperti sosial (budaya), ekonomi maupun infrastruktur. Metode kajian yang lebih didominasi pendekatan kuantitatif - mengurangi fungsi indikator dari masing-masing komponen dalam mereduksi ancaman yang ada. Artinya, komponen lebih diposisikan sebagai benda mati yang bersifat statis. Pada kontek realitas, lingkungan memiliki fungsi ekologis dalam reduksi risiko maupun dalam merespon ancaman itu sendiri. Lingkungan sendiri juga memiliki beragam fungsi lain seperti sebagai pusat keragaman hayati maupun fungsi penting lainnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>Fungsi Ekologis dalam Ancaman Bencana</b><br />
Contoh kasus populer adalah fungsi mangrove. Secara ekologis, mampu meredam energi banjir pasang surut (rob) maupun energi gelombang tsunami. Kontek ini tentu dapat menjadi pertimbangan dalam menilai besaran ancaman bencana yang ada. Demikian juga dengan tutupan lahan dengan fungsi sebagai daerah tangkapan air atau menstabilkan daya erosi yang berimplikasi pada sendimentasi pada bantaran sungai. Tutupan lahan dengan jenis tanaman tertetu pada alur awan panas pada beberapa kasus erupsi gunungapi, juga mampu meredam pergerakan awan panas. sehingga dampak yang ditimbulkan menjadi lebih kecil.</div>
<div>
</div>
<div>
Fungsi ekologis dalam kontek analisis (pengkajian) ancaman bencana menjadi penting untuk dalami sebagai bagian dalam mempertimbangkan kelas ancaman bencana. Kontek ini tentu tidak lepas dari upaya yang perlu dilakukan dalam mitigasi bencana. Menjadi pertanyaan - bagaimana komponen lingkungan yang memiliki pengaruh dalam variabel ancaman bencana ditempatkan. Apakah cukup dengan komponen dampak dan probabilitas mewakili fungsi ekologis dalam kontek analisis?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Jika melihat penjabaran dari indikator-indikator ancaman bencana; dari sisi dampak - fungsi ekologis masih belum terakomodir dengan baik. Komponen Dampak dilihat besaran kerugian yang ditimbulkan oleh ancaman bencana. Sedangkan probabilitas dilihat dari sisi kemungkinan terjadinya bencana. Kondisi ini bisa dilihat dari sisi sejarah kejadian serta melihat kecenderungan yang terjadi dimasa yang akan datang.<br />
<br />
Jika melihat aspek kecenderungan terjadinya (probabilitas), fungsi ekologis menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Bagaimana sejarah kejadian bencana dikaitkan dengan sejarah degradasi fungsi lingkungan yang ada. Seperti tutupan lahan, jenis tanaman, kondisi DAS, perubahan curah hujan, atau alih fungsi lahan.<br />
<br />
Pemanfaatan peta SNI yang telah ada sebagaimana diatur dalam Perka BNPB No 2/2012 cukup menarik untuk dicermati. Peta hanya salah satu media dalam proses pengkajian. Apalagi jika kita kembali pada prinsip rumus KRB yang menempatkannya sebagai pola hubungan, bukan matematis. Dan hal yang menjadi spesifik dalam KRB adalah, Peta merupakan visualisasi dari hasil kajian. Bukan sebaliknya. Ini memberikan pemahaman, peta tidak berdiri sendiri dan sangat mungkin berubah (pembuatan peta dengan GIS) berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan. Kondisi ini memberikan gambaran, penggunaan peta SNI tidak serta merta langsung dapat digunakan. Tapi hanya menjadi salah satu rujukan utama yang selanjutnya dipadukan dengan berbagai informasi sesuai dengan komponen dalam menentukan hazard, seperti dampak, probalitas maupun fungsi ekologis. Dan data - informasi ini lah yang akan menjadi bagian penting untuk selanjutnya dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan upaya pengelolaan risiko bencana - khususnya pada upaya mitigasi bencana.<br />
<br />
<b>Aspek Lingkungan dalam Komponen Kerentanan</b><br />
Pada komponen kerentanan - lingkungan merupakan bagian dari komponen yang menentukan tingkat kerentanan. Pemaknaan lingkungan saat ini sebagai bagian dari aset yang terpapar dengan pengertian - jika terjadi bencana, maka lingkungan akan rusak, hancur atau hilang. untuk itulah, indikator yang digunakan adalah hutan konservasi; hutan lindung, hutan alam; hutan mangrove, semak belukar dan rawa. Indikator tiap ancaman berbeda. Namun hal yang menjadi menarik untuk dibuka ruang dialog adalah fungsi ekologis yang terganggu, rusak, atau hilang akibat dari bencana. Pada kasus kebakaran hutan yang masif - tentu kita bisa khawatir akan hilang atau punahnya keragaman hayati yang ada. Demikian juga dengan dampak bencana teknologi, tsunami atau longsor. Sisi yang lain, akibat terganggunya ekologis - juga akan memunculkan dampak-dampak lain berupa risiko; baik dari aspek hazard maupun kerentanan.<br />
<br />
Penempatan lingkungan jika ditempatkan sebagai aset terpapar - dan akan terganggu, rusak atau hilang dapat saja diterapkan sebagaimana penetapkan aspek sosial budaya (didalamnya termasuk aspek manusia), ekonomi dan infrastruktur. Dengan asumsi - fungsi ekologis telah dipertimbangkan dalam variabel ancaman bencana. Untuk penerapannya, yang perlu dipertimbangkan adalah nilai dari lingkungan itu sendiri, termasuk fungsinya. Kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Cagar Biosfir, Taman Hutan Raya atau Hutan Lindung memiliki nilai ekologis lebih tinggi karena adanya fungsi khusus. Sama halnya bentang alam karst atau kawasan lindung; sepandan sungai, sepandan laut atau sekitar mata air. Terganggunya atau rusak atau bahkan sampai hilang/hancur memiliki kerugian yang tidak sedikit. Bahkan mungkin sangat sulit dihitung dengan nilai uang atau materi. sehingga perlu upaya lebih serius dalam perlindungan kawasan-kawasan ini dari dampak bencana. Dan pola penghitungan aspek ekologis ini sudah cukup populer dikalangan praktisi maupun akademisi lingkungan.<br />
<br />
<b>Tantangan ke Depan</b><br />
Pengkajian risiko pada aspek lingkungan menjadi tantangan besar untuk kembali dilihat dan perkaya. Tantangan ini tentu sangat terbuka untuk berbagai pihak untuk berkontribusi dalam menyempurnakan KRB yang saat ini telah berjalan. Akan menjadi lebih strategis ketika dituangkan dalam analisis risiko bencana sebagaimana dimandatkan UU No 24/2007 dan PP No 21/2008 bagi pembangunan yang berpotensi memunculkan risiko bencana. Tantangan ini pada dasarnya telah dibuka sejak awal - karena prinsip KRB sendiri salah satunya dengan melibatkan multi disiplin ilmu. dan para pakar ekologi harusnya meresa tertantang untuk menyusun indikator untuk diterapkan dalam KRB.</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-1974448306103922432016-04-26T00:57:00.003+07:002016-04-26T00:57:41.265+07:00KAJIAN RISIKO BENCANA KOMUNITASKajian risiko bencana dari sisi fungsi - bisa dibilang sebagai ciri manajemen risiko bencana (di Indonesia disebut penanggulangan bencana) dengan paradigma pengurangan risiko bencana (PRB). Menjadi ciri atau indikator karena melalui proses kajian, risiko yang akan dikelola sebagai bentuk pengurangan risiko diketahui secara lebih pasti. Tentu impllikasinya pada efektifitas dan efesiensi dalam penyusunan perencanaan maupun implementasinya. Termasuk memantau dan mengukur hasil dan dampak yang ditimbulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan. <div>
<br /></div>
<div>
Namun, saat kita berbicara terkait metode atau pendekatan, tentu kajian risiko bencana tidak serta merta harus mengikuti satu atau dua metode/pendekatan. sekalipun metode tersebut telah ditetapkan sebagai piranti yang diakui. Seperti kehadiran Perka BNPB No 2/2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Dalam kontek mengurangi risiko bencana - tidak ada ikatan mutlak untuk menggunakan satu metode. Namun dari sisi prinsip kajian - tentu harus dipatuhi dan memenuhi unsur-unsur substansifnya. Seperti Kajian risiko bencana harus mampu menemukenali penyebab dan pembentuk risiko bencana itu sendiri. Baik terkait dengan hazard (bahaya), vulnerability (kerentanan) maupun capacity (kapasitas).</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Disadari, kajian risiko bencana merupakan proses rumit dan multi disiplin ilmu serta lintas pemangku kepentingan. Kajian risiko bencana juga bukan sekedar untuk mengetahui kelas (tinggi, sedang atau rendah) sebuah risiko bencana yang selanjutnya diaktualisasikan melalui bentuk peta dengan tiga warga (merah, kuning dan hijau atau gradasi warna dari ketiganya) untuk menunjukan lokus yang berisiko. Tidak sekedar itu. Kajian risiko bencana adalah sebuah proses membangun komitmen bersama, mengidentifikasi dan memutuskan bersama atas upaya dan tindakan yang harus dilakukan secara sinergis untuk mengurangi risiko-risiko yang berpotensi terjadi akibat bencana. Komitmen akan tumbuh dan berkembang jika para pihak mengetahui dan menyadari serta timbul kesadaran atas risiko dan pentingnya upaya bersama. Lebih lanjut - tentu kesadaran tersebut akan mendorong mendalami (identifikasi dan analisis) atas risiko yang ada. Kenapa risiko bisa muncul - baik dari aspek bahaya, kerentanan maupun kapasitas.<span class="fullpost">
</span></div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pertanyaan yang kerap muncul adalah - seberapa besar kemampuan para pihak (pemerintah dan seperangkat sumberdaya dan kewenangannnya), sektor bisnis dan masyarakat memiliki kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana yang ada? Untuk mendapatkan jawaban seberapa besar - tentu dibutuhkan kajian yang mendalam yang mampu mengidentifikasi sampai pada tingkat faktor penyebab maupun pembentuknya. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Banjir bisa datang setiap tahun. Sebab banjir dapat teridentifikasi - selain masuknya musim hujan, juga terkait dengan intensitas curah hujan yang ada. Apakah hanya itu sebagai penyebab banjir? tidak, tapi banjir juga dipengaruhi oleh tipikal dari DAS, kemiringan lahan, wilayah cekungan, jenis tanah, daya dukung lingkungan (tutupan lahan misalnya dalam menyerap air), drainase, sampah dll. Jika berbicara Risiko banjir, tentu tidak hanya ditentukan oleh hal-hal diatas. tapi juga tentang seberapa besar ketidak mampuan (kerentanan) aspek manusia, sosial budaya, ekonomi, lingkungan dan infrastruktur dalam menghadapi ancaman. Ini memberikan pengertian lebih luas lagi. Apakah masyarakat mendiami lokasi yang terpapar, berapa banyak, komposisi laki-laki dan perempuan, dari sisi usia dll. Juga mata pencaharian masyarakat diwilayah terpapar, apakah terpengaruh terhadap ancaman banjir atau tidak. apakah memiliki mata pencaharian alternatif saat banjir? apakah memiliki akses terhadap lembaga keuangan? apakah memiliki asuransi untuk meminimalisasi kerugian dst.. dst.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Menemukenali pembentuk dan penyebab risiko dalam proses kajian merupakan hal krusial. Karena akan menjadi dasar - upaya apa yang perlu dilakukan dalam kerangka mengelola risiko risiko bencana, sehingga risiko menjadi berkurang. Jika persoalan teridentifikasi sebagai risiko adalah mata pencaharian, maka upaya mengelola risiko akan terfokus pada mata pencaharian yang lebih tahan terhadap ancaman yang ada. Misalnya petani yang membutuhkan jenis tanaman yang lebih tahan terhadap genangan banjir, memanfaatkan banjir sebagai sumber mata pencaharian, atau menyiapkan mata pencaharian alternatif untuk menghadapi banjir. Hal yang sama dilakukan untuk komponen lainnya, seperti infrastuktur yang perlu disesuaikan dengan ancaman, baik dari sisi fungsi maupun dari sisi kekuatan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kajian risiko bencana pada levil komunitas - akan lebih mudah mendapatkan unsur penyebab dan pembentuk risiko bencana. Jika proses kajian dilakukan dengan pendekatan partisipatif berbasis pemberdayaan. Bukan pendekatan partisipatif alakadarnya. Yang hanya mengandalkan keterwakilan masyarakat dan waktu terbatas karena alasan terbatasnya pendanaan atau waktu yang tersedia. Karena partisipatif, bukan sekedar berorientasi pada output berupa dokumen atau kelas dari risiko. Tapi hal lebih krusial adalah, bagaimana terjadi transfer pengetahuan dan kemampuan, tumbuhnya kesadaran serta terbangunnya komitmen bersama. Untuk itulah, pendekatan partisipatif cenderung lebih lama dan membutuhkan kesabaran. Karena di tingkat masyarakat sendiri - tidak serta merta dapat menerima setiap gagasan atau usulan yang datang dari luar. Secara alami, masyarakat akan melihat, mengkaji dan menguji - seberapa penting inisiatif tersebut bermanfaat bagi mereka.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kajian risiko bencana komunitas yang berkembang saat ini, pada umumnya mengembangkan metode yang telah ada. Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah metode yang paling banyak digunakan sebagai dasar pengembangan. Beberapa alat (tools) dikembangkan sesuaikan dengan kebutuhan dalam mengidentifikasi dan menganalisis serta menentukan rencana tindak (action plans). Seperti peta desa atau peta sumberdaya, dikembangkan juga untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah terpapar. Demikian juga dengan sejarah desa yang dikembangkan untuk mengidentifikasi dan menggali informasi secara lebih mendalam terkait kejadian bencana, dampak maupun respon yang dilakukan oleh masyarakat. Perubahan dan kecenderungan dikembangkan untuk melihat terjadinya perubahan-perubahan yang terjadi serta kecenderungannya melihat bencana dari waktu ke waktu. apakah ada perubahan seiring dengan perubahan kondisi alam, perubahan iklim dll.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dari rangkaian pengalaman mendampingi komunitas dalam mengelola risiko bencana berbasis komunitas, terkumpul metode yang mungkin bisa menjadi landasan dalam melakukan kajian risiko bencana komunitas. Modul ini merupakan bagian dari proses konvergensi API PRB pada level komunitas. Modul dapat di unduh <a href="http://www.mediafire.com/download/vuoa94atr4qo097/modul_kajian_risiko_komunitas_edit21714.pdf" target="_blank">disini</a></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-69188009272068537252016-04-12T01:03:00.001+07:002016-04-12T01:03:44.136+07:00PENCINTA ALAM DAN SEGELAS KOPI HITAM<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-ueC259Vea3A/Vwvm13O_LAI/AAAAAAAACfY/Y52_pYzvKJI9nWOKJCpuLGdoFegRrVV7A/s1600/P_20151114_131001.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="180" src="https://3.bp.blogspot.com/-ueC259Vea3A/Vwvm13O_LAI/AAAAAAAACfY/Y52_pYzvKJI9nWOKJCpuLGdoFegRrVV7A/s320/P_20151114_131001.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Rytem Gitar Bolong diiringi drum dari galon air meniral terdengar begitu ceria. Alunan Balada, country, terkadang diselingi lagu dandut, atau tidak jarang lagu melow - seakan merobek keheningan malam. Tak terlihat ada rasa lelah atau kantuk. Keceriaan itu terlalu berharga untuk dilewatkan. Dan - kopi hitam dan tembakau tidak pernah absen menemani segerombolan anak2 muda bergaya cuek sambil berhaha hihi dengan berbagai topik obrolan disudut-sudut kampus, kontrakan sampai di kaki-kaki gunung dan tebing-tebing yang menjulang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suasana meriah, ceria riang gembira tak kan pernah pudar bersamaan sang mentari mulai bergeser menuju peraduannya. Rutinitas seharian yang kadang menjenuhkan - harus diganti dengan suasana penuh keakraban. Menganang masa-masa pendidikan dasar yang penuh cerita, operasi SAR yang kadang menumui hal2 yang tidak umum, atau perjelajahan2 yang telah dilewati bersama. Tapi, kadang topik diskusi bisa bergeser pada hal yang HOT. dari mulai politik sampe gosip murahan para artis dan sinetron. Bebas saja - karena malam adalah masanya untuk mengeskpresikan kegembiraan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kopi yang saat ini sudah ditawarkan dengan beraneka rasa menjadi menu wajib. Ya kopi, tanaman yang konon berasal dari Brazil dan masuk ke Indonesia saat masa Kompeni mulai menjarah kekayaan negeri subur ini. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-3nDbOJRvO3Q/Vwvl0wnqmcI/AAAAAAAACfE/NAGRLy5a79ApeiD5Nr_vvYeP_F5Tuf3-g/s1600/P_20151114_131600.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="180" src="https://4.bp.blogspot.com/-3nDbOJRvO3Q/Vwvl0wnqmcI/AAAAAAAACfE/NAGRLy5a79ApeiD5Nr_vvYeP_F5Tuf3-g/s320/P_20151114_131600.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanaman kopi menjadi tanaman umum yang dtemui para pencinta alam saat melakukan pendakian selain tanaman teh. Ya, karena tanaman kopi memang cocok ditanam di ketinggian, khususnya jenis arabika. Latimojong sebagai salah satu gunung tertinggi di Bumi Celebes misalnya, merupakan komoditi unggulan. Merapi, saat jalur selatan masih menjadi tempat favorit pendakian di era 90-an, juga tersedia kopi yang ditanam oleh warga Kaliadem dan Kinahrejo. Burni Telong, Bener Meriah, Ijen dan banyak wilayah lain menjadikan kopi sebagai tanaman andalan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a name='more'></a></div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Trend Kopi sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan Indonesia seharusnya mengangkat petani kopi menjadi lebih sejahtera. Menjamurkan kedai kopi, dari mulai kelas teri sampai kelas berat, tentu membutuhkan biji kopi yang semakin besar. Apakah kondisi ini memang demikian?</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Realitas di lapangan, nampaknya tidak terjadi garis lurus antara besarnya permintaan pasar atas trend minum kopi dengan kondisi petani. Petani, masih tetep seperti apa adanya. Naiknya permintaan kopi lebih disikapi dengan meluasnya kebun-kebun kopi. Kondisi ini pada satu sisi justru berbahaya bagi lingkungan. Karena lahan2 yang seharusnya dikonservasi, disulap menjadi areal budidaya kopi. seperti lahan2 dengan kemiringan tinggi, wilayah seputar mata air atau dibawah atau atas tebing.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Peran Pencinta Alam dimana?</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-O46U7M32Dqs/VwvmM_5zuVI/AAAAAAAACfM/iAGQz8H89ogA3S3GvN_eJRMMvKG4q1Epg/s1600/P_20151115_081506.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="179" src="https://1.bp.blogspot.com/-O46U7M32Dqs/VwvmM_5zuVI/AAAAAAAACfM/iAGQz8H89ogA3S3GvN_eJRMMvKG4q1Epg/s320/P_20151115_081506.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai wilayah bermain, tentu ada beban moral bagi pencinta alam mensikapi kondisi ini. Trend kopi perlu disikapi dengan cermat. Naiknya permintaan kopi jika akhirnya merusak lingkungan - tentu menjadi PR besar bagi organisasi pencinta alam yang masih merujuk pada kode etik pencinta alam yang dideklarasikan tahun 1974 di Ujung Pandang. Tidak hanya persoalan lingkungan, beban moral juga seharusnya lekat dengan kontribusi KPA terhadap masyarakat tempatan untuk lebih berdaya dan berkembang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Peningkatan ekonomi petani atas permintaan kopi tentu tidak harus dijawab dengan perluasan kebun2 kopi. apalagi jika pembukaan lahan2 kebun kopi merusak lingkungan seperti dengan terjadinya konversi hutan menjadi kebun-kebun kopi. Peningkatan ekonomi - sangat mungkin dilakukan dengan mendorong petani untuk mengintensifkan pola budidaya sehingga tanaman kopi dapat berbuah secara maksimal. Harga kopi juga dipengaruhi oleh cara budidaya - dimana trend organic menjadi salah satu parameter dari sebuah kualitas pertanian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari dua aspek ini saja, petani kopi sudah dapat meningkatkan produktifitas tanpa harus memaksakan diri mencetak lahan kopi baru. Tentu harga kopi menjadi lebih tinggi karena perlakukan organic yang diterapkan. Artinya - bisa jadi hasil kopi yang lebih banyak atau mungkin sama tanpa mencetak lahan baru - namun dari sisi harga jauh lebih tinggi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-h0hH7nHlewg/VwvlQGmnZrI/AAAAAAAACfA/cCVgcDNZ9W0aezfLyO7Q5LE8nAuBnnEVw/s1600/P_20151114_131230.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em; text-align: justify;"><img border="0" height="179" src="https://3.bp.blogspot.com/-h0hH7nHlewg/VwvlQGmnZrI/AAAAAAAACfA/cCVgcDNZ9W0aezfLyO7Q5LE8nAuBnnEVw/s320/P_20151114_131230.jpg" width="320" /></a>Kualitas kopi yang ditentukan dengan cara panen, dari mulai hanya kopi yang sudah matang yang dipetik menjadi salah satu yang menentukan kualitas kopi. Selain pola pengelolaan paska panen. Seperti pengupasan dan pengeringan. pola tradisional tanpa diimbangi dengan pengetahuan - menyebabkan kopi-kopi produksi petani dihargai rendah. Ditambah informasi harga pasaran kopi kerap tidak sampai ke petani. kebutuhan uang cash yang tinggi - kerap menempatkan petani tidak memiliki posisi tawar, karena hasil panen telah dibeli sebelum masa panen (sistem ijon).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berbagai persoalan yang dihadapi petani kopi - tentu menjadi menantang bagi KPA jika berkehendak untuk mewarnai kegiatan2 luar ruangnya lebih bermakna. Tidak hanya sekedar naik gunung dan turun lagi dengan membawa cerita selama perjalanan pendakian, tapi juga ada cerita berbagi dengan masyarakat desa. berbagi pengetahuan, keterampilan atau bahkan membentuk jejaring pemasaran kopi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Merasa tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang kopi, kerap menjadi masalah yang seolah tidak ada solusi di banyak KPA. Harap maklum, bidang ilmu yang didalami bukan pertanian. jadi apa yang bisa dilakukan untuk membantu petani? KPA kerap melupakan kekuatan jejaring. KPA tentu memiliki kawan2 lain - baik sesama organisasi pencinta alam maupun diluar OPA. kenapa tidak digunakan sumberdaya tersebut untuk saling mengisi. Akan indah tentunya, jika pendakian yang disertai sosialisasi bisa mendatangkan juga orang2 yang memahami tentang perkopian. Misalnya mengajak KPA pertanian, perdagangan, perindustrian atau bahkan kita bisa mengundang dosen - yang tentu akan lebih mudah, jika sang dosen adalah alumi dari OPA. artinya, tidak dimilikinya pengetahuan dan skill - bukan lah persoalan. kembali ke niat dan tujuan - apakah kita mau mewarnai kegiatan pendakian kita lebih bermakna? bagi lingkungan maupun masyarakat?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Persoalan lain terkait kualitas kopi, selain bentuk biji kopi (green bean) yang baik - juga adalah kadar air. Ini menjadi tantangan tentunya - bagaimana pengetahuan dan ketrampilan ini juga dimiliki oleh petani. dan yang terakhir, tentu jika produksi kopi juga dikembangkan tidak hanya sekedar menjual dalam bentuk green bean, tapi juga bagaimana mengolah dalam bentuk jadi. Artinya, penduduk ada yang memiliki kemampuan untuk roosting kopi dengan kualitas yagn baik tentunya. karena dari sini, warga sudah bisa mulai memasarkan bentuk siap saji untuk para pencinta kopi. dan di desa terakhir sebelum pendakian, kita akan disuguhi nikmatnya kopi asli dengan kualitas baik yang juga akan menjadi bagian dari cerita pendakian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para pencinta alam yang menikmati cerianya malam - pun tiak lagi menikmati kopi sobek yang tidak jelas asal usulnya. Bahkan dibanyak kajian - kopi sobek berdampak buruk bagi kesehatan.</div>
<div style="text-align: justify;">
sooooo.... mari kita nikmati malam dengan ceria bersama kopi petani - dimana kita berkontribusi terhadap peningkatan kualitas kopinya dan tentu peningkatan ekonomi bagi sang petani kopi. Bukan hanya bagi pedang dan melupakan sang penanam. Bukankan kita jauh lebih bangga menjadi PENCINTA ALAM?</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-8633095376240262682016-04-08T16:33:00.001+07:002016-04-08T16:33:50.403+07:00PERTAMBANGAN, ANTARA RISIKO DAN RISIKO PLUS RISIKO<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-jodYzhC5WMk/Vwd4c-RsfzI/AAAAAAAACeI/vmNkDB9Al_suiARJS7ngQnlYrZbs5E5kA/s1600/2419_1101047042442_8148925_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="133" src="https://4.bp.blogspot.com/-jodYzhC5WMk/Vwd4c-RsfzI/AAAAAAAACeI/vmNkDB9Al_suiARJS7ngQnlYrZbs5E5kA/s200/2419_1101047042442_8148925_n.jpg" width="200" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak ada hujan, tidak ada angin (istilah jawa yang mengindikasikan kejadian tiba2 tanpa peringatan), luapan lumpur yang sebelumnya bersemayam didalam perut bumi menggenangi sawah, ladang, pemukiman, pabrik-pabrik maupun fasilitas publik. <i>Mud Volkano</i> - tiba-tiba saja populer di Bumi dengan julukan Zamrud Katulistiwa karena kesuburannya. Ya, sekalipun lumpur panas (mud volcano) telah ada seperti Bludug Kuwu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Yang Konon telah ada secara alamiah sebelum Kerajaan Mataram Kuno (732 - 928 M).</div>
