Sunday, December 03, 2006


SPHERE STANDARD itu.. Sungguh aku sangat menghargai upaya keras banyak organisasi kemanusiaan menyusun kerangka acuan penanganan pengungsi. Kerangka acuan ini begitu penting. Tidak hanya untuk para pekerja kemanusiaan, untuk mempermudah kerja2 mereka. Lebih dari itu. Jutaan manusia yang terpaksa berstatus sebagai pengungsi menerima manfaat dari standard2 tersebut.

Terlepas dari standard2 minimum tersebut masih jauh untuk bisa diterapkan, secara substansi telah mulai menjadi kerangka acu. Kontraversi atas standard yang dinilai terlalu tinggi oleh berbagai negara, terlalu sulit diterapkan oleh pekerja kemanusiaan, atau terlalu berlebihan bagi organisasi yang baru pertama kali terjun ke dunia penanganan bencana.

Yang perlu dicatat adalah spirit dari SPHERE itu sendiri. Spirit menjunjung tinggi nilai2 kemanusiaan. Spirit yang mengembalikan martabat manusia sebagai mana kodratnya.

Lalu kenapa bisa muncul kontraversi jika spritinya seperti itu. Spirit yang sama tentunya dengan seluruh manusia yang masih waras. entah mereka2 yang sudah "konclak" otaknya.

SPHERE umumnya menjadi kontraversi ketika pemahaman atas standard2 tersebut tidak dipahami secara baik. Pemahaman permukaan, namun merasa sudah paham. Lebih celaka lagi, si orang tersebut mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Celaka dua belas lagi, si eksekutor malas untuk mempelajari (paling enggak baca sampe tuntas lah) tentang apa itu SPHERE. Si boss sok tahu, si pelaksana bego. Lengkaplah sudah distorsi SPHERE dalam implementasi. Karenanya... bisa jadi, akan berdampak luas ditingkat masyarakat, pemerintahan lokal dan pekerja kemanusiaan yang lain.

Pada kejadian bencana besar seperti di Aceh-Nias atau Jogja-Klaten akan sangat terasa sekali. Bagaimana tidak, kebutuhan yang harus dipenuhi tidak seimbang dengan ketersediaan. Untuk shelter aja misalnya. Pengungsi tercatat 1,5 juta yang tersebar luas. Sedangkan barangnya.. hanya 2.000 biji terpal ukuran 4 x 6. Pemerintah sendiri bingung mau menyediakan dari mana. Lembaga kemanusiaan yang siap dengan barang, tidak bisa segera menyediakan dalam waktu cepat. Paling tidak, dibutuhkan 3 - 5 hari untuk memobilisasi terpal2 yang berada di luar kota, atau bahkan di luar pulau. dibutuhkan sarana transportasi yang cukup besar untuk itu.

Dalam SPHERE berbicara kontek ideal. satu orang memerlukan ruang 3,5 m2. jadi kalau dalam keluarga tersebut berjumlah 5 orang, maka dibutuhkan ruang 17.5 m2. atau kalau 1 lembar terpal ukuran 4 x 6 (24 m2; ukuran lembar jika dibuat model tenda akan berkurang luasnya). Jumlah 2.000 lb jika dikaitkan dengan kondisi ideal, hanya mampu meng-cover 2.000 keluarga dengan rata2 berjumlah 5 orang atau 10.000 jiwa. lalu bagaimana dengan sisanya yang 1.490.000 orang? apakah mereka kita biarkan mereka menderita bahkan tewas hanya untuk mempertahankan kondisi ideal tersebut? Kondisi ini juga akan berlaku untuk pemenuhan air bersih, sanitasi, nutrisi atau makanan.

Secara akal sehat, tentu kita akan menolak menerapkan kondisi ideal dengan mempertaruhkan lebih banyak orang sebagai korban. Dan jika pun kita tidak mengikuti standard minimum seperti yang ada di SPHERE, tidak lah haram.
Percayalah, mekanisme lokal akan mengatur kekuranganan yang ada. Dan dalam SPHERE jelas2 disebutkan bahwa : menyesuaikan dengan sosio kultur lokal.


Hal yang perlu di catatat lagi adalah : Tugas utama memenuhi seluruh kebutuhan warga terkena dampak bencana adalah negara yang bersangkutan. Nah, disini menjadi lebih jelas. SPHERE merupakan alat advokasi. Karena tidak mungkin juga kita mengambil alih tugas negara kan. Kerja2 kita adalah memastikan negara menjalankan kewajibannya. sehingga, bukanlah sebuah persoalan bagi kita ketika kita hanya 2000 biji dan disitribusikan untuk memenuhi lebih dari 10.000 IDP's. Namun begitu, tapi harus tetap sadar, bahwa itu pemenuhan itu masih belum ideal. Kewajiban kita adalah, mendorong negara untuk memenuhinya sampai kondisi ideal itu tercipta. Artinya, jika dalam sebuah desa jumlah IDP's berjumlah 20.000, maka pemerintah harus menyediakan 2000 terpal dengan ukuran 4x6 untuk desa tersebut.

