Friday, April 08, 2016

PERTAMBANGAN, ANTARA RISIKO DAN RISIKO PLUS RISIKO

Tidak ada hujan, tidak ada angin (istilah jawa yang mengindikasikan kejadian tiba2 tanpa peringatan), luapan lumpur yang sebelumnya bersemayam didalam perut bumi menggenangi sawah, ladang, pemukiman, pabrik-pabrik maupun fasilitas publik. Mud Volkano -  tiba-tiba saja populer di Bumi dengan julukan Zamrud Katulistiwa karena kesuburannya. Ya, sekalipun lumpur panas (mud volcano) telah ada seperti  Bludug Kuwu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Yang Konon telah ada secara alamiah sebelum Kerajaan Mataram Kuno (732 - 928 M).
Coretan lepas dan bebas ini tidak akan mengulas tentang bencana lumpur panas Lapindo yang terus berpolemik terkait dengan sebab musababnya. Sekalipun sebagian besar para ahli Geologi lebih banyak yang menemapatkannya sebagai kesalahan manusia. Kesalahan Pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Namun -  Pengadilan nampaknya punya asumsi sendiri, sehingga memutuskannya sebagai Bencana Alam yang memiliki hubungan dengan Gempa Jogjakarta (5,9 SR) yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006. 

Tidak terduga, karena memang tidak ada informasi apapun terkait dengan risiko yang mungkin terjadi akibat upaya penambangan migas ini. Karena sebagaimana umumnya sebuah proyek investasi besar -  selalu dikaitkan dengan pembangunan negara. Yang namanya pembangunan -  sudah pasti berdampak positif yang berujung pada kesejahtaraan.

DR. Ir. Eko Teguh Paripurno, MT, Geolog yang juga pakar pengurangan risiko bencana (PRB), pada tiap kesempatan selalu mengingatkan. Pembangunan dapat berimplikasi seperti mata tombak. Dapat mensejahaterakan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Tapi bisa juga berdampak sebaliknya. Menimbulkan kerentanan dan menyebabkan risiko semakin tinggi. Bisa untuk saat ini, bisa juga untuk masa yang akan datang. Bisa pada lokasinya (lokus) - bisa juga untuk wilayah lain. Pembangunan dapat menjadi sebuah peluang untuk mengurangi risiko, jika pembangunan dikemas dengan pendekatan PRB.

Pertambangan sebagai bentuk kegiatan ekstraktif, nampaknya masih belum ditempatkan sebagai usaha yang perlu diredam implikasi-implikasi yang mungkin dapat diterjadi. Paling tidak, ini tergambar dalam Draft RUU Minerba versi Pemerintah (Kementerian ESDM) yang digadang-gadang akan menggantikan UU No 4 tahun 2009. Tidak saja tidak peka terhadap risiko bencana, RUU yang konon dikebut penyusunannya hanya dalam 3 hari ini juga terkesan memanjakan investor tambang - yang sampai saat ini tidak menunjukan "niat baik" terlibat dalam membangun Indonesia serta sangat sektoral karena mengabaikan Perundang-undangan lain yang ada dan sangat berkorelasi. Sebut saja UU 32/2009 tentang PPLH, UU No 27/2009 jo UU No 1/2014 tentang pesisir dan kalautan, UU No 32/2014 tentang Kelautan, UU No 26/2007 tenteng tata ruang dll. RUU Minerba seolah hanya mengakodir UU Pemerintahan Daerah terkait dengan perizinan. Draft RUU Minerba,download di sini.  Naskah Akademik,download di sini.

Risiko Bencana Pertambangan

UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menyiapkan piranti aktifitas pembangunan yang mungkin berisiko terhadap bencana. Risiko tersebut bisa bersifat langsung, bisa juga tidak langsung. Bocornya reaktor nuklir akibat hantaman tsunami di Japang menjadi topik pembicaraan - bagaimana bencana alam berdampak tidak kalah buruk dari bencana primer. Sampai saat ini, beberapa wilayah masih dinyatakan tidak aman. Dan akibat dari kejadian tersebut, warga Jepang menuntut semua reaktor nuklir untuk ditutup; (baca: http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/16/03/09/o3s0qi299-pengadilan-di-jepang-putuskan-reaktor-nuklir-ditutup).

Permintaan warga Jepang sebagai bentuk kekhawatiran ini sangat wajar. Apalagi jika dikaitkan dengan nilai ikatan jiwa seorang manusia dengan tanah kelahirannya begitu tinggi. Ini tidak terjadi hanya dinegara berkembang atau negara miskin. Tapi juga di negara industri seperti Jepang, Korea bahkan Amerika sekalipun. Hidup nyaman adalah sebuah pilihan akhir dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena materi yang melimpah telah disadari tidak menjamin akan mendapatkan kebahagiaan.