<div style="text-align: justify;">
Coretan lepas dan bebas ini tidak akan mengulas tentang bencana lumpur panas Lapindo yang terus berpolemik terkait dengan sebab musababnya. Sekalipun sebagian besar para ahli Geologi lebih banyak yang menemapatkannya sebagai kesalahan manusia. Kesalahan Pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Namun - Pengadilan nampaknya punya asumsi sendiri, sehingga memutuskannya sebagai Bencana Alam yang memiliki hubungan dengan Gempa Jogjakarta (5,9 SR) yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak terduga, karena memang tidak ada informasi apapun terkait dengan risiko yang mungkin terjadi akibat upaya penambangan migas ini. Karena sebagaimana umumnya sebuah proyek investasi besar - selalu dikaitkan dengan pembangunan negara. Yang namanya pembangunan - sudah pasti berdampak positif yang berujung pada kesejahtaraan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DR. Ir. Eko Teguh Paripurno, MT, Geolog yang juga pakar pengurangan risiko bencana (PRB), pada tiap kesempatan selalu mengingatkan. Pembangunan dapat berimplikasi seperti mata tombak. Dapat mensejahaterakan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Tapi bisa juga berdampak sebaliknya. Menimbulkan kerentanan dan menyebabkan risiko semakin tinggi. Bisa untuk saat ini, bisa juga untuk masa yang akan datang. Bisa pada lokasinya (lokus) - bisa juga untuk wilayah lain. Pembangunan dapat menjadi sebuah peluang untuk mengurangi risiko, jika pembangunan dikemas dengan pendekatan PRB.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-oTSLgl9Crx0/Vwd48ne4z0I/AAAAAAAACeM/rQqF3I72BogrWWgkzAF2vizqehVC8olTg/s1600/2419_1100999281248_6294278_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="214" src="https://3.bp.blogspot.com/-oTSLgl9Crx0/Vwd48ne4z0I/AAAAAAAACeM/rQqF3I72BogrWWgkzAF2vizqehVC8olTg/s320/2419_1100999281248_6294278_n.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertambangan sebagai bentuk kegiatan ekstraktif, nampaknya masih belum ditempatkan sebagai usaha yang perlu diredam implikasi-implikasi yang mungkin dapat diterjadi. Paling tidak, ini tergambar dalam Draft RUU Minerba versi Pemerintah (Kementerian ESDM) yang digadang-gadang akan menggantikan UU No 4 tahun 2009. Tidak saja tidak peka terhadap risiko bencana, RUU yang konon dikebut penyusunannya hanya dalam 3 hari ini juga terkesan memanjakan investor tambang - yang sampai saat ini tidak menunjukan "niat baik" terlibat dalam membangun Indonesia serta sangat sektoral karena mengabaikan Perundang-undangan lain yang ada dan sangat berkorelasi. Sebut saja UU 32/2009 tentang PPLH, UU No 27/2009 jo UU No 1/2014 tentang pesisir dan kalautan, UU No 32/2014 tentang Kelautan, UU No 26/2007 tenteng tata ruang dll. RUU Minerba seolah hanya mengakodir UU Pemerintahan Daerah terkait dengan perizinan. Draft RUU Minerba,<a href="http://www.mediafire.com/download/s1x03677kaw53cj/NA+RUU+Minerba_25012016.pdf" target="_blank">download di sini</a>. Naskah Akademik,<a href="http://www.mediafire.com/download/s1x03677kaw53cj/NA_RUU_Minerba_25012016.pdf" target="_blank">download di sini</a>.</div>
<div>
<a name='more'></a><br /></div>
<div>
<b>Risiko Bencana Pertambangan</b></div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menyiapkan piranti aktifitas pembangunan yang mungkin berisiko terhadap bencana. Risiko tersebut bisa bersifat langsung, bisa juga tidak langsung. Bocornya reaktor nuklir akibat hantaman tsunami di Japang menjadi topik pembicaraan - bagaimana bencana alam berdampak tidak kalah buruk dari bencana primer. Sampai saat ini, beberapa wilayah masih dinyatakan tidak aman. Dan akibat dari kejadian tersebut, warga Jepang menuntut semua reaktor nuklir untuk ditutup; (baca: http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/16/03/09/o3s0qi299-pengadilan-di-jepang-putuskan-reaktor-nuklir-ditutup).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Permintaan warga Jepang sebagai bentuk kekhawatiran ini sangat wajar. Apalagi jika dikaitkan dengan nilai ikatan jiwa seorang manusia dengan tanah kelahirannya begitu tinggi. Ini tidak terjadi hanya dinegara berkembang atau negara miskin. Tapi juga di negara industri seperti Jepang, Korea bahkan Amerika sekalipun. Hidup nyaman adalah sebuah pilihan akhir dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena materi yang melimpah telah disadari tidak menjamin akan mendapatkan kebahagiaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pasal 40 ayat 3 menyebutkan; Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Merujuk <i>asbabunnujul</i> munculnya pasal 40 ayat 3 ini tidak lepas dari banyaknya kegiatan pembangunan yang karena tidak dilakukannya kehati-hatian dan analisis multi disiplin ilmu, berdampak ganda. Bahkan jika kita dikaji dampak positif maupun negatif secara menyeluruh - lebih banyak sisi negatifnya alias merugikan. Sebut saja, penilaian dampak pembangunan yang tanpa menyertakan hitungan penurunan fungsi ekologis, dampak sosial, termasuk konflik-konflik yang ditimbulkan, kerusakan fasilitas publik atau pencemaran. Penilaian dampak pembangunan juga kerap tidak mempertimbangkan perbaikan lingkungan yang harus dilakukan pihak pemrakarsa atau investor paska beroperasinya kegiatan. Seperti pertambangan, HPH, Perkebunan skala besar dll.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika terkait dengan usaha pertambangan, hal spesifik risiko bencana telah hadir sejak rencana itu ada. Sebutlah saat potensi bahan tambang teridentifikasi dan ditetapkan dalam RUTR wilayah. Berdasarkan informasi tersebut, para spekulan tanah dan broker telah mulai menyebar dan menguasai tanah2 masyarakat. Tidak jarang pengambilalihan kuasa tanah tersebut disertai dengan teror dan kekerasan - selain tipu-tipu secara halus maupun kasar. Menempatkan show room kendaraan bermotor menjadi salah satu modus yang disetting maupun tidak untuk mempercepat proses alih kepemilihan lahan. Juga hutang piutang yang berujung pada penyitaan aset berupa tanah yang sebelumnya telah diketahui memiliki potensi bahan tambang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kondisi ini jika dikaitkan dengan pendekatan PRB, telah terkait dengan terjadi dan meningkatnya kerentanan masyarakat sebagai salah satu variabel dari risiko. Dan telah kita ketahui bersama, kemiskinan adalah dasar terbesar dari risiko bencana. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Proses bertambahnya risiko terus berlanjut - saat proses dimulai proyek pertambangan tahan awal. Penyesatan informasi adalah hal yang paling umum. Bahwa Pertambangan adalah bagian dari pembangunan. Pertambangan akan meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat. Dengan hadirnya perusahaan tambang, maka akan terbuka peluang kerja yang dianggap lebih bergengsi. jangan harap, akan keluar dampak negatif keluar dari pihak perusahaan, konsultan AMDAL atau pemerintah desa, kecamatan sampai Kabupaten. kalau perlu pemerintah Provinsi pun dengan suka rela akan hadir dan turut mendukung semua upaya menyembunyikan informasi yang adil. Penyeimbang informasi akan hadir, jika terdapat organisasi masyarakat sipil yang telah terbukti kredibitasnya dalam advokasi. Juga tokoh masyarakat yang telah bergaul cukup luas dengan para aktifis, akademisi lurus maupun individual berjiwa pejuang lingkungan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada proses ini, risiko bencana sebagai bagian dari dampak yang mungkin terjadi - bisa berubah menjadi bencana. Menjadi bencana karena konflik terbuka bisa mulai terjadi. Munculnya konflik - karena umumnya lahan-lahan yang dikusai broker atau para spekulan serta milik pemerintah telah berada ditangan perusahaan. Sehingga telah cukup untuk dimulai proses awal, sambil proses perizinan dilakukan oleh pemrakarsa. Bukan rahasia umum, sekalipun AMDAL atau UKL/UPL belum selesai dan disetujui - proses explorasi bisa jadi telah dimulai/dilakukan. Pembangunan berbagai sarana pendukung telah juga dibangun. Dan ini semakin menegaskan - jika AMDAL sebagai piranti untuk mengukur dampak lingkungan dan sosial hanya bersifat administratif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Analisis Risiko, selain akan melengkapi piranti AMDAL yang belum secara spesifik menilai risiko bencana yang mungkin terjadi - pada dasarnya adalah salah satu media yang mendorong terjadinya reformasi proses dan penyusunan AMDAL. Sayangnya, AMDAL yang tidak bergigi dan menjadi lahan bisnis para akademisi pencinta proyek - justru ditanggapi dengan akan dihilangkan atau ditiadakan. Paling tidak, gosip ini beredar pada rapat terbatas Kabinet Gotong Royong yang dipimpin langsung orang nomer 1 NKRI ini, Ir. Joko Widodo.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-33K5jhoaWEo/Vwd59BZPAsI/AAAAAAAACec/aNW21DO3TbQ0-AK7U3CZyjW8iGYs8YRiA/s1600/IMG_20140622_191603.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://1.bp.blogspot.com/-33K5jhoaWEo/Vwd59BZPAsI/AAAAAAAACec/aNW21DO3TbQ0-AK7U3CZyjW8iGYs8YRiA/s320/IMG_20140622_191603.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">aksi warga rembang - sumber : www.akumassa.org</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Risiko bencana disepanjang proses kegiatan Penambangan dapat terlihat dihampir seluruh Indonesia. Kasus kekersan dan penggusuran masyarakat Rembang karna mempertahankan ruang hidupnya pada kawasan yang akan menjadi wilayah pertambangan dan pabrik semen oleh PT Indocement, sebuah perusahaan Plat Merah sampai saat ini hanya satu kasus kecil. Kasus lain yang tidak kalah masif upaya penolakan dan dihadapi secara represif oleh alat-alat negara juga terjadi di tambang emas tumpang pitu - Banyuwangi. Kasus di luar Jawa dapat terlihat di NTT, Sulawesi, sampai Papua.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Merujuk terminologi bencana yang menetapkan tiga indikator kunci; terjadinya gangguan yang meluas bagi kehdupan masyarakat, terdapat dampak yang merugikan, baik jiwa, sosial-ekonomi maupun lingkungan serta tidak adanya kemampuan masyarakat untuk menghadapi dengan sumberdaya yang mereka miliki - kasus-kasus kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang muncul telah masuk katagori bencana. Kondisi ini juga telah dikuatkan sesusungguhnya dalam UU No 24/2007 tentang penanggulangan bencana. Dimana bencana tidak saja terjadi karena kegiatan alamiah - tapi juga karena manusia. Konflik sosial dan kegagalan teknologi merupakan bencana yang menjadi ruang lingkup dari UU PB ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada proses operasi, risiko bencana semakin meningkat. Tidak hanya konflik yang menjadi berlanjut karena proses yang tidak transparan dan penuh rekayasa, tapi juga dampak dari operasi pertambangan semakin dirasakan oleh warga masyarakat. Jalan rusak, akses ke ruang hidup semakin terbatas, masuknya budaya yang tidak sesuai dengan kultur lokal, kesenjangan sosial, sampai pencemaran dan kerusakan lingkungan dan perebutan sumberdaya mendasar (air bersih) sebagai kebutuhan dasar. Penyelesaian dengan cara kekerasan sebagai karakteristik industri, baik menggunakan tangan preman maupun aparat keamanan, semakin meningkatkan risiko konflik. Sehingga tidak jarang, akumulasi kemarahan warga berakhir dengan cara anarkis. Sayangnya - penyelesaian persoalan selalu disikapi dengan pendekatan hukum formal berdasarkan kejadian. Sehingga, kembali masyarakat ditempatkan sebagai penjahat yang merusak aset perusahaan. Tidak dilihat sebagai sebuah porses sebab akibat dari terjadinya indisiden. Apakah mungkin insiden terjadi jika dialog dilakukan dengan menempatkan masing-masing pihak secara setera?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pencemaran yang berdampak buruk bagi kesehatan, namun bersifat akumulatif - belum dipandang sebagai hal yang krusial. Kejadian dengan tragedi spontan dan besar, masih menjadi parameter untuk menempatkan atau dianggap sebuah bencana. Kasus Pencemaran Newmont di Teluk Buyat misalnya - sama sekali tidak dipandang sebagai sebuah masalah. Baik dampaknya terhadap lingkungan maupun bagi masyarakat. Kasus tersebut kembali diulang dengan opeasi Newmont di Sumbawa. Bahkan, kasus jebolnya limbah tailing di sungai Ajkwa Papua pun kerap tidak dipandang penting untuk disikapi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-1IjXcdIV80k/Vwd6uS71PdI/AAAAAAAACek/S09OLkYtKgcjDg0ZyZmcotuBrhARAX2Zw/s1600/thumb_727569_12252429092015_jatam.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://2.bp.blogspot.com/-1IjXcdIV80k/Vwd6uS71PdI/AAAAAAAACek/S09OLkYtKgcjDg0ZyZmcotuBrhARAX2Zw/s200/thumb_727569_12252429092015_jatam.jpg" width="200" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Kondisi ini melahirkan sebuah keprihatinan luar biasa - bagaimana Negeri ini menempatkan anak negerinya dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan bermodal besar. warga terdampak lumpur panas lapindo, masih terkatung-terkatung nasibnya. Nasib yang lebih miris adalah warga yagn tidak mendapatkan porsi media dalam pemberitaan kasus2 yang dialaminya. Sebut saja warga-warga yagn dilingkup pertambangan galian C, warga yang tinggal diseputaran pertambangan ilegal atau warga yang jauh dari jangkauan media.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lantas, UU penanggulangan bencana sebagai regulasi yang bertujuan : </div>
<div style="text-align: justify;">
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; d. menghargai budaya lokal; e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.</div>
<div style="text-align: justify;">
akan kita letakan dimana? Bukan kah aktifias penambangan secara kasap mata menjadi bagian dari lingkup UU PB? </div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu tujuan UU PB yang bersifat lek specialist; menyelaraskan peratusan perundang-undangan yang sudah ada - mampukan UU ini menyelaraskan UU Minerba No 4/2009 atau mewarnai RUU Minerba yang dikebut untuk disahkan pada bulan Juni 2016.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<span class="fullpost">
</span></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-35109900404116189702016-04-05T00:18:00.000+07:002016-04-05T00:18:04.141+07:00MEMAKNAI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM<div style="text-align: justify;">
Dullah yang telah berusia senja, cukup melihat sekumpulan siput laut untuk melihat, seberapa tinggi kemungkinan rob yang akan sampai ke rumahnya. Berpuluh-puluh tahun beliau hanya mengandalkan salah satu hewan kecil laut ini untuk menyiapkan diri. Apakah perlu mengamankan barang2 rumahnya dari banjir pasang surut, atau tidak. Siput laut yang menaiki batang kayu, tembok rumah atau tanaman menjadi salah satu pertanda. Dan selama ini informasi tersebut cukup akurat. Warga cukup melihat mayoritas siput rata-rata berada diketinggian mana. disitulah kemungkinan tinggi banjir rob sampai di Kampung halamannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak tahu pasti, sejak kapan pengetahuan lokal itu dipercaya dan menjadi bagian dari kearifan lokal. tanda-tanda alam juga digunakan dengan melihat sekelompok burung migran maupun beragam perkembangan tanaman untuk menandai pergantian musim. Bunga Gadung misalnya saat berkembang menandai musim kemarau. Tidak hanya flora dan fauna, tanda alam lain juga digunakan seperti formasi bintang; lintang luku dan kukusan, planet dll. Tradisi berbasis pengetahuan lokal ini berpuluh tahun selaras. Di Jawa dikenal Pronoto Mongso yang sangat dekat dengan dunia pertanian. Namun, sejatinya, nelayan pun menggunakannya untuk kebutuhan menangkap ikan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-AGDf-l_C8qo/VwKbeoZGiWI/AAAAAAAACdM/c4SvJsD4gmYEzUKBhWlGJNbsryQBRf2QA/s1600/IMG_1097a.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://2.bp.blogspot.com/-AGDf-l_C8qo/VwKbeoZGiWI/AAAAAAAACdM/c4SvJsD4gmYEzUKBhWlGJNbsryQBRf2QA/s200/IMG_1097a.jpg" width="133" /></a>Paling tidak, 3 tahun terakhir, Pak Dullah maupun ribuan masyarakat yang masih menggunakan tanda-tanda alam dalam melihat perubahan musim atau cuaca mengalami kesulitan. Mulai muncul keraguan - apakah tanda-tanda alam yang selama ini cukup akurat tidak lagi bisa digunakan? Namun jika dikaitkan dengan penyebabkan - berbagai pendapat disertai argumentasi kerap terkait dengan hal-hal diluar kontek ilmiah. Misalnya, karena banyak dosa orang kampung atau tidak lagi dilakukannya tradisi, sehingga penguasa lautan atau wilayah-wilayah yang dianggap kramat menunjukan ketidak sukaannya. Tidak banyak argumentasi muncul terkait dengan perubahan-perubahan fisik yang terjadi atau perubahan yang terjadi secara global-seperti pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tradisi atau pengetahuan dan kearifan lokal yang masih berlangsung - kerap telah diposisikan sebagai daya adaptasi. daya adaptasi ini ketika dikaitkan dengan perubahan iklim bisa langsung di claim sebagai adaptasi perubahan iklim. Tidak hanya memahami tanda alam, tapi juga berbagai upaya penyesuaian yang dilakukan berdasarkan respon atas perubahan yang terjadi. Sebagai respon, umumnya penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan akan disesuaikan dengan perubahan yang ada. Pada tipe perubahan yang terjadi secara langsung dan tidak lagi terjadi perubahan lanjutan dalam waktu lama, penyesuaian yang dilakukan masyarakat cederung sesuai dengan konteks. Penyesuaian juga akan sesuai dengan kebutuhan pada perubahan-perubahan yang berlangsung secara terus menerus dan cenderung sama. seperti banjir yang terjadi secara rutin dengan luasan dan waktu yang relatif sama. Tapi akan mengalami kesulitan jika perubahan tersebut berlangsung perlanan dan terjadi peningkatan ancaman. Seperti banjir rob yang semakin lama semakin tinggi yang terjadi di sepanjang pesisir utara jawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-0pTd8HjdH7Y/VwKhCK9p5rI/AAAAAAAACdw/x0Rak3nHjKgR2govUaLdJRFXvcpkKos3w/s1600/KUBURAN.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://4.bp.blogspot.com/-0pTd8HjdH7Y/VwKhCK9p5rI/AAAAAAAACdw/x0Rak3nHjKgR2govUaLdJRFXvcpkKos3w/s320/KUBURAN.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Adaptasi perubahan iklim dimaknai sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim, mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan dan mengatasi konsekwensinya. UU No 32.2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan penjelasan pasal 57 ayat 4 (a) adalah; Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim” adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Merujuk pengertian dari adaptasi sebagai kemampuan atau meningkatkan kemampuan untuk dapat menyesuaikan dari dampak perubahan iklim - terdapat hal substansial yang tidak dapat diabaikan. Apakah berbagai upaya yang telah dilakukan komunitas seperti contoh-contoh di atas dan tentu banyak contoh lain yang serupa dapat dikatakan sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan iklim?</div>
<div style="text-align: justify;">
<a name='more'></a><br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-VhsI3cLzERo/VwKe18Y2odI/AAAAAAAACdY/juTPZqJ6oC07kXgaAdjTr4AZXFqqVxGaw/s1600/P_20141011_090916a.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="200" src="https://3.bp.blogspot.com/-VhsI3cLzERo/VwKe18Y2odI/AAAAAAAACdY/juTPZqJ6oC07kXgaAdjTr4AZXFqqVxGaw/s200/P_20141011_090916a.jpg" width="130" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Add caption</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Akan ada banyak jawaban tentunya. Tergantung kita akan memandang dari sudut mana dan atas dasar apa argumen tersebut disampaikan. Dalam kontek operasional - kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh komunitas dalam mensikapi perubahan yang ada, khususnya terkait dengan iklim menjadi bagian dari upaya adaptasi. Siapa yang akan menyangkal jika warga yang mengganti pola tanam, mengganti bibit tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan atau banjir tidak menjadi bagian kegiatan adaptasi. Siapa juga yang akan menolak, jika warga yang menanam mangrove adalah kegiatan adaptasi. Demikian juga dengan berbagai aktifias lain, seperti menaikan lantai atau tinggi rumah, sampai pada membuat rumah menjadi dua lantai, membuat sumur resapan, membuat tanggul penahan banjir yang secara operasional adalah bagian dari adaptasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertanyaan yang kerap muncul jika dikaitkan dengan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah, apakah respon tersebut sudah dikaitkan dengan perubahan yang mungkin terjadi untuk masa depan? Paling tidak, dampak perubahan iklim disepakati oleh para ahli untuk rentang masa antara 30 - 100 tahun ke depan. Bagaimana untuk mengetahui perubahan-perubahan yang mungkin terjadi tersebut?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kita kita lanjutkan cerita-cerita komunitas dalam mensikapi perubahan - kita akan dapat melihat dengan jelas. Pak Dullah dan ribuan warga lainnya saat ini mengeluh - jika cuaca atau musim sudah sulit ditebak. Yang seharusnya sudah masuk musim hujan, malah jadi kemarau. Demikian juga sebaliknya. tidak jarang petani yang merasa tertipu dengan musim. Implikasinya, jika sebelumnya kita banyak mendengar gagal panen akibat banyak sebab - saat ini juga muncul istilah gagal tanam. Petani yang telah menyiapkan benih, tidak dapat ditanam karena musim hujan yang biasanya jatuh pada bulan diakhiran Ber, tidak lagi melanjutkan hujannya. Buat nelayan pun demikian, masa-masa badai atau cuaca buruk menjadi tidak menentu dan sulit untuk ditebak. Tapi tidak sedikit, petani atau nelayan yang cermat - dapat memanfaatkan berbagai situasi tidak menentu justru mendapatkan keuntungan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kajian kerentanan terhadap perubahan iklim menjadi salah satu media atau alat untuk mengetahui perubahan-perubahan yang mungkin terjadi. Musim kemarau lebih kering dan panjang atau penghujan yang lebih pendek adalah gambaran umum sebagai dampak perubahan iklim. Realitasnya bisa berbeda antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Lingkungan setempat memiliki pengaruh cukup besar atas kondisi iklim setempat. Selain berbagai faktor lain tentunya. Kajian kerentanan yang saat ini juga telah diperkaya dengan ancaman bencana, sehingga mampu memotret risiko iklim mampu memberikan gambaran, bagaimana sebuah wilayah akan terdampak. Kenaikan muka air laut misalnya yang akan berpengaruh terhadap abrasi atau banjir rob. Atau curah hujan yang meningkat sehingga berisiko terhadap peningkatan banjir. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kontek macro, seperti perencanaan pembangunan daerah atau bahkan nasional - informasi terkait dengan dampak perubahan menjadi sangat penting. Bagaimana arah pembangunan harus disiapkan dengan informasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi untuk masa depan. Seperti sebuah wilayah yang saat ini telah mengalami banjir rob seperti wilayah pantura Jawa. Apakah masih mungkin untuk dilakukan upaya meredam risiko atau memang sudah tidak mungkin lagi dilakukan karena terlalu besar anggaran yang dibutuhkan. Besarnya anggaran tentu harus diperbandingkan tidak saja dalam penanggulangan ancaman yang ada, untuk saat ini maupun masa depan, tapi juga harus diperbandingkan dengan upaya relokasi dengan berbagai fasilitas umum yang harus disiapkan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-Ew1yDwjGgkA/VwKfuf0H1yI/AAAAAAAACdk/NI4UTf_Ua_Ihr3zUXzKYpyIar3TmpbS-w/s1600/RUMAH%2BWARGA%2BBEDONOa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="133" src="https://4.bp.blogspot.com/-Ew1yDwjGgkA/VwKfuf0H1yI/AAAAAAAACdk/NI4UTf_Ua_Ihr3zUXzKYpyIar3TmpbS-w/s200/RUMAH%2BWARGA%2BBEDONOa.jpg" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">rumah di dusun Bedono - Sayung</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Apakah pilihannya hanya itu? Tentu tidak. Karena dalam adaptasi, terdapat pilihan-pilihan. Pilihan tidak hanya ditentukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang memiliki tanggung jawab untuk menjamin warganya aman, damai dan sejahtera. terpenuhi seluruh hak dasar, baik pangan, air bersih, pemukiman yang sehat, pendidikan, kesehatan dll. Pilihan juga ada pada komunitas terkena dampak atau yang akan terkena dampak dari perubahan iklim. Dan untuk mendapatkan pilihan, informasi terkait dampak, baik saat ini maupun dampak ke depan perlu diketahui bersama. sehingga pilihan yang diambil didasarkan atas berbagai pertimbangan. Termasuk pilihan untuk tetap tinggal dilokasi terdampak. apapun pilihan yang diambil, tidak menghilangkan tanggung jawab negara dalam memenuhi kewajiban atas kebutuhan dasar warganya. Namun diluar itu, warga pun memiliki tanggung jawab selain hak yang harus terpenuhi tentunya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Kajian Kerentanan dan Risiko Iklim </b></div>
