Tuesday, April 26, 2016

KAJIAN RISIKO BENCANA KOMUNITAS

Kajian risiko bencana dari sisi fungsi -  bisa dibilang sebagai ciri manajemen risiko bencana (di Indonesia disebut penanggulangan bencana) dengan paradigma pengurangan risiko bencana (PRB). Menjadi ciri atau indikator karena melalui proses kajian, risiko yang akan dikelola sebagai bentuk pengurangan risiko diketahui secara lebih pasti. Tentu impllikasinya pada efektifitas dan efesiensi dalam penyusunan perencanaan maupun implementasinya. Termasuk memantau dan mengukur hasil dan dampak yang ditimbulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan. 

Namun, saat kita berbicara terkait metode atau pendekatan, tentu kajian risiko bencana tidak serta merta harus mengikuti satu atau dua metode/pendekatan. sekalipun metode tersebut telah ditetapkan sebagai piranti yang diakui. Seperti kehadiran Perka BNPB No 2/2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Dalam kontek mengurangi risiko bencana -  tidak ada ikatan mutlak untuk menggunakan satu metode. Namun dari sisi prinsip kajian - tentu harus dipatuhi dan memenuhi unsur-unsur substansifnya. Seperti Kajian risiko bencana harus mampu menemukenali penyebab dan pembentuk risiko bencana itu sendiri. Baik terkait dengan hazard (bahaya), vulnerability (kerentanan) maupun capacity (kapasitas).

Disadari, kajian risiko bencana merupakan proses rumit dan multi disiplin ilmu serta lintas pemangku kepentingan. Kajian risiko bencana juga bukan sekedar untuk mengetahui kelas (tinggi, sedang atau rendah) sebuah risiko bencana yang selanjutnya diaktualisasikan melalui bentuk peta dengan tiga warga (merah, kuning dan hijau atau gradasi warna dari ketiganya) untuk menunjukan lokus yang berisiko. Tidak sekedar itu. Kajian risiko bencana adalah sebuah proses membangun komitmen bersama, mengidentifikasi dan memutuskan bersama atas upaya dan tindakan yang harus dilakukan secara sinergis untuk mengurangi risiko-risiko yang berpotensi terjadi akibat bencana. Komitmen akan tumbuh dan berkembang jika para pihak mengetahui dan menyadari serta timbul kesadaran atas risiko dan pentingnya upaya bersama. Lebih lanjut -  tentu kesadaran tersebut akan mendorong mendalami (identifikasi dan analisis) atas risiko yang ada. Kenapa risiko bisa muncul - baik dari aspek bahaya, kerentanan maupun kapasitas.

Pertanyaan yang kerap muncul adalah -  seberapa besar kemampuan para pihak (pemerintah dan seperangkat sumberdaya dan kewenangannnya), sektor bisnis dan masyarakat memiliki kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana yang ada? Untuk mendapatkan jawaban seberapa besar -  tentu dibutuhkan kajian yang mendalam yang mampu mengidentifikasi sampai pada tingkat faktor penyebab maupun pembentuknya. 

Banjir bisa datang setiap tahun. Sebab banjir dapat teridentifikasi -  selain masuknya musim hujan, juga terkait dengan intensitas curah hujan yang ada. Apakah hanya itu sebagai penyebab banjir? tidak, tapi banjir juga dipengaruhi oleh tipikal dari DAS, kemiringan lahan, wilayah cekungan, jenis tanah, daya dukung lingkungan (tutupan lahan misalnya dalam menyerap air), drainase, sampah dll. Jika berbicara Risiko banjir, tentu tidak hanya ditentukan oleh hal-hal diatas. tapi juga tentang seberapa besar ketidak mampuan (kerentanan) aspek manusia, sosial budaya, ekonomi, lingkungan dan infrastruktur dalam menghadapi ancaman. Ini memberikan pengertian lebih luas lagi. Apakah masyarakat mendiami lokasi yang terpapar, berapa banyak, komposisi laki-laki dan perempuan, dari sisi usia dll. Juga mata pencaharian masyarakat diwilayah terpapar, apakah terpengaruh terhadap ancaman banjir atau tidak. apakah memiliki mata pencaharian alternatif saat banjir? apakah memiliki akses terhadap lembaga keuangan? apakah memiliki asuransi untuk meminimalisasi kerugian dst.. dst.