Pasal 40 ayat 3 menyebutkan; Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.

Merujuk asbabunnujul munculnya pasal 40 ayat 3 ini tidak lepas dari banyaknya kegiatan pembangunan yang karena tidak dilakukannya kehati-hatian dan analisis multi disiplin ilmu, berdampak ganda. Bahkan jika kita dikaji dampak positif maupun negatif secara menyeluruh - lebih banyak sisi negatifnya alias merugikan. Sebut saja, penilaian dampak pembangunan yang tanpa menyertakan hitungan penurunan fungsi ekologis, dampak sosial, termasuk konflik-konflik yang ditimbulkan, kerusakan fasilitas publik atau pencemaran. Penilaian dampak pembangunan juga kerap tidak mempertimbangkan perbaikan lingkungan yang harus dilakukan pihak pemrakarsa atau investor paska beroperasinya kegiatan. Seperti pertambangan, HPH, Perkebunan skala besar dll.

Jika terkait dengan usaha pertambangan, hal spesifik risiko bencana telah hadir sejak rencana itu ada. Sebutlah saat potensi bahan tambang teridentifikasi dan ditetapkan dalam RUTR wilayah. Berdasarkan informasi tersebut, para spekulan tanah dan broker telah mulai menyebar dan menguasai tanah2 masyarakat. Tidak jarang pengambilalihan kuasa tanah tersebut disertai dengan teror dan kekerasan -  selain tipu-tipu secara halus maupun kasar. Menempatkan show room kendaraan bermotor menjadi salah satu modus yang disetting maupun tidak untuk mempercepat proses alih kepemilihan lahan. Juga hutang piutang yang berujung pada penyitaan aset berupa tanah yang sebelumnya telah diketahui memiliki potensi bahan tambang.

Kondisi ini jika dikaitkan dengan pendekatan PRB, telah terkait dengan terjadi dan meningkatnya kerentanan masyarakat sebagai salah satu variabel dari risiko. Dan telah kita ketahui bersama, kemiskinan adalah dasar terbesar dari risiko bencana. 

Proses bertambahnya risiko terus berlanjut - saat proses dimulai proyek pertambangan tahan awal. Penyesatan informasi adalah hal yang paling umum. Bahwa Pertambangan adalah bagian dari pembangunan. Pertambangan akan meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat. Dengan hadirnya perusahaan tambang, maka akan terbuka peluang kerja yang dianggap lebih bergengsi. jangan harap, akan keluar dampak negatif keluar dari pihak perusahaan, konsultan AMDAL atau pemerintah desa, kecamatan sampai Kabupaten. kalau perlu pemerintah Provinsi pun dengan suka rela akan hadir dan turut mendukung semua upaya menyembunyikan informasi yang adil. Penyeimbang informasi akan hadir, jika terdapat organisasi masyarakat sipil yang telah terbukti kredibitasnya dalam advokasi. Juga tokoh masyarakat yang telah bergaul cukup luas dengan para aktifis, akademisi lurus maupun individual berjiwa pejuang lingkungan.

Pada proses ini, risiko bencana sebagai bagian dari dampak yang mungkin terjadi - bisa berubah menjadi bencana. Menjadi bencana karena konflik terbuka bisa mulai terjadi. Munculnya konflik -  karena umumnya lahan-lahan yang dikusai broker atau para spekulan serta milik pemerintah telah berada ditangan perusahaan. Sehingga telah cukup untuk dimulai proses awal, sambil proses perizinan dilakukan oleh pemrakarsa. Bukan rahasia umum, sekalipun AMDAL atau UKL/UPL belum selesai dan disetujui - proses explorasi bisa jadi telah dimulai/dilakukan. Pembangunan berbagai sarana pendukung telah juga dibangun. Dan ini semakin menegaskan -  jika AMDAL sebagai piranti untuk mengukur dampak lingkungan dan sosial hanya bersifat administratif.