<div style="text-align: justify;">
kajian kerentanan terhadap dampak perubahan iklim (vulnerability assessment) umum digunakan dalam mengukur tingkat kerentanan wilayah terhadap dampak perubahan iklim. rumusan dan metode terus berkembang sampai saat ini. Namun terlepas dari metode yang ada, hal yang menjadi krusial adalah bagaimana menempatkan kajian tersebut sebagai dasar pengambilan kebijakan maupun menyusun rencana aksi atau pengambilan keputusan. Termasuk keputusan bagi masyarakat terdampak saat ini untuk menentukan, apakah tetap tinggal atau relokasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada kasus komunitas yang tinggal pada pesisir seperti Pantura Jawa; seperti Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Demak dll, Rob yang dirasakan semakin lama semakin tinggi. Sekalipun kenaikan muka air laut diyakini bukan satu-satunya penyebab - namun informasi di masa depan kondisinya seperti apa, dapat menjadi gambaran untuk mengambil keputusan. Bisa dibayangkan - pengeluaran terbesar tahunan sebagian besar warga adalah membeli sirtu alias pasir dan batu. Ya, matrial yang diperuntukan untuk mengamankan tempat tinggalnya dari banjir rob. Jajan tahunan tersebut akan terus dilakukan tanpa kejelasan akan sampai kapan. Kasus kampung yang tenggelam di Kecamatan Sayung idealnya menjadi pembelajaran bagi penduduk dengan kondisi wilayah yang serupa. Investasi keluarga untuk mempertahankan rumah ternyata berakhir sia-sia. Jika informasi tersebut diketahu jauh-jauh hari, tentu penduduk Sayung akan mendapatkan pilihan tanpa harus berupaya tanpa kejelasan yang akhirnya menjadi sia-sia. Pemukiman yang telah diupakan sekuat tenaga, tetap harus ditinggalkan karena tidak lagi dianggap layak sebagai tempat tinggal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak manfaat atas informasi terkait perubahan iklim maupun perubahan lingkungan yang akan terjadi. Kajian secara komprehensif yang memadukan risiko bencana dan kerentanan dan risiko iklim pada kasus-kasus dimana ancaman bencana telah terjadi - akan menjadi bahan pertimbangan yang dapat menentukan keberlanjutan sistem kehidupan. Bagi pemerintah daerah atau pemerintah, tentu pertimbangan yang akan memperparah kondisi lingkungan yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat menjadi hal yang utama. Reklamasi salah satu contoh kasus yang memperparah lingkungan dapat dihindari. sekalipun dalam jangka pendek pada wilayah tersebut cukup menguntungkan dan menjanjikan pendapatan untuk daerah. Namun jika dikaitkan dengan dampak ekologis dan dampak terhadap masyarakat, keuntungan atau pendapatan untuk negara tidak akan ada apa-apanya. karena upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan jauh membutuhkan dana lebih besar. Demikian juga alih fungsi lahan kawasan fungsi lindung seperti hutan bakau, atau penambangan pasir laut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kajian kerentanan dan risiko iklim kerap dianggap sesuatu yang sulit. Sehingga hanya menjadi domain dari perguruan tinggi dengan para peneliti berderat gelar akademik. Kondisi ini seolah dipertahankan dengan berbagai aturan main yang seolah tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat. Apakah sedemikian rumit dan sulitnya, sehingga tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk mempelajarinya dan menguasainya? Bukankan apapun ilmu pengetahuan didunia itu bisa dipelajari oleh siapapun? Apakah petani tanpa gelar akademik bahkan tidak pernah sekolah - sama sekali tidak punya hak diakui sebagai ilmuan atas ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasainya. Padahal realitasnya, tidak sedikit petani yang memiliki kemampuan melebihi para akademisi dengan sederat gelar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Realitas yang ada, ditambah dengan kemajuan teknologi saat ini, kajian kerentanan maupun risiko iklim dapat dilakukan oleh siapapun. Kajian kerentanan dengan basis data statistik dapat diperoleh dengan mudah, baik di kantor kelurahan, kecamatan maupun BPS. Info lain yang dibutuhkan dalam kajian kerentanan pun dapat diperoleh dari instansi terkait lain. misalnya untuk data kesehatan dapat diperoleh dari Puskesmas atau rumah sakit. Data pertanian di dinas pertanian atau bahkan petugas petani lapang dst. Tinggal bagaimana warga diberikan pengetahuan teknik mengolahnya. Dan dengan teknologi komuter yang hanya mengandalkan mouse dengan perintah yang cukup jelas, tidak sulit untuk ditransfer. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ini bukan omong kosong. Karena banyak pengalaman membuktikan itu. Pengalaman penulis, bersama LSM Rumpun Bambu Aceh membutikan, bagaimana masyarakat yang sebelumnya belum pernah mencoba menggunakan komputer, hanya dalam waktu 5 hari pelatihan secara intensif - mampu membuat peta risiko bencana Tanah Longsor di Kabupaten Bener Meriah. peta tersebut tidak hanya sekedar peta yang disusun dari atas meja, tapi juga telah didasarkan ground check dengan menggunakan alat bantu kompas dan GPS. Tim kajian yang terdiri dari anggota Tagana Kabupaten Bener Meriah, juga melakukan wawancara semi terstruktur untuk melengkapi angka-angka yang diperoleh dari statistik. Hasilnya - sebuah peta yang mampu menunjukan tingkat risiko bencana yang cukup akurat. termasuk apa yang perlu dilakukan untuk mereduksi risiko yang ada.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh lain juga dilakukan oleh SKPD di Kabupaten Manggarai, Sumba Timur dan Sabu Raijua untuk melihat risiko bencana terkait iklim. Mereka pun mampu membuat peta dan melakukan analisis atas risiko serta berbagai upaya yang perlu dilakukan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kondisi ini menunjukan, kajian dapat dilakukan oleh siapapun. Niat atau komitmen yang diwujudkan dengan aksi adalah kunci. Selebihnya adalah upaya yang disusun secara sistematis, baik dalam pengumpulan data dan informasi, mengolah dan menyusun kesimpulan dan rekomendasi. Tindak lanjutnya tentu berupa aksi-aksi yang diperlukan untuk mengurangi kerentanan dan risiko yang mungkin terjadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Prinsip utama kajian kerentanan dan risiko iklim maupun risiko bencana adalah - kajian tidak hanya sekedar menghasilkan peta dengan aneka warga yang menunjukan kelas kerentanan dan risiko (sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah). Kajian harus mampu menunjukan akar masalah atau penyebab dan pembentuk kerentanan dan risiko. Dan untuk mendapatkan hal tersebut, angka-angka dari statistik tidak seluruhnya mampu memberikan informasi yang mumpuni. Untuk itu, masih dibutuhkan data dan informasi yang diperoleh secara langsung dari lapangan. baik melalui interveiw atau wawancara maupun proses dialog dengan para pemangku kepentingan. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif ini menjadi bagian yang saling melengkapi. Dan pendekatan partisipatif tentu akan semakin menyempurnakan hasilnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-61544559094709694912016-04-01T14:07:00.002+07:002016-04-01T20:02:44.565+07:00CONTEXTUAL TEACHING AND LEARING, PRB dan PRAMUKA<div style="text-align: center;">
<i>Coretan tak terstruktur ini lanjugan dari pemikiran liar sebelumnya tentang CTL, bagaimana jika diterapkan pada PRB sebagai paradigma manajemen risiko bencana alias penanggulangan bencana. </i><i>Tentu pemikiran liar ini hanya berupa asumsi yang pasti dibumbui subyektifitas dari hasil bacaan cepat dan mencoba mengkaitkan dengan serangkaian proses yang telah dilalui penulis</i></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta, dimusim yang seharusnya telah memasuki masa kemarau, masih juga dibayangi mendung yang berpotensi untuk hujan. Ramalan cuaca yang masuk melalui HP adroidku menunjukan - sesiang ini, Rumah Perlawanan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) yang berada di Mampang Prapatan No 30 B - Jakarta Selatan akan cerah berawan. Menjelang malam, akan terjadi petir. Tapi jangan harap informasi ini benar 100%. Karana yang namanya ramalah - bisa benar, bisa juga salah. Apalagi informasi yang diberikan BMKG sebagai lembaga Negara yang ngurus masalah Meteorologi dan Klimatologi, menyebetnya dengan PRAKIRAAN. Artinya - sebelum dikira2. jadi cukup jadi bahan pertimbangan aja. Tapi bagi mental PRB, tentu informasi apapun yang terkait mengurangi risiko, harus dijadikan landasan untuk berprilaku antisipatif, mitigasi dan siapsiaga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-GxIhcvhzNNE/Vv4aMssqTUI/AAAAAAAACas/ss-JtwcRwEIcf1Gmz9NQigaZfphaKKLxQ/s1600/5692145_orig.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="179" src="https://2.bp.blogspot.com/-GxIhcvhzNNE/Vv4aMssqTUI/AAAAAAAACas/ss-JtwcRwEIcf1Gmz9NQigaZfphaKKLxQ/s320/5692145_orig.jpg" width="320" /></a></div>
Siapa yang tidak pernah merasakan bangganya memakai seragam coklat muda dan coklat tua sebagai uniform Gerakan Pramuka Indonesia. Apa lagi jika pada seragam tersebut telah terpasang aneka tanda kecakapan khusus (TKK). Menjadi lebih bangga lagi, jika TKK telah melebih batas di seragam, sehingga harus ditempatkan pada selendang yang menghiasi seragam kebesaran. Jika kita mau jujur - dari keterlibatan dan kesempatan ber Pramuka jua lah, muncul pengembangan-pengembangan kegiatan luar ruang yang beragam. Dari mulai kelompok pencinta alam, kelompok peduli lingkungan, kelompok yang aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan (penanggulangan bencana), pertahanan dan keamanan dll. Jayalah Pramuka ku, Pramuka mu, Pramuka kita semua...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika sedikit kita merenung mengembalikan pikiran kita ke masa kecil, saat kita masih di sekolah dasar. Maka keriangan mengikuti kegiatan Pramuka, yang saat ini menggunakan hari Jumat siang akan tergambarkan dengan jelas. Yel-yel selalu dikumandangkan setiap Regu untuk menambah spirit kelompok masing-masing. Materi-materi seperti tali temali, mempelajari berbagai sandi, tanda jejak, P3K adalah materi favorit karena sudah dipastikan akan ada praktik. Apa lagi materi diterapkan dilapangan, seperti mencari jejek atau berkemah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-gg9TExM6WZw/Vv4ZGBAgL-I/AAAAAAAACag/Aql1q6nUGJ8n_hKBWXD__OKGr1w4GPhTg/s1600/Ngga-Cuma-Hafal-Pancasila.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="123" src="https://4.bp.blogspot.com/-gg9TExM6WZw/Vv4ZGBAgL-I/AAAAAAAACag/Aql1q6nUGJ8n_hKBWXD__OKGr1w4GPhTg/s200/Ngga-Cuma-Hafal-Pancasila.jpg" width="200" /></a>Pramuka memang identik dengan kegiatan luar ruang. Berbagai pengetahuan dan keterampilan begitu mudah diserap saat materi disampaikan dipraktikan dengan susasa yang riang gembira. Namun seingat penulis, sekalipun kegiatan Pramuka yang sempet diikuti sepanjang Sekolah Dasar - tidak begitu banyak materi yang mengkaitkan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kegiatan lebih banyak diarahkan dengan membekali pribadi dan kelompok pada skill kegiatan luar ruang. Tapi itu dulu. Dan dari sisi tahapannya - memang baru pada tahapan Penggalang Meramu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terlepas dari materi-materi yang diajarkan saat itu, hal yang menarik untuk menjadi pelajaran tentu adalah bagaimana materi yang diberikan dapat diserap dengan baik. Sehingga, tidak saja materi dapat dikuasai, tapi juga dapat dipraktikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk tali temali misalnya - kemampuan menguasai berbagai simpul akhirnya dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dengan P3K dasar, maupun berbagai upaya menyangkut hidup sehat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-8DpH8r5lxzU/Vv4bGIGWeFI/AAAAAAAACa8/P1kfNfUT-YoOpKS8nQ7B6fwXIsfnTJL6w/s1600/Logo%2B%2BGerakan_Pramuka.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://2.bp.blogspot.com/-8DpH8r5lxzU/Vv4bGIGWeFI/AAAAAAAACa8/P1kfNfUT-YoOpKS8nQ7B6fwXIsfnTJL6w/s200/Logo%2B%2BGerakan_Pramuka.png" width="200" /></a></div>
<b>CTL dalam Pramuka</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika dilihat secara substansial - apa yang ada dalam CTL telah diterapkan pada Kepramukaan. Tentu penerapan tersebut harus dilihat dari sisi tingkatannya dalam Pramuka itu sendiri. Hal yang perlu diperdalam dan dikembangkan adalah, bagaimana proses belajar mengajar dilakukan untuk mendorong terjadinya penemuan-penemuan pengetahuan baru dari pengetahuan yang sudah ada. Selanjutnya memaknai pengetahuan secara substansial dan mempraktikan dalam kehidupan nyata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pembina Pramuka, bagaimana mensistematisasi proses belajar mengajar. Pembina Pramuka dengan fungsi fasilitator dan memiliki agenda untuk mencapai sebuah tujuan, hasil dan capaian yang jelas dan terukur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Prinsip-prinsip CTL yang didasarkan atas pengetahuan diperoleh bukan didasarkan atas informasi yang didapat, tapi lebih diperoleh dari sebuah porses menemukan dan merekonstuksikannya sendiri. Informasi yang diterima, hanya sebuah media awal yang mengantarkan, apakah akan menjadi sebuah pengetahuan atau tidak. Pendapat ini bisa saja berbeda dari sudut pandang yang lain. seperti Pengetahuan terbentuk dari faktor luar dan dalam. artinya, informasi disini telah dipehami sebagai sebuah pengetahuan. Dan menjadi pengetahuan yang sempurna saat terjadi rekonstruksi dari diri orang tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berkaca dari proses pembelajaran pada kegiatan Pramuka, tentu banyak sekali informasi-informasi atau bisa dikatakan pengetahuan yang diberikan. Pengetahuan yang diberikan yang bersumber dari luar. Seperti pengetahuan tentang berbagai sandi; sandi morse, smapur, rumput dll, tali temali, P3K dll. Dianggap dari luar, karena pengetahuan tersebut telah ada dan berkembang dan memiliki pakem tersendiri - dan bukan berasal dari lokal. Berbagai sandi yang ada, berlaku untuk seluruh dunia. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kontek pendekatan CTL, pengetahuan apapun bentuknya, baik dari luar atau dalam - hal yang terpenting adalah bagaimana dapat direkonstruksi. Untuk sampai disana, tentu kita perlu meyakinkan diri - apa manfaat dari materi tersebut bagi diri orang yang mempelajari. atas kehidupan sehari-hari maupun pada waktu tertentu (bersifat khusus). Memahami tentang pentingnya materi bagi orang yang akan mempejari merupakan kata kunci. Sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih bergairah. Disinilah pentingnya Pembina atau narasumber memehami substansi pengajaran. Pemberian materi tidak saja hanya dibatasi oleh jadwal atau silabus - sehingga terjebak dengan pendekatan administtratif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
CTL juga dicirikan dengan proses pencarian dan penemuan melalui proses berpikir. Menemukan sebuah jawaban dan solusi dari sebuah masalah menjadi amat menantang dalam proses pembelajaran di Pramuka. Mendapatkan jawaban tidak harus melalui tanya jawab, tapi juga dapat dikemas dalam bentuk-bentuk lain yang menarik. seperti diskusi kelompok, permainan, roll play atau bahkan praktik-praktik yang menjadi ciri khas kegiatan Pramuka. Inkuiri (Inquiry) hanya sebuah gambaran sedangkan teknisnya menjadi tantangan bagi Pembina Pramuka untuk mengembangkannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masyarakat belajar (<i>Learning Community</i>) sebagai karakteristik lain dalam CTL telah ada dalam Pramuka. Melalui pembentukan regu, atau kegiatan yang mendorong antar regu untuk bekerjasama, metode masyarakat belajar telah ada. Pada banyak kegiatan, metode ini juga diperluas dengan praktik-praktik di masyarakat secara langsung. Dalam kontek pembelajaran - tentu ini menarik untuk dikembangkan berdasarkan prinsip TCL. Seperti bagaimana merekonstruksi pengetahuan untuk menemukenali pengetahuan secara substansif. Masyarakat belajar juga dapat menjadi bagian dari proses mengejarkan proses bermusyawarah dan pengambilan keputusan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedangkan praktik pemodelan telah menjadi bagian dari ciri khas dari kegiatan Pramuka. Dapat dikatakan, semua materi atau kegiatan Pramuka dikemas dalam bentuk modeling. Tantangan ke depan adalah - bagaimana modeling tersebut dikembangkan lebih lanjut untuk tujuan yang lebih nyata di masyarakat. Model kebun tanaman obat misalnya dapat dikembangkan dengan pemanfaatan pekarangan rumah sesuai dengan kontek lokal yang ada. Untuk perkotaan, model vertikal garden atau hidroponik mungkin menjadi pilihan. demikian juga dengan jenis tanaman yagn memang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Dan hal yang lebih penting, bagaimana mengolahnya untuk menjadi obat keluarga. Dan untuk menjadikan sebuah model, perlu juga dikenalkan bagaimana mendesign sebuah perencanaan berdasarkan hasil riset yang mencukupi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>PRB dalam Kegiatan PRAMUKA</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-0hD3AkuhSNw/Vv4b0Mpu-WI/AAAAAAAACbE/rg_Ci8e5GUwzuGFyFVEkdVnxlS9Bw5pnQ/s1600/PRAMUKA.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://4.bp.blogspot.com/-0hD3AkuhSNw/Vv4b0Mpu-WI/AAAAAAAACbE/rg_Ci8e5GUwzuGFyFVEkdVnxlS9Bw5pnQ/s200/PRAMUKA.jpg" width="144" /></a></div>
Jika memahami PRB sebagai paradigma dalam PB - dapat dikatakan seluruh kegiatan Pramuka adalah PRB. Karena PRB itu sendiri adalah sebuah konsep dalam penanggulangan bencana yang meliputi pra, saat dan paska bencana dengan menekankan pada pengurangan risiko. Mengurangi risiko, bisa terkait denga mengurangi tingkatan ancaman bencana, mengurangi kerentanan maupun meningkatkan kapasitas. Kita bisa lihat secara kasap mata, bahwa kegiatan Pramuka tidak lepas dari upaya peningkatan kapasitas individu pramuka itu sendiri, sehingga memiliki kemampuan lebih terhadap lingkungannya. Kegiatan pramuka juga mendorong untuk memunculkan cinta terhadap lingkungan dan alam sekitar, masyarakat maupun sistem kehidupan yang berkeadilan. Pada banyak kegiatan, Pramuka pun terlibat dalam upaya mitigasi bencana, seperti penanaman pohon, terlibat dalam pembuatan tanggul penahan longsor, atau membersihkan drainase serta bersih sampah.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-1g6PqCOv1jQ/Vv4d1YhWoHI/AAAAAAAACbQ/t0uVaIWA8sQY5d6bj4gXGuFnLQ2pSWLwQ/s1600/86740_large.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="199" src="https://1.bp.blogspot.com/-1g6PqCOv1jQ/Vv4d1YhWoHI/AAAAAAAACbQ/t0uVaIWA8sQY5d6bj4gXGuFnLQ2pSWLwQ/s320/86740_large.jpg" width="320" /></a></div>
Tidak jarang kita menyaksikan kelompok berseragam coklat muda dan tua terlibat dalam kegiatan tanggap darurat. dari mulai proses evakuasi, mengelola pengungsian maupun kegiatan pendidikan pada penduduk terkena bencana. So, tidak dapat dipungkiri - jika Pramuka telah menjadi bagian dari manajemen risiko bencana secara nyata.<br />
<br />
Salah satu karakteristik pengurangan risiko bencana adalah memahami risiko. Dan untuk paham atas risiko, baik yang didomunasi oleh ancaman, kerentanan maupun kapasitas - dibutuhkan pengkajian risiko bencana. Sebuah proses identifikasi secara cermat atas komponen dan indikator-indikator yang mempengaruhi risikonya. Mengidentifikasi tidak hanya sekedar tahu, tapi harus sampai pada tahap memahami yang selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan pola hubungan atau keterkaitan antar variabel yang ada.<br />
<br />
Disinilah urgensinya, saat kita berbicara tentang RPB, apakah kegiatan atau program kita telah ber - PRB ria? Dari sisi implementatif, bisa jadi telah masuk pada ranah PRB, yakni mengurangi risiko. Tapi sebagai konsepsi, nampaknya kita harus bersabar untuk melihat kembali - apakah kita telah betul ber PRB? dan yang paling sederhana dengan melakukan refleksi - apakah kita telah memahami risiko yang ada dari apa yang kita hendak kurangi? apakah upaya kita berkontribusi terhadap pengurangan risiko? apakah upaya kita tidak memunculkan risiko baru atau meningkatkan risiko dari ancaman bencana yang lain?<br />
<br />
Pada kontek teoritik, upaya-upaya meredam risiko dari ancaman yang ada dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat - sehingga terbentuk pola kehidupan adaptif atas ancaman dikenal dengan <i>copyng mechanism</i>. Upaya tersebut muncul karena sifat naluriah manusia atas kejadian atau situasi yang mengancam hidup dan kehupannya untuk tetap selamat dan terlindungi. sifat naluriah atau juga dikenal dengan insting juga terhadap pada seluruh mahluk hidup. Semut yang gelisah karena akan terjadi badai atau banjir, hewan liar yang turun dari hutan-hutan gunungapi menjelang erupsi atau burung yang melakukan migrasi saat pergantian musim adalah contoh kasus - bagaimana satwa liar mencari keselamatan untuk kehidupannya.<br />
<br />
<i>Copying Mechanism</i> adalah bentuk respon atas ancaman yang potensi bencana. Adanya kejadian yang berulang yang cenderung sama, mendorong manusia untuk melakukan penyesuaian. Seperti rumah panggung karena wilayahnya banjir atau masih terdapat satwa liar buas, mencari jenis padi yang lebih tahan terhadap genangan air, pola tanam tumpang sari dll. Copying mechanism juga kerap dianggap sebagai kearifan lokal jika telah berlangsung lama dan menjadi bagian dari sistem kehidupan masyarakat. Sedangkan penjabaran atas kearifan lokal dalam kontek keilmuan dikenal dengan pengetahuan lokal (<i>local knowledge</i>) - penulis tidak menyukai istilah pengetahuan tradisional (<i>traditional knowledge</i>) yang juga digunakan oleh beberapa pakar.<br />
<br />
Risiko bencana tidak terikat dengan ruang dan waktu. artinya, risiko bencana bersifat dinamis dan dapat berubah seiring dengan ruang atau waktu yang ada. Bencana pada sebuah wilayah bisa berbeda risiko/dampaknya karena perbedaan tingkat kerentanan dan kapasitas komunitasnya. Risiko sendiri dapat berbeda didasarkan atas waktu kejadiannya. Risiko akan tinggi jika terjadi pada saat komunitas lengah. Misalnya saat komunitas tidur (tengah malam), atau saat jam sibuk/kerja atau saat ada keramaian. Kejadian erupsi Merapi tahun 1994, dimana saat yang sama ada acara pernikahan menyebabkan korban menjadi lebih besar. Dan risiko bencana pun dapat berkurang seiring dengan terjadinya perubahan-perubahan yang mempengaruhi komponen risiko.<br />
<br />
Banyaknya komponen dan faktor yang mempengaruhi risiko bencana, menempatkan PRB sebagai konsep dari manajemen risiko bencana menempatkan kajian atas risiko sebagai hal yang krusial. Kajian yang harus mampu memahami faktor-faktor pembentuk dan penyebab dari risiko bencana. Tidak sekedar membuat kelas/tingkatan sebuah wilayah dengan katagori risiko tinggi, sedang atau rendah. Kondisi ini menempatkan, <i>copying mechanism</i> sebagai upaya penyesuaianan perlu diperkuat dengan upaya lain, yakni mengenai risiko bencana, baik dari sisi ancaman, kerentanan maupun kapasitas untuk dapat dikatakan sebagai bagian dari PRB.<br />
<br />
Kontek yang sama pada kegiatan atau aktifas Pramuka. Sekalipun secara implementatif telah memasuki ranah manajemen risiko bencana, namun untuk dikatakan telah ber PRB, tentunya membutuhkan sebuah refleksi mendasar. Apakah kegiatan yang telah dilakukan tersebut telah berdasarkan atas pemahaman risiko bencana yang ada? Jika belum - maka Pramuka perlu melengkapinya dengan mendalami komponen-komponen risiko yang akan diintervensi.<br />
<br />
Kajian Risiko Bencana (KRB) sebagai alat, tentu memiliki keleluasan dalam menentukan metode dan pendekatan. Prinsip KRB harus mampu mengetahui faktor pembentuk dan penyebab risiko lah yang menempatkan KRB dapat dioperasionalkan. KRB dapat dilakukan dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Rumusan R = H*V/C telah disepakati bukan rumus matematis. Tapi lebih sebagai formula untuk melihat pola hubungan antar komponen dari masing-masing variabel dalam membentuk risiko bencana. Sedangkan dari sisi pendekatan - partisipatif atau melibatkan para pihak telah menjadi bagian tidak tidak terpisahkan dari KRB. Ini tidak terlepas dari kebutuhan multi disiplin ilmu serta keterlibatan multi pihak untuk terlibat dalam mengelola risiko bencana yang ada.<br />
<br />
Pramuka sebagai bagian dari komponen bangsa, menjadi tertantang tentunya untuk terlibat dalam PRB dari sisi yang paling mendasar. Memahami tentang bagaimana KRB dilakukan dan mampu memfasilitasi masyarakat dalam melakukan KRB. Hasil kajian ini tentu akan menjadi dasar berbagai upaya yang dilakukan dalam penanggulangan bencana.<br />
<br />
Aktifitas Pramuka yang dilakukan dengan cara riang gembira - tentu menjadi tantangan lain. bagaimana metode KRB dapat dikemas secara asyik dan tidak melelahkan. sebalinya menjadi bagian dari proses pembelajaran yang menyenangkan. Dan jika KRB telah menjadi bagian dari aktifas PRB pada Gerakan Pramuka, tentu aktifias lain terkait PB merupakan bagian tidak terpisahkan sebagai upaya PRB. PRB sebagai paradigma PB.</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-58562814022281428182016-03-30T09:44:00.000+07:002016-03-30T09:46:40.406+07:00CONTEXTUAL TEACHING AND LEARING DALAM PRB<div style="text-align: center;">
Pagi yang cerah... teringat permintaan Om Agus Bengkulu (FPRB Bengkulu) untuk minta refrensi tentang laporan pembelajaran. Melalui sohib yang baik hati, Om Google, coba mencari2 materi terkait. Sampailah ke halaman Blog Ahmad Archery yang menyuguhkan <i>Contextual Teaching and Learing</i> (TCL) - (http://ahmadarchery.blogspot.co.id/2014/04/contoh-laporan-analisis-pembelajaran.html). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif; font-size: x-large;"><b>S</b></span>angat menarik ulasan yang disuguhkan sekalipun dalam bentuk laporan. Pikiran pun menerawang kepada Sekolah/Madrasah Aman yang sedang didorong segenap Ornop dan mendapatkan respon positif dari BNPB dan Kemendikbud. Juga inisiasi yang mendorong API PRB untuk menjadi bagian materi dalam Gerakan Pramuka Indonesia. Sebuah pengembangan dari inisiatif di tingkat Global Kepanduan Internasional untuk membuat Bedge atau Tanda Kecakapan untuk isu perubahan iklim. Dengan judul <b><i>Climate Change Challange Challange Badge</i></b>, FAO sebagai salah satu unit di PBB menjadi lembaga yang akan mengembangkan di dunia. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
TCL menjadi menarik ketika pendekatan yang ditawarkan adalah sebuah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh. Siswa didorong untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mampu menerapkannya dalam kehidupan mereka. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada masa penulis sekolah, jadi teringat pendekatan yang mulai diperkenalkan saat itu dengan judul CBSA (Cara belajar siswa aktif). Ya, itu kurang lebih 30an tahun yang lalu. Dan masih teringat dengan lekat, bagaimana kegagapan guru-guru untuk menerapkan perubahan kebijakan pendidikan yang sebelumnya cenderung satu arah. Namun jika dicermati, CBSA sebagai pendekatan baru pada dasarnya tidak lah baru. Karena di luar jam sekolah, Guru-guru kami melakukan dialog dengan siswa secara bebas. Tidak jarang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk mendapatkan jawaban secara mandiri. Tentu di luar materi sekolah. Dan jika ditelisik lebih jauh - proses belajar yang mungkin dianggap bukan menjadi bagian pelajaran di sekolah lebih dapat diterima. Misalnya, Guru meminta siswa untuk membawa tanaman dari rumah untuk ditanam di sekolah. Jika menjadi tugas sekolah, maka permintaan itu sekedar membawa jenis tanaman tertentu dan segera ditanam di depan kelas. Berbeda saat guru melepaskan diri dari tuntutan pelajaran. Guru kami akan meminta juga mempelajari bagaimana tanaman tersebut tumbuh, bagaimana merawatnya juga manfaat dari tanaman tersebut. sehingga terjadi dialog yang lebih konstruktif dari permintaan membawa tanaman. Dan ini yang kami rasakan sebagai CBSA yang sesungghnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam Blognya yang diambil dari Laporan Observasi Lapangan yang dilakukan di SD Pancasila Lembang, Ahmad S.Pd, M. Pd menekankan tiga hal yang perlu dipahami dari konsep CTL. </div>
<div style="text-align: justify;">
<b><i>Pertama</i></b>, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan siswa hanya menerima pelajaran saja, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b><i>Kedua</i></b>, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b><i>Ketiga</i></b>, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapa memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br />
Karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.</div>
<div style="text-align: justify;">
<ol>
<li>Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (<i>activiting knowledge</i>).</li>
<li>Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (<i>acquiring knowledge</i>).</li>
<li>Pemahaman pengetahuan (<i>understanding knowledge</i>).</li>
<li>Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (<i>applying knowledge</i>).</li>
<li>Melakukan refleksi (<i>reflecting knowledge</i>) terhadap strategi pengembangan pengetahuan</li>
</ol>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lebih lanjut, Ahmad menjelaskan tentang prinsip-prinsip dalam CTL. Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain termasuk guru, akan tetapi dari proses menemukan dan mengkonstruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segal keunikannya. Siswa adalah organisme yang aktif yang memiliki potensi untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberik kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih bermakan bagi kehidupan mereka.</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<ol>
<li><b>Konstruktivisme (<i>Constructivism</i>)</b>. Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut.</li>
<li><b>Inkuiri (<i>inquiry</i>)</b>. Proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang dihafalkan oleh siswa, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.</li>
<li><b>Bertanya (<i>Questioning</i>)</b>. Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam pembelajaran CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.</li>
<li><b>Masyarakat Belajar (<i>Learning Community</i>)</b>. Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.</li>
<li><b>Pemodelan (<i>Modelling</i>)</b>. Yang dimaksud dengan asas modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya, guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing.</li>
<li><b>Refleksi (<i>Reflection</i>)</b>. Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.</li>
<li><b>Penilaian Nyata (<i>Authentic Assesment</i>)</b>. Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan, baik intelektual maupun mental siswa</li>
</ol>
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari bacaan sekilas dari beberapa refrensi setelah dipicu oleh eprkenalan TCL melalui Blog Ahmadarchery.blogsppot.co.id ini, pikiran liar pun mulai menusuk2 kepala. Bagaimana jika diterapkan dalam praktik sekolah/madrasah aman. Bagaimana juga jika diterapkan pada insiatif API dalam Gerakan Pramuka Indonesia?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Sekolah/Madrasah Aman</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk mewujudkan sekolah aman, terdapat tiga pilar sebagai penyangganya; <b><i>pilar satu;</i></b> fasilitas sekolah aman, <b><i>pilar dua; </i></b>manajemen (risiko) bencana di sekolah dan <b><i>pilar tiga;</i></b> pendidikan pecegahan dan PRB di sekolah. Sekalipun terlihat, hanya pada pilar 3 kontek TCL dapat diterapkan, pada tataran proses - pilar 1 dan 2 sangat mungkin untuk dilakukan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tujuh prinsip yang ada, ideal untuk diterapkan dalam operasional sekolah/madrasah aman. Prinsip Konstruksi misalnya - dapat memadukan ketiga pilar dalam satu kesatuan yang dipelajari oleh siswa melalui pengalaman. Pengetahuan yang diperoleh dikonstruksikan melalui pengalaman langsung. Untuk memenuhi pilar satu, siswa dapat mulai diajarkan tentang berbagai jenis ancaman bencana yang berdampak pada fasilitas sekolah. Selanjutnya, siswa dapat secara langsung melakukan obervasi terhadap fasilitas-fasilitas sekolahnya terkait dengan ancaman. Fasilitas sekolah aman dapat dimulai dari bangunan, halaman sekolah, sarana dan prasana umum yang ada maupun yang bersifat khusus. Selanjutnya, siswa dapat mulai diajak berdialog dalam kontek pengalaman, baik yang bersifat langsung maupun yang bersifat reflektif <i>imaginative</i>. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tantangan bagi orang dewasa adalah menempatkan siswa tidak memiliki kemampuan atau pengetahuan. Realitasnya, setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang dapat dikembangkan. Memberikan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman akan mendorong proses penyerapan untuk selanjutnya memudahkan siswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan hasil analisisnya dari olah pengetahuan dan pengalaman yang ada.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada pilar dua terkait manajemen sekolah aman, siswa dapat terlibat aktif baik dalam proses identifikasi kebutuhan maupun proses verifikasi, jika manajemen yang disusun sesuai dengan kebutuhan siswa. Bahkan, siswa pun melalui proses yang disesuaikan metode dan pendekatannya - dapat secara aktif dalam proses penyusunan manajemen sekolah. peran masing-masing aktor misalnya, dapat didialogkan secara terbuka dengan para siswa. Apa tugas kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, orang tua siswa maupun masyarakat sekitar sekolah sebagai bagian dari warga sekolah. Proses yang melibatkan secara langsung siswa sebagai bagian dari kelompok sasaran dari sekolah/madrasah aman tentu menjadi bagian dari pengetahuan sekaligus pengalaman yang dapat menjadi bagian membentuk sikap dan tindakan siswa itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Prinsip-prinsip lain seperti inkuiri atau berpikir secara sistematis untuk menemukenali materi maupun jawaban dari berbagai permasalahan yang ada. Tiga pilar yang menjadi sangga sekolah aman menjadi tantangan tersendiri dalam TCL. Bagaimana siswa turut terlibat dalam pilar satu, pilar dua maupun pilar 3. Pada pilar satu, siswa sudah bisa mulai mencari jalan keluar saat fasilitas sekolah terbatas dalam mensikapi ancaman bencana. Pada ancaman banjir misalnya, bagaimana siswa diajak berpikir secara sistematis memenuhi kebutuhan untuk keselamatan diri. Jika sekolah tidak memiliki alat keselamatan berupa perahu karet, pelampung atau bahkan tempat aman - maka siswa mulai diajak untuk mencari alternatif - bagaimana melindungi dan menyelamatkan diri. Bahkan pada banyak kasus - tidak jarang siswa menemukan solusi dengan menggunakan kekuatan jaringan yang dimiliki orang tuanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bertanya dan mendapatkan atau menemukan jawaban adalah hal mutlak dalam proses pembelajaran. mendapatkan atau menemukan jawaban dapat dilakukan dengan banyak cara. Pada kontek masyarakat perkotaan, dimana hubungan anak dan keluarga cenderung terbatas, maka prinsip bertanya menjadi salah satu alat perekat hubungan anak dengan keluarganya. Buatlah pertanyaan-pertanyaan untuk menjadi bahan dialog dengan kaluarga. Dalam kontek sekolah aman, pertanyaan-pertanyaan yang dicarikan jawabannya melalui proses dialog keluarga menjadi sangat krusial. Jika dikatikan dengan prinsip inkuiri, jawabab-jawaban yang ada, dapat menjadi salah satu dasar dalam menerapkan dan mengembangkan pilar dua maupun pilar tiga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masyarakat belajar - melaui proses diskusi kelompok, baik antar siswa maupun dengan melibatkan kelompok lain, menjadi media yang mempu mempercepat proses transformasi pemikiran dan tindakan bagi siswa. pertukaran informasi, pengetahuan maupun pengalaman serta membiasakan diri untuk bertukar pendapat, menghargai pendapat orang lain serta memutuskan secara bersama adalah proses pembelajaran luar biasa dalam menyiapkan diri terjun pada realitas sosial.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Simulasi atau praktik lapang adalah cara ideal untuk menunjukan secara langsung, bagaimana sebuah hasil pembelajaran atau sebuah teori dipraktikan. Simulasi tidak hanya sekedar untuk kepentingan pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Dalam kontek manajemen risiko bencana, simulasi adalah sebagai upaya membiasakan diri. Dalam kontek darurat, kapanikan adalah salah satu musuh utama yang dapat menjerumuskan seseorang celaka, bahkan dapat berujung pada kematian. Membiasakan diri untuk bertindak sesuai dengan langkah-langkah agar tetap aman akan meredam rasa panik yang mungkin timbul saat kondisi darurat terjadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Refleksi adalah sebuah proses yang harus dilakukan secara terus menerus. Refleksi yang dapat diartikan sebagai pemantauan atau evaluasi tidak harus diterjamahkan secara formal. Dalam kontek sekolah aman yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam alur kehidupan, refleksi atas proses yang dilakukan tentu menjadi kebutuhan secara terus menerus. Melihat secara serius, bagaimana proses dan capaian dapat dihasilkan. bagaimana pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan maupun keberlanjutan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penerapan sekolah/mandarasah aman, tidak harus menyediakan waktu khusus. Apalagi kurikulum baru yang mungkin akan menambah beban bagi guru dan siswa. Sekolah aman lebih awal perlu ditetapkan dulu sebagai kebutuhan. Sebagaimana kebutuhan guru atas fasilitas belajar mengajar. Guru atau kepala sekolah tentu akan berjuang sekuat tenaga jika sekolah tidak memiliki cukup papan tulis atau alat tulis. Juga akan berupaya sekuat tenaga jika ruang kelas tidak mencukup sesuai dengan kebutuhan siswa. Kondisi yang sama akan terjadi pada kebutuhan penerapan sekolah aman. Seberapa besar warga sekolah menempatkan terlindungi dan terselamatkan dari bencana sebagai prioritas atau menjadi bagian dari kebutuhan mendasar?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Next catatan - akan menuliskan tentang CTL dalam kontek Gerakan Pramuka Indonesia</i></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-46473993586198734732016-03-30T01:31:00.000+07:002016-03-30T01:31:11.320+07:00FUNGSI EKOLOGIS DAN RISIKO BENCANAFungsi ekologis memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk risiko bencana. Fungsi tersebut dapat terkait erat dengan membentuk atau penyebab ancaman bencana, kerentanan maupun kapasitas. Sayangnya, komponen ini masih belum dijadikan sebagai salah satu yang menentukan tingkat risiko bencana. <span class="fullpost">
</span><br />
<div>
<br /></div>
<div>
Mempertimbangkan fungsi ekologis dalam menentukan risiko bencana, sekalipun dianggap penting, namun nampaknya masih enggan untuk didalami kemungkinan menjadi bagian dalam pengkajian risiko bencana. Keengganan tersebut, bisa jadi karena adanya kerumitan-kerumitan yang akan dihadapi dari metode yang berkemang saat ini. Bisa dibayangkan, bagaimana risiko banjir misalnya harus juga menghitung fungsi hutan dari sisi daya dukung menangkap, menyimpan atau menahan air hujan. selain indikator yang saat ini digunakan berupa tutupan lahan, kemiringan, jenis tanah, bentuk sungai dll. dan dalam menentukan kemampuan hutan (tidak sekedar tutupan lahan), juga akan dipertimbangkan jenis-jenis tanaman yang ada, bagaimana pola pengelolaan hutan, tingkat kerusakan dll.</div>
<div>
<a name='more'></a></div>
<div>
Kerumitan yang akan dihadapi sejatinya bukan berarti hambatan tanpa jalan keluar. Pentingnya fungsi ekologis menjadi bagian untuk dimasukan dalam menentukan kelas risiko bencana perlu dilihat sebagai jalan memperkuat komunikasi dan koordinasi antar bidang. Karena penilaian fungsi ekologis sendiri pada bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup bukan lah hal baru. para pakar lingkungan di Indonesia telah cukup banyak yang mampu melakukan kajian fungsi ekologis kawasan. Baik menghitung daya dukung lingkungan secara umum maupun secara spesifik. misalnya seberapa besar kawasan karst mampu menyimpan air dari curah hujan tahunan. atau seberapa besar kemampuan hutan mampu menyimpan dan menahan air hujan pertahun. Demikian juga para pakar gambut yang telah mempu menghitung volume air yang tersimpan atau kemampuannya dalam menstabilkan siklus hidrologis.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Telah adanya para pakar lingkungan, yang sebagian telah menjadi bagian dari komunitas pengurangan risiko bencana, menjadi peluang untuk mengembangkan metode kajian risiko bencana yang saat ini ada. Sehingga, saat kejadian bencana seperti banjir atau longsor - tidak ada lagi upaya pengkambing hitaman terhadap sesuatu yang absur. Seperti menempatkan "kesalahan" pada curah hujan yang di atas normal, sungai yang rusak, hutan yang beralih fungsi dll. Tanpa kita tahu pasti, seberapa besar fungsi ekologis tersebut mampu mengimbangi komponen lain dari pembentuk risiko.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hal yang krusial dari dimasukannya fungsi ekologis sebagai bagian dari komponen atau indikator risiko bencana adalah upaya yang perlu dilakukan dalam meredam risiko bencana yang ada. Kebijakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian kajian risiko bencana menjadi lebih tepat sasaran. Karena faktor pembentuk dan penyebab risiko telah diketahui dari sisi ekologis. Dan rekomendasi untuk tidak mengurangi atau bahkan menghilangkan fungsi ekologis menjadi lebih kuat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kasus pertambangan karst untuk memenuhi kebutuhan pabrik semen adalah salah yang perlu menjadi pembelajaran bersama. Seberapa besar kelas/tingkatan risiko bencana yang ada berpengaruh jika bentang alam karst tersebut dieksploitasi. Risiko bencana tidak hanya dilihat dari sisi ancaman, tapi juga variabel lain berupa kerentanan dan kapasitas sebagai penentu tingkat risiko bencana. Hilangnya sumber air, baik untuk kebutuhan pertanian maupun kebutuhan pokok tentu akan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. ketersediaan ini jelas akan berpengaruh terhadap aspek kerentanan. Sementara, karst yang memiliki fungsi menyimpan air hujan dan bahkan mampu mereduksi gas rumah kaca (dalam kontek perubahan iklim), akan berpengaruh terhadap ancaman bencana, baik berupa banjir maupun kekeringan. terbukanya kawasan, juga akan berpengaruh terhadap pembentukan angin puting beliung. Jika kawasan tersebut berpotensi terhadapa gempa bumi, eksploitasi kawasan, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap besaran MMI (daya rusak dari gempa) atau bisa jadi berpengaruh terhadap aktifasi pergerakan sesar (tentu perlu ada penelitian lebih lanjut, seberapa besar pengaruh pertambangan terhadap aktifasi sesar atau lempeng bumi).</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pada kasus alih fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan skala besar, atau kawasan lainnya - tentu berdampak besar bagi risiko bencana. Secara teori sederhana dan telah terbukti dari berbagai kejadian bencana - bahwa banjir menjadi lebih sering, lebih besar dan lebih memeikan dibandingkan sebelum hutan tersebut di konversi. Aceh, kalimantan timur, kalimantan selatan, Jambi, Sumsel, dan Sumbar adalah daerah-daerah yang telah merasakan, bagaimana dampak konversi hutan meningkatkan kejadian bencana di wilayahnya. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dan hal yang belum menjadi bagian dari isu manajemen risiko bencana adalah konflik satwa dengan manusia. Satwa liar yang memasuki kampung dan merusak, kerap menjadi dilema tersediri. Satwa dalam katagori dilindung dan terancam punah seperti Gajah atau Harimau, menjadikan warga masyarakat harus pasrah menerika dampak negatif. Mereka tidak punya pilihan. Jika harus melawan pun - ada hukum yang menanti karena dianggap membunuh satwa yang dilindungi Undang-undang. Sementara, kerusakan yang ditimbulkan dianggap konsekwensi yagn harus diterima karan pemukimannya berada ditepian hutan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kerap menjadi pertanyaan adalah, bagaimana satwa tersebut memasuki perkampungan masyarakat? Jawaban hampir dapat dipastikan - karena habitat satwa tersebut telah rusak. artinya, konflik satwa liar yang menyebabkan gangguan bagi kehidupan, menyebabkan kerugian serta masyarakat tidak mampu mengatasi dengan sumberdaya yang mereka miliki (telah dianggap bencana jika merujuk pada terminologi bencana - UNISDR) adalah terkait dengan fungsi ekologis.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tantangan dalam menempatkan fungsi ekologis dalam menentukan risiko bencana bukan saja pada komunitas PRB yang saat ini mengembangkan metode pengkajian risiko bencana, tapi juga bagi komunitas lain yang memiliki keterkaitan erat. Komunitas lingkungan, masyarakat adat, yang bergerak pada isu pembangunan berkelanjutan atau isu-isu spesifik seperti anak, gender atau lainnya. Artinya, tantangan ini diperuntukan bagi seluruh kalangan untuk bersama-sama berkontribusi mendorong fungsi ekologis menjadi bagian dalam menetukan tingkat risiko bencana. Dan pada tataran pemerintahan, tentu ini menjadi peluang mensinergiskan tugas dan fungsi pada kementeriannya. seperti BNPB, KLHK, KKP, ESDM, Kementerian ATP, Kemendagri, Bappenas dll.</div>
<div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-2627463061122275532016-03-24T14:58:00.002+07:002016-03-24T14:58:41.563+07:00RENCANA KONTIJENSI KOMUNITAS<i>catatan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya. yang akan membuat tentang apa dan bagaimana rencana kontijensi yang disusun untuk kesiapsiagaan komunitas..</i><span class="fullpost">
</span><br />
<div>
<br /></div>
<div>
Pada dasarnya, rencana kontijensi yang disusun ditingkat komunitas tidak berbeda secara prinsip dengan rencana kontijensi (renkon) pada level Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Nasional. Sebuah rencana yang disusun untuk situasi tak terduga (bencana) untuk memobilisasi sumberdaya yang telah disiapkan secara sistematis, cepat dan tepat. sehingga dampak bencana yang ditimbulkan dapat ditekan semaksimal mungkin untuk mengurangi risiko bencana yang ada. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Renkon pada tingkat komunitas merupakan gambaran riil, bagaimana pengurangan risiko bencana (PRB) dioperasionalkan dalam bentuk manajemen risiko bencana. Renkon sebagai sebuah proses membangun kesiapsiagaan komunitas, merupakan jauh lebih penting. dari mulai membangun komitmen dan kesepakatan para pihak, mengidentifikasi risiko, memetakan kebutuhan, ketersediaan dan kesenjangan maupun menyiapkan strategi dan rencana operasionalnya. Dokumen Renkon akan menjadi bagian penting untuk para pihak ingat apa saja komintmen dan tanggung jawab saat kondisi tak terduga (bencana) terjadi. Dan sebuah regulasi, apapun bentuknya akan memperkuat secara keseluruhan dari proses dan kesepakatan yang telah dibuat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>Renkon Komunitas Sebagai Cermin PRB</b></div>
<div>
Sekalipun Renkon hanya bagian kecil dari manajemen risiko bencana yang dibutuhkan ditingkat komunitas, namun dapat menjadi salah satu indikator - bagaimana PRB telah menjadi bagian dari budaya di Masyarakat. Renkon sebagai bagian dari indikator tentu tidak hanya dilihat dari keberadaan dan bentuk dokumen yang dihasilkan. Dari seberapa tebal atau bagusnya design dokumen tersebut. Atau dari keberadaan regulasi seperti Peraturan Desa atau sejenisnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Renkon komunitas sebagai cermin dan budaya PRB dapat dilihat dari seberapa besar komunitas maupun para pihak menempatkan tujuan, fungsi dan peran dari Renkon itu sendiri. Menempatkannya sebagai sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari kebutuhan untuk mengurangi dampak bencana yang akan dihadapi dan diterima oleh komunitas sendiri. Kesadaran akan risiko diri dan adanya komitmen untuk mengatasi merupakan dasar proses penyusunan Renkon. Tanpa kesadaran atas bahaya dan upaya diri dan komunitas untuk mengatasi ancaman tersebut - proses Renkon sebaiknya ditunda atau tidak dilakukan. Namun bukan berarti proses untuk penyusunan renkon menjadi tidak layak atau tidak perlu dilakukan. Tapi fokus kegiatan atau program - lebih diprioritaskan pada membangun kesadaran kritis komunitas itu sendiri. Rekayasa sosial diperlukan pada komunitas yang tidak menempatkan ancaman bencana sebagai masalah - karena akan diselesaikan oleh orang atau pihak luar.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Banyaknya dokumen Renkon yang tidak operasional (tidak menjadi acuan saat dibutuhkan) - sebagian besar karena terlewatkannya tahapan krusial ini. Banyak faktor yang menyebabkan proses ini terlewatkan. Namun sebagian besar dikarenakan adanya target project yang dibatasi oleh waktu. Persoalan muncul saat penyusunan perencanaan untuk menyusun renkon, perencana tidak paham akan esensi dari renkon. Otak project hanya menempatkan kesuksesan sebuah kegiatan ditandai dengan adanya dokumen Renkon, foto-foto kegiatan, absensi peserta penyusun, atau besaran serapan anggaran sesuai dengan yang direncanakan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Terminologi Bencana yang dirumuskan oleh UN ISDR (2004), dimana sebuah kondisi atau kejadian dapat disebut bencana dengan menempatkan kemampuan dan sumberdaya komunitias dalam mengatasi dampak yang ada. Kondisi atau kejadian yang menyebabkan ketergangguan dan merugikan dapat ditutupi untuk tidak menjadi BENCANA, jika komunitas terkena dampak mampu mengatasinya. Baik dalam proses tanggap darurat, bantuan darurat, pemulihan maupun rehabilitasi dan rekonstruksi. Kondisi ini juga menunjukan, bagaimana upaya pra bencana, baik upaya preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan menjadi kunci terhadap kemampuan komunitas dalam menghadapi ancaman bencana yang ada.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Terbangunnya kesadaran kritis atas ancaman dan dampak yang ditimbulkan serta keharusan semua penduduk terkena dampak untuk berbuat dalam kerengkan mengurangi risiko - menjadi dasar tindakan lebih lanjut. Baik proses mengidentifikasi risiko bencana lebih spesifik, baik terkait ancaman bencana (karakteristik, besaran, luasan, durasi, atau perulangan kejadian), kerentanan (aspek manusia, sosial budaya, ekonomi, infrastrutur dan lingkungan) maupun kapasitas. Proses analisis risiko dapat menjadi bagian dalam mengidentifikasi potensi dan sumberdaya yang dibutuhkan maupun yang tersedia di tingkat lokal dalam menghadapi ancaman bencana. </div>
<div>
</div>
<div>
Serangkaian pengalaman komunitas dalam mensikapi bencana yang ada, merupakan media pembelajaran untuk mendapatkan berbagai gagasan dan inovasi dalam penanggulangan tanggap darurat. Apa yang sudah dilakukan dan bagaimana hasilnya dapat menjadi media pembelajaran bersama. selanjutnya dapat mulai menggali apa saja rencana yang telah disiapkan namun belum dapat dilakukan. Dialog menggali, bagaimana rencana yang ada mempengaruhi terhadap pengurangan dampak atau risiko menjadi point penting sebelum mendialogkan - kenapa rencana tersebut tidak atau belum dapat dilakukan. Pengalaman dan rencana yang telah ada, lebih lanjut dapat menjadi warna saat didapatkan hasil kajian risiko bencana yang menunjukan kelas risiko pada wilayah komunitas.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Terbangunnya kekuatan kolektif komunitas dalam mensikapi dan berkomitmen untuk mengelola risiko bencana adalah wujud kongkrit - bagaimana PRB diaktualisasikan. Prinsip lain yang harus melengkapi cara pandang (paradigma) PRB dalam PB adalah Renkon tidak memunculkan implikasi terhadap sektor atau risiko bencana lainnya. Implikasi ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, Seperti Renkon yang dibuat dan disepakati, menyebabkan fungsi fasilitas publik tidak berjalan sebagaimana fungsinya. Seperti Gedung Sekolah yang dijadikan tempat pengungsian, Puskesmas tidak berjalan karena tenaga kesehatan lebih diarahkan melayani tempat-tempat pengungsian atau bentuk lainnya. Memunculkan risiko baru dapat terjadi jika Renkon tidak mempertimbangkan risiko bencana baru. seperti kemungkinan terjadinya wabah penyakit, konflik sosial, kebakaran dll.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kondisi ini menunjukan - penyusunan Renkon tidak lah sederhana. Keterlibatan para pihak serta orang yang memiliki kemampuan dalam manajemen risiko bencana menjadi sangat penting. Paling tidak, dibutuhkan fasilitator yang memiliki kemampuan tidak saja teknik fasilitasi, tapi juga memahami konsepsi PRB - selain teknis Renkon. Pada bebarapa kasus, kemungkinan dibutuhkan narasumber sebagai bagian dari proses peningkatan kapasitas.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Konsep strategis (<i>Strategic concept</i>) penyusunan Renkon menjadi salah satu media penting penyamaan persepsi para pihak atas Renkon. Sebagai dokumen bersama - para pihak perlu satu persepsi, tujuan dan memahami seluruh proses serta kerja-kerja yang akan dilakukan dalam penyusunan Renkon. Gambaran menyeluruh tentang proses Renkon yang akan dilakukan - menjadikan para pihak dapat mengalokasikan waktu, tenaga maupun bentuk lainnya terlibat dalam proses penyusunan Renkon.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pengalaman proses penyusunan Renkon untuk kelurahan di DKI Jakarta, dibutuhkan panduan untuk fasilitator yang mendapatkan mandat mempermudah proses penyusunan Renkon. Panduan dapat menjadi acuan bagi fasilitator dalam menyiapkan maupun apa yang perlu dilakukan dalam proses penyusunan Renkon. Sebagai panduan - tentu tidak bersifat baku. karena dinamika setiap tempat tentu memiliki karakteristik berbeda antar satu dengan yang lain. Namun, prinsip-prinsip mendasar dari tahapan penyusunan Renkon relatif sama. Panduan Fasilitator untuk proses penyusunan Renkon, <a href="http://www.mediafire.com/download/t57rxbe3w4dag2c/panduan_renkon_jakarta.pdf" target="_blank">download disini</a></div>
<div>
<b><a name='more'></a><br /></b></div>
<div>
<b>Spesifikasi Renkon Komunitas</b></div>
<div>
Renkon yang disusun komunitas secara kedudukan berbeda dengan Renkon pada tingkat Kabupaten, Provinsi atau Nasional. Perbedaan mendasar adalah pada pengerahan sumberdaya, dimana pada tingkat komunitas tidak memiliki kekuatan komando yang mengikat. Operasional Renkon sangat ditentukan oleh seberapa besar komitmen awal tetap terjaga dan dapat dilakukan saat dibutuhkan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sebagai ciri khas PRB, Renkon komunitas pun harus mampu menunjukan pengelolaan sumberdaya lokal secara maksimal telah dilakukan. Kondisi ini mencermintkan, bagaimana proses penyadaran publik dan identifikasi kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya menjadi hal yang mendasar. Selanjutnya membangun kesepakatan alokasi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan. Kesenjangan yang teridentifikasi dari kebutuhan dan ketersediaan, menjadi agenda bersama di tingkat komunitas untuk memenuhinya. Analisis dampak tidak terpenuhinya sumberdaya yang dibutuhkan - dapat menjadi landasan kerja bersama untuk memastikan kebutuhan yang belum tersedia dapat tersedia saat dibutuhkan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Karena pemenuhan berbagai kebutuhan terletak pada level komunitas, maka pemetaan ketersediaan sumberdaya menjadi penting untuk dilakukan. Identifikasi kebutuhan dapat mengacu pada standard minimum sebagaimana tertuang dalam Perka No 7/2008 atau standard minimum yang ada pada SPHERE Project. Untuk menghitung kebutuhan, tentunya dibutuhkan data dan informasi berapa luas dan lama bencana terjadi, berapa jumlah penduduk terpapar dan perkiraan jumlah pengungsi secara detil. Dari mulai kelompok rentan, komposisi jenis kelamin, sebaran tempat pengungsian dll. Untuk itulah, Renkon membutuhkan kajian risiko bencana pada jenis ancaman yang akan disusun Renkonnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Renkon akan mudah dioperasionalkan jika data dan informasi serta analisis dilakukan dengan cermat. Namun sebelumnya, perlu upaya memenuhi berbagai kebutuhan yang harus ada agar renkon dapat berjalan. seperti jalur, tanda dan tempat evakuasi telah ditetapkan, peringatan dini komunitas, tim siaga bencana (termasuk pembagian peran masing-masing bidang; tim evakuasi, tim kesehatan dll).</div>
<div>
dengan telah adanya berbagai kebutuhan yang menunjang Renkon, proses analisis dapat dilakukan dengan dikoordinir tim-tim yang mengetahui atau akan menjalankan fungsinya. Seperti, proses evakuasi, analisis situasi dan kondisi dari hasil kajian akan digawangi oleh tim Evakuasi atau tim SAR komunitas. Mereka akan dapat memberikan gambaran, apa saja kebutuhan untuk proses evakuasi. Pada kasus banjir, apakah dibutuhkan perahu karet. jenis seperti apa perahu yang sesuai dengan kondisi lokal, berapa jumlah dan berapa kebutuhan orang untuk proses evakuasi. Juga kebutuhan alat keselamatan bagi tim maupun bagi komunitas yang akan dievakuasi. Hal yang sama akan dilakukan tim logistik untuk menggalang bantuan atau sumberdaya yang dibutuhkan. Jalan mana yang dapat dilalui untuk sampai ke lokasi, dimana tempat menyimpan dan bagaimana pola distribusinya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tidak berjalannya Renkon ditingkat komunitas, umumnya karena disusun hanya oleh elit dan tidak tersosialisasikan kepada komunitas. Selain itu, Renkon kerap tidak dapat berjalan karena tidak adanya tanda untuk mengoperasionalkan Renkon menjadi Renops. disinilah letak pentingnya early warning sebagai tanda mengoperasionalkan Renkon dan menggerakan Sumberdaya yang dibutuhkan. Tidak harus semua sumberdaya dikerahkan secara serempak, tapi tetap didasarkan atas kebutuhan. Namun sumberdaya yang belum dimobilisasi - setelah peringatan dini dibunyikan - telah harus siapsiaga.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Renkon komunitas tidak memiliki kemampuan untuk meng-komando sumberdaya di luar komunitas. Seperti menggerakan medis, paramedis maupun kebutuhan obat-obatan dan abulan milik Puskesmas. sekalipun letak Puskesmas berada dilokasi komunitas. Demikian juga dengan Sumberdaya lain seperti untuk kebutuhan pengamanan (Polisi), Sekolah, maupun lembaga-lembaga lainnya. Untuk dapat menggerakan sumberdaya yang sangat dibutuhkan untuk menutup kesenjangan dari kebutuhan, komunitas dapat melakukan pendekatan dan membangun komitmen dan kerjasama yang mengikat. Apakah melalui MoU (memorandum of understanding) maupun bentuk lainnya. Namun yang perlu dipastikan adalah komitmen atau kerjasama tersebut dapat berjalan. Hal yang sama dapat dilakukan dengan pihak-pihak lain yang memiliki tupoksi dalam penanggulangan bencana. Seperti BPBD, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Damkar dll. Telah adanya proses analisis yang tertuang dalam dokumen Renkon, akan memudahkan lembaga-lembaga terkait untuk memenuhi kesenjangan dari kebutuhan yang ada. Dan dapat memberikan gambaran - kapan kebutuhan tersebut harus tersedia, dengan cara apa atau hal teknis lainnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Renkon komunitas secara gamblang harus menggambarkan kebutuhan dan ketersediaan yang dimiliki komunitas. Ketersediaan ini harus dilakukan secara maksimal. sehingga tidak memunculkan kesan, komunitas menggantungkan kebutuhan yang sebetulnya dapat disediakan oleh komunitas, tapi diminitakan kepada pihak luar. Seperti ketersediaan beras (atau jenis pangan) untuk 1 - 3 hari yang idealnya telah disiapkan oleh komunitas. Namun akan membutuhkan dukungan dari luar, jika bencana lebih dari 3 hari. Proses penyediaan kebutuhan dapat dilakukan secara kolektif pada tingkat RT atau RW. Demikian juga dengan kebutuhan alat keselamatan yang sederhana seperti ban dalam mobil, atau jaket keselamtan untuk jenis banjir. Senter, jas hujan, sepatu boots akan sangat lucu jika dimintakan kepada pihak luar. karena kebutuhan-kebutuhan yang melekat pada kebutuhan pribadi, idealnya telah menjadi bagian dari aset masyarakat itu sendiri untuk dimobilisasi dalam penanganan darurat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Banyaknya bantuan yang datang pada lokasi-lokasi bencana, sedikit banyak mempengaruhi pola ketangguhan komunitas. Apalagi televisi yang sedianya dapat membantu memperkuat ketangguhan komunitas, masih cenderung mencari berita yang sensasional. mencari titik terlemah sebagai komoditas berita. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pihak untuk mengembalikan agar masyarakat berdaya dan mandiri. Karena sudah menjadi konsekwensi logis, jika mereka harus siap siaga jika pemukiman mereka berada pada wilayah rawan atau berisiko - untuk menyesuaikan seluruh kehidupannya terhadap ancaman yang ada. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tanggung jawab Negara dalam penanggulangan bencana tidak hanya diartikan sempit. Dengan membebankan seluruh kebutuhan pengelolaan kepada pemerintah atau pemerintah daerah. Ada juga tanggung jawab yang melekat sebagai warga negara, selain hak mendapatkan perlindungan dan keselamatan serta hak terpenuhinya kebutuhan dasar sesuai standar minimum. Tanggung jawab komunitas salah satu bentuknya adalah membangun budaya aman. Menempatkan ancaman sebagai bagian dari kehidupannya. Hidup harmonis bersama ancaman menjadi kata kunci - bagaimana masyarakat menyesuaikan pola hidup dan penghidupan untuk tetep bermartabat sebagai umat manusia. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-32584050167792032032016-03-16T12:15:00.001+07:002016-03-16T14:34:05.689+07:00CONTINGENCY PLANNING<div style="text-align: center;">
<i><span style="font-size: x-small;">Paparan ini merupakan bagian dari proses penyusunan rencana kontijensi (contungency planning) komunitas tingkat kelurahan yang difasilitasi oleh BPBD DKI Jakarta tahun 2013 - 2014. Sebuah gagasan dalam membangun ketangguhan komunitas dalam menghadapi ancaman bencana banjir yang menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat DKI Jakarta. Kelompok masyarakat sipil berkolaborasi bersama BPBD DKI Jakarta dalam menyiapkan berbagai persiapan. Dari mulai training yang difasilitasi oleh MercyCorps Indonesia untuk Program Adaptasi Perubahan Iklim dan pengurangan Risiko Bencana untuk Ketangguhan (API Perubahan), Wahana Visi Indonesia, Child Fund, MPBI, Forum API PRB DKI Jakarta, Dompet Duafa, Bingkai Indonesia juga kelompok masyarakat Jelambar baru, Kedoya, Komunitas bantaran sungai Ciliwung dll.</span></i><br />
<i><br /></i>
<i><br /></i></div>
<div>
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-Zw63nxedyzg/VujpzxlZOoI/AAAAAAAACYw/dO6RtqH7PvsHan_OakncTgq8HG_Bb0N0w/s1600/Picture1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="130" src="https://1.bp.blogspot.com/-Zw63nxedyzg/VujpzxlZOoI/AAAAAAAACYw/dO6RtqH7PvsHan_OakncTgq8HG_Bb0N0w/s200/Picture1.jpg" width="200" /></a></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">J</span>akarta identif dengan banjir. Tidak satupun pimpinan daerah yang mampu menyelesaikan banjir secara tuntas. Sekalipun topik ini selalu diangkat dalam pemilu kepala daerah sebagai isu yang diharapkan mampu meraup suara. Sama halnya dengan kemacetan yang telah menjadi bagian tidak tidak terpisahkan dari kehidupan Ibu Kota Negara RI sekaligus pusat ekonomi, sosial - budaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya, Jakarta tidak akan betul-betul bebas bajir. Karena secara alamiah wilayahnya merupakan wilayah tampungan air. 13 sungai mengalir melewati wilayah Jakarta dan bermuara di laut jawa. Sungai Ciliwung dan Cisadane merupakan sungai besar yang berhulu di kawasan Jawa Barat. adanya aliran sungai besar ini lah justru menjadikan wilayah ini dipilih sebagai wilayah strategis yang menarik minat para pencari kehidupan material. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-wWoGjB-6WUw/VujrDxSYlOI/AAAAAAAACZA/H8bF37Sg55MEdWSPgMqVydpBwq8lXfqjw/s1600/unduhan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="232" src="https://1.bp.blogspot.com/-wWoGjB-6WUw/VujrDxSYlOI/AAAAAAAACZA/H8bF37Sg55MEdWSPgMqVydpBwq8lXfqjw/s400/unduhan.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Banjir Jakarta tempo dulu - sumber : Kaskus</i></td></tr>
</tbody></table>
Masa penjajahan Belanda, banjir telah menjadi permasalahan utama. kejadian banjir besar tercatat antara lain tahun 1621, 1654, 1873, dan 1918. Sedangkan banjir pada umumnya tetap berlaku pada wilayah bantaran sungai dan daerah cekungan sepanjang tahun. Namun, banjir yang tergolong besar 20 tahun terakhir dapat dilihat pada tahun 1996, 1999, 2002, 2007 dan 2012. Untuk itulah, dikenal pula siklus 5 tahunan untuk banjir besar Jakarta. Namun banjir yang terjadi tahun 2013 - 2014 nampaknya memutus persepsi banjir besar terjadi setiap lima tahunan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengurus banjir untuk wilayah Jakarta yang telah menjadi pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, telah diurus secara serius pada masa pemerintahan Belanda. Dibentuknya <i>Burgelijke Openhare Werken</i> tahun 1850an sebagai badan khusus mengurus banjir Jakarta adalah salah satu bukti keseriusan tersebut. Paska Banjir besar tahun 1918, upaya lebih komprehensif dilakukan. Banjir Kanal Barat yang dibangun tahun 1922 merupakan artefak hidup hasil kerja tim penyusun rencana pencegahan banjir yang dikepalai oleh Dr. Herman Van Breen (Mustafak, Tempo - 23 Februari 2005).<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-ZdQwVHwR3m0/Vujqw93OuiI/AAAAAAAACY8/7USuwoL_5Z8o1OMiCtTarDTkq-w9NjNmA/s1600/Picture4.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://1.bp.blogspot.com/-ZdQwVHwR3m0/Vujqw93OuiI/AAAAAAAACY8/7USuwoL_5Z8o1OMiCtTarDTkq-w9NjNmA/s200/Picture4.jpg" width="137" /></a></div>
Sampai saat ini, banjir yang masih terus terjadi menjadi PR besar bagi rentetan pemimpin DKI Jakarta. Menjadi pertanyaan besarnya adalah; Jika memang banjir tidak bisa dihilangkan - masihkah dengan bodohnya para calon Gubernur yang akan maju ditahun 2017 nanti menjanjikan BEBAS BANJIR bagi Jakarta? Dengan cara apa banjir dapat dihilangkan? Memindahkankan ke daerah lain? atau mengurug seluruh dataran yang berada di bawah permukaan laut menjadi lebih tinggi? Atau memaksa penduduknya untuk hidup nyaman bersama banjir. Menempatkan ancaman dan risiko sebagai bagian dari daur kehidupannya. Sehingga pilihan mengurangi risiko dapat dilakukan semaksimal mungkin?<br />
<br />
<b>Rencana Kontijensi (<i>Contingency Planning</i>)</b><br />
PP No 21 Tahun 2008 dikenal dengan istilah rencana penanggulangan kedaruratan sebagai bagian dari upaya kesiapsiagaan. Sebagai bagian dari kesiapsiagaan juga diperlukan penyusunan data akurat, informasi dan pemutahiranprosedur tetaptanggap darurat bencana yang diatur dalam pasal 16 (2). Selanjutnya, pada pasal 17 dipertegas dengan bahwa, rencana penanggulangan kedaruratan merupakan acuan pelaksanaan tanggap darurat dan dapat dilengkapi dengan rencana kontijensi.<br />
<br />
Merujuk dari PP No 21/2008 sebagai regulasi operasional dari UU No 24/2007, Pemerintah maupun pemerintah memiliki kewajiban atas penyusunan Rencana Penanggulangan Kedaruratan (RPK) dalam menjalankan mandat kesiapsiagaan. Kewajiban penyusunan RPK ini pada dasarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia dengan multi ancaman. Dengan 13 sampai 14 ancaman bencana yang ada, dibutuhkan sebuah pedoman atau acuan bersama dalam penanganan bencana secara umum dan maupun yang bersifat spesifik. Pada pengaturan yang bersifat umum, misalnya pengerahan sumberdaya baik yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat berlaku sama. Namun beberapa aspek, dibutuhkan hal spesifik. Misalnya kebutuhan jenis bantuan; pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, shelter dll pada beberapa jenis ancaman bencana.<br />
<br />
Hampir 8 tahun perjalanan regulasi sebagai dasar kebijakan PB di Indonesia, dan 7 tahun lembaga negara yang menjalankan mandat PB, nampaknya anjuran lebih utama dibandingkan yang bersifat wajib. Ini terlihat dari upaya yang dilakukan, baik pada level Nasional maupun Daerah dalam menyiapkan kondisi darurat. sampai saat ini, tidak ditemukan dokumen maupun proses penyusunan rencana penanggulangan kedaruratan sebagai mandat dari pasal 16 dan 17 dari PP No 21/2008. Tapi kita dengan mudah menemukan dokumen rencana kontijensi pada jenis-jenis ancaman bencana, khususnya tsunami, erupsi gunungapi, dan banjir - baik pada level nasional maupun dareah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Apakah rencana kontijensi lebih penting dari rencana penanggulangan kedaruratan, sehingga menjadi lebih diutamakan? atau lagi-lagi, karena terjebak dengan pemahaman atas isu dan trend yang berimplikasi pada pengalokasian anggaran dana pemerintah. Atau lebih didorong pihak eksternal yang lebih mendorong rencana kontijensi karena sifatnya yang spesifik dan mudah diukur pencapaiannya?<br />
<br />
Kita akan mendapatkan banyak jawaban dari pertanyaan di atas. Pemahanan atas terminologi, ruang lingkup atau teori-teori atas keduanya merupakan salah satu tertuduhnya. Teori maupun pengalaman penyusunan rencana kontijensi atau <i>contingency planning</i> akan sangat mudah kita dapatkan. dari mulai bertanya pada mbah google yang baik hati, maupun pada penggiat penanggulangan bencana. Levelnya pun bisa beragam, dari tingkat nasional, provinsi maupun level komunitas.<br />
<br />
Ketersediaan teori atau pengetahuan serta dokumen-dokumen contoh rencana kontijensi, baik melalui website yang siap download maupun dalam bentuk hardcopy/softcopy dibanyak pihak, menunjukan Renkon lebih sangat populer sebagai media dalam membangun kesiapsiagaan. Bandingkan dengan RPK. Jangankan dokumen sebagai contoh, teori atau konsep yang menjelaskan tentang itu pun tidak mudah kita dapatkan. Padahal jika dikaitkan dengan mandatnya - RPK merupakan mandat langsung dari regulasi sebagai dasar hukum berbangsa dan bernegara.<br />
<br />
Terlepas dari sisi fungsi dari keduanya - Renkon menjadi pilihan selain karena popularitas atau tersedianya banyak refrensi, tidak lepas dari dokumen ini yang lebih fokus. Sehigga dalam mengukurnya menjadi lebih mudah. Demikian juga jika dikaitkan dengan proses pemantauan dan evaluasi. Ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari trend yang ditangkap dan menjadi sebuah peluang. Peluang mendapatkan pendanaan dari lembaga donor oleh banyak organisasi kemanusiaan, khususnya International NGO's dan lembaga PBB. Kondisi ini sekaligus menjadikan Renkon banyak mendapatkan kesempatan untuk diimplementasikan, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Banyaknya inisiasi menjadikan Renkon sebagai obat mujarab dalam menghadapi ancaman bencana yang ada di suatu wilayah.<br />
<br />
Kontijensi sendiri diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan yang segera dapat terjadi - namun bisa tidak juga tidak terjadi. Dalam kontek penanggulangan bencana, rencana kontijensi menggambarkan sebuah perencanaan dalam menghadapi sebuah keadaan atau kondisi darurat (bencana) yang diprediksi akan segera terjadi - namun bisa juga tidak terjadi. Probabilitas ini perlu disikapi dengan melakukan identifikasi dampak, kebutuhan, ketersediaan serta kesenjangan yang ada untuk meminimalkan dampak-dampak yang dapat terjadi melalui sistem dan pengelolaan yang terkoordinasi, sistematis, cepat dan tepat.<br />
<br />
<b><i>Syarat Penyusunan Renkon</i></b><br />
Penyusunan Renkon pada prosesnya, tidaklah bersifat tunggal. Renkon adalah bagian tidak terpisahkan dari berbagai upaya kesiapsiagaan. Paling tidak, sebelum proses Renkon disusun, beberapa hal perlu ada atau sudah siap. Diantara adalah;<br />
<i>1. Komitmen para pihak</i>; </div>
<div style="text-align: justify;">
Merupakan pra syarat utama dalam penyusunan Renkon. Tanpa komitmen yang jelas, jangan harap dokumen atau bahkan jikapun telah menjadi kekuatan hukum - yang seharusnya menjadi acuan dalam tanggap darurat, namun tidak menjadi pegangan bersama. Jika dapat dikomposisikan dalam penyusunan Renkon, bisa jadi membangun komitmen ini menempati prosentasi 75 - 80 % dari keseluruhan proses Renkon. artinya, jika komitmen para pihak telah terbentuk, proses selanjutnya hanya tinggal 25 - atau 20 % saja. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena bentuk-bentuk teknis dapat dilakukan dengan lebih mudah dan tidak membutuhkan waktu panjang. Misalnya dalam mengidentifikasi ketersediaan dari kebutuhan yang ada, akan dengan mudah terpetakan karena masing-masing pihak secara sungguh-sungguh melakukan indentifikasi ditingkat internal masing-masing. Demikian juga saat menghitung kesenjangan dan upaya pemenuhannya. Hal yang lebih penting, tentu saat Renkon berubah menjadi Rencana Operasi (Renops), dimana kesepakatan sebagai hasil komitmen diuji untuk dijalankan. tidak hanya seberapa besar pengerahan sumberdaya dari masing-masing pihak sesuai dengan dokumen Renkon, tapi juga kecepatan dan ketepatan dengan sistem kominikasi dan koordinasi melalui sistem komando yang sistematis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Telah adanya komitmen yang kuat, dapat mendorong adanya mandat - jika dibutuhkan. Mandat kelembagan memiliki fungsi krusial, karena tidak keputusan atau kesepakatan yang dihasilkan akan mengikat secara institusi.<br />
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>2. Kajian risiko bencana</i>; </div>
<div style="text-align: justify;">
Kerap menjadi berdebatan, apakah dalam penyusunan Renkon masih dibutuhkan kajian risiko bencana - sementara kajian tersebut telah ada sebelumnya. Jika sebelumnya belum ada, maka kebutuhan sebuah kajian risiko untuk jenis ancaman yang akan disusun Renkon dapat diterima oleh seluruh kalangan. Karena dianggap penting. Kebutuhan akan kajian risiko bencana dalam Renkon akan kembali pada dokumen kajian risiko bencana telah menyajikan data dan informasi yang mencukupi atau belum. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Renkon pada pada tingkat Provinsi atau Kabupaten, bisa dipastikan - kajian risiko bencana yang ada masih bersifat umum. Sekalipun untuk menentukan tingkatan (kelas) risiko bencana pada masing-masing jenis ancaman yang ada telah menggunakan data dan informasi sampai pada level desa (untuk kabupaten), namun beberapa informasi masih perlu digali untuk mendapatkan hal yang lebih spesifik. Contoh kasus untuk risiko banjir. Kajian risiko bencana (KRB) pada tingkat Kabupaten telah menyajikan tingkatan (kelas) risiko banjir tinggi, sedang atau rendah. Kelas tersebut didasarkan atas tingkatan ancaman, dampak dan indek kerugian sebagai hasil analisis kerentanan maupun indek kapasitas. Kelas risiko tinggi yang teridentifikasi pada satu lokus (wilayah) misalnya - pada tataran real, tidak seluruh wilayahnya berisiko tinggi karena berbagai faktor. Baik karena topografi, infrastruktur, kesiapsiagaan maupun hal lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Atau lebih spesifik bisa kita lihat, apakah banjir pada suatu wilayah memiliki karakteristik yang sama, kedalamannya, terdapat tempat-tempat berbahaya dll. Kondisi ini dalam proses penyusnan Renkon harus mampu teridentifikasi dengan baik sebagai bagian untuk menghitung kebutuhan, ketersediaan maupun gaps serta strategi dan aksi yang direncakan dalam penanganan krisis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melihat kebutuhan akan spesifiknya data dan informasi terkait risiko bencana, maka pendalaman dari kajian risiko bencana yang ada perlu dilakukan. Hasil kajian, juga akan memberikan informasi lebih - bahkan sampai pada kelas risiko pada satu wilayah (yang pada hasil kajian risiko bencana masuk kelas risiko tinggi). proses kajian - juga sekaligus untuk melakukan verifikasi atau cross check atas data dan informasi yang sebelumnya tersedia. dari mulai jumlah penduduk terpapar, kelompok rentan, aset-aset berisiko, aset yang masih dapat berfungsi saat kondisi kritis dll.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<i>3. Jalur, tanda dan tempat evakuasi;</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Jalur, tanda dan tempat evakuasi dalam proses penyusunan Renkon idealnya telah tersedia. Prosesnya bisa dilakukan bersamaan dengan kajian risiko bencana. Telah tersedia jalur, tanda dan tempat evakasi bukanlah tujuan. tapi informasi akan jalur, tanda dan tempat evakuasi adalah hal yang vital. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sama halnya dengan kajian risiko bencana - jika telah ada, pada proses penyusunan renkon dilakukan evaluasi. apakah jalur, tanda dan tempat evakuasi telah sesuai dengan kebutuhan. atau jika kita akan menggunakan indikator SPHERE, apakah telah sesuai dengan standard minimum? Jika belum - informasi ini akan menjadi bagian dari kesenjangan yang perlu dipenuhi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada kasus jalur, tanda dan tempat evakuasi yang belum tersedia - maka proses kajian risiko bencana dapat menjadi media untuk menentukan jalur dan tempat evakuasi. proses partisipatif menjadi sangat penting, karena informasi dari masyarakat tempatan tentu lebih valid. Dan pada proses penyusunan Renkon, jalur dan tempat evakuasi dapat dibahas, disepakati dan ditetapkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Keberadaan jalur, tanda dan tempat evakuasi dalam Renkon berfungsi vital, karena terkait denga mobilisasi sumberdaya. Misalnya Tim SAR, akan dengan mudah menuju lokasi yang diprioritaskan. Demikian juga dengan penduduk terkena bencana akan lebih mudah menuju lokasi-lokasi yang telah ditentukan bersama. Berbagai bantuan - juga akan mudah sampai ke tempat-tempat pengungsian karena telah jelas jalan yang akan dilalui, kondisinya serta daya tampung dari lokasi-lokasi pengungsian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>4. Early Warning System (EWS)</i>Tanda peringatan dini merupakan kunci - bagaimana sumberdaya dan sistem yang telah disiapkan dapat dimobilisasi secara terkoordinasi, cepat dan tepat sasaran. sebagai tanda peringatan dini yang telah tersistem, EWS harus memenuhi paling tidak 4 hal; a) segera, b) menjangkau, c) dapat dipahami dan d) dikeluarkan oleh lembaga resmi (yang memiliki otoritas; seperti gempa, kekeringan dan tsunami - BMKG, erupsi gunungapi - BVMKG, Banjir dan longsor- PU, wabah - Kemenkes dll).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemenuhan terhadap 4 hal dalam EWS, nampaknya yang sampai saat ini dapat dilakukan. sekalipun beberapa jenis bencana telah siapkan cukup baik, seperti tsunami dan gunungapi - namun jika dikaitkan dengan parameter menjangkau - masih jauh dari cukup. Karena makna menjangkau tentu terkait dengan penduduk terpapar dari jenis ancaman tersebut. Tsunami misalnya - dari 4.500 km panjang pantai yang rawan tsunami, hanya ada 38 sirine tsunami dari kebutuhannya kurang lebih 1.000 sirine. Shelter evakuasi, hanya tersedia 50 unit dari kebutuhan 2.500 unit. Tidak kurang dari 5 juta penduduk berisiko terhadap tsunami (Sutopo, 2014). Lebih lanjut, Sutopo - Direktur Pusdatin BNPB mengatakan, sekalipun wilayah tersebut telah terpasang tanda peringatan tsunami - tidak seluruhnya siapsiaga. Bersadarkan survei saat gempa 8,5 SR dan tsunami di Aceh tanggal 11 April 2012, rata2 masyarakat keluar rumah saat gempa. 21 % tetap berada di rumah. 63 % tidak mendengar sirine tsunami dan 75 % masyarakat evakuasi dengan membawa kendaraan sehingga terjadi kemacetan. dari Masyarakat yang ada, 71 % masyarakat belum pernah ikut latihan*.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Informasi di atas menunjukan, sekalipun telah ada EWS, masih terdapat kesenjangan untuk membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana. Itu dengan telah ada EWS, bagaimana dengan bencana yang tidak atau belum ada memiliki EWS. Atau yang menganggap punya EWS, tapi empat aspek penting dari EWS sama sekali tidak terpenuhi. Baik dari sisi kecepatan, menjangkau dan dapat dipahami oleh masyarakat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
EWS, jika dijadikan sebagai indikator sebagai berlakunya rencana operasi akan mempercepat proses pengerahan sumberdaya. Karena seluruh pihak yang terikat dalam Renkon, akan memiliki alat ukur yang sama dalam memobilisasi sumberdaya yang dimiliki dan dialokasikan untuk merespon kondisi krisis. Sekalipun dalam praktiknya - pengerahan tersebut tetap harus berdasarkan keadaan dan kebutuhan riil dilapangan. Namun sebagai langkah kesiapan, menjadikan seluruh pihak untuk siap bergerak. Tidak harus menunggu keputusan dari kepala daerah untuk status bencana - yang kadang dipengaruhi aspek politis atau pertimbangan atas kepentingan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>5. Regulasi</i><br />
<ol>
</ol>
Sebagai negera yang berpijak pada aturan (hukum), regulasi yang memayungi Renkon sangat dibutuhkan. Dari banyak kasus - bukan tidak mau memobilisasi sumberdaya yang dimiliki, tapi adanya ketakutan menyalahi prosedur, tupoksi, atau sekedar kesalahan administratif. Kondisi ini diperparah dengan dimanfaatkannya kesalahan-kesalahan kecil untuk berbagai kepentingan. Baik yang bersifat politis maupun aspek ekonomi atau sosial.<br />
<br />
Adanya landasan, siaga darurat menjadi media strategis bagi Pemda maupun pemerintah untuk tidak menunggu kondisi darurat karena bencana terjadi - baru bisa bertindak karena adanya alokasi anggaran. Menggerakan sumberdaya sudah dapat dilakukan jauh sebelum kondisi darurat. Dan jika dikaitkan dengan EWS, maka renkon sangat mungkin dijalankan sesaat setelah tanda peringatan dini disampaikan.<br />
<br />
Bagi Pemda, regulasi ini perlu diperkuat melalui Peraturan daerah, dimana ruang lingkup tanggap darurat meliputi siaga darurat, tanggap darurat, bantuan darurat dan pemulihan dini. Regulasi ini tentu harus disiapkan tidak hanya untuk BPBD sebagai lembaga PB, tapi juga berlaku bagi SKPD lain - termasuk menyiapkan alokasi anggaran pada masing-masing SKPD untuk memenuhi kebutuhan dalam memobilisasi sumberdaya pada kondisi darurat.<br />
<br />
Regulasi dasar atas proses penyusunan Renkon serta dokumen renkon itu sendiri juga krusial bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Kedudukan Renkon yang menjadi dasar bergeraknya secara bersama dan sinergis seluruh sumberdaya yang ada memerlukan landasan hukum. Peraturan Gubernur pada tingkat Provinsi atau Peraturan Bupati/Walikota sudah lebih dari cukup sebagai landasan Renkon. Dengan catatan, pada Perda PB di daerah telah diatur tentang kedudukan Renkon atau RPK.<br />
<br />
.... <b>bersambung</b> <i>(tulisan berikutnya, akan membahas tentang proses penyusunan Renkon, termasuk lampiran panduan penyusunan renkon yang bisa di download</i>)<br />
<br />
<br />
*liputan6; http://news.liputan6.com/read/2134733/bnpb-ada-5-juta-penduduk-ri-tinggal-di-daerah-rawan-tsunami</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-90973854493500436432016-03-10T11:11:00.001+07:002016-03-10T11:11:53.363+07:00KAJIAN RISIKO BENCANA TERINTEGRASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM<div style="text-align: center;">
<i>Tulisan ini merupakan pokok pikiran dari sebuah proyek yang didukung oleh SC DRR - UNDP dalam mengintegrasikan analisis perubahan iklim dalam kajian risiko bencana. Melalui proses panjang tentunya.. Masih menjadi wacana dalam pengimplementasiannya dari berjalan saat ini. Baik di BNPB dengan Kajian Risiko Bencana, maupun KLHK dengan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim maupun K/L lainnya sebagai dasar pengambilan kebijakan. Sehingga program pembangunan di Indonesia memiliki pradigma pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.</i></div>
<span class="fullpost">
</span><br />
<div>
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-BdJc6P3KmCE/VuDvNqqvlfI/AAAAAAAACVs/6fsrsv218UU/s1600/toba-map_l23.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="178" src="https://3.bp.blogspot.com/-BdJc6P3KmCE/VuDvNqqvlfI/AAAAAAAACVs/6fsrsv218UU/s200/toba-map_l23.jpg" width="200" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Sudah dimafhumi, jika Indonesia merupakan negara dengan sejuta ancaman. Beberapa peristiwa bahkan menjadi bagian dari perubahan sistem bumi. Letusan Gunung Toba, Tambora atau Krakatau tercatat sebagai peristiwa luar biasa yang mempengaruhi sistem iklim bumi. Dipercaya, letusan yang gunung Toba yang terjadi 74.000 tahun yang lalu dipercaya, salah satu penyebab punah sebagian kehidupan yang ada dibumi. Tidak saja karena dampak primer, tapi juga dampak sekunder. Dimana bumi mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan erupsi Gunung Tambora (1815) yang tercatat lebih rinci - menyebabkan daratan Eropa gagal merasakan musim panas pada dua musim. Peristiwa ini dikenal dengan Tahun tanpa musim panas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-MpuPFofSnO4/VuDvcPKzuvI/AAAAAAAACVw/y4yGjoK4L-k/s1600/249521_620.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="184" src="https://4.bp.blogspot.com/-MpuPFofSnO4/VuDvcPKzuvI/AAAAAAAACVw/y4yGjoK4L-k/s320/249521_620.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tsunami Aceh, 2004 - sumber Tempo</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Gempa yang diikuti gelombang tsunami, 26 Desember 2004 seolah menyadarkan kembali jika negeri ini memang republic of disaster. Tidak kurang dari 160.000 jiwa menjadi korban akibat amuk gelombang maha dahsyat di sepanjang pesisir Aceh, dari selatan sampai utara. selain Aceh dan Nias, negara tetangga pun ikut terdampak seperti Thailand, Laos, Maldives, India hingga afrika. Disusul dengan gempa Jogja dua tahun berikutnya (2006), tsunami Pangandaran (2006), Gempa di Sumbar sampai erupsi merapi (2007 dan 2009), tsunami di mentawai dan banjir bandang di Wasior yang berlangsung secara bersamaan pada tahun 2010. Dan yang tidak kalah dahsyat dan menjadi perhatian dunia adalah bencana semburan lumpur lapindo - Sidorajo yang akhirnya berbuntut polemik, akibat peristiwa alam, yakni gempa Jogja atau karena kesalahan pengeboran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai negara yang dihimpit tiga lempeng bumi aktif serta sebagai jalur cicin api pasifik, bencana yang dipicu oleh aktitifas geologi menjadi sangat wajar. Menjadi tidak wajar Negara tidak menyiapkan sistem pembangunan dan sistem kehidupan menghadapi ancaman yang telah menjadi fitrah. Namun, ancaman bencana di Negeri kolam susu ini tidak hanya dipicu oleh geologi. sebagai negara tropis, negeri ini juga disuguhi ancaman yang berpotensi bencana; banjir, longsor, kekeringan, angin ribut atau puting beliung, kebakaran maupun wabah - epidemi. Dan sebagai negara dengan beragam suku, ras dan agama - potensi konflik juga cukup besar. apalagi jika tidak diimbangi dengan pengelolaan SDA dan pembangunan yang berkeadilan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Paradigma Pengurangan Risiko Bencana, menempatkan manajemen risiko bencana yang berdasarkan pemahanan atas risiko bencana itu sendiri. Untuk memahami risiko yang merupakan korelasi dari ancaman bencana, kerentanan dan kapasitas - kajian risiko bencana menjadi salah satu medianya. Kajian risiko bencana sendiri yang berkembang saat ini cukup beragam. Namun dari beragam metode, rumusan yang menempatkan korelasi antara <i>hazard</i> (bahaya) dan <i>vulnerability</i> (kerentanan) telah menjadi kesepahaman bersama dalam menentukan risiko. Makna korelasi atau pola hubungan menjadi penting untuk menghindari pola penilaian yang dilakukan secara mekanik atau statistika sebagai satu-satunya metode yang dianggap benar. Makna korelasi juga membe,rikan isyarat, untuk mengetahui risiko tidak dapat dilakukan pada satu cara. Kajian risiko bencana disadari sejak awal merupakan proses rumit dan penuh tantangan. Multi disiplin ilmu harus terlibat dengan beragam pemangku kepentingan. Sehingga substansi risiko yang merupakan korelasi antara variabel, komponen dan indikator dari hazard, vulnerability dan capacity dalam membentuk risiko diketahui. Pengetahuan ini lah yang akan menjadi dasar manajemen risiko bencana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-F7u7yFa-ceo/VuDwkFyp5yI/AAAAAAAACWA/XJOZl3cg24c/s1600/x2010-02-10_risk_kekeringan_kabupaten_bnpb-585x413.jpg.pagespeed.ic.qvNvZdftqD.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="225" src="https://2.bp.blogspot.com/-F7u7yFa-ceo/VuDwkFyp5yI/AAAAAAAACWA/XJOZl3cg24c/s320/x2010-02-10_risk_kekeringan_kabupaten_bnpb-585x413.jpg.pagespeed.ic.qvNvZdftqD.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Kajian risiko bencana bukan hanya sekedar membuat peta yang menunjukan tinggi, rendah atau sedang dari risiko bencana yang ada. Lebih dari itu, kajian risiko harus mampu menunjukan faktor pembentuk dan penyebabnya serta dampak yang berpotensi terjadi jika ancaman datang/terjadi. selain itu, faktor dinamis perlu dipertimbangkan dengan baik. sebuah faktor yang dapat berubah-ubah seiring dengan situasi dan kondisi. Faktor-faktor dinamis seperti perkembangan politik, trend perkembangan sosial dan ekonomi dunia, dapat secara drastik meningkatkan risiko bencana. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh paling kongrit yang banyak ditemui di Indonesia adalah pemberian izin-izin pemanfaatan sumberdaya alam seiring dengan pemilihan kepala daerah, Menteri - atau Presiden. Obral perizinan tanpa mempertimbangkan risiko bencana bak menanam bibit risiko. Samarinda - Kalimantan Timur telah menjadi Kota percontohan - bagaimana paska obral izin pertambangan menjadikan kota ini menjadi wilayah berisiko benjir. Atau provinsi asap; Riau, Sulsel, Jambi, Kalteng dan Kalsel yang tidak lepas dari obral HPH dan perkebunan skala besar. Faktor atau tekanan dinamis - pada akhirnya berimplikasi menciptakan atau memperkuat faktor-faktor pembentuk dan penyebab risiko.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-4GLq3iCh6Xk/VuDzBTluegI/AAAAAAAACWM/_ie6vUJN1dM/s1600/efek-rumah-kaca.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="220" src="https://1.bp.blogspot.com/-4GLq3iCh6Xk/VuDzBTluegI/AAAAAAAACWM/_ie6vUJN1dM/s320/efek-rumah-kaca.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Mulai dirasakannya dampak perubahan iklim pada berbagai faktor kehidupan, menempatkan kajian risiko bencana sebagai dasar pengelolaan risiko bencana perlu mempertimbangkan. Apalagi komponen-komponen iklim berkaitan erat dalam penyebab dan pembentuk risiko bencana. Pada jenis ancaman bencana hidrometeorologis - tidak ada silang pendapat, jika dampak perubahan iklim berupa curah hujan, kelembaban maupun suhu mempengaruhi terhadap tingkat ancaman bencana banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, gelombang tinggi, abrasi atau angin ribut/puting beliung. tidak hanya itu, dampak perubahan iklim juga secara signifinan mempengaruhi tingkat kerentanan dan kapasitas. penduduk dengan mata pencaharian nelayan dan petani - saat ini mengalami kendala besar dalam mensikapi perubahan-perubahan alam yang terjadi. ketidak mampuan mensikapi perubahan yang dipicu oleh perubahan iklim ini tentu akan berimplikasi pada kesiapan menghadapi ancaman bencana. Baik kerena dari aspek ekonomi yang mengalami penurunan pendapatan, maupun dari apek sosial yang juga memiliki kecenderungan mengalami perubahan. Meninggalkan kampung halaman untuk mencari pendapatan dan perebutan air adalah kasus-kasus yang paling sering ditemui dilapangan saat ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika melihat variabel dalam menentukan risiko bencana, maka dampak perubahan iklim tidak hanya berkorelasi dengan ancaman bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor, kekeringan atau gelombang ekstrim dan abrasi serta kebakaran. Dampak perubahan iklim juga perlu menjadi pertimbangan terhadap ancaman bencana geologi, pada aspek kerentanan dan kapasitas. Bahkan pada acaman bencana konflik sosial - dampak perubahan iklim bisa jadi menjadi sangat signifikan untuk dijadikan sebagai faktor dinamis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kajian risiko bencana pada bencana hidrometeorologis, pada komponen <i>hazard</i> perlu secara spesifik melihat jenis ancaman bencana. Banjir misalnya - tidak dapat disamaratakan. karena jenis-jenis banjir memiliki karakteristik yang spesifik. Seperti banjir bandang, banjir genangan dan banjir rob yang memiliki karakteristik berbeda, baik sebagai ancaman dan dampaknya, maupun faktor pembentuknya. sekalipun salah satunya adalah curah hujan, namun untuk jenis banjir bandang membutuhkan data lebih spesifik untuk melihat potensi terjadinya. Data curah hujan tahunan yang saat ini menjadi indikator dalam menentukan banjir tidak mencukupi untuk melihat potensi terjadinya banjir bandang. Demikian juga dengan longsor yang berhubungan dengan curah hujan ekstrim, tutupan lahan, jenis tanah dan batuan, gerakan tanah serta kemiringan topografi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pentingnya informasi bulanan atau bahkan harian pada komponen iklim adalah sebagai bagian dari menentukan waktu risiko bencana berpontensi terjadi. Trend kejadian dari waktu ke waktu, yang umumnya digunakan antara 25 - 30 tahun dapat melihat kecenderungan kejadian pada suatu wilayah. bagaimana melihat curah hujan misalnya, memincu bencana. Data yang menunjukan sama (tinggi curah hujan), tapi menyebabkan bencana yang berbeda, dapat memberi sinyal terjadap penyebab lain. Apakah terjadi perubahan fungsi ekologis atau ada faktor lain. Artinya - data dan informasi, walaupun untuk kepentingan melihat hazard, tapi dapat menjadi dasar untuk melihat komponen dari variabel lain, baik kerentanan maupun kapasitas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b><u>Konsep note integrasi iklim dalam kajian risiko bencana</u></b>, <a href="http://www.mediafire.com/download/lli1xsb4litp102/Kajian+risiko+bencana_akhir2015_SE.pdf" target="_blank">download di sini</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-OesttCT5qrU/VuDziTRM9mI/AAAAAAAACWQ/pnwRLVW_4PU/s1600/tambang-b.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="203" src="https://4.bp.blogspot.com/-OesttCT5qrU/VuDziTRM9mI/AAAAAAAACWQ/pnwRLVW_4PU/s320/tambang-b.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">tambang batu bara, sumber : graha properti.com</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Ancaman bencana yang dipengaruhi faktor-faktor dimanis seperti arah pembangunan di wilayah rawan bencana masih belum menjadi pertimbangan penting. Jika dilihat dari ruang dan waktu yang ada, bisa jadi menempatkan risiko yang teridentifikasi menjadi berbeda jauh seiring perubahan yang terjadi. apalagi jika dilihat, arah pembangunan ini pun juga mempengaruhi aspek kerentanan dan kapasitas. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal yang juga signifikan dalam kajian risiko bencana terkait iklim adalah menggunakan data dan informasi serta peta skenario iklim menjadi bagian dalam menentukan risiko bencana. bagaimana konsepsi untuk mengintegrasikannya. Ini merupakan bagian dari tantangan bagi Indonesia ke depan sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. pengintegrasian ini perlu dipahami tidak hanya sekedar teknis, tapi juga pada hal strategis. bagaimana PRB menjadi bagian dalam upaya adaptasi perubahan iklim dan saling mengisi dan melengkapi melalui kebijakan pembangunan di Indonesia.</div>