Menemukenali pembentuk dan penyebab risiko dalam proses kajian merupakan hal krusial. Karena akan menjadi dasar - upaya apa yang perlu dilakukan dalam kerangka mengelola risiko risiko bencana, sehingga risiko menjadi berkurang. Jika persoalan teridentifikasi sebagai risiko adalah mata pencaharian, maka upaya mengelola risiko akan terfokus pada mata pencaharian yang lebih tahan terhadap ancaman yang ada. Misalnya petani yang membutuhkan jenis tanaman yang lebih tahan terhadap genangan banjir, memanfaatkan banjir sebagai sumber mata pencaharian, atau menyiapkan mata pencaharian alternatif untuk menghadapi banjir. Hal yang sama dilakukan untuk komponen lainnya, seperti infrastuktur yang perlu disesuaikan dengan ancaman, baik dari sisi fungsi maupun dari sisi kekuatan.

Kajian risiko bencana pada levil komunitas - akan lebih mudah mendapatkan unsur penyebab dan pembentuk risiko bencana. Jika proses kajian dilakukan dengan pendekatan partisipatif berbasis pemberdayaan. Bukan pendekatan partisipatif alakadarnya. Yang hanya mengandalkan keterwakilan masyarakat dan waktu terbatas karena alasan terbatasnya pendanaan atau waktu yang tersedia. Karena partisipatif, bukan sekedar berorientasi pada output berupa dokumen atau kelas dari risiko. Tapi hal lebih krusial adalah, bagaimana terjadi transfer pengetahuan dan kemampuan, tumbuhnya kesadaran serta terbangunnya komitmen bersama. Untuk itulah, pendekatan partisipatif cenderung lebih lama dan membutuhkan kesabaran. Karena di tingkat masyarakat sendiri -  tidak serta merta dapat menerima setiap gagasan atau usulan yang datang dari luar. Secara alami, masyarakat akan melihat, mengkaji dan menguji -  seberapa penting inisiatif tersebut bermanfaat bagi mereka.

Kajian risiko bencana komunitas yang berkembang saat ini, pada umumnya mengembangkan metode yang telah ada. Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah metode yang paling banyak digunakan sebagai dasar pengembangan. Beberapa alat (tools) dikembangkan sesuaikan dengan kebutuhan dalam mengidentifikasi dan menganalisis serta menentukan rencana tindak (action plans). Seperti peta desa atau peta sumberdaya, dikembangkan juga untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah terpapar. Demikian juga dengan sejarah desa yang dikembangkan untuk mengidentifikasi dan menggali informasi secara lebih mendalam terkait kejadian bencana, dampak maupun respon yang dilakukan oleh masyarakat. Perubahan dan kecenderungan dikembangkan untuk melihat terjadinya perubahan-perubahan yang terjadi serta kecenderungannya melihat bencana dari waktu ke waktu. apakah ada perubahan seiring dengan perubahan kondisi alam, perubahan iklim dll.

Dari rangkaian pengalaman mendampingi komunitas dalam mengelola risiko bencana berbasis komunitas, terkumpul metode yang mungkin bisa menjadi landasan dalam melakukan kajian risiko bencana komunitas. Modul ini merupakan bagian dari proses konvergensi API PRB pada level komunitas. Modul dapat di unduh disini

Tuesday, April 12, 2016

PENCINTA ALAM DAN SEGELAS KOPI HITAM

Rytem Gitar Bolong diiringi drum dari galon air meniral terdengar begitu ceria. Alunan Balada, country, terkadang diselingi lagu dandut, atau tidak jarang lagu melow - seakan merobek keheningan malam. Tak terlihat ada rasa lelah atau kantuk. Keceriaan itu terlalu berharga untuk dilewatkan. Dan -  kopi hitam dan tembakau tidak pernah absen menemani segerombolan anak2 muda bergaya cuek sambil berhaha hihi dengan berbagai topik obrolan disudut-sudut kampus, kontrakan sampai di kaki-kaki gunung dan tebing-tebing yang menjulang.

Suasana meriah, ceria riang gembira tak kan pernah pudar bersamaan sang mentari mulai bergeser menuju peraduannya. Rutinitas seharian yang kadang menjenuhkan - harus diganti dengan suasana penuh keakraban. Menganang masa-masa pendidikan dasar yang penuh cerita, operasi SAR yang kadang menumui hal2 yang tidak umum, atau perjelajahan2 yang telah dilewati bersama. Tapi, kadang topik diskusi bisa bergeser pada hal yang HOT. dari mulai politik sampe gosip murahan para artis dan sinetron. Bebas saja -  karena malam adalah masanya untuk mengeskpresikan kegembiraan.

Kopi yang saat ini sudah ditawarkan dengan beraneka rasa menjadi menu wajib. Ya kopi, tanaman yang konon berasal dari Brazil dan masuk ke Indonesia saat masa Kompeni mulai menjarah kekayaan negeri subur ini. 

Tanaman kopi menjadi tanaman umum yang dtemui para pencinta alam saat melakukan pendakian selain tanaman teh. Ya, karena tanaman kopi  memang cocok ditanam di ketinggian, khususnya jenis arabika. Latimojong sebagai salah satu gunung tertinggi di Bumi Celebes misalnya, merupakan komoditi unggulan. Merapi, saat jalur selatan masih menjadi tempat favorit pendakian di era 90-an, juga tersedia kopi yang ditanam oleh warga Kaliadem dan Kinahrejo. Burni Telong, Bener Meriah, Ijen dan banyak wilayah lain menjadikan kopi sebagai tanaman andalan.

Friday, April 08, 2016

PERTAMBANGAN, ANTARA RISIKO DAN RISIKO PLUS RISIKO

Tidak ada hujan, tidak ada angin (istilah jawa yang mengindikasikan kejadian tiba2 tanpa peringatan), luapan lumpur yang sebelumnya bersemayam didalam perut bumi menggenangi sawah, ladang, pemukiman, pabrik-pabrik maupun fasilitas publik. Mud Volkano -  tiba-tiba saja populer di Bumi dengan julukan Zamrud Katulistiwa karena kesuburannya. Ya, sekalipun lumpur panas (mud volcano) telah ada seperti  Bludug Kuwu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Yang Konon telah ada secara alamiah sebelum Kerajaan Mataram Kuno (732 - 928 M).
Coretan lepas dan bebas ini tidak akan mengulas tentang bencana lumpur panas Lapindo yang terus berpolemik terkait dengan sebab musababnya. Sekalipun sebagian besar para ahli Geologi lebih banyak yang menemapatkannya sebagai kesalahan manusia. Kesalahan Pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Namun -  Pengadilan nampaknya punya asumsi sendiri, sehingga memutuskannya sebagai Bencana Alam yang memiliki hubungan dengan Gempa Jogjakarta (5,9 SR) yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006. 

Tidak terduga, karena memang tidak ada informasi apapun terkait dengan risiko yang mungkin terjadi akibat upaya penambangan migas ini. Karena sebagaimana umumnya sebuah proyek investasi besar -  selalu dikaitkan dengan pembangunan negara. Yang namanya pembangunan -  sudah pasti berdampak positif yang berujung pada kesejahtaraan.

DR. Ir. Eko Teguh Paripurno, MT, Geolog yang juga pakar pengurangan risiko bencana (PRB), pada tiap kesempatan selalu mengingatkan. Pembangunan dapat berimplikasi seperti mata tombak. Dapat mensejahaterakan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Tapi bisa juga berdampak sebaliknya. Menimbulkan kerentanan dan menyebabkan risiko semakin tinggi. Bisa untuk saat ini, bisa juga untuk masa yang akan datang. Bisa pada lokasinya (lokus) - bisa juga untuk wilayah lain. Pembangunan dapat menjadi sebuah peluang untuk mengurangi risiko, jika pembangunan dikemas dengan pendekatan PRB.

Pertambangan sebagai bentuk kegiatan ekstraktif, nampaknya masih belum ditempatkan sebagai usaha yang perlu diredam implikasi-implikasi yang mungkin dapat diterjadi. Paling tidak, ini tergambar dalam Draft RUU Minerba versi Pemerintah (Kementerian ESDM) yang digadang-gadang akan menggantikan UU No 4 tahun 2009. Tidak saja tidak peka terhadap risiko bencana, RUU yang konon dikebut penyusunannya hanya dalam 3 hari ini juga terkesan memanjakan investor tambang - yang sampai saat ini tidak menunjukan "niat baik" terlibat dalam membangun Indonesia serta sangat sektoral karena mengabaikan Perundang-undangan lain yang ada dan sangat berkorelasi. Sebut saja UU 32/2009 tentang PPLH, UU No 27/2009 jo UU No 1/2014 tentang pesisir dan kalautan, UU No 32/2014 tentang Kelautan, UU No 26/2007 tenteng tata ruang dll. RUU Minerba seolah hanya mengakodir UU Pemerintahan Daerah terkait dengan perizinan. Draft RUU Minerba,download di sini.  Naskah Akademik,download di sini.