Disinilah perlunya koordinasi. Kerja2 yang dilakukan oleh banyak pihak, harus dikomunikasikan. sehingga tidak terjadi overlaping atau penumpukan di satu lokasi, dan kosong untuk lokasi lain. Selain koordinasi, data yang terkumpul harus dikelola dengan baik. saling mengkomunikasikan kerja2 yang dilakukan akan mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan kondisi ideal.

Masih blunder memahami tentang SPHERE sebagai kerangka acu penanganan pengungsi? baca aja langsung di http://www.sphereproject.org
Jangan pernah anda berkomentar SPHERE sulit dan tidak bisa dijalankan di Indonesia sebelum anda betul2 memahami... APA ITU SPHERE PROJECT


(gambar2 diambil dari website www.sphereproject.org dan www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A62072-2004May27.html)

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Friday, December 01, 2006

PRA DAN PENGELOLAAN RISIKO BENCANA



Participatory rural appraisal (PRA) begitu kondang dikalangan NGO's tahun 80-an. Semakin kondang memasuki tahun 90-an. Hampir semua NGO's yang bekerja dipedesaan menggunakan pendekatan ini untuk program2 pengembangan masyarakat. tidak hanya Ornop, UN pun mengadopsi pendekatan ini seperti yang dilakukan FAO, sebuah badan di tubuh PBB untuk urusan pangan. World Bank dan ADB pun tidak ketinggalan. Kekondangan ini pun dilirik beberapa instansi pemerintah yang mempunyai kedekatan program2 di pedesaan. Seiring kepopuleran PRA, terjadi pengembangan2 sesuai dengan kebutuhan. RRA (rapid rural appraisal) atau PAR (participation action research) misalnya yang muncul kerena kebutuhan riset pengembangan masyarakat. PLA (participatory learning and action) sebagai bagian dari proses learning by doing dan masih banyak lagi.

Adopsi terhadap metode PRA dalam berbagai bidang, selain menjadikan PRA menjadi semakin berfariasi dan berkembang, sisi lain menyebabkan degragasi nilai2 PRA itu sendiri. PRA yang tercipta dari proses panjang pengembangan komunitas hanya jadikan simbol. Simbolisasi dari proses "partisipasi". Ruang yang dibuka sang pemikir PRA banyak dibiaskan oleh banyak pihak. Terlalu banyak fasilitator PRA yang sebetulnya masih belum memahami substansi PRA turun ke desa2. Jargon2 partisipasi dikumandangkan yang bertolak belakang dengan proses yang dilakukan. PRA pun dijadikan alat justifikasi proses. PRA menjadi justifikasi kesepakatan2. PRA dijadikan alat justifikasi pengambilan keputusan.

Pembiasaan PRA sampai pada puncaknya. Cibiran pun datang bergelombang atas implementasi PRA sebagai proses partisipasi semu. Partisipasi seolah2 untuk kepentingan project.

Apapun yang terjadi dan dicibirkan banyak pihak, PRA sebagai pendekatan sungguh luar biasa. PRA sebagai proses pembelajaran atau sebagai tranformasi knowledge sungguh luar biasa. Belajar dari pengalaman, belajar sesama warga, belajar bersama memahami desa atau lingkungan sendiri dan belajar menghargai sesama warga adalah substansi dari PRA. PRA bukan lah 9 alat untuk menghasilkan data. PRA tidak harus dilakukan berdasarkan tahapan2 kaku penggunakan 9 tools tersebut yang selanjutnya terus berkembang.

PRA dalam pengelolaan risiko bencana sangat berjodoh. Melalui pemetaan sumberdaya, akan terungkap pula sumber2 ancaman yang ada. Lewat pemetaan sumberdaya tentu akan membicarakan juga berbagai potensi yang mengancam terhadap sumber daya tersebut. Demikian juga ketika mendiskusikan sesama warga atas runtutan peristiwa, kecenderungan dan perubahan maupun menggali lebih dalam berbagai persoalan penting. Lewat analisis kelembagaan (diagram ven), antar warga akan dapat melihat seberapa besar peran lembaga2 yang ada berfungsi dalam kehidupan warga. bagaimana pola hubungannya antar lembaga dan dengan warga masyarakat. Bagaimana lembaga tersebut berperan untuk pengurangan risiko dan dampak bencana. atau seberapa siap lembaga2 yang ada untuk melakukan reduksi ancaman atau menanggulangi ketika bencana terjadi.

PRA sekali lagi hanya lah alat. sebuah media yang bisa digunakan untuk bersama-sama mengenal dan mempelajari berbagai potensi dan masalah. lewat obrolan ringan yang terstruktur, akan ditemukan berbagai gagasan cemerlang sebagai solusi.
Sebelum menerapkan PRA, menjadi penting untuk mengenal substansi dari PRA itu sendiri. mempelari dengan seksama tools yang ada sebagai media membangun proses bersama masyarakat. Jangan terjebak pada alat2 PRA... karana akan membiaskan proses dan substansi partisipasi itu sendiri.



terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
BENCANA SETELAH BENCANA..


itu loh mas, hutan di sana udah pada gundul. Slamet menunjuk daerah perbukitan yang memang sudah botak. Minggu pagi, hari yang seharusnya ceria karena merupakan hari libut sekolah. hari yang biasa diisi oleh canda tawa renyah anak2. Hari yang juga menyenangkan buat orang tua karena anak2 mereka membantu kerja mereka.