<div>
</div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-88412817681394048962016-03-09T20:28:00.000+07:002016-03-10T08:36:55.205+07:00PENCINTA ALAM DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-v6tzTOkJGY0/VuBYdcPjzKI/AAAAAAAACUg/hL-lxP_W8S8/s1600/DSC_0566a.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://4.bp.blogspot.com/-v6tzTOkJGY0/VuBYdcPjzKI/AAAAAAAACUg/hL-lxP_W8S8/s200/DSC_0566a.jpg" width="133" /></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Pandangan masyarakat atas diri pencinta alam (PA) cukup beragam. Bagi warga seputar gunung-gunung yang menjadi salah satu aktifitas, digambarkan dengan sekelompok orang berpakaian "nyentrik" dengan tas punggung besar besar. Bisa berbeda dengan warga masyarakat pada lokasi goa, tebing atau sungai berarus deras. Bagaimana dengan warga perkotaan dalam menilai sang pencinta alam? cuek, berpakaian tidak rapi dengan beragam aksesoris "aneh". </div>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Paling tidak, penilaian umum gak jauh2 amat dari kesan coboy. Namun bagi yang melihat lebih dalam, beragam pujian pun kerap muncul. Lebih dalam lagi, semakin mengagumi. Bahkan tidak jarang orang tua yang sebelumnya tidak memiliki background PA, mendorong anaknya untuk terlibat aktif dalam kegiatan PA.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Bekerja dalam kesunyian. Paling tidak itu yang terlihat jika kita bersama-sama melakukan kegiatan pencarian dan penyelamatan. entah karena ada sesama rekan PA yang hilang digunung, kecelakaan yang terjadi di hutan, laut atau sungai, maupun terlibat dalam kegiatan-kegiatan tanggap darurat bencana. Ya, sangat jarang terlihat, aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan membawa bendera atau uniform. sekalipun tidak pernah ada larangan secara tertulis. Namun etika diri untuk bersatu dalam kebersamaan - menghilangkan ego diri maupun kelembagaan. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Kerja-kerja kemanusiaan pada operasi tanggap darurat telah menjadi bagian utama kelompok pencinta alam (KPA). Dimana pun ada kejadian bencana, bisa dipastikan anggota KPA hadir disana. Baik secara resmi diutus oleh organisasi, maupun mengikuti panggilan jiwa dan tergabung dengan organisasi kemanusiaan atau lembaga resmi negara (SAR, BNPB/BPBD). Meraka akan berjibaku tanpa mengenal lelah dan berbaur dengan tim-tim yang ada. Gempa dan Tsunami Aceh, Desember 2004, mungkin menjadi momen terlibatnya KPA seluruh Indonesia dalam kerja-kerja kemanusiaan. dari mulai evakuasi jenazah, mengumpulkan dan distribusi bantuan, pendataan penduduk terkena bencana, pengelolaan data base maupun penguatan komunitas. Ribuan anggota pencinta alam berbaur menjadi satu. dan..... tanpa label yang menyertai, dari mana organisasi pencinta alam mana mereka berasal. demikan juga saat bencana gempa bumi di Jogjakarta, Maret 2006 atau Gempa Sumatera Barat 2007 dan 2009.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pada kerja-kerja tanggap darurat, bantuan darurat sampai pada fase pemulihan, peran KPA begitu nyata. Ini juga yang menjadikannya salah satu penilaian positif dari banyak kalangan. Karena tulusnya kerja-kerja yang dilakukan KPA ini, tidak jarang banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk mengangkat nama besar mereka sendiri. Ya melibatkan para pencinta alam tidak lebih hanya sebagai "pekerja". namun luar biasanya - panggilan kemanusiaan yang melekat pada diri para relawan dari KPA, tidak menjadikannya persoalan. "kami bekerja hanya untuk kemanusiaan - tidak lebih".</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Menempatkan Pengurangan Risiko Bencana sebagai paradigma manajemen risiko bencana</b></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) telah menjadi paradigma dalam Manajemen Risiko Bencana (MRB). artinya, seluruh pengelolaan - baik pra, saat maupun paska bencana harus menempatkan PRB sebagai cara pandang oleh seluruh pelaku. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
KPA yang sementara ini lebih cenderung bekerja pada saat bencana, pun harus menempatkan PRB sebagai paradigma dalam operasi tanggap darurat maupun bantuan darurat. Baik pada proses evakuasi penyelamatan, pengurusan jenazah, maupun pengumpulan dan distribusi logistik. Jika akan memperluas kerja tanggap darurat, juga melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap aset-aset penduduk terkena bencana maupun pengelolaan pengungsian.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
PRB dalam tanggap darurat berprinsip secara simple adalah kerja-kerja yang dilakukan tidak meningkatkan risiko atau memunculkan risiko baru. seperti, dalam proses pencarian penduduk terkena bencana tidak meningkatkan risiko, penggunaan alat kerja maupun proses pencarian berpotensi meningkatan risiko yang sudah ada. seperti secara tidak sadar, timbunan lumpur pada kasus bencana longsor, menghalangi jalur air (sungai). sehingga berpotensi terhadap banjir bandang bagi wilayah bawah. atau pegelolaan sampah yang buruk para relawan sehingga berpotensi menyebarkan penyakit. dapat juga munculnya potensi konflik dengan penduduk setempat karena dianggap melanggar norma2 yang berlaku di wilayah setempat.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Mencermati dampak-dampak negatif yang bisa ditimbulkan atas operasi kemanusiaan, serta melakukan upaya peredaman atas dampak yang berpotensi muncul merupakan cara pandang atau paradigma PRB. Dan ini penting bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada seluruh tahapan dalam manejemen risiko bencana.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: justify;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-pKGtAmHOJUg/VuBadqxK9vI/AAAAAAAACUs/o1peNSQP3DI/s1600/antisipasi-bencana-alam-bpbd-sukoharjo-gelar-apel-siaga.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="160" src="https://1.bp.blogspot.com/-pKGtAmHOJUg/VuBadqxK9vI/AAAAAAAACUs/o1peNSQP3DI/s320/antisipasi-bencana-alam-bpbd-sukoharjo-gelar-apel-siaga.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pencinta alam yang membaur dengan pekerja kemanusiaan<br />
sumber : www.merdeka.com</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Keterlibatan KPA dalam operasi kemanusiaan, umumnya hanya didasarkan atas panggilan kemanusiaan. Sekalipun dalam Diklat, diberikan materi analisis sosial (Ansos) atau Sosiologi Perdesaan (Sosped), namun kerap dianggap sebagai materi pelengkap. Bukan menjadi materi prioritas, karena orientasi utama lebih pada pengetahuan dan skill kegiatan alam bebas. Sama halnya dengan materi konservasi sumberdaya alam atau manajemen lingkungan. adanya anggapan hanya sebagai relawan dan menjadi bagian dari tim, sedangkan manajemen sudah ada yang mengatur - menempatkan relawan KPA hanya bermodalkan kemauan. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Kondisi-kondisi tanpa pengetahuan dan skill dalam operasi kemanusiaan, menempatkan relawan dari KPA tidak lebih hanya sebagai prajurit yang siap tempur. apapun perintah dari komandan, akan dilaksanakan. Celakanya, kerap komando pada fase tanggap darurat yang berubah dengan cepat, bahkan tidak jarang yang bertolak belakang. tidak jarang juga adanya dua atau lebih perintah yang berbeda. sebagai relawan yang telah menempatkan dirinya sebagai prajurit - kerap menjadi dilema. Bahkan jika terjadi konflik pada pengelola atau ditingkat manajemen, menjadikan relawan semakin bingung. apakah harus berpihak, tetap melanjutkan kerja-kerja kemanusiaan, atau mundur dan mencari kelompok lain yang lebih baik.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Penanganan bencana perlu dilakukan secara sadar. Sadar akan bahaya yang mungkin terjadi pada dirinya, dan sadar jika upaya yang dilakukan betul-betul menyelamatkan, mengurangi penderitaan penduduk terkena bencana dan membuat lebih baik. Kesadaran atas hal tersebut menempatkan KPA perlu merubah paradigma dalam penanganan bencana. Tidak lagi hanya bermodalkan niat baik atau atas nama kemanusiaan. tapi juga perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang mumpuni. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-mXKFRVL8JVw/VuBbTHv9tOI/AAAAAAAACU0/OGQTNl8-Y2I/s1600/2419_1100999201246_2195533_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="214" src="https://1.bp.blogspot.com/-mXKFRVL8JVw/VuBbTHv9tOI/AAAAAAAACU0/OGQTNl8-Y2I/s320/2419_1100999201246_2195533_n.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>pemukiman yang tenggelam akibat lumpur lapindo <br />(doc. eyanks)</i></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Beragamnya jenis ancaman bencana di Indonesia, menuntut para pekerja kemanusiaan - termasuk KPA memahami karakteristik ancaman bencana yang ada. Mengenal dengan baik karakteristik ancaman, paling tidak akan menjadi dasar bagi relawan untuk lebih siaga dan mampu mendorong penduduk terkena bencana maupun relawan atau para pekerja kemanusiaan untuk mencermati kemungkinan adanya ancaman bencana susulan maupun ancaman bencana sekunder. Kasus relawan yang terjebak di bungker dan menjadi korban pada erupsi Merapi 2006, patut menjadi pembelajaran bersama - mengenal karakteristik ancaman bencana dapat menentukan hidup mati sang relawan.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
tidak cukup hanya mengenal karakteristik ancaman bencana dan wilayah terpapar, KPA juga perlu memahami tentang dasar-dasar manejemen risiko bencana. Jika memang hanya akan fokus pada tanggap darurat, maka memahami dan mengusasi manajemen kedaruratan menjadi sangat fital dilakukan. sehingga kehadirannya dalam komunitas kemanusiaan menjadi lebih bermakna. tidak saja menempatkan diri menjadi lebih baik, tapi juga mendorong bagi relawan lain maupun para pekerja kemanusiaan untuk berbuat lebih maksimal. Baik memberikan masukan saat rapat koordinasi maupun menawarkan sebuah konsep pengelolaan kedaruratan berdasarkan pengkajian yang dilakukan secara matang.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Meningkatkan Peran KPA dalam Penanganan Bencana</b></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Belum terorganisirnya KPA dalam penanggulangan bencana, sedikit banyak melemahkan posisi tawar dengan pihak lain. Tim yang umumnya terbentuk atau dibentuk secara ad hock saat adanya kejadian bencana, menempatkan tim KPA tidak terkonsolidasi dengan baik. pada masing-masing individu pun masih belum memiliki kesamaan persepsi, cara pandang atau menyepakati alur kerja yang akan dilakukan. Sehingga posisi sebagai prajurit atau pekerja tetap menjadi tempat sempurna. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara, seiring waktu berjalan dalam operasi yang dilakukan, kerap ditemui hal-hal yang dianggap tidak wajar atau tidak layak dilakukan. Namun karena tempat yang dipilih adalah prajurit, maka "hanya bisik-bisik tetangga" yang bisa dilakukan. sekalipun ada ruang dialog dalam rapat koordinasi, tidak banyak membantu. Selain waktu yang terbatas, juga posisi tawar prajurit cenderung lemah. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Memasukan materi penanggulangan bencana - atau lebih spesifik tanggap darurat pada pendidikan dan pelatihan (Diklat) KPA adalah salah satu hal yang sangat strategis. Dengan masuknya materi penanggulangan bencana, paling tidak, anggota KPA telah mulai dikenalkan pengetahuan atas kerja-kerja penanggulangan bencana. Materi dengan contoh-contoh kasus berdasarkan pengalaman, akan lebih mudah memberikan gambaran terhadap penanganan bencana dilapangan. Apalagi jika tersedia audio visual (film) dari operasi tanggap darurat yang pernah ada.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Materi dalam diklat tentu sangat terbatas. sementara, pengetahuan dan keterampilan dalam penanggulangan bencana cukup banyak yang perlu dipelajari. Masih kuatnya kebersamaan antar organisasi pencinta alam dapat menjadi momentum untuk menyatukan antar organisasi dalam sebuah wadah bersama. Pelatihan khusus terkait dengan kebencanaan, dapat dilakukan tidak per organisasi, tapi dilakukan secara bersama-sama (koalisi). Pelatihan bersama, selain dapat mempercepat transfer pengetahuan ditingkat organisasi yang terlibat, juga dapat menjadi ajang memperkuat kebersamaan dalam sebuah tim kerja bersama. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Proses menyiapkan pelatihan bersama, dari mulai menyiapkan kurikulum, menyiapkan modul, memilih trainer sampai pelaksanaan akan menjadi media untuk saling berbagi ide atau gagasan, menyusun aturan main, fokus operasi atau ruang lingkup operasi, kode etik maupun pola kerjasama yang perlu dilakukan untuk efetifitas penanganan bencana ke depan.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Kebersamaan yang dibangun didasarkan atas komitmen dan perencanaan yang matang, tentu akan lebih berdaya guna dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa - dibandingkan dengan cara ad hock dengan prinsip; yang penting jalan.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
dengan adanya wadah bersama, KPA dalam penanggulangan bencana, maka kerjasama dengan pihak lain pun akan lebih terbuka. baik dengan instansi pemerintah, pihak swasta maupun organisasi kemanusiaan yang sudah mapan. Dan hal yang terpenting, mereka tidak akan lagi meragukan kemampuan KPA dalam penanganan bencana. sehingga bukan lagi ditempatkan hanya sebagai prajurit. sekalipun sebagai prajurit, namun prajurit yang cerdas dan kritis.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pra Bencana sebagai sebuah tantangan</b></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
selain kerja operasi saat bencana (emergency response), peran KPA dalam penanggulangan bencana adalah pada pra bencana. baik pada mitigasi maupun kesiapsiagaan. Peluang untuk memperkuat komunitas menghadapi bencana; baik mitigasi maupun kesiapsiagaan terhadap bencana, KPA memiliki program desa binaan atau bakti sosial. Lokasi-lokasi desa yang merupakan tempat kegiatan pada umumnya dapat menjadi bagian dalam membangun ketangguhan komunitas dalam menghadapi bencana.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Proses awal yang perlu dilakukan tentu dengan mengenal dengan cara mengidentifikasi jenis-jenis ancaman bencana yang ada. Untuk mengetahui jenis-jenis ancaman bencana tidak lah sulit. Kita dapat mencari informasi dengan bertanya pada <b><i>mbak google</i></b> maupun mengunjungi desa dan menggali sejarah kebencanaan yang ada. dari informasi yang didapat, kita dapat melanjutkan dengan menggali berbagai informasi terkait respon penduduk dan upaya yang telah dilakukan; baik pra, saat maupun paska bencana. Idealnya, proses ini dilakukan secara komprehensip melalui kajian risiko bencana partisipatif. Modul kajian risiko partisipatif; <a href="http://www.mediafire.com/download/vuoa94atr4qo097/modul_kajian_risiko_komunitas_edit21714.pdf" target="_blank">download disini</a></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Namun jikapun tidak, pola dialog dengan penduduk dapat memberikan gambaran apa yang bisa dilakukan sebagai bagian dari mereduksi risiko bencana yang ada. Pilihan tindak tentu perlu disesuaikan dengan kemampuan KPA. Jika bentuknya infrastruktur karena adanya alokasi anggaran yang memadai, dapat diarahkan sebagai bagian dari pengurangi risiko bencana. seperti penghijauan pada lahan-lahan yang teridentifikasi rawan longsor, membuat teras siring, atau membuat jalur evakuasi dan tanda peringatan dini.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Pengetahuan dan keterampilan untuk membangun kesiapsiagaan dapat menjadi pilihan kegiatan pada desa binaan atau kegiatan bakti sosial. sudah saatnya kita meninggalkan pendekatan bantuan instan yang tidak berjangka panjang. Pengobatan gratis memang penting, tapi itu hanya sesaat. Belum tentu juga pengobatan gratis yang dilakukan dibutuhkan masyarakat saat itu. Akan lebih baik justru memperkuat puskesmas atau memberikan kesempatan bidan desa untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Pasar murah memang dibutuhkan, tapi tidak berjangka panjang. akan lebih baik mendorong kegiatan yang dapat meningkatkan ekonomi warga, seperti pengetahuan membangun jaringan pasar, mendapatkan dukunga modal atau proses paska panen.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak dimiliki SDM untuk melaksanaan kegiatan berjangka panjang - akan terpecahkan dengan adanya kerjasama antar KPA dalam penanggulangan bencana. KPA dari perguran tinggi yang membidangi agama misalnya - dapat meminta KPA dari peternakan, saat ada kebutuhan untuk sosialisasi terkait persoalan ternak. demikian juga saat penduduk membutuhkan pengetahuan terkait kebencanaan - dapat menghubungi lembaga-lembaga yang telah mapan dalam PB. butuh biaya? belum tentu - karena dengan dialog yang baik, KPA tidak akan mengeluarkan dana sepeserpun. Bahkan mendapatkan bonus, selain pengetahuan - juga jejaring yang bisa dikembangkan untuk ke depan.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, akan kembali pada KPA itu sendiri - akan tetap memilih sebagai prajurit dalam PB atau menjadi bagian yang menentukan arah penanggulangan bencana di Indonesia. Tujuan utamanya tentu pada terpenuhinya hak masyarakat untuk tetep bermartabat.</div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Jakarta - rumah perlawanan JATAM,, 10 Februari 2016</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-19675643920939639312016-03-06T01:30:00.001+07:002016-03-06T01:51:00.427+07:00PENGURANGAN RISIKO BENCANA<i>Sudah lama ternyata gak lagi menyentuh blog ini...<span class="fullpost">
</span></i><br />
<div>
<i>mencoba untuk mencoret-coret apa yang ada di kepala.. juga kegelisahan hati terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai paradigma. Ya sebagai cara pandang yang menjadi acuan para penggiat Manajemen Risiko Bencana (MRB) yang di Indonesia dikenal dengan Penanggulangan Bencana (PB).</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>PRB sebagai Paradigma, dari waktu ke waktu</b></div>
<div>
Sudah mafhum, ketika para penggiat PB menempatkan PRB sebagai paradigma. Paling tidak, wacana ini mulai menggeliat paska konverensi dunia tentang PB tahun 1994 di Yokohama. Selanjutnya, tahun 1999, Dewan Ekonomi - Sosial PBB mengeluarkan resolusi 63/99 tentang dekade pengurangan risiko bencana. satu tahun berikutnya (2000), PBB membentuk ISDR (<i>international strategi disaster risk</i>) dengan empat fungsi utama; 1) kebijakan, strategi dan koordinasi; 2) advokasi dan komunikasi; 3) manajemen informasi dan jejaring; serta 4) regional outrech dan kemitraan untuk implementasi. Puncaknya, tahun 2005 diadakan pertemuan tingkat tinggi (<i>World Converence</i>) Pengurangan Risiko Bencana kembali di Kobe - Hyogo dan menghasilkan Kerangka Aksi Hyogo (<i>Hyogo Frameworks for Action - HFA</i>) dan menjadi kiblat seluruh Negara anggota PBB dalam mengelola risiko bencana di negara masing-masing.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
PRB sebagai paradigma atau cara pandang - tentunya tidak dibatasi oleh judul. Tapi lebih pada substansinya. Kontek itulah yang menempatkan PRB telah menjadi cara pandang dalam manajemen bencana pada era akhir 80 - 90-an. Dan <i>World Converence</i> di Yokohama yang menghasilkan strategy and plan for safer world, sekalipun fokus pada lingkup sosial ekonomi - telah meletakan cara pandang holistik dalam penanggulangan bencana.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lebih jauh lagi - tahun 1972, sebuah konverensi tingkat tinggi telah diadakan di Stokholm - Swedia yang membahas tentang padagma pembangunan berkelanjutan. Pertemuan yang menghasilkan 2 norma yang terbungkus dalam Stockholm Declarations tersebut telah menempatkan prinsip 21 terkait dengan kerusakan lingkungan dan prinsip 24 tentang kewajiban bekerjasama. Jika kita membedah isi deklarasi stockholm - prinsip-prinsip PRB sangat kental disana. khususnya terkait risiko bencana non geologis seperti banjir, longsor, kebakaran, kekeringan atau pencemaran lingkungan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kontek ini akan terlihat korelasinya jika kita memandang PRB sebagai paradigma. Sama halnya saat ini secara bersama kita mengkaitkan PRB terhadap MDG's sebagai agenda internasional. atau mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai respon atas pemanasan global yang menghantui kehidupan dunia.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div>
lebih jauh lagi - pada era sebelum tahun 80-an, dimana fokus PB lebih pada tanggap darurat dan bantuan darurat. Pada dasarnya juga menjadi bagian dari PRB. Sekalipun hanya sebagian saja. asalkan upaya tanggap darurat dan bantuan darurat dilakukan dengan pertimbangan, tidak memunculkan risiko baru atau meningkatkan risiko yang telah ada. sedangkan prinsip building back better dalam artian sesungguhnya - secara tegas menjadi bagian dari karakter dari PRB itu sendiri.</div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hyogo Frameworks for Action (HFA) yang berlaku untuk masa 15 tahun (2005 - 2015), menjadi tonggak sejarah dalam pengelolaan kebencanaan. PRB tidak hanya diletakan sebagai pradigma secara eksplisit, tapi juga secara tegas menawarkan kerangka kerja yang lebih kongkrit terkait PRB. Konverensi yang dihadiri lebih 158 Negara dengan lebih dari 4000 peserta ini meletakan 5 langkah mendasar sebagai sebagai prioritas aksi; 1) memastikan bahwa PRB sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat; 2) mengidentifikasi, menjajaki dan memantau risiko-risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; 3) menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamtan dan ketahanan disemua tingkat; 4) mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasar (manejemen lingkungan dan sumberdaya alam, praktik-praktik pembangunan sosial dan ekonomi, dan tata guna lahan, IMB dan alat ukur lainnya); 5) memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk respon yang efektif disemua tingkatan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lima langkah mendasar tersebut jika kita cermati sangat menarik dan krusial dalam memahami PRB sebagai pradigma. Jika dilihat secara visual, maka makna PRB bisa jadi dipahami hanya pada upaya pra bencana pada tahapan penanggulangan bencana. Namun jika dikaji lebih dalam - PRB tidak saja pada pra bencana, tapi juga pada semua tingkatan. Baik pra, saat maupun paska bencana.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Paska berakhirnya komitmen yang tertuang dalam HFA, konvrensi dunia tentang PRB dilanjutkan di Sendai dan menghasilkan Sendai Frameworks. tidak banyak berubah secara substansial dari HFA, Sendai Frameworks (SF) merumuskan 4 aksi kunci untuk 15 tahun mendatang (2015 - 2030). Prioritas aksi tersebut meliputi : 1) Memahami risiko bencana; 2) penguatan tata kelola risiko bencana; 3) investasi PRB untuk resilensi dan 4) meningkatkan manajemen risiko bencana.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>Menyelami PRB sebagai paradigma</b></div>