Analisis Risiko, selain akan melengkapi piranti AMDAL yang belum secara spesifik menilai risiko bencana yang mungkin terjadi - pada dasarnya adalah salah satu media yang mendorong terjadinya reformasi proses dan penyusunan AMDAL. Sayangnya, AMDAL yang tidak bergigi dan menjadi lahan bisnis para akademisi pencinta proyek -  justru ditanggapi dengan akan dihilangkan atau ditiadakan. Paling tidak, gosip ini beredar pada rapat terbatas Kabinet Gotong Royong yang dipimpin langsung orang nomer 1 NKRI ini, Ir. Joko Widodo.

aksi warga rembang - sumber : www.akumassa.org
Risiko bencana disepanjang proses kegiatan Penambangan dapat terlihat dihampir seluruh Indonesia. Kasus kekersan dan penggusuran masyarakat Rembang karna mempertahankan ruang hidupnya pada kawasan yang akan menjadi wilayah pertambangan dan pabrik semen oleh PT Indocement, sebuah perusahaan Plat Merah sampai saat ini hanya satu kasus kecil. Kasus lain yang tidak kalah masif upaya penolakan dan dihadapi secara represif oleh alat-alat negara juga terjadi di tambang emas tumpang pitu -  Banyuwangi. Kasus di luar Jawa dapat terlihat di NTT, Sulawesi, sampai Papua.

Merujuk terminologi bencana yang menetapkan tiga indikator kunci; terjadinya gangguan yang meluas bagi kehdupan masyarakat, terdapat dampak yang merugikan, baik jiwa, sosial-ekonomi maupun lingkungan serta tidak adanya kemampuan masyarakat untuk menghadapi dengan sumberdaya yang mereka miliki - kasus-kasus kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang muncul telah masuk katagori bencana. Kondisi ini juga telah dikuatkan sesusungguhnya dalam UU No 24/2007 tentang penanggulangan bencana. Dimana bencana tidak saja terjadi karena kegiatan alamiah -  tapi juga karena manusia. Konflik sosial dan kegagalan teknologi merupakan bencana yang menjadi ruang lingkup dari UU PB ini.

Pada proses operasi, risiko bencana semakin meningkat. Tidak hanya konflik yang menjadi berlanjut karena proses yang tidak transparan dan penuh rekayasa, tapi juga dampak dari operasi pertambangan semakin dirasakan oleh warga masyarakat. Jalan rusak, akses ke ruang hidup semakin terbatas, masuknya budaya yang tidak sesuai dengan kultur lokal, kesenjangan sosial, sampai pencemaran dan kerusakan lingkungan dan perebutan sumberdaya mendasar (air bersih) sebagai kebutuhan dasar. Penyelesaian dengan cara kekerasan sebagai karakteristik industri, baik menggunakan tangan preman maupun aparat keamanan, semakin meningkatkan risiko konflik. Sehingga tidak jarang, akumulasi kemarahan warga berakhir dengan cara anarkis. Sayangnya -  penyelesaian persoalan selalu disikapi dengan pendekatan hukum formal berdasarkan kejadian. Sehingga, kembali masyarakat ditempatkan sebagai penjahat yang merusak aset perusahaan. Tidak dilihat sebagai sebuah porses sebab akibat dari terjadinya indisiden. Apakah mungkin insiden terjadi jika dialog dilakukan dengan menempatkan masing-masing pihak secara setera?

Pencemaran yang berdampak buruk bagi kesehatan, namun bersifat akumulatif -  belum dipandang sebagai hal yang krusial. Kejadian dengan tragedi spontan dan besar, masih menjadi parameter untuk menempatkan atau dianggap sebuah bencana. Kasus Pencemaran Newmont di Teluk Buyat misalnya -  sama sekali tidak dipandang sebagai sebuah masalah. Baik dampaknya terhadap lingkungan maupun bagi masyarakat. Kasus tersebut kembali diulang dengan opeasi Newmont di Sumbawa. Bahkan, kasus jebolnya limbah tailing di sungai Ajkwa Papua pun kerap tidak dipandang penting untuk disikapi.

Kondisi ini melahirkan sebuah keprihatinan luar biasa -  bagaimana Negeri ini menempatkan anak negerinya dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan bermodal besar. warga terdampak lumpur panas lapindo, masih terkatung-terkatung nasibnya. Nasib yang lebih miris adalah warga yagn tidak mendapatkan porsi media dalam pemberitaan kasus2 yang dialaminya. Sebut saja warga-warga yagn dilingkup pertambangan galian C, warga yang tinggal diseputaran pertambangan ilegal atau warga yang jauh dari jangkauan media.

Lantas, UU penanggulangan bencana sebagai regulasi yang bertujuan : 
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; d. menghargai budaya lokal; e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
akan kita letakan dimana? Bukan kah aktifias penambangan secara kasap mata menjadi bagian dari lingkup UU PB? 
Salah satu tujuan UU PB yang bersifat lek specialist; menyelaraskan peratusan perundang-undangan yang sudah ada -  mampukan UU ini menyelaraskan UU Minerba No 4/2009 atau mewarnai RUU Minerba yang dikebut untuk disahkan pada bulan Juni 2016.








No comments: