Wednesday, March 30, 2016

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARING DALAM PRB

Pagi yang cerah... teringat permintaan Om Agus Bengkulu (FPRB Bengkulu) untuk minta refrensi tentang laporan pembelajaran. Melalui sohib yang baik hati, Om Google, coba mencari2 materi terkait. Sampailah ke halaman Blog Ahmad Archery yang menyuguhkan Contextual Teaching and Learing (TCL) - (http://ahmadarchery.blogspot.co.id/2014/04/contoh-laporan-analisis-pembelajaran.html). 

Sangat menarik ulasan yang disuguhkan sekalipun dalam bentuk laporan. Pikiran pun menerawang kepada Sekolah/Madrasah Aman yang sedang didorong segenap Ornop dan mendapatkan respon positif dari BNPB dan Kemendikbud. Juga inisiasi yang mendorong API PRB untuk menjadi bagian materi dalam Gerakan Pramuka Indonesia. Sebuah pengembangan dari inisiatif di tingkat Global Kepanduan Internasional untuk membuat Bedge atau Tanda Kecakapan untuk isu perubahan iklim. Dengan judul Climate Change Challange Challange Badge, FAO sebagai salah satu unit di PBB menjadi lembaga yang akan mengembangkan di dunia. 

TCL menjadi menarik ketika pendekatan yang ditawarkan adalah sebuah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh. Siswa didorong untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mampu menerapkannya dalam kehidupan mereka. 

Pada masa penulis sekolah, jadi teringat pendekatan yang mulai diperkenalkan saat itu dengan judul CBSA (Cara belajar siswa aktif). Ya, itu kurang lebih 30an tahun yang lalu. Dan masih teringat dengan lekat, bagaimana kegagapan guru-guru untuk menerapkan perubahan kebijakan pendidikan yang sebelumnya cenderung satu arah. Namun jika dicermati, CBSA sebagai pendekatan baru pada dasarnya tidak lah baru. Karena di luar jam sekolah, Guru-guru kami melakukan dialog dengan siswa secara bebas. Tidak jarang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk mendapatkan jawaban secara mandiri. Tentu di luar materi sekolah. Dan jika ditelisik lebih jauh - proses belajar yang mungkin dianggap bukan menjadi bagian pelajaran di sekolah lebih dapat diterima. Misalnya, Guru meminta siswa untuk membawa tanaman dari rumah untuk ditanam di sekolah. Jika menjadi tugas sekolah, maka permintaan itu sekedar membawa jenis tanaman tertentu dan segera ditanam di depan kelas. Berbeda saat guru melepaskan diri dari tuntutan pelajaran. Guru kami akan meminta juga mempelajari bagaimana tanaman tersebut tumbuh, bagaimana merawatnya juga manfaat dari tanaman tersebut. sehingga terjadi dialog yang lebih konstruktif dari permintaan membawa tanaman. Dan ini yang kami rasakan sebagai CBSA yang sesungghnya.

Dalam Blognya yang diambil dari Laporan Observasi Lapangan yang dilakukan di SD Pancasila Lembang, Ahmad S.Pd, M. Pd menekankan tiga hal yang perlu dipahami dari konsep CTL. 
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan siswa hanya menerima pelajaran saja, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapa memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

FUNGSI EKOLOGIS DAN RISIKO BENCANA

Fungsi ekologis memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk risiko bencana. Fungsi tersebut dapat terkait erat dengan membentuk atau penyebab ancaman bencana, kerentanan maupun kapasitas. Sayangnya, komponen ini masih belum dijadikan sebagai salah satu  yang menentukan tingkat risiko bencana. 

Mempertimbangkan fungsi ekologis dalam menentukan risiko bencana, sekalipun dianggap penting, namun nampaknya masih enggan untuk didalami kemungkinan menjadi bagian dalam pengkajian risiko bencana. Keengganan tersebut, bisa jadi karena adanya kerumitan-kerumitan yang akan dihadapi dari metode yang berkemang saat ini. Bisa dibayangkan, bagaimana risiko banjir misalnya harus juga menghitung fungsi hutan dari sisi daya dukung menangkap, menyimpan atau menahan air hujan. selain indikator yang saat ini digunakan berupa tutupan lahan, kemiringan, jenis tanah, bentuk sungai dll. dan dalam menentukan kemampuan hutan (tidak sekedar tutupan lahan), juga akan dipertimbangkan jenis-jenis tanaman yang ada, bagaimana pola pengelolaan hutan, tingkat kerusakan dll.