<div>
PRB sebagai cara pandang (paradigma) menunjukan sebuah konsep yang menempatkan PB atau manajemen risiko bencana dilakukan secara holistik. PB tidak lagi dipandang secara sektoral yang terkait penanganan bencana secara langsung. tapi variabel-veriabel yang berkorelasi atas risiko, baik terkait dengan ancaman bencana, kerentanan maupun kapasitas baik langsung maupun tidak langsung perlu dipertimbangkan. Dalam kontek ini, tidak saja pada fase pra bencana, tapi juga saat dan paska bencana.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b><i>PRB pada fase pra bencana</i></b></div>
<div>
Tidak sulit melihat PRB pada fase pra bencana. Selain secara visual dapat dibaca melalui konsepsi yang terkait dengan PRB (salah satunya HFA atau SF), PRB bukan dengan mudah dipahami sebagai kegiatan pra bencana. Artinya, untuk mengurangi risiko bencana yang ada, harus dilakukan sebelum bencana itu terjadi.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pemaknaan seperti di atas tidak lah keliru. karena berbagai upaya mereduksi risiko, harus diakui sebagian besar dilakukan jauh-jauh sebelum adanya kejadian bencana. bahkan sejak diketahui adanya potensi bencana. Untuk itulah, kajian risiko bencana menjadi penting dilakukan. Bahkan dianggap sebagai dasar dalam melakukan PRB. Dan untuk sampai tahu dan memahami risiko bencana yang ada, mengenal ancaman yang berpotensi menjadi pemicu bencana adalah dasar dari kajian risiko.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Menjadi sebuah pertanyaan mendasar. apakah upaya meredam risiko pada pra bencana secara otomatis merupakan bagian dari PRB? tentu tidak. tidak sedikit upaya meredam dampak bencana yang dilakukan pada pra bencana harus dikatakan tidak menggunakan paradigma PRB. tentu ini menimbulkan pertanyaan lanjutan. Kok bisa? Ya menjadi sangat bisa - jika upaya tersebut memunculkan ancaman atau risiko baru. Atau bisa jadi meningkatkan risiko yang sudah ada karena banyak sebab. Bisa jadi karena minimnya kajian, pendekatan sektoral, atau terjadinya pemindahan risiko dari satu tempat ke tempat yang lain. dimana penduduk yang akan menerima dampak tidak memiliki kemampuan dalam menghadapi ancaman yang ada.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Contoh kasus yang banyak terlihat adalah pengendalian banjir dengan pendekatan mekanik. untuk mengendalikan banjir, dibuat DAM, meluruskan sungai, membuat tanggul atau membeton bantaran sungai. Pada satu titik tertentu - misalnya curah hujan ekstrim (diatas batas normal), maka air hujan akan menjadi lebih merusak dibandingkan sebelumnya. atau bertambahnya luasan banjir ditempat lain - sementara wilayah yang dibuat tanggul bisa jadi aman. atau contoh kasus reklamasi pantai yang akhirnya menggerus (abrasi) dan banjir rob menjadi meluas di daerah lain. Pembangunan sabo penanahan lahar hujan di Merapi pun menunjukan ketidak efektifan sebagai pengendali - tapi sebeliknya meningkatkan risiko dari sebelumnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pada kegiatan-kegiatan rekayasan sosial - dengan tujuan untuk meningkatkan ketangguhan komunitas. Pun tidak sedikit yang tidak dapat disebut PRB. munculnya ketergantungan baru terhadap pihak luar, berubahnya kultur kebersamaan dan gotong royong atau munculnya elit-elit komunitas yang tercerabut dari sistem sosial yang telah terbentuk adalah contoh kasus yang tidak asing kita lihat. Jika indikator keberhasilannya adalah sebuah peta risiko yang dibuat komunitas, dokumen RPB, tim siaga bencana dll. semua bisa ditunjukan. Tapi, apakah komunitas secara riil betul2 merasa berdaya? atau justru muncul perpecahan dan ketidak pedulian - karena kelompok yang didampingi memunculkan kecemburuan sosial? atau mereka hanya akan mau bergerak jika ada bantuan (materi)?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Merasa sudah melakukan PRB dengan sesuaguh-sungguhnya adalah penyakit kronis yang harus diwaspadi dalam PRB sebagai paradigma PB Penyakit karena ini akan menjadikan kerentanan sebagai variabel risiko menjadi lebih tinggi. Merasa sudah melakukan kajian, merasa sudah melatih komunitas, merasa sudah punya kebijakan dll. sementara realitasnya, hanya sebagian kecil dari komunitas yang ada yang tahu dan paham. semetara, tidak ada upaya transformasi sosial atau minimal transfer pengetahuan dan kemampuan atas berbagai upaya tersebut.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Banyaknya produk kebijakan, baik regulasi maupun rencana dan program serta anggaran yang tersedia untuk PB sampai saat ini belum mampu mendorong PRB sebagai arus utama kebijakan secara menyeluruh di Indonesia. UU No 24/2007 misalnya, yang saat ini telah memasuki usia 8 tahun - belum mampu dijadikan sebagai regulasi yang dipatuhi oleh seluruh K/L atau pemerintah daerah. UU PB seolah hanya milik BNPB dan BPBD di Provinsi dan Kabupaten. Padahal, sebagai Undang-undang, seharusnya milik dan berlaku untuk seluruh instansi dan warga negara Indonesia. demikian juga dengan UU lainnya seperti UU No 32/2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, UU No 5/90 tentang pengelolaan sumberdaya alam, atau undang-undang lain yang bersifat melindungi seperti UU HAM, Perlindungan perempuan dll.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
PRB dipahami sebagai kegiatan pra bencana dan menafikan PRB sebagai cara pandang PB (untuk seluruh tahapan bencana) sangat umum. Bahkan di Indonesia seolah menjadi pemahaman yang benar. pemahaman ini sering kita dengar dalam pertemuan-pertemuan baik formal maupun non formal yang menegaskan - bahwa PRB merupakan kegiatan pra bencana. sedangkan saat dan paska bencana bukan bagian dari PRB. Pemahaman ini juga diperkuat dengan adanya struktur resmi pada lembaga negara yang mengurus tentang PB. adanya direkorat PRB dibawah kedeputian pencegahan dan kesiapsiagaan menunjukan PRB adalah kegiatan pra bencana. dan ini diikuti oleh lembaga di daerah (BPBD) melalui bidang I; pencegahan dan kesiapsiagaan. sehingga menjadi sangat mafhum pemahaman PRB lebih ditempatkan sebagai bentuk kegiatan. bukan cara pandang atau pradigma sebagaimana pemahaman awal; PRB sebagai pradigma Manajemen Risiko Bencana atau Penanggulangan bencana. sementara PB dipahami sebagai seluruh serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulknya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggapi darurat dan dan rehabilitasi (UU No 24/2007, ps 1 (5)).</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b><i>PRB pada fase saat bencana</i></b></div>
<div>
PRB sebagai pradigma atau cara pandang PB, jika merujuk pada pemahaman PB itu sendiri adalah <i>"serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana"</i> (UU No 24/2007, ps 1 (10).</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Secara substansial, PRB telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kerja tanggap darurat atau emergency response. Dilakukan dengan segera, bahkan pada pasal selanjutnya diperkuat lagi dengan prinsip yang tertuang dalam pasal 3 (2) berupa 9 prinsip. yang jika kita dalami merupakan bagian dari nilai-nilai dari PRB itu sendiri. Cepat, tepat, prioritas, koordinasi, pemberdayaan atau berhasil guna merupakan penguat atas upaya PB dalam menangani dampak buruk, menyelamatkan dan melindungi, memenuhi kebutuhan dasar serta memulihkan sarana dan prasana. intinya adalah, bagai proses tanggap darurat, bantuan darurat dan pemulihan dapat mengurangi penderitaan penduduk terkena bencana. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Mengurangi penderitaan adalah poin penting jika upaya pra bencana yang dilakukan sebelumnya tetap menjadikan sebuah kejadian memenuhi katagori bencana. Mengurangi penderitaan yang tidak memunculkan ketergantungan, tidak memunculkan dampak buruk atau risiko bencana baru, atau menambah kerentanan adalah cara pandang PRB dalam fase tanggap darurat. PRB sebagai paradigma wajib melekat dalam penanganan tanggap darurat. tidak saja berlaku pada penduduk terkena bencana, tapi juga pada pelaku yang menjalankan kerja-kerja tanggap darurat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Contoh kasus bantuan bencana yang memunculkan risiko baru-dari mulai pemberian bantuan kadaluarsa, keracunan obat, memunculkan wabah, konflik di masyarakat, ketergantungan atau merusak sistem sosial masyarakat sudah seharusnya dihilangkan. Untuk itulah, menjadi mafhum ketika muncul gagasan dan saat ini telah menjadi bagian dari kebijakan - relawan PB, harus bersertifikat. artinya, para relawan atau pekerja kemanusiaan harus memiliki pengetahuan dan skill dalam melakukan kerja-kerja penanggulangan bencana. Memahami dan mau menjalankan paradigma PRB dalam seluruh rangkaian kerja-kerja tanggap darurat. sehingga mampu menjadikan kejadian bencana sebagai sebuah media untuk menjadikan komunitas lebih tangguh, lebih berdaya dan mandiri.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b><i>PRB pada fase paska Bencana</i></b></div>
<div>
tahapan atau fase penangulangan bencana di Indonesia mengalami penyesuaian. hal ini tidak terlepas sebagai bagian dari pensiasatan sistem pengelolaan keuangan negara. Paska Bencana yang umum terdapat pada empat tahapan; bantuan darurat, pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi dibuat rumusan baru. Bantuan darurat dan pemulihan dini (<i>early recovery</i>) dan yang seharusnya menjadi bagian dari pra bencana; siaga darurat (bagian dari kesiapsiagaan) - disatukan dalam satu tahapan tanggap darurat. sedangkan pemulihan, rehablitasi dan rekonstruksi disatukan satu tahapan menjadi rebalitasi dan rekonstruksi. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Jika merujuk pada UU dan PP No 21/2008, tidak ditemui istilah-istilah tersebut. karena saat perumusan regulasi tersebut masih merujuk pada teori yang berkembang dan berlaku di hampir seluruh dunia. Namun pada perjalanan impelementasi PB di Indonesia, kendala tersebut ditemui, salah satunya adalah sistem penganggaran yang tidak memungkinkan prinsip cepat dan tepat dapat dijalankan. Maka munculah penyesuaian-penyesuaian dengan munculnya istilah baru. tentu ini bukan persoalan besar. karena teori yang berkembang bukan berarti harus diikuti. tapi justru kondisi setempatkan yang perlu menjadi pertimbangan utama. namun, pertanyaan menjadi sangat simple, siapa yang harus disesuaikan dan menyesuaikan. Bukankan UU PB itu bersifat lek specialist? artinya Regulasi yang bersifat khusus? sehingga bisa jadi sistem yang perlu disesaikan dengan kebutuhan dari UU PB. karena tidak hanya sistem penganggaran, tapi juga kita bisa lihat bagaimana lembaga PB di daerah yang tidak berdaya atau krisis SDM yang mumpuni dalam menangani PB. Apalagi jika harus melekat cara pandang PRB didalamnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Building back better</i> sebagai prinsip dari rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan cermin dari PRB sebagai paradigma. tentu dengan ketentuan, prinsip tersebut dipahami secara holistik. tidak saja dilihat dari aspek fisik, tapi juga non fisik. tidak saja pada ancaman bencana primer, tapi juga seluruh ancaman atau risiko bencana yang ada atau mungkin ada. tidak saja pada aspek manusianya, termasuk sistem sosial ekonomi - tapi juga aspek ekologis. artinya pembangunan harus lebih baik dari sebelumnya dipahami secara menyeluruh, lintas isu dan lintas sektoral.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Polemik relokasi penduduk terkena bencana erupsi gunung sinabung terkait lahan menjadi menarik. Saat lahan yang dibutuhkan berada pada kawasan hutan lindung. Jika dilihat dari aspek kemanusiaan - maka apalah artinya hutan lindung. hutan bisa saja dibangun ditempat lain. tapi manusia yang terkena bencana, harus segera mendapatkan kepastian kehidupannya. Namun dari aspek ekologis, seberapa penting fungsi hutan lindung menopang sistem ekologis pada lingkungan setempat maupun lingkungan bawahnya. apa dampak yang mungkin terjadi, jika fungsi hutan hilang. tidak saja fungsi lingkungan, apakah keragaman hayati akan terganggu. misalnya adanya satwa atau tanaman endemik yang hanya ada diwilayah tersebut. atau kawasan tersebut menjadi bagian dari habitat satwa yang terancam puncah. Aspek lain tentu akan memiliki pertimbangan, seperti ketersediaan air, udara, atau bahkan hak tenurial masyarakat lainnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Suksesnya BRR membangun rumah buat warga aceh dan nias sisi jumlah patut diapresiasi. tidak sedikit jumlah rumah yang harus dibangun hanya dalam tempo 5 tahun masa kerja BRR. tapi, diantara bangunan yang "mungkin" jauh lebih bagus dari bangunan sebelumnya sudah secara otomatis menjadi indikator keberhasilan dari prinsip <i>building back better</i>? Belum tentu. tanpa menghilangkan apresiasi dan hormat para pekerja dan relawan atas pembangunan rumah, kita bisa lihat dari sisi lokasi. apakah lokasi rumah-rumah yang telah dibangun masih berada di wilayah rawan bencana tinggi? apakah bangunan yang berdiri berdasarkan rekonstruksi tahan gempa? apakah fasilitas yang disediakan telah menjamin terjadinya proses evakuasi jika terjadi bencana? itu baru dari aspek fisik, bagaimana dengan cara pandang, pendidikan, ekonomi maupun sistem sosial masyarakat. apakah telah dapat dikatakan lebih baik dari sebelum kejadian bencana tsunami 2004?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
PRB sebagai paradima dalam rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi lekat pada seluruh program atau pendekatan maupun kegiatan yang dibutuhkan. kembali lagi - kajian risiko menjadi penting dilakukan sebagai bagian dari perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. dan kajian risiko sendiri perlu dikaji ulang, baik komponen-komponen yang ada maupun pendekatannya. Kajian risiko harus mampu menemukenali penyebab dan pembentuk risiko. sehingga upaya pengelolaan risiko bencana menjadi tepat sasaran. Dan dalam proses untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi - kajian risiko tidak hanya terfokus pada ancaman bencana primer (penyebab kejadian bencana saat itu), tapi juga risiko lain yang ada diwilayah tersebut. tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan saat itu, tapi juga harus memperhatikan kecenderungan perubahan ke depan. Dan dampak perubahan iklim perlu menjadi pertimabangan utama. sehingga proses rekabilitasi dan rekonstruksi akan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam upaya adapatasi perubahan iklim. tidak hanya dalam menentukan lokasi relokasi misalnya, tapi juga dalam menentukan mata pencaharian, membangunan infrastruktur dll.</div>
<div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Jakarta, 5 Maret 2016</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-37782850.post-33895521069138724482013-03-27T07:45:00.001+07:002016-03-06T01:32:14.527+07:00MANDI DAN MINUM AIR HUJAN, BERANI?<div>
Oleh: Yovi Toni (sudah diposting sebelumnya di blog Kompasiana)</div>
<div>
<i>tulisan ini merupakan karya Yovi Toni. Sangat menarik buah karya beliau dan tentu penting untuk menjadi pembelajaran kita bersama dalam penangguangan bencana. tidak hanya dalam tanggap darurat, tapi juga untuk upaya pra maupun paska bencana. tinggal, bagaimana kita melihat proses panen hujan tersebut dilakukan. apakah air hujan yang telah tertampung tersebut melalui media lain yang memiliki tingkat higienist yang cukup baik. sehingga tidak perlu sentuhan apapun karena merupakan air murni....</i></div>
<br />
<div>
<br /></div>
<div>
Rata-rata curah hujan Indonesia di atas 2 meter per tahun. Yang artinya
kalau semua air hujan yang turun tidak mengalir ke mana-mana, tidak
meresap dan tidak menguap maka Indonesia terendam setinggi 2 meter.
Jumlah yang terlalu banyak, sehingga malah menimbulkan keluhan. Kita
senang di hari-hari pertama musim hujan, lalu mengeluh di hari-hari
berikutnya dan sangat lega ketika musim hujan akhirnya benar-benar
pergi. Sekali lagi, karena kita menganggap hujan turun melampaui kebutuhan sehari-hari kita.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Di banyak tempat, dalam situasi banjir dan tanah longsor, sumber air tawar yang paling utama adalah air hujan. Bahkan untuk beberapa daerah beriklim kering di Indonesia, air hujan menjadi satu-satunya sumber air sepanjang tahun.</div>
<div class="MsoNormal">
Tapi untuk daerah yang berlimpah air bersih, air
hujan kurang mendapatkan tempat, bahkan imejnya buruk. Ini hanya
gara-gara ada anak kena flu sehabis kehujanan, atau kena diare sehabis
minum air hujan. Air hujan dituduh sebagai biangnya.</div>
<div class="MsoNormal">
Dan karena Indonesia berkelimpahan air tanah, kita
lebih sering mendengarkan cerita buruk tentang air hujan. Beda dengan
wilayah beriklim kering seperti Afrika, Australia Utara atau di
Pakistan, di mana air hujan sangat dihargai.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
<br />
Ketika air hujan dipakai untuk minum dan dan mandi, saya mencatat beberapa keluhan yang paling sering diungkapkan.</div>
<div class="MsoNormal">
<strong>Kekuatiran pertama</strong>: apakah aman menggunakan air hujan sebagai air minum? <strong>Kedua</strong>, mengapa air hujan rasanya hambar, tidak sesegar rasa air tawar. <strong>Ketiga, </strong>mengapa mandi air hujan, menimbulkan rasa licin seperti masih ada sabun yang lengket? <strong>Keempat</strong>, adakah metode pengolahannya sehingga air hujan bisa seperti air tawar pada umumnya?</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<strong><br /></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<strong>Air hujan itu bersih dan murni:</strong></div>
<div class="MsoNormal">
Dalam siklus air, semua air permukaan dimurnikan
oleh proses penguapan yang kemudian membentuk awan, terkondensasi dan
turun sebagai hujan. Harusnya tidak ada perdebatan, bahwa air hujan
adalah air yang paling bersih dan paling murni. Paling bersih dalam
artian, bebas mikroorganisme pathogen; paling murni dalam artian bebas
partikel terlarut. </div>
<div class="MsoNormal">
Salah satu ukuran kemurnian air adalah TDS (total
dissolved solids= total padatan terlarut) dalam ppm (parts per million).
Makin sedikit nilai TDS, makin tinggi kemurniannya. Misalnya air laut
30.000 ppm, air sungai 500-1.000 ppm, air kemasan 10-120 ppm, dan air
hujan 3-20 mg/L. Air hujan memiliki partikel terlarut paling sedikit.
Sebuah kelebihan sekaligus kekurangan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Walaupun bersih, tetapi dalam perjalanan dari awan
hingga ke tanah, mungkin saja air hujan tercemar misalnya karena jatuh
ke atap rumah yang kotor,atap rumah mungkin saja tercemar kotoran burung
atau bangkai serangga dan atap asbes bisa melarut. Atau mungkin
ditampung dalam wadah yg kotor dan penyimpanannya tidak ditutup. Yang
paling sering, kualitas air hujan menurun karena tercemarnya udara di
lokasi turunnya hujan. Itu sebabnya air hujan di daerah pedesaan jauh
lebih bersih dari daerah perkotaan yang banyak industrinya.</div>
<div class="MsoNormal">
Jadi masalah bersih dan higienisnya air hujan
sebagian besar tergantung pada kondisi di atas. Kalau hal-hal tersebut
beres, maka air hujan aman dipakai sebagaimana air tawar lainnya.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<strong><br /></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<strong>Rasa hambar air hujan:</strong></div>
<div class="MsoNormal">
Air bisa berbeda rasa karena adanya mineral yang
berbeda, baik jenis maupun jumlah. Padahal air hujan tidak mengandung
mineral. Lidah tiap orang sudah terprogram untuk memberikan persepsi
yang berbeda tentang rasa air yang “segar”. Itulah yang sering menjadi masalah karena minum air yang rasanya asing bagi lidah lalu dirasakan sebagai “tidak menghilangkan rasa haus” walaupun sudah minum banyak. Dan lalu disebut airnya tidak segar.</div>
<div class="MsoNormal">
Saya pernah mempunyai teman yang tinggal di pantai
dan sering minum air payau. Kalau bikin kopi dengan air tawar, dia
selalu menambahkan sedikit garam dan menurut dia itulah kopi yang enak.</div>
<div class="MsoNormal">
Unsur “rasa” pada air bukanlah masalah kesehatan.
Itu lebih ke masalah estetika. Dan rasa hambar pada air hujan disebabkan
karena hampir tidak adanya partikel yang terlarut.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<strong><br /></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<strong>Badan serasa licin sehabis mandi air hujan:</strong></div>
<div class="MsoNormal">
Penjelasannya ada dalam ilmu kimia: bagaimana sabun bekerja?</div>
<div class="MsoNormal">
Pertama, molekul sabun bisa dibayangkan sebagai
ular: ada kepala, ada ekor. Kepalanya itu mineral logam dan ekornya yg
panjang itu lemak. Begitu masuk air, keduanya terpisah. Kepalanya larut
dalam air dan tetapi ekornya tidak larut. Masih ingat kan, lemak
(minyak) yang tidak mau bercampur dengan air.</div>
<div class="MsoNormal">
Kedua, busa yang kita dapatkan setiap mandi dan
mencuci adalah karena lemak dari sabun yang membuat ikatan baru dengan
mineral kalsium atau magnesium yang biasanya selalu ada di air tawar.
Begitu busa terbentuk, dia keluar dari dalam air. Dan terbilas kalau
disiram. Jadi ketika kita mandi, lemak dari sabun yang menempel ke
badan, bisa dengan mudah lepas karena ada mineral kalsium dari air
tawar.</div>
<div class="MsoNormal">
Air hujan tidak mempunyai mineral kalsium itu. Makanya semua cerita di atas lalu tidak berlaku lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
Celakanya, karena yg kita cari waktu mandi adalah
busa sabun, dengan semangat kita menggosok lebih banyak sabun di badan,
walaupun busa tidak kunjung terbentuk. Hasilnya, makin
banyak lemak terus menempel dan yang sudah menempel tidak mau larut
dalam air. Frustrasi berlanjut waktu kita membilas badan. Kita terus
menyiram lebih banyak air hujan tetapi badan kita tetap saja licin. Kita
kehabisan air, menyerah dan hanya bisa bilang “mandi air hujan kok licin di badan yah….”</div>
<div class="MsoNormal">
Jadi yang bikin licin badan bukanlah air hujan tetapi sabun yang kita pakai.</div>
<div class="MsoNormal">
Karenanya kurangi pemakaian sabun saat mandi air
hujan, dan tidak paksakan menggosok sabun hingga terbentuk busa. Atau
jika punya sedikit kapur sirih, tuangkan seujung sendok kapur sirih ke
dalam air untuk mensuplai kalsium.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<strong><br /></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<strong>Mengolah Air Hujan?</strong></div>
<div class="MsoNormal">
Apakah kita perlu mengolah air yang sudah murni?
Membuat air hujan menjadi berasa air tawar artinya menambahkan mineral
logam ke dalam air hujan. Ada yang mensiasatinya dengan menambahkan
sedikit garam dapur dan kapur sirih agar penampilannya serupa air tawar
pada umumnya. Ini cara yang cerdas dan hebat. Tapi ini juga sebuah upaya
yang hanya cari repot dan tidak perlu. Hanya karena rasanya asing,
bukan berarti air hujan bermasalah.</div>
<div class="MsoNormal">
Jadi, daripada memikirkan cara membuat air hujan sesegar air tawar, lebih baik membiasakan lidah dengan rasa baru tersebut.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
http://green.kompasiana.com/iklim/2013/03/17/mandi-dan-minum-air-hujan-berani-543612.htm<span class="fullpost">
</span>Eyankshttp://www.blogger.com/profile/14198574484805434509noreply@blogger.com2