Wednesday, October 07, 2009

MEMOBILISASI SUMBERDAYA LOKAL dalam KERJA-KERJA REPON DAN BANTUAN DARURAT

Dilematis... satu sisi, betul list yang dikeluarkan sukarelawan maupun pekerja kemanusiaan tentang kebutuhan mendesak warga terkena bencana.. dari mulai terpal, tenda, makanan siap saji, air mineral, susu dan makanan bayi sampai obat2an. tapi sisi yang lain, seolah2, semua kebutuhan tersebut harus di datangkan dari luar. yang harus mengeluarkan ongkos mahal dan berbagai kesulitan untuk bisa sampai ditangan yang membutuhkannya.

Sudah bisa dipastikan, telp atau handy talky posko dipaksa kerja keras untuk bekerja. dering telp atau suara2 panggilan di posko berdering setiap saat. Pengungsi di desa A, dusun Z belum menerima bantuan. jumlah pengungsi sekian.. kebutuhan mendesak adalah.... akses menuju desa sulit karena ada empat jembatan putus. terdapat pengungsi di desa B, dusun Y sangat memprihatikan. Belum ada bantuan apapun disana. mohon segera dikirim;.......... terdapat pengungsi di desa C. jumlah pengungsi sekian. segera kirim bantuan.....

Selain rapid assessment atau penjajakan cepat, tentu bantuan-bantuan yang dibutuhkan harus segera dikerahkan. tujuannya, penderitaan warga terkena bencana tidak bertambah. Meminimalisasi korban jiwa yang tidak perlu maupun mencegah bencana sekunder. Untuk itulah, respon darurat berupa evakuasi warga selamat, pertolongan pertama, mengurus jenazah serta menjaga aset yang ditinggalkan warga yang mengungsi harus dilakukan.

Setelah warga berada ditempat yang aman dan warga terluka akibat bencana berada di tempat pelayanan kesehatan, maka bantuan darurat secara otomatis berjalan. Bantuan darurat dilakukan selama warga dalam posisi pada ketergantungan mutlak. artinya, selama warga tidak mempunyai kemampuan menghidupi dirinya sendiri melalui berbagai upaya yang mereka lakukan, maka bantuan darurat harus terus dilakukan.

Pilihannya menjadi sangat jelas. Ketergantungan mutlak ini bisa segera diakhiri atau bisa juga ditunda-tunda. tentu sangat tergantung dengan sistem penanganan. tidak hanya pemerintah yang memang memiliki mandat dan kewajiban dalam rangka melindungi segeran bangsa dan tumpah darah, tapi juga berbagai organisasi kemanusiaan yang melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Jika upaya yang dilakukan menyebabkan penduduk terkena bencana (PTB) berdaya dan kembali memiliki kemampuan menghidupi dirinya sendiri, maka bantuan darurat bisa segera dihentikan dan mulai melakukan proses pemulihan. demikian juga dalam proses emergency response.

Berkaca diri dalam menangani bencana


Sekalipun pengetahuan tentang Community Base Disaster Risk Reduction telah cukup lama diperkenalkan. cukup banyak alumni pelatihan dihasilkan..serta berbagai workshop dilakukan, namun kemampuan yang telah banyak melekat di banyak orang belum mampu menghilangkan kebiasaan dalam menangani bencana.

Sampai kejadian bencana Sumbar terjadi, penanganan bencana masih kerap mengabaikan sumberdaya setempat atau lokal. Saat evakuasi dilakukan, orang yang berusaha keras menyelamatkan warga yang tertimbun rerentuhan bangunan jauh lebih sedikit dibandingkan orang-orang yang menonton. Jika orang-orang (sumberdaya) yang semula menjadi penonton tersebut dikelola, maka hasilnya akan sangat luar biasa. tidak harus semuanya terjun membersihkan puing2, tapi bisa melakukan hal lain yang saling mendukung kerja2 evakuasi.