Thursday, March 24, 2016

RENCANA KONTIJENSI KOMUNITAS

catatan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya. yang akan membuat tentang apa dan bagaimana rencana kontijensi yang disusun untuk kesiapsiagaan komunitas..

Pada dasarnya, rencana kontijensi yang disusun ditingkat komunitas tidak berbeda secara prinsip dengan rencana kontijensi (renkon) pada level Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Nasional. Sebuah rencana yang disusun untuk situasi tak terduga (bencana) untuk memobilisasi sumberdaya yang telah disiapkan secara sistematis, cepat dan tepat. sehingga dampak bencana yang ditimbulkan dapat ditekan semaksimal mungkin untuk mengurangi risiko bencana yang ada. 

Renkon pada tingkat komunitas merupakan gambaran riil, bagaimana pengurangan risiko bencana (PRB) dioperasionalkan dalam bentuk manajemen risiko bencana. Renkon sebagai sebuah proses membangun kesiapsiagaan komunitas, merupakan jauh lebih penting. dari mulai membangun komitmen dan kesepakatan para pihak, mengidentifikasi risiko, memetakan kebutuhan, ketersediaan dan kesenjangan maupun menyiapkan strategi dan rencana operasionalnya. Dokumen Renkon akan menjadi bagian penting untuk para pihak ingat apa saja komintmen dan tanggung jawab saat kondisi tak terduga (bencana) terjadi. Dan sebuah regulasi, apapun bentuknya akan memperkuat secara keseluruhan dari proses dan kesepakatan yang telah dibuat.

Renkon Komunitas Sebagai Cermin PRB
Sekalipun Renkon hanya bagian kecil dari manajemen risiko bencana yang dibutuhkan ditingkat komunitas,  namun dapat menjadi salah satu indikator - bagaimana PRB telah menjadi bagian dari budaya di Masyarakat. Renkon sebagai bagian dari indikator tentu tidak hanya dilihat dari keberadaan dan bentuk dokumen yang dihasilkan. Dari seberapa tebal atau bagusnya design dokumen tersebut. Atau dari keberadaan regulasi seperti Peraturan Desa atau sejenisnya.

Renkon komunitas sebagai cermin dan budaya PRB dapat dilihat dari seberapa besar komunitas maupun para pihak menempatkan tujuan, fungsi dan peran dari Renkon itu sendiri. Menempatkannya sebagai sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari kebutuhan untuk mengurangi dampak bencana yang akan dihadapi dan diterima oleh komunitas sendiri. Kesadaran akan risiko diri dan adanya komitmen untuk mengatasi merupakan dasar proses penyusunan Renkon. Tanpa kesadaran atas bahaya dan upaya diri dan komunitas untuk mengatasi ancaman tersebut - proses Renkon sebaiknya ditunda atau tidak dilakukan. Namun bukan berarti proses untuk penyusunan renkon menjadi tidak layak atau tidak perlu dilakukan. Tapi fokus kegiatan atau program - lebih diprioritaskan pada membangun kesadaran kritis komunitas itu sendiri. Rekayasa sosial diperlukan pada komunitas yang tidak menempatkan ancaman bencana sebagai masalah - karena akan diselesaikan oleh orang atau pihak luar.

Banyaknya dokumen Renkon yang tidak operasional (tidak menjadi acuan saat dibutuhkan) - sebagian besar karena terlewatkannya tahapan krusial ini. Banyak faktor yang menyebabkan proses ini terlewatkan. Namun sebagian besar dikarenakan adanya target project yang dibatasi oleh waktu. Persoalan muncul saat penyusunan perencanaan untuk menyusun renkon, perencana tidak paham akan esensi dari renkon. Otak project hanya menempatkan kesuksesan sebuah kegiatan ditandai dengan adanya dokumen Renkon, foto-foto kegiatan, absensi peserta penyusun, atau besaran serapan anggaran sesuai dengan yang direncanakan.