Sejak semalaman hujan seolah di tumpahkan dari langit. tidak satu pun warga desa terpencil keluar rumah. Padahal biasanya, selepas isya, mereka duduk2 sambil ngobrol2 di beberapa tempat. Kelopok pemuda, punya tempat favorite sendiri. Kelompok Tua pun demikian. Kelompok2 ibu2 muda pun tidak ketinggalan. Berkumpul sambil ngerumpi di salah satu rumah sambil menonton sinetron. Namun, malam itu, hujan yang begitu deras memunculkan keengganan untuk keluar rumah.

Jam menunjukan pukul 12.45 WIB, ketika suara bergemuruh mengiringi nyanyian hujan yang mulai menegecil. Gemuruh bak mesin pesawat jet begitu cepat mendekat ke arah perkampungan. Warga yang belum terlelap pun bertanya2, suara apakah gerangan? Belum sempat menemukan jawaban, tiba2 rumah2 mereka hancur berkeping di terjang benda pekat. Jeritan kesakitan dan ketahutan pun serentak menggema penuhi udara kampung. Sesaat hening... lalu terdengar2 kembali suara parau meminta tolong, berbaur dengan rintih kesakitan.

Banjir bandang... telah meluluh lantakan sepertempat kampung lereng bukit. Kampung yang selalu nyaman dan mengundang decak kagum para tamu. Udara yang segara, sapa ramah penduduk atau berbagai produk lokal yang ditawarkan. sekalipun tidak mudah mencapai desa terpencil tersebut, terbalaskan seluruh jerih payah dalam perjalanan dengan suasana yang damai. Silahkan mampir bu.. sapa perempuan tua disela kesibukannya menjemur kemiri. Gadis2 manis lugu pun menebarkan senyum indahnya menujukan sikap ramah bermungkus malu.

Banjir bandang... meninggalkan luka. Luka fisik dan luka jiwa yang menganga. Anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak. Kehilangan kerabat dekat, dan harta benda yang secara perlahan dikumpulkan selama menjani kehidupan. Tidak ada lagi tawa renyah disela obrolan ringan antar tetangga. Tidak ada lagi tangis anak yang berebut mainan. Hilang bersama air bah bercampur lumpur, batu dan kayu2 glondongan.

Begitu cepat banjir bandang mencipta bencana. Mencipta penderitaan dan Mencipta kepanikan seluruh pihak. Kepanikan penanganan akibat media massa yang memberitakan terus menerus sebab, kondisi desa, dan penanganan pengungsi. Seluruh sumberdaya dikerahkan untuk menanganani kejadian bencana. Tim evakuasi, dapur umum, tim kesehatan sampai penyediaan tempat hunian dan makanan. Berbagai fasilitas publik pun disulap menjadi tempat2 penampungan sementara.

Kepanikan akibat dari sorotan publik atas penanganan bencana perlu kita cermati. Kesigapan yang begitu hebat terlihat namun tidak pernah ditemui di lapangan. Evakuasi misalnya, seolah2 terlihat serius dilakukan ketika moncong2 kamera merekan aktifitas mereka. Ketika tidak ada, mereka melakukan ala kadarnya. Duduk2 santai, sambil menikmati kepulan asap tembakau. Medis dan pra medis terlihat ramah.. berubah muka masam ketika tidak ada yang mengawasi. Demikian juga dengan yang lain.
Ini adalah fakta yang terjadi di banyak tempat. Kesigapan untuk menepis bahwa pemerintah serius menangani korban bencana.

Kesigapan kamuflase. Kesigapan yang sebetulnya tidak sigap. Kesigapan atas dasar kepanikan. Kesigapan untuk menutup aib sebuah kesalahan besar, sebuah kesalahan paling fatal atas mandat negara yang paling hakiki. Melindungi segenap tumpah darah dan bangsa..
Kepanikan ini jelas terlihat dari bagaimana mereka bekerja tanpa sistem, perencanaan dan dukungan pendanaan yang cukup. Menangani jiwa2 yang sedang bertahan untuk tetap hidup dengan hanya menggunakan insting.

Dana tersedia untuk penanganan bencana yang terpampang di APBN - APBD sama sekali tidak didasarkan atas kondisi dilapangan. Berapa penduduk rentan dan besaran potensi ancaman. Berbagai sumberdaya tersedia tidak dikelola dalam sebuah sistem "rencana kemungkinan darurat" (contingency planning). Jika banjir bandang terjadi di sebuah desa dengan populasi sekian, kondisi jalan yang telah terpetakan dan sistem informasi tersedia. Berapa sumberdaya harus dikerahkan. tempat penampungan sementara, jumlah air harus tersedia, jumlah medis dan paramedis berikut obat2annya, kendaraan sebagai sarana transportasi lengkap dengan jenis yang sesuai dengan medan yang akan ditempuh, sampai sumberdaya manusia seperti apa yang dibutuhkan. Jika tidak tersedia, bagaimana bisa mendatangkan ke lokasi bencana. butuh berapa lama untuk itu. Kebutuhan logistik berapa dan berapa tersedia?

Ini semua dapat dibuat jika peta rawan dan komunitas rentan bencana telah tersedia. dari data tersebut, akan dengan mudah dibuat sistem kedaruratan atau berbagai upaya preventif untuk reduksi risiko dan dampak bencana. RAPBD - RAPBN pun dengan mudah menganggarkan besaran budget, berapa untuk kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan, berapa untuk emergency respon - recovery nya. Dana tersebut, bisa saja dititipkan melalui instansi teknis dengan catatan khusus. Atau berada di satu lembaga khusus dengan kebijakan khusus pula.

Ketidak siapan menanganai bencana akan menimbulkan bencana baru. salah satunya yang dikenal dengan post disaster desease (wabah penyakit paska bencana). ISPA, Diare, Campak, gizi buruk adalah penyakit biasa namun dapat menjadai penyakit mematikan pada kondisi pengungsi. Selain ketersediaan 5 kebutuhan dasar sesuai dengan kebutuhan, sistem pun akan sangat menentukan. Ketersediaan barang mungkin cukup atau bahkan melimpah, tidak menjamin sampai ke pengungsi dengan baik. Penanganan Aceh-Nias adalah sebuah fakta. Masih Banyak barang bantuan setelah 2 tahun kejadian bencana yang masih tertahan di pelabuhan2, bandara atau bahkan gudang2 logistik pemerintah. Buruknya sistem adalah penyebab utamanya. Koordinasi antar instansi tidak jalan dalam menghadapi kondisi darurat.

Bencana pun dapat terjadi sebelum bencana sesungguhnya terjadi. Lagi2 pada penanganan yang tidak didasarkan atas sistem dan ketersediaan kebutuhan yang memadai. Letupan merapi menyebabkan banyak pihak bergidik. Korban jiwa yang terjadi akibat dari bencana menyebabkan pemerintah lebih dini bersikap. Penduduk pun di ungsikan. Masalah muncul ketika tidak disertai dengan kecukupan kebutuhan. Tempat penampungan tidak memadai, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan pun jauh dari cukup. Berbagai kegiatan seremonial para pejabat pun menambah beban baru bagi warga yang dipaka mengungsi.
Lebih tragis lagi, warga yang meniggalkan desa karena perintah dari pemda tidak mendapatkan jaminan apa2 atas aset2 yang ditinggalkannya. Tidak pula dipikirkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bencana pun terjadi sebelum bencana yang sesungguhnya datang...

Sebagai warga yang juga punya hak untuk dilindungi dan diselamatkan dari ancaman bencana, apa yang bisa kita lakukan? Faktanya.. negara masih mengabaikan hak2 tersebut. Negara, dalam hal ini pemerintah masih tidak menjalankan mandat paling hakiki tersebut?

WALHI, sebagai bagian dari kelompok masyarakat sipil akan terus mendorong kewajiban2 negara untuk melakukan itu. Mendorong melalui berbagai aksi kongkrit. Bergabunglah.. dan mari bersama2 warga lain untuk mendesakkan berbagai upaya mereduksi risiko dan dampak bencana...

Wednesday, November 29, 2006

Memetakan Sumber Acaman & Sumberdaya



Memetakan sumberdaya itu penting. Tidak kalah penting juga memetakan sumber2 ancaman. Mengetahui sumber ancaman dan karateristiknya dapat menjadi modal bersiaga. Modal untuk mengurangi risiko dan dampak dari ancaman tersubut. Modal untuk lebih hati2 memanfaatkan sumberdaya. Dan modal untuk lebih menghargai kehidupan...

Begitu penting memetakan sumber2 ancaman. dengan mengetahuinya, akan muncul segenap upaya, baik secara langsung berkaitan dengan ancaman atau tidak langsung. langsung akan dilakukan ketika sumber ancaman dapat langsung diintervensi untuk dihilangkan atau dikurangi. Tidak langsung ketika sumber ancaman tesebut tidak mungkin diintervensi. Gunungapi, gempa bumi dan tsunami misalnya. Dari sisi sumber, terlalu sulit untuk menghilangkan bahayanya. dan sulit juga mengurangi secara langsung. Yang dapat dilakukan adalah, mengelola risiko dan dampak dari ancaman pada seluruh proses menjalani kehidupan.

Memulai memetakan sumber2 ancaman tidak harus ada pakar geologi atau kebencanaan. Apalagi harus menggunakan segenap alat canggih yang super mahal. Teodolit, GPS, Kompas dll. Pemetaan dapat dimulai ddengan mulai berdiskusi ringan seputar ancaman yang dirasakan, dilihat, dialami atau dikhawatirkan terjadi. Berbagai kejadian yang telah terjadi dapat dijadikan (sekalipun berskala kecil) sebagai signal jika sebuah daerah rawan. Kejadian terakhir dapat dijadikan titik acuan mengurut kejadian2 sebelumnya atau bisa jadi sejak terbentuknya komunitas disitu. untuk itu, dibutuhkan narasumber dari orang2 tua. Tahun berapa pernah terjadi bencana, seberapa besar dan diwilayah mana saja yang terkena, apa pemicunya. Apakah ada korban jiwa?