Demikian juga saat ada kebutuhan mendata jumlah pengungsi, jumlah korban meninggal dan luka atau penghitungan aset2 terkena bencana... lalu mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan dll.
Kebiasaan menempatkan PTB sebagai orang yang tidak memuliki kemampuan masih sangat kental. tapi jauh dari itu, selain PTB pun - para pekerja kemanusiaan termasuk pemerintah pun menempatkan warga lokal sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan.

Dengan alasan, kerja-kerja kemanusiaan merupakan suka rela, kita lebih memilih mendatangkan sumberdaya dari luar, dibandingkan mengelola sumberdaya yang ada ditingkat lokal. Termasuk kebutuhan SDM untuk menjalankan kerja2 kemanusiaan. tidak hanya tenaga ahli yang memang terkadang tidak tersedia cukup ditingkat lokal, tapi tenaga2 yang sebetulnya dengan kapasitas yang setara.

Untuk melakukan rapid assessment yang sebetulnya bisa dilakukan oleh siapapun, kenapa juga harus dilakukan orang luar. demikian juga evakuasi, pengelolaan bantuan dan lain-lain. Mungkin, kebutuhan pada orang yang memang mengetahui secara persis bagaimana mengelola risiko bencana, khususnya fase tanggap darurat dan bantuan darurat untuk meng instal posko penanggulangan bencana. tugasnya jelas, membantu mengatur sumberdaya lokal yang tersedia agar efektif bekerja untuk penanganan bencana.

Mengabaikan potensi atau sumberdaya lokal pun terus berlanjut ketika muncul kebutuhan-kebutuhan pengungsi. Kondisi ini tidak terlepas dari pengabaian SDM lokal tentunya. sukarelawan atau pekerja kemanusiaan yang memang belum mengetahui secara persis kondisi lokal, dalam melist kebutuhan mengabaikan potensi yang masih tersedia disana. sehingga keputusan untuk mendatangkan sesuatu dari luar untuk memenuhi kebutuhan dasar kurang pas.

entah sebuah kebetulan atau tidak, setiap terjadi gempa disusul dengan hujan. kebetulan yang terus berulang (perlu penelitian ilmiah-apakah betul setiap terjadi gempa akan disusul hujan?), maka menjadi penting untuk disiapkan kebutuhan perlindungan sementara yang cepat untuk memenuhi kebutuhan tempat berlindung yang cepat. sekalipun untuk sementara.

Tersedianya terpal atau tenda sebagai untuk tempat perlindungan darurat menjadi sangat penting. apalagi psikologi PTB setelah gempa untuk kembali ke rumah cukup berat. selain gempa susulan yang akan terus terjadi sebagai bagian dari poses alamiah. Terpal atau tenda yang harus didatangkan dari luar, tentu membutuhkan waktu untuk ketersediaannya. Untuk itu, menjadi penting bagi daerah yang memuliki potensi gempa untuk menyediakannya sendiri sebagai sarana emergency. penyadaran masyarakat menjadi sangat penting, agar kebutuhan menyediakan sendiri tersebut dapat memasyarakat.

Bencana, tentu menyisakan banyak persoalan. berbagai kebutuhan dasar meningkat tajam secara bersamaan. respon pasar, tentu akan mengikuti dengan terjadinya kenaikan harga secara signifikan. jika tidak diintervensi, maka proses kenaikan harga-harga barang tentu akan menyulitkan PTB maupun lembaga-lembaga yang akan melakukan response bencana. menjadi sangat penting pemerintah daerah untuk segera menstabilkan harga-harga tersebut melalui kebijakan khusus dan tegas. bahkan bisa jadi melakukan tindakan keras bagi segelintir orang yang memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Harga BBM yang melambung tinggi maupun sewa kendaraan angkut yang tidak lagi normal. juga harga-harga makanan. Selain itu, pemerintah daerah memiliki peran-peran lain bagaimana memastikan tersedianya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut tetap tersedia.

memetakan sumberdaya lokal untuk memenuhi kebutuhan PTB menjadi sangat krusial. selain lebih cepat dan mudah, tentu secara psikologis akan mempercepat proses pemulihan. Untuk kebutuhan tempat hunian sementara, apakah tersedia bambu, rumbia dll? jika tersedia, maka kebtuhan lain seperti peralatan bangunan harus segera disiapkan. Palu/martil, paku, gergaji, skop, cangkul dll menjadi sangat penting.

Untuk kebutuhan pangan, apakah masih tersedia sumber pangan lain selain beras? jika masih tersedia, secara cepat harus dihitung untuk memenuhi berarapa waktu dan bagaimana cara mengolahnya. dan ini berlaku untuk kebutuhan yang lain, seperti air bersih, sanitasi, pelayanan kesehatan dll.

Jika ini disadari sebagai bagian dari penanggulangan bencana yang memberdayakan.. tentu akan menjadi pilihan lembaga2 yang sebetulnya telah memiliki pengalaman dalam penanggulangan bencana. apakah hal ini mustahil dilakukan?

Tuesday, October 06, 2009

CBDRR.. when and where to be applicated

Kupret merapatkan dekapan tangannya ditubuhnya sendiri.. sesekali, dia membenahi pakaian yang tidak cukup tebal melindungi hawa dingin dari pengatur udara hotel.. ada rasa sesal tidak memakai baju yang tebal. Kalau perlu.. jaket bulu angsa untuk di daerah dingin.. agar konsentrasinya mendengar dan mebahas materi2 penting community base disaster risk reduction tidak terganggu. Mau keluar dari ruang yang sedikit menyiksa.. dia merasa gengsi.. selain ada rasa sayang jika harus tertinggal mendengar para pakar menyampaikan berbagai teori dan pengalaman penerapan CBDRR tersebut..

Ketika waktu diskusi tiba... ruangpun begitu ramai setelah sebelumnya hanya satu suara yang memenuhi ruangan. "lalu, kapan dan dimana CBDRR itu bisa diterapkan?, Kupret bertanya lantang sebagai bagian usaha menghilangkan rasa dingin yang menyelimuti tubuhnya". Kumo, sang pakar CBDRR pun dengan tenang menjawab.. tentu dengan penuh keyakinan. "CBDRR idealnya dilakukan sebelum terjadinya bencana". "karena masyarakat berkesempatan mengetahui berbagai jenis bahaya yang berpotensi menjadi bencana di wilayahnya", "juga mengetahui kapasitas dan kerentanannya". "lalu secara partisipatif, disusun sebuah rencana aksi bersama pengurangan risiko"... lalu... bla.. bla.. bla... Kumo terus mengumbar kata2nya selama 15 menit tanpa jeda.

"Taapiiiiiiiii..... jangan salahhhh... CBDRR pun dapat diterapkan saat kejadian bencana, dari mulai respon darurat, bantuan darurat, pemulihan maupun pembangunan kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi)". Kumo mengakhirinya sambil melepas senyum termanisnya kepada ratusan peserta pertemuan nasional tersebut.

Sementara di sebrang sana.. Kacung pun menggigil kedinginan.. badannya basah kusup akibat guyuran hujan. tenda yang dia bangun dari sisa2 bahan bangunan tidak cukup melindungi dia dan keluarganya terciprat air yang ditumpahkan dari "langit". Tidak hanya Kacung rupanya.. masih ada ribuan kacung dan kacing mengalami hal yang sama.. kedinginan akibat hujan atau terpaan angin yang tak bersahabat. Bahkan menahan rasa lapar pun menjadi bonus penanganan bencana yang belum menemukan sistemnya. Menggadaikan sementara kehidupannya di masa depan adalah pilihan yang harus diterima diantara ribuan warga lain yang mencoba membantu melalui berbagai lembaga kemanusiaan yang turun ke lokasi2 bencana.