Terminologi Bencana yang dirumuskan oleh UN ISDR (2004), dimana sebuah kondisi atau kejadian dapat disebut bencana dengan menempatkan kemampuan dan sumberdaya komunitias dalam mengatasi dampak yang ada. Kondisi atau kejadian yang menyebabkan ketergangguan dan merugikan dapat ditutupi untuk tidak menjadi BENCANA, jika komunitas terkena dampak mampu mengatasinya. Baik dalam proses tanggap darurat, bantuan darurat, pemulihan maupun rehabilitasi dan rekonstruksi. Kondisi ini juga menunjukan, bagaimana upaya pra bencana, baik upaya preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan menjadi kunci terhadap kemampuan komunitas dalam menghadapi ancaman bencana yang ada.

Terbangunnya kesadaran kritis atas ancaman dan dampak yang ditimbulkan serta keharusan semua penduduk terkena dampak untuk berbuat dalam kerengkan mengurangi risiko -  menjadi dasar tindakan lebih lanjut. Baik proses mengidentifikasi risiko bencana lebih spesifik, baik terkait ancaman bencana (karakteristik, besaran, luasan, durasi,  atau perulangan kejadian), kerentanan (aspek manusia, sosial budaya, ekonomi, infrastrutur dan lingkungan) maupun kapasitas. Proses analisis risiko dapat menjadi bagian dalam mengidentifikasi potensi dan sumberdaya yang dibutuhkan maupun yang tersedia  di tingkat lokal dalam menghadapi ancaman bencana. 
 
Serangkaian pengalaman komunitas dalam mensikapi bencana yang ada, merupakan media pembelajaran untuk mendapatkan berbagai gagasan dan inovasi dalam penanggulangan tanggap darurat. Apa yang sudah dilakukan dan bagaimana hasilnya dapat menjadi media pembelajaran bersama. selanjutnya dapat mulai menggali apa saja rencana yang telah disiapkan namun belum dapat dilakukan. Dialog menggali, bagaimana rencana yang ada mempengaruhi terhadap pengurangan dampak atau risiko menjadi point penting sebelum mendialogkan -  kenapa rencana tersebut tidak atau belum dapat dilakukan. Pengalaman dan rencana yang telah ada, lebih lanjut dapat menjadi warna saat didapatkan hasil kajian risiko bencana yang menunjukan kelas risiko pada wilayah komunitas.

Terbangunnya kekuatan kolektif komunitas dalam mensikapi dan berkomitmen untuk mengelola risiko bencana adalah wujud kongkrit -  bagaimana PRB diaktualisasikan. Prinsip lain yang harus melengkapi cara pandang (paradigma) PRB dalam PB adalah Renkon tidak memunculkan implikasi terhadap sektor atau risiko bencana lainnya. Implikasi ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, Seperti Renkon yang dibuat dan disepakati, menyebabkan fungsi fasilitas publik tidak berjalan sebagaimana fungsinya. Seperti Gedung Sekolah yang dijadikan tempat pengungsian, Puskesmas tidak berjalan karena tenaga kesehatan lebih diarahkan melayani tempat-tempat pengungsian atau bentuk lainnya. Memunculkan risiko baru dapat terjadi jika Renkon tidak mempertimbangkan risiko bencana baru. seperti kemungkinan terjadinya wabah penyakit, konflik sosial, kebakaran dll.

Kondisi ini menunjukan - penyusunan Renkon tidak lah sederhana. Keterlibatan para pihak serta orang yang memiliki kemampuan dalam manajemen risiko bencana menjadi sangat penting. Paling tidak, dibutuhkan fasilitator yang memiliki kemampuan tidak saja teknik fasilitasi, tapi juga memahami konsepsi PRB -  selain teknis Renkon. Pada bebarapa kasus, kemungkinan dibutuhkan narasumber sebagai bagian dari proses peningkatan kapasitas.

Konsep strategis (Strategic concept) penyusunan Renkon menjadi salah satu media penting penyamaan  persepsi para pihak atas Renkon.  Sebagai dokumen bersama -  para pihak perlu satu persepsi, tujuan dan memahami seluruh proses serta kerja-kerja yang akan dilakukan  dalam penyusunan Renkon. Gambaran menyeluruh tentang proses Renkon yang akan dilakukan - menjadikan para pihak dapat mengalokasikan waktu, tenaga maupun bentuk lainnya terlibat dalam proses penyusunan Renkon.

Pengalaman proses penyusunan Renkon untuk kelurahan di DKI Jakarta, dibutuhkan panduan untuk fasilitator yang mendapatkan mandat mempermudah proses penyusunan Renkon. Panduan dapat menjadi acuan bagi fasilitator dalam menyiapkan maupun apa yang perlu dilakukan dalam proses penyusunan Renkon. Sebagai panduan -  tentu tidak bersifat baku. karena dinamika setiap tempat tentu memiliki karakteristik berbeda antar satu dengan yang lain. Namun, prinsip-prinsip mendasar dari tahapan penyusunan Renkon relatif sama. Panduan Fasilitator untuk proses penyusunan Renkon, download disini

Wednesday, March 16, 2016

CONTINGENCY PLANNING

Paparan ini merupakan bagian dari proses penyusunan rencana kontijensi (contungency planning) komunitas tingkat kelurahan yang difasilitasi oleh BPBD DKI Jakarta tahun 2013 - 2014. Sebuah gagasan dalam membangun ketangguhan komunitas dalam menghadapi ancaman bencana banjir yang menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat DKI Jakarta. Kelompok masyarakat sipil berkolaborasi bersama BPBD DKI Jakarta dalam menyiapkan berbagai persiapan. Dari mulai training yang difasilitasi oleh MercyCorps Indonesia untuk Program Adaptasi Perubahan Iklim dan pengurangan Risiko Bencana untuk Ketangguhan (API Perubahan), Wahana Visi Indonesia, Child Fund, MPBI, Forum API PRB DKI Jakarta, Dompet Duafa, Bingkai Indonesia juga kelompok masyarakat Jelambar baru, Kedoya, Komunitas bantaran sungai Ciliwung dll.



Jakarta identif dengan banjir. Tidak satupun pimpinan daerah yang mampu menyelesaikan banjir secara tuntas. Sekalipun topik ini selalu diangkat dalam pemilu kepala daerah sebagai isu yang diharapkan mampu meraup suara. Sama halnya dengan kemacetan yang telah menjadi bagian tidak tidak terpisahkan dari kehidupan Ibu Kota Negara RI sekaligus pusat ekonomi, sosial -  budaya.

Ya, Jakarta tidak akan betul-betul bebas bajir. Karena secara alamiah wilayahnya merupakan wilayah tampungan air. 13 sungai mengalir melewati wilayah Jakarta dan bermuara di laut jawa. Sungai Ciliwung dan Cisadane merupakan sungai besar yang berhulu di kawasan Jawa Barat. adanya aliran sungai besar ini lah justru menjadikan wilayah ini dipilih sebagai wilayah strategis yang menarik minat para pencari kehidupan material. 

Banjir Jakarta tempo dulu - sumber : Kaskus
Masa penjajahan Belanda, banjir telah menjadi permasalahan utama. kejadian banjir besar tercatat antara lain tahun 1621, 1654, 1873, dan 1918. Sedangkan banjir pada umumnya tetap berlaku pada wilayah bantaran sungai dan daerah cekungan sepanjang tahun. Namun, banjir yang tergolong besar 20 tahun terakhir dapat dilihat pada tahun 1996, 1999, 2002, 2007 dan 2012. Untuk itulah, dikenal pula siklus 5 tahunan untuk banjir besar Jakarta. Namun banjir yang terjadi tahun 2013 - 2014 nampaknya memutus persepsi banjir besar terjadi setiap lima tahunan.

Mengurus banjir untuk wilayah Jakarta yang telah menjadi pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, telah diurus secara serius pada masa pemerintahan Belanda. Dibentuknya Burgelijke Openhare Werken tahun 1850an sebagai badan khusus mengurus banjir Jakarta adalah salah satu bukti keseriusan tersebut. Paska Banjir besar tahun 1918, upaya lebih komprehensif dilakukan. Banjir Kanal Barat yang dibangun tahun 1922 merupakan artefak hidup hasil kerja tim penyusun rencana pencegahan banjir yang dikepalai oleh Dr. Herman Van Breen (Mustafak, Tempo -  23 Februari 2005).


Thursday, March 10, 2016

KAJIAN RISIKO BENCANA TERINTEGRASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Tulisan ini merupakan pokok pikiran dari sebuah proyek yang didukung oleh SC DRR -  UNDP dalam mengintegrasikan analisis perubahan iklim dalam kajian risiko bencana. Melalui proses panjang tentunya.. Masih menjadi wacana dalam pengimplementasiannya dari berjalan saat ini. Baik di BNPB dengan Kajian Risiko Bencana, maupun KLHK dengan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim maupun K/L lainnya sebagai dasar pengambilan kebijakan. Sehingga program pembangunan di Indonesia memiliki pradigma pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.


Sudah dimafhumi, jika Indonesia merupakan negara dengan sejuta ancaman. Beberapa peristiwa bahkan menjadi bagian dari perubahan sistem bumi. Letusan Gunung Toba, Tambora atau Krakatau tercatat sebagai peristiwa luar biasa yang mempengaruhi sistem iklim bumi. Dipercaya, letusan yang gunung Toba yang terjadi 74.000 tahun yang lalu dipercaya, salah satu penyebab punah sebagian kehidupan yang ada dibumi. Tidak saja karena dampak primer, tapi juga dampak sekunder. Dimana bumi mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan erupsi Gunung Tambora (1815) yang tercatat lebih rinci -  menyebabkan daratan Eropa gagal merasakan  musim panas pada dua musim. Peristiwa ini dikenal dengan  Tahun tanpa musim panas.

Tsunami Aceh, 2004 - sumber Tempo
Gempa yang diikuti gelombang tsunami, 26 Desember 2004 seolah menyadarkan kembali jika negeri ini memang republic of disaster. Tidak kurang dari 160.000 jiwa menjadi korban akibat amuk gelombang maha dahsyat di sepanjang pesisir Aceh, dari selatan sampai utara. selain Aceh dan Nias, negara tetangga pun ikut terdampak seperti Thailand, Laos, Maldives, India hingga afrika. Disusul dengan gempa Jogja dua tahun berikutnya (2006), tsunami Pangandaran (2006), Gempa di Sumbar sampai erupsi merapi (2007 dan 2009), tsunami di mentawai dan banjir bandang di Wasior yang berlangsung secara bersamaan pada tahun 2010. Dan yang tidak kalah dahsyat dan menjadi perhatian dunia adalah bencana semburan lumpur lapindo -  Sidorajo yang akhirnya berbuntut polemik, akibat peristiwa alam, yakni gempa Jogja atau karena kesalahan pengeboran.

Wednesday, March 09, 2016

PENCINTA ALAM DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA


Pandangan masyarakat atas diri pencinta alam (PA) cukup beragam. Bagi warga seputar gunung-gunung yang menjadi salah satu aktifitas, digambarkan dengan sekelompok orang berpakaian "nyentrik" dengan tas punggung besar besar. Bisa berbeda dengan warga masyarakat pada lokasi goa, tebing atau sungai berarus deras. Bagaimana dengan warga perkotaan dalam menilai sang pencinta alam? cuek, berpakaian tidak rapi dengan beragam aksesoris "aneh". 


Paling tidak, penilaian umum gak jauh2 amat dari kesan coboy. Namun bagi yang melihat lebih dalam, beragam pujian pun kerap muncul. Lebih dalam lagi, semakin mengagumi. Bahkan tidak jarang orang tua yang sebelumnya tidak memiliki background PA, mendorong anaknya untuk terlibat aktif dalam kegiatan PA.

Bekerja dalam kesunyian. Paling tidak itu yang terlihat jika kita bersama-sama melakukan kegiatan pencarian dan penyelamatan. entah karena ada sesama rekan PA yang hilang digunung, kecelakaan yang terjadi di hutan, laut atau sungai, maupun terlibat dalam kegiatan-kegiatan tanggap darurat bencana. Ya, sangat jarang terlihat, aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan membawa bendera atau uniform. sekalipun tidak pernah ada larangan secara tertulis. Namun etika diri untuk bersatu dalam kebersamaan -  menghilangkan ego diri maupun kelembagaan. 

Kerja-kerja kemanusiaan pada operasi tanggap darurat telah menjadi bagian utama kelompok pencinta alam (KPA). Dimana pun ada kejadian bencana, bisa dipastikan anggota KPA hadir disana. Baik secara resmi diutus oleh organisasi, maupun mengikuti panggilan jiwa dan tergabung dengan organisasi kemanusiaan atau lembaga resmi negara (SAR, BNPB/BPBD). Meraka akan berjibaku tanpa mengenal lelah dan berbaur dengan tim-tim yang ada. Gempa dan Tsunami Aceh, Desember 2004, mungkin menjadi momen terlibatnya KPA seluruh Indonesia dalam kerja-kerja kemanusiaan. dari mulai evakuasi jenazah, mengumpulkan dan distribusi bantuan, pendataan penduduk terkena bencana, pengelolaan data base maupun penguatan komunitas. Ribuan anggota pencinta alam berbaur menjadi satu. dan..... tanpa label yang menyertai, dari mana organisasi pencinta alam mana mereka berasal. demikan juga saat bencana gempa bumi di Jogjakarta, Maret 2006 atau Gempa Sumatera Barat 2007 dan 2009.

Pada kerja-kerja tanggap darurat, bantuan darurat sampai pada fase pemulihan, peran KPA begitu nyata. Ini juga yang menjadikannya salah satu penilaian positif dari banyak kalangan. Karena tulusnya kerja-kerja yang dilakukan KPA ini, tidak jarang banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk mengangkat nama besar mereka sendiri. Ya melibatkan para pencinta alam tidak lebih hanya sebagai "pekerja". namun luar biasanya -  panggilan kemanusiaan yang melekat pada diri para relawan dari KPA, tidak menjadikannya persoalan. "kami bekerja hanya untuk kemanusiaan -  tidak lebih".


Sunday, March 06, 2016

PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Sudah lama ternyata gak lagi menyentuh blog ini...
mencoba untuk mencoret-coret apa yang ada di kepala.. juga kegelisahan hati terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai paradigma. Ya sebagai cara pandang yang menjadi acuan para penggiat Manajemen Risiko Bencana (MRB) yang di Indonesia dikenal dengan Penanggulangan Bencana (PB).

PRB sebagai Paradigma, dari waktu ke waktu
Sudah mafhum, ketika para penggiat PB menempatkan PRB sebagai paradigma. Paling tidak, wacana ini mulai menggeliat paska konverensi dunia tentang PB tahun 1994 di Yokohama. Selanjutnya, tahun 1999, Dewan Ekonomi - Sosial PBB mengeluarkan resolusi 63/99 tentang dekade pengurangan risiko bencana. satu tahun berikutnya (2000), PBB membentuk ISDR (international strategi disaster risk) dengan empat fungsi utama; 1) kebijakan, strategi dan koordinasi; 2) advokasi dan komunikasi; 3) manajemen informasi dan jejaring; serta 4) regional outrech dan kemitraan untuk implementasi. Puncaknya, tahun 2005 diadakan pertemuan tingkat tinggi (World Converence) Pengurangan Risiko Bencana kembali di Kobe - Hyogo dan menghasilkan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Frameworks for Action - HFA) dan menjadi kiblat seluruh Negara anggota PBB dalam mengelola risiko bencana di negara masing-masing.

PRB sebagai paradigma atau cara pandang -  tentunya tidak dibatasi oleh judul. Tapi lebih pada substansinya. Kontek itulah yang menempatkan PRB telah menjadi cara pandang dalam manajemen bencana pada era akhir 80 -  90-an. Dan World Converence di Yokohama yang menghasilkan strategy and plan for safer world, sekalipun fokus pada lingkup sosial ekonomi -  telah meletakan cara pandang holistik dalam penanggulangan bencana.