Penuturan dengan melibatkan berbagai unsur, usia dan gender merupakan bagian tranformasi informasi. Proses disertai dialog, menjadikan proses belajar antar warga. Dari penuturan tersebut (sejarah kejadian2 bencana), dapat menjadi titik awal untuk mulai melakukan pemetaan. Pemetaan yang didasarkan atas kesadaran kritis untuk meruduksi risiko dan dampak bencana. Untuk itu, seluruh sumber-sumber ancaman bencana perlu dipetakan. Lainnya, tidak berbeda dengan peta2 yang ada di kelurahan/Balai Desa atau Kecamatan. Hal yang membedakan, adalah pendetilan dari peta2 tersebut. Selain Jalan2 yang ada, bangunan publik, Jembatan, maupun sawah/kebun dan sungai, perlu melihat lebih detil lagi. Pendetilan dikaitkan dengan sumber2 bencana yang telah terpetakan.

Sumber ancaman yang terpetakan, tentu harus dikaitkan dengan kejadian2 bencana sebelumnya, jika pernah terjadi. Apakah ancaman yang ada merupakan bagian dari kejadian bencana2 sebelumnya atau baru muncul akibat berbagai perisitiwa berikutnya. Peta harus juga memetakan daerah-daerah rawan dan rentan. Rawan adalah daerah-daerah yang secara langsung berisiko terkena dampak dari ancaman bencana. Rentan adalah kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekwensi (fisik, sosial, ekonomi, dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana.

Lewat peta, warga akan melihat secara langsung kerawanan dan kerentanan yang ada. Wilayah mana ada yang mungkin terkena bencana. siapa yang paling berisiko misalnya balita, manula, difable atau orang, keluarga atau komunitas termarginal. Lewat peta juga, warga akan melihat penyebab2 bencana sekaligus mendapatkan gambaran berbagai upaya mitigasi-kesiapsiagaan sebagai bagian dari reduksi bencana.

Memulai penyusun peta bahaya dan sumberdaya bisa dimulai dari mana pun dengan berbagai situasi. yang terpenting adalah, ada satu atau dua orang yang melakukan pendokumentasian proses. Bisa penyusunan peta dilakukan saat kita berkumpul untuk jaga malam. Atau bahkan sekedar nongkrong2 ngobrol ngalor ngidul. Dengan memfokuskan pada satu pembicaraan (membuat peta), akan tersusun sebuah peta sumberdaya dan peta bahaya yang lengkap.

Monday, November 27, 2006

MEMULAI MENGELOLA RISIKO BENCANA


Mengelola risiko bencana itu gampang.. Bener kah? Padahal.. kalau denger2 dari para pakar, aktifis, atau para pekerja kemanusiaan.. kok sulit banget. Butuh dana guede banget. Juga banyak prasyarat lainnya. Kalau gampang, kenapa gak bisa dilakukan? Padahal ancaman yang ada di Republik Bencana ini begitu besar.. 93 % dengan tingkat kerentanan warganya ampe 98 %.


Gampang, kalau ada niat dan mau ngejalaninnya. Tahu bagaimana memulai dengan sumberdaya yang dimiliki. Kalau ngomong problem, pasti ada. Kendala pasti akan ditemui. Dan itu wajar. Karena untuk bikin jalan kampung aja, kita akan dihadapkan dengan segenap progbem. Padahal, jalan tersebut jelas2 akan dipake oleh seluruh warga.

Mengelola bencana mulai dari mana kalau begitu? Bisa mulai dari manapun. Namun yang terpenting adalah, kesamaan persepsi ditingkat warga itu sendiri. Sama-sama memahami kalau kampungnya terancam dengan jenisnya ancamannya, menyadari kerentanan yang dimiliki dan tahu risiko ketika ancaman itu datang. Setelah itu, kita bisa melakukan dari manapun. Bisa dari memetakan lebih detil kapasitas dan kerentanan. Dari meruntut sejarah kejadian bencana, perubahan dan kecenderungan atau bisa juga mulai dengan pengembangan jaringan. Mencari temen di luar yang bisa diajak bermain bersama.

Membangun kesepahaman
Membangun kesepahaman ditingkat warga adalah hal yang utama. Dan ini juga yang kerap dilupakan banyak pihak ketika mengembangkan program-program pengelolaan risiko bencana. seolah, membangun persepsi cukup dengan sekali atau dua kali sosialisasi. Dengan kepala desa atau kepala dusun ikut ngomong, seluruh warga tahu dan paham nilai penting dari mengelola risiko bencana. trus langsung memulai proses lanjutan yang kadang udah di bikin tanpa melibatkan warga. Pemetaan kapasitas dan kerentanan lah. Ngadain training, workshop, bikin organisasi local dll.