Tuesday, April 05, 2016

MEMAKNAI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Dullah yang telah berusia senja, cukup melihat sekumpulan siput laut untuk melihat, seberapa tinggi kemungkinan rob yang akan sampai ke rumahnya. Berpuluh-puluh tahun beliau hanya mengandalkan salah satu hewan kecil laut ini untuk menyiapkan diri. Apakah perlu mengamankan barang2 rumahnya dari banjir pasang surut, atau tidak. Siput laut yang menaiki batang kayu, tembok rumah atau tanaman menjadi salah satu pertanda. Dan selama ini informasi tersebut cukup akurat. Warga cukup melihat mayoritas siput rata-rata berada diketinggian mana. disitulah kemungkinan tinggi banjir rob sampai di Kampung halamannya.

Tidak tahu pasti, sejak kapan pengetahuan lokal itu dipercaya dan menjadi bagian dari kearifan lokal. tanda-tanda alam juga digunakan dengan melihat sekelompok burung migran maupun beragam perkembangan tanaman untuk menandai pergantian musim. Bunga Gadung misalnya saat berkembang menandai musim kemarau. Tidak hanya flora dan fauna, tanda alam lain juga digunakan seperti formasi bintang; lintang luku dan kukusan, planet dll. Tradisi berbasis pengetahuan lokal ini berpuluh tahun selaras. Di Jawa dikenal Pronoto Mongso yang sangat dekat dengan dunia pertanian. Namun, sejatinya, nelayan pun menggunakannya untuk kebutuhan menangkap ikan.   

Paling tidak, 3 tahun terakhir, Pak Dullah maupun ribuan masyarakat yang masih menggunakan tanda-tanda alam dalam melihat perubahan musim atau cuaca mengalami kesulitan. Mulai muncul keraguan -  apakah tanda-tanda alam yang selama ini cukup akurat tidak lagi bisa digunakan? Namun jika dikaitkan dengan penyebabkan -  berbagai pendapat disertai argumentasi kerap terkait dengan hal-hal diluar kontek ilmiah. Misalnya, karena banyak dosa orang kampung atau tidak lagi dilakukannya tradisi, sehingga penguasa lautan atau wilayah-wilayah yang dianggap kramat menunjukan ketidak sukaannya. Tidak banyak argumentasi muncul terkait dengan perubahan-perubahan fisik yang terjadi atau perubahan yang terjadi secara global-seperti pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim.

Tradisi atau pengetahuan dan kearifan lokal yang masih berlangsung -  kerap telah diposisikan sebagai daya adaptasi. daya adaptasi ini ketika dikaitkan dengan perubahan iklim bisa langsung di claim sebagai adaptasi perubahan iklim. Tidak hanya memahami tanda alam, tapi juga berbagai upaya penyesuaian yang dilakukan berdasarkan respon atas perubahan yang terjadi. Sebagai respon, umumnya penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan akan disesuaikan dengan perubahan yang ada. Pada tipe perubahan yang terjadi secara langsung dan tidak lagi terjadi perubahan lanjutan dalam waktu lama, penyesuaian yang dilakukan masyarakat cederung sesuai dengan konteks. Penyesuaian juga akan sesuai dengan kebutuhan pada perubahan-perubahan yang berlangsung secara terus menerus dan cenderung sama. seperti banjir yang terjadi secara rutin dengan luasan dan waktu yang relatif sama. Tapi akan mengalami kesulitan jika perubahan tersebut berlangsung perlanan dan terjadi peningkatan ancaman. Seperti banjir rob yang semakin lama semakin tinggi yang terjadi di sepanjang pesisir utara jawa.

Adaptasi perubahan iklim dimaknai sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim, mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan dan mengatasi konsekwensinya. UU No 32.2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan penjelasan pasal 57 ayat 4 (a) adalah; Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim” adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.

Merujuk pengertian dari adaptasi sebagai kemampuan atau meningkatkan kemampuan untuk dapat menyesuaikan dari dampak perubahan iklim -  terdapat hal substansial yang tidak dapat diabaikan. Apakah berbagai upaya yang telah dilakukan komunitas seperti contoh-contoh di atas dan tentu banyak contoh lain yang serupa dapat dikatakan sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan iklim?

Friday, April 01, 2016

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARING, PRB dan PRAMUKA

Coretan tak terstruktur ini lanjugan dari pemikiran liar sebelumnya tentang CTL, bagaimana jika diterapkan pada PRB sebagai paradigma manajemen risiko bencana alias penanggulangan bencana. Tentu pemikiran liar ini hanya berupa asumsi yang pasti dibumbui subyektifitas dari hasil bacaan cepat dan mencoba mengkaitkan dengan serangkaian proses yang telah dilalui penulis


Jakarta, dimusim yang seharusnya telah memasuki masa kemarau, masih juga dibayangi mendung yang berpotensi untuk hujan. Ramalan cuaca yang masuk melalui HP adroidku menunjukan -  sesiang ini, Rumah Perlawanan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) yang berada di Mampang Prapatan No 30 B - Jakarta Selatan akan cerah berawan. Menjelang malam, akan terjadi petir. Tapi jangan harap informasi ini benar 100%. Karana yang namanya ramalah -  bisa benar, bisa juga salah. Apalagi informasi yang diberikan BMKG sebagai lembaga Negara yang ngurus masalah Meteorologi dan Klimatologi, menyebetnya dengan PRAKIRAAN. Artinya - sebelum dikira2. jadi cukup jadi bahan pertimbangan aja. Tapi bagi mental PRB, tentu informasi apapun yang terkait mengurangi risiko, harus dijadikan landasan untuk berprilaku antisipatif, mitigasi dan siapsiaga.

Siapa yang tidak pernah merasakan bangganya memakai seragam coklat muda dan coklat tua sebagai uniform Gerakan Pramuka Indonesia. Apa lagi jika pada seragam tersebut telah terpasang aneka tanda kecakapan khusus (TKK). Menjadi lebih bangga lagi, jika TKK telah melebih batas di seragam, sehingga harus ditempatkan pada selendang yang menghiasi seragam kebesaran. Jika kita mau jujur -  dari keterlibatan dan kesempatan ber Pramuka jua lah, muncul pengembangan-pengembangan kegiatan luar ruang yang beragam. Dari mulai kelompok pencinta alam, kelompok peduli lingkungan, kelompok yang aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan (penanggulangan bencana), pertahanan dan keamanan dll. Jayalah Pramuka ku, Pramuka mu, Pramuka kita semua...

Jika sedikit kita merenung mengembalikan pikiran kita ke masa kecil, saat kita masih di sekolah dasar. Maka keriangan mengikuti kegiatan Pramuka, yang saat ini menggunakan hari Jumat siang akan tergambarkan dengan jelas. Yel-yel selalu dikumandangkan setiap Regu untuk menambah spirit kelompok masing-masing. Materi-materi  seperti tali temali, mempelajari berbagai sandi, tanda jejak, P3K adalah materi favorit  karena sudah dipastikan akan ada praktik. Apa lagi materi diterapkan dilapangan, seperti mencari jejek atau berkemah.

Pramuka memang identik dengan kegiatan luar ruang. Berbagai pengetahuan dan keterampilan begitu mudah diserap saat materi disampaikan dipraktikan dengan susasa yang riang gembira. Namun seingat penulis, sekalipun kegiatan Pramuka yang sempet diikuti sepanjang Sekolah Dasar -  tidak begitu banyak materi yang mengkaitkan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kegiatan lebih banyak diarahkan dengan membekali pribadi dan kelompok pada skill kegiatan luar ruang. Tapi itu dulu. Dan dari sisi tahapannya -  memang baru pada tahapan Penggalang  Meramu.

Terlepas dari materi-materi yang diajarkan saat itu, hal yang menarik untuk menjadi pelajaran tentu adalah bagaimana materi yang diberikan dapat diserap dengan baik. Sehingga, tidak saja materi dapat dikuasai, tapi juga dapat dipraktikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk tali temali misalnya -  kemampuan menguasai berbagai simpul akhirnya dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dengan P3K dasar, maupun berbagai upaya menyangkut hidup sehat.