Paham aja belom, sudah “dipaksa” untuk memulai kerja2 pengelolaan risiko bencana. Kalau indikatornya, berjalannya kegiatan tersebut, sudah dipastikan jalan. Namun, apakah mereka melakukannya dengan kesadaran atau hanya kerana sekedar terlibat.

Keterlibatan, khususnya buat masyarakat pedesaan bukan berarti mereka sepakat lo. Tidak juga bisa diartikan mereka paham dan dengan kesadaran penuh bersama-sama menjalankan kerja-kerja mereduksi bencana, atau apapun. Keterlibatan bisa hanya dikarenakan rasa sungkan, tidak enak hati atau ya sebagai bagian dari kultur. Jadi, kalau mereka terlibat menjadi bagian dari training misalnya atau perencanaan program, jangan bangga dulu kalau partisipasi mereka cukup bagus dan mendukung program yang sedang kita usung. Apalagi kalau pertemuannya di hotel mewah, dan dikasih transport lagi.

Persoalan mendasar itu bukan tidak disadari oleh banyak pihak yang melakukan inisiasi membangun kesiapsiagaan, mitigasi, pembangunan kembali atau apalah yang merujung pada pengurangan risiko bencana. Namun, kadang waktu dan ketersediaan waktu mengabaikan hal yang substansial. Dan akhirnya, yang penting program berjalan, uang proyek habis, ada bukti kalau proyek itu bisa dijalankan seperti keterlibatan, produk dari kegiatan dll dan selesai.

Betul, untuk menumbuhkan kesadaran kritis butuh proses. Gak salah juga kalau salah satu kegiatan transformasi itu melalui sosialisasi dengan melibatkan aparat pemerintahan local atau tokoh masyarakat. Bukan berarti gak bener kalau kegiatan langsung tancap gas ke training, workshop dll. Tapi yang harus disadari adalah, apakah warga masyarakat dimana kita menjalankan program betul sudah paham nilai penting dari program yang sedang dijalankan dan seberapa mereka menganggap penting.

Celakanya adalah, baru sekali sosialisasi, kita sudah memvonis, masyarakat sudah tahu dan paham dan kedatangan mereka sebagai sebuah bukti dukungan. Ramainya diskusipun dijadikan indicator daya kritis masyarakat. Celaka dua belas. Karena anggapan itu, maka tidak ada lagi upaya untuk lebih menanamkan pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan strategi atau melihat lebih detil kondisi objektif di lapangan. Konyolnya lagi, ini disikapi dengan pendampingan atau kerennya pengorganisasian masyarakat hanya dengan cara kunjungan resmi ke lokasi program. 2 – 4 jam sekali seminggu atau dua kali seminggu atau bahkan sebulan sekali. Bagaimana bisa terjadi transformasi jika pendekatannya seperti ini. Apalagi sang pendamping, atau pengorganisasi masyarakat, sadar atau tidak sadar.. merasa sebagai “si segala tahu”

Memetakan Kapasitas dan kerantanan
Pemahaman yang sudah sampai ke memori masyarakat tentang nilai penting mengelola risiko bencana akan menghantarkan mereka melakukan pemetaan kapasitas dan kerentanannya sendiri. Pemetaan dilakukan baik secara individu, tingkat keluarga atau kolektif. Individu umumnya lewat refleksi diri. Jika ancaman seperti ini, apa yang bisa saya lakukan. Apakah saya punya kemampuan menyelamatkan diri, meyelamatkan keluarga dan menyelelamatkan harta. Apa yang paling penting harus dilakukan. Bagaimana kondisi rumah kita, apakah cukup aman. Aset-aset yang sekarang ada, apakah cukup aman ketika ancaman datang. Pertanyaan ini akan terjawab dengan jujur karena diperuntukan untuk dirinya sendiri. Lalu beralih ke keluarganya dan kelompok2 komunitas lainnya.

Perenungan diri atau diskusi informal akan terus bergulir. Obrolan2 ringan adalah sebagai bagian juga dalam menyamakan persepsi antar individu. Sebagai bagian meningkatkan pemahaman atas risiko bencana. serangkaian obrolan itu lah yang akan membawa pada agenda-agenda kerja yang lebih kongrit, seperti pemetaan kapasitas dan kerentanan secara kolektif, pemetaan daerah rawan dan warga yang rentan, pemetaan sumber daya dan sumber-sumber ancaman dll. Obrolan ringan ini dapat juga mulai mengarah pada kerja-kerja advokasi, misalnya medesak pemerintah desa untuk mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan kawasan, menghentikan operasional usaha yang berpotensi meningkatkan kerentanan dan kerawanan atau mencari orang yang mempunyai pemahaman tentang mitigasi bencana.

Banyak hal yang bisa dilakukan ketika kesadaran ktiris mulai muncul. Sadar atas kerentanan dan kapasitas yang dimiliki. Sadar atas fakta yang ada dan dihadapi. Tahu betul risiko dan dampak yang akan diterima ketika tidak berbuat. Akan terjadi pembantaian massal melalui alat pembunuh dari alam. Entah itu banjir bandang, letusan gunung api, gempa, tsunami atau lainnya.

200 ribu lebih warga Aceh adalah tumbal atas pengabaian risiko dan dampak bencana. 7000 lebih warga Jogja – Klaten sample ketidak pedulian atas potensi ancaman bencana. Ratusan ribu lain adalah tewas sia-sia dari kebodohan semua pihak terhadap kerentanan warga negari ini yang hidup di negeri bencana. Akan kah kita membiarkan pembunuhan dan bunuh diri massal ini terus berlangsung..??? sementara, begitu mudahnya kita bisa memulai mengelola risiko bencana dari diri kita sendiri, keluarga kita, komunitas kita. Dan memaksa pemerintah sebagai penanggung jawab jalannya negeri ini menjalankan kewajibannya. Melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman bencana.

Sunday, November 26, 2006

WALHI dan Pengelolaan Risiko Bencana

Sejak kelahirannya dan mewarnai dinamika pengelolaan lingkungan hidup, 26 tahun yang lalu, WALHI telah secara langsung bersentuhan dengan persoalan kebencanaan. Peringatan dan peran2 WALHI dalam pengelolaan lingkungan merupakan bagian dari upaya preventif dalam pengelolaan lingkungan hidup. Upaya tersebut semakin nyata dari tahun ke tahun.

Perubahan paradigma kerja-kerja pengelolaan lingkungan semakin memperjelas upaya nyata WALHI dalam pengelolaan risiko bencana tahun 90-an. Karakter WALHI semakin jelas ditunjukan melalui berbagai upaya advokasi yang dilakukan. Suka atau tidak suka, WALHI dengan anggota yang tersebar di seluruh nusantara menjadi momok bagi pengusaha dan birokrat nakal. Terobosan legal standing adalah salah satu record WALHI dalam bidang hukum di Indonesia. Pengelolaan bencana sekalipun tidak secara tegas muncul, namun upaya2 yang dilakukan jelas menunjukan WALHI telah mengembangkan pengelolaan risiko bencana.

Bencana asap akibat kebakaran lahan di Sumatra dan Kalimantan, 1997 memaksa WALHI untuk melihat persoalan bencana menjadi menyeluruh. emergency response yang sebelumnya tidak ditangani WALHI mulai mulai dipertimbangkan. Ratusan ribu warga tercekik asap akibat lahan2 gambut terbakar serta buruknya perhatian pemerintah atas persoalan ini menjadikan WALHI mengambil peran lebih kongkrit. Advokasi pun dilakukan bersamaan dengan kerja-kerja kemanusiaan. Demikian juga saat Jakarta dikepung banjir tahun 2001.

Diskusi panjang ditingkat institusi WALHI terus bergulir. pro kontra atas inisiatif WALHI melakukan kerja2 pengelolaan bencana secara lengkap mewarnai setiap saat. Sekalipun masih belum secara resmi menjadi divisi tersendiri, namun WALHI di daerah sudah mulai mengembangkan CBDM. independensi tiap daerah memungkinkan WALHI di tiap daerah membentuk karakternya sendiri. Menyusun dan menjalankan programnya sesuai dengan kondisi objektif dari daerah itu sendiri. WALHI jogja, bersama KAPPALA Indonesia dan CD Bethesda telah melakukan kerja2 riil pengelolaan bencana berbasis Masyarakat sejak Merapi menghantam dusun Turgo, Februari 1994.

Sekalipun tidak secara lengkap menjalankan program CBDRM, fokus WALHI pada advokasi lingkungan hidup tetap menyandar kuat pada risiko bencana. berbagai kebijakan yang memperbesar kerawanan dan kerentanan menjadi fokus kerja WALHI. penguatan organisasi rakyat maupun pembelaan lingkungan diarahkan pada analisis risiko bencana yang akan terjadi. Demikian juga advokasi dalam penataan dan pemanfaatan ruang. Berbagai analisis tersebut terbukti saat ini. Bencana semakin meluas dan masyarakat menjadi korban utama dari salah urus dan salah kebijakan tersebut.

Mega Bencana Tsunami, 26 Desember 2004 merenggut direktur eksekutif WALHI Aceh bersama 200 ribu lebih warga lain. Kerja-kerja penanganan bencana dilakukan WALHI sejak awal. bersama ratusan relawan yang datang dari berbagai daerah serta kelompok2 masyarakat sipil, WALHI bergerak. Kerja-kerja kemanusiaan berbaur dengan upaya mendorong perdamaian. 30 tahun aceh di cekam ketakutan akibat konflik bersenjata. 30 tahun juga rakyat aceh dibuat tidak pasti dalam menjalani kehidupannya.

Penanganan luar biasa dengan dukungan penuh dari seluruh lembaga anggota, eksekutif daerah serta WALHI Nasional menghantarkan WALHI lebih berperan nyata. WALHI pun dapat disejajarkan dengan berbagai organisasi dunia yang telah berpengalaman menangani bencana. dan melalui pertemuan nasional lingkungan hidup (PNLH), pertemuan tertinggi dalam organisasi WALHI, diputuskan untuk membentuk divisi khusus (desk) untuk menangani bencana dan proses pembangunan kembali Aceh dan Sumatra Utara.

Mandat kelembagaan semakin memposisikan WALHI eksis diantara lembaga-lembaga internasional dalam pengelolaan bencana. Berbagai even tingkat nasional, regional bahkan internasional telah membuktikan WALHI sebagai lembaga dengan konsep yang jelas dalam pengembangan pengelolaan risiko bencana.

Kini, berbagai gagasan WALHI mewarnai berbagai inisiatif pengelolaan bencana di tingkat nasional dan asia pasifik. Dan itu akan terus berkembang untuk mewujudkan tercapainya kehidupan warga negara yang lebih bermartabat. terbebas dari ketakutan atas ancaman bencana...

Saturday, November 25, 2006

REPUBLIK BENCANA

Sumpah...!!! Indonesia itu REPUBLIK BENCANA. Jadi jalur cicin api pasifik (kerennya pasific ring of fire) menyuguhkan ancaman letusan gunungapi. Berada juga diantara 3 lempeng bumi; india australia, euroasia dan lempeng pasifik menyebabkan rawan gempa dan tsunami. beragam suku, ras, religi serta kepentingan berpotensi memunculkan konflik sosial. keragaman hayati yang diciptakan karena iklim tropis, negatifnya adalah menyediakan bonus banjir, longsor, dan kekeringan akibat salah urus. wabah penyakit pun tak ketinggalan dengan penanganan buruk berselimut KKN. wajar, jika 93 % kawasan Indonesia rawan bencana. namun yang menyedihkan, ancaman yang begitu mengerikan tersebut tidak dijadikan landasan untuk bertindak. berbuat untuk melindungi dan menyelamatkan anak negeri ini. akibatnya, 98% warganya menjadi rentan. dampak dari kelalaian dan ketidak pedulian itu amat sangat fatal. 200 ribu jiwa menjadi korban tsunami di Aceh, 500 di pangandaran. 7.000 lagi akibat gempa jogja-klaten. Ribuan lainnya tewas akibat bencana banjir, longsor, banjir bandang, epidemi, kerusuhan sosial. Hanya dalam 6 bulan saja, paling tidak tercatat 74 kali bencana. lebih dari 10.000 meninggal sia2. lebih dari 5 juta penduduk berstatus pengungsi. Trilyunan rupiah ikut musnah hanya dalam hitungan detik. trilyunan rupiah harus dikeluarkan untuk menangani dan melakukan pembangunan kembali. Karena negara kita bokek.. maka hutang luar negeri pun menjadi pilihan utama. ketergantungan pun tercipta. Berbagai bantuan diikuti dengan segudang kepentingan, menjepit negeri ini dalam ketidak berdayaan. Bantuan pemerintah lamban... bantuan pemerintah tidak mencukupi. presiden memberikan batuan ini. wakil presiden sumbangkan itu. menteri datang menyerahkan bantuan dan diterima secara simbolis oleh si fulan.... Lah.. kok bantuan? bukan bantuan lagi. itu emang "kewajiban". Presiden, Wapres atau para menteri itu, jika barang atau dananya dari kas negara, itu kewajiban. kecuali dari koceknya sendiri.. tapi mungkinkah????? imposible juga rasanya.. ketika masih bisa menggunakan dana atau barang milik negara. Jadi... gak patut disebut bantuan. dan pantas juga kalau jumlahnya kurang. karena pemenuhi kewajiban sesuai dengan standar itu hukumnya wajib. Konstitusi yang memandatkan itu, UUD '45. selain itu, menjadi kewajiban pemerintah juga memnberikan jaminan atas keselamatan dan perlindungan warga negara dari ancaman bencana. Betul adanya, melakukan berbagai upaya mereduksi risko dan ancaman bencana tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah. tapi dilakukan secara kolektif. Namun, peran dan fungsi jangan dilupakan. Tidak pantas kiranya, jika warga masayarakat membuat kebijakan pengelolaan risko bencana. Sama tidak layaknya pemerintah melakukan kerja bakti memperbaiki tanggul yang rusak. Untuk itu, menyiapkan anggaran pengurangan risiko dan dampak bencana, membuat perencanaan kedaruratan, membuat kebijakan, membuat sistem penanganan bencana serta memfasilitasi masyarakat adalah tugas pemerintah. kewajiban. Untuk itu, orang2 yang duduk dipemerintahan mendapatkan segenap hak. Demikian juga ditingkat rakyat, kewajibannya adalah mengikuti rambu2 yang telah dibuat, tidak melanggar maupun melakukan berbagai upaya secara riil apa yang telah digariskan. Untuk itu, warga mendapatkan haknya, termasuk dilindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana. Jika sudah begitu... bukankah menjadi mudah.. tinggal bagaimana hukum yang telah dibuat secara partisipatif tersebut ditegakkan. yang salah mendapatkan hukuman sesuai dengan kesalahannya. Penegak hukum menjalankan fungsinya dengan baik. masyarakat mengawasi dan mengingatkan jika terjadi kekeliruan.. Indahnya negeri ini jika demikan adanya. Tinggal dan hidup di Republik Bencana bukan lagi harus ditakuti bukan...