Jikalau CBDRR bisa diterapkan saat kejadian bencana, kenapa tidak sekarang? dimana warga Sumbar, Jambi, Jawa Barat, Madina dll saat ini dalam posisi menderita karena ketidak jelasan sistem penanganan bencana. Jika CBDRR mempu menjamin, hak2 warga terpenuhi, baik kebutuhan dasarnya maupun hak mendapatkan perlindungan.. kenapa masih terus didiskusikan. tidak kah cukup diskusi2 itu dilakukan sebelum2nya. tidak kah cukup keberadaan teknologi saat ini merangkum hasil kerja otak para cerdik pandai menerapkan CBDRR ini? apalagi dengan kontras yang sangat tinggi seperti dialami kacung dan kupret. sekalipun sama2 kedinginan, tapi dalam kontek yang jauh berbeda. sebagai orang yang gak ngerti apa2 seperti saya ini.. tentu teramat sayang... mengeluarkan biaya yang pasti super besar untuk penyelenggaraan serangkaian diskusi itu.

"Jangan salah boss... seluruh peserta membiayai dirinya sendiri. bahkan untuk penginapan dan makanan yang mereka santap. Kami penyelenggara, hanya mencoba memfasilitasi pertemuan ini.. jadi anda salah kalau mengatakan, biaya yang dikeluarkan penyelanggara itu super besar".

"Eithhhh... anda lupa kawan.. sekalipun peserta mengeluarkan biaya sendiri.. tetap harus dihitung sebagai biaya. hanya sumbernya saja yang berbeda. yang namanya transport papua - makasar, tetep harus bayar pake uang kan. belum lg biaya menginap selama 3 hari, perdiem dan transport lokal. sekalipun bukan anda atau penyelenggara yang keluarkan. Kalau anda hitung secara keseluruhan, berapa dana yang dikeluarkan untuk ini semua kawan?"

"Hayyaahhh... ente aktifis, selalu saja menggunakan pandangan negatif". "Apakah tidak ada sedikit ruang untuk berpikir positif, teman". please, anda biasa juga mengikuti pertemuan model gini khan?".

"Tentu kawan, kalau dihitung2, gak cukup jari saya dan jari ente saya mengikuti pertemuan model gini". "tapi persoalannya adalah.. tentang pantas tidak pantasnya penyelenggaraan pertemuan yang membahas satu topik yang saat ini sedang dilakukan diluar sana". ente tahu juga sobat.. bagaimana kacaunya penanganan bencana. ente tahu juga.. kalau badan nasional penanggulangan bencana masih dikerdilkan dari sisi politis di negeri ini. ente juga tahu.. kalau sistem koordinasi, termasuk dikalangan masyarakat sipil masih belum genah". "kalau bicara prioritas.. mana yang lebih urgent, kita menurunkan seluruh tim ahli yang ikut dalam acara ini ke lokasi bencana, mempengaruhi kebijakan penanganan bencana agar lebih ok, atau kita tetep berkutat pada urusan wacana dan obral cerita keberhasilan2 penerapan CBDRR".

"Gak gitu pak lik... kegiatan ini kan sudah direncakan jauh hari, lebih jauuuuuuhhhh dari kejadian gempa di jabar maupun di sumbar". ente obyektif lah. ente juga pernah menjadi pelaku project kan. kalau donor sudah ok terhadap rencana yang kita ajukan.. gak enak lah kalau harus menunda", sambil tersenyum kecut.

"wah.. kalau dah larinya kesitu.. susah juga yaa.. apalagi pake bonus eksistensi gitu.. tambah kerumitannya", sambil tersenyum mengejak.

Dialog pun berhenti.. kedua sohib itu enggan melanjutkan diskusi melalui "yahoo messenger" karna telah tahu posisi masing2. Tanpa ada kejelasan? Ya.. karena emang gak perlu ada kejelasan atau penjelasan. dua2nya mempunyai argement yang membenarkan keduanya. Tinggal balik ke nurani saja. Jika nurani pun tidak bisa menjawab.. ya tanya saja pada rumput yang bergoyang...

Lalu... benarkah CBDRR bisa diterapkan sesaat setelah kejadian bencana. artinya, saat emergency response dan relief dilakukan... CBDRR sebetulnya otomatis bisa bekerja. Lalu.. apakah kerja2 ER dan relief yang dilakukan banyak lembaga.. yang konon juga mengaplikasikan commmunty base melakukan itu????

Sebuah lapsit tiba2 masuk melalui miling list bencana.. jelas dalam subject email menyebutkan KEBUTUHAN MEDESAK PENGUNGSI PADANG..
dalam badan email, selain jumlah jiwa yang meninggal dan luka2, bangunan yang terkena dampak, juga kebutuhan2 yang perlu segera dipenuhi. rentetan list kebutuhan diantaranya.. mie instan, beras, lauk pauk/sarden,abon dll, air mineral, obat-obatan, medis, susu bayi, pembalut, pakaian, tenda/terpal dan masih banyak lagi. terselip juga kebutuhan alat berat, BBM (solar), dan alat angkut.
diakhir email, terselip kabar.. kalau puluhan jorong dari kecamatan "anu" belum menerima bantuan karena akses transportasi terputus. dan tentu saja undangan untuk memberikan bantuan.

Dari puluhan lapsit atau hasil assessment, rasanya belum ada yang menyampaikan sumberdaya yang ada ditingkat lokal. baik sumber air bersih yang ada dan bisa digunakan warga, tanaman pangan (baik umbi2an, biji2an maupun buah2an), maupun sumberdaya untuk membuat tempat hunian sementara. tidak juga ada berita kalau disana terdapat orang yang mempunyai kapasitas membuat temporary shelter atau hunian sementara, ahli masak, ahli pengobatan dll. dan.. tidak juga ada informasi.. apa yang telah dilakukan warga untuk mempertahankan kehidupannya.

Yang muncul.. selalu kebutuhan-kebutuhan yang harus didatangkan dari luar. Tenda/ terpal, mie instan atau makanan siap saji, air mineral, obat2an kimiawi, makanan dan susu bayi dll. apakah memang tidak ada sumberdaya yang bisa digunakan untuk fungsi yang sama? Jika kita berbicara lagi tentang CBDRR.. bukankah sumber utama kekuatan ada ditangan masyarakat.. tentunya dengan sumberdaya yang mereka miliki sendiri.

kalau iya, lalu..
apakah ini artinya kalau penerapan CBDRR masih jauh dari harapan? jangan2.. lembaga2 yang menjalankan CBDRR pun saat menangani Relief tidak paham mengimplementasikannya. atau.. berbeda divisi atau bidang.. antara bidang DRR atau CBDRR dengan bidang tanggap darurat? jadi wajar kalau mereka gak singkron..

Kalau betul ini kejadiannya.. ini jauh lebih bahaya lagi.. lah.. gimana mau mengajak masyarakat untuk ber-CBDRR.. kalau diantara mereka saja gak mampu mengsingkronkannya. dalam satu lembaga.. DAHSYATTTTT....

MENGGALANG RELASI SOSIAL

Panik.. koordinasi kacau.. komunikasi semrawut.. overlapping pekerjaan dll..
itu lah "gambar" yang disajikan setiap terjadi bencana cukup besar di Republik Bencana ini.. Lalu.. para pejabat pun berlomba cepat buat pernyataan.. bak valentio rossi membesut Yamaha-nya. Kadang otak warasnya gak terpakai... sehingga pernyataannya justru menyebabkan "sakit hati" atau mebuat "drop" warga lain yang juga sama sedang mengalami penderitaan akibat bencana. Sebuah akibat ketidak mampuan "mereka" menjalankan mandat sebagai pemimpin Negeri ini untuk melindungi warganya dari berbagai ancman bencana.

Sudah lebih dari cukup pembelajaran bisa dipetik, dari yang super the most of disasters.. seperti gempa dan tsunami di Aceh (2004), gempa Jogja-Klaten (2006), Nabire (2008).. Banjir; di Aceh (2006), Jawa Tengah (2007), sampai yang menenggelamkan 80% Ibu Kota tercinta (2007) ini. erupsi gunung api pun menyambangi negeri ini. selain konflik sosial dan wabah..
tapi.. kenapa kita masih juga lebih dari seekor kledei dungu.. yang bangga dan melakoni dengan tulus melakoni kebodohan itu????


Terasa tertimpa durian montong rasanya ketika melihat berita di stasiun swasta tentang kejadian gempa bertepatan dengan peringatan tragedi 30 September. Gempa berkekuatan 7,3 SR mengguncang Sumatra Barat. uedan tenan... (harusnya sih mengucap istigfar yaaa). Bagi yg pernah menikmati goyangan bumi.. pasti bisa membayangkan.. betapa dahsyatnya Lindu yang berpusat di kedalaman 71 Km dan 57 Km barat daya Pariaman. Gempa yang terjadi pada pukul 17.16.09 wib, disusul dengan gempa berkekuatan 6,2 SR yang berpusat di kedalaman 110 km, 22 Km barat daya Pariaman. Hari kesaktian Pancasila pun dimeriahkan Gempa di Proponsi tetangga Sumbar; Jambi berkekuatan 7 SR. Rakyat kembali dipaksa berduka... ratusan jiwa kembali menambah angka2 jumlah korban meninggal akibat bencana..

"Orang terlemah dalam komunitas, pun memiliki kemampuan (keterampilan, sumberdaya, kekuatan dan ketrampilan) untuk menolong dirinya sendiri dan orang lain".

Itu harus diyakini oleh kita semua dalam kontek apapun, termasuk dalam penanganan bencana. Ini merupakan sebuah "warning", jangan sampai terjadi, "niat baik untuk membantu warga terkena dampak bencana menjadi bumerang bagi mereka. mematikan kreatifitas, insiatif, semangat dan sejenisnya untuk segera bangkit melanjutkan kehidupan".

Realitas yang lain... sumberdaya dari luar yang terbatas tidak akan pernah cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan warga terkena bencana. apalagi jika dikaitkan dengan standar minimum penanganan pengungsi seperti tertuang dalam SPHERE project.
Untuk itu, siapapun, lembaga manapun.. termasuk pemerintah seharusnya memahami prinsip-prinsip penanganan bencana yang memberdayakan.


Belajar dari Jogja dan Banjir Bengawan Solo

Gempa berkekuatan 5,9 SR yang mengguncang Jogja-Klaten, yang dianggap lebih kecil dampaknya dibandingkan Sumbar saat ini oleh para pemimpin negeri ini.. menelan 7.000 jiwa dan ribuan rumah rata dengan tanah. Minggu kelabu tersebut, menyisakan kepedihan sampai saat ini.

Sepuluh hari paska bencana, warga telah didorong secara swadaya membersihkan puing-puing rerentuhan bangunan. Memilah bahan bangunan yang masih bisa digunakan dan menggunakan sumberdaya yang dimiliki untuk memulai proses pemulihan. Dorongan WALHI Jogja dan LSM lokal yang sebelumnya menolak program "cash for work" diterapkan di Jogja melihat pengalaman buruk di Aceh, mendapatkan respon luar biasa dari daerah lain disekitar jogja dan Klaten untuk bergerak.

Gerakan solidaritas sosial diawali beberapa penyediaan alat2 bangunan oleh WALHI Jogja dan beberapa LSM lokal, relawan lereng Merapi berbekal cangkul, skop, martil dan alat bangunan, serta pesantren Nurul Ummah Kota gede yang menggerakan santrinya, mampu mendorong berbagai komunitas lain untuk ikut terlibat. Ratusan truck masuk ke wilayah2 bencana dipenuhi warga bersenjata perlengkapan bangunan. tidak lupa, mereka membawa bekal selama mereka menjadi volunteer.

Pemandangan yang mengharukan tentunya.. disela kesedihan yang mendalam hilangnya harta benda karena gempa, kedatangan warga yang sebelumnya mereka tidak kenal memicu semangat warga terkena bencana untuk bangkit. bersama-sama membersihkan puing2 bangunan, memilah bahan bangunan yang masih dpt digunakan, sekaligus membangun tempat bernaung sementara yang layak. setelah beberapa hari, mereka terpuruk dlm kesedihan dan harapan kosong menunggu bantuan dari luar.

Proses pemulihan Jogja dianggap sukses. Mobilisasi sumberdaya lokal yang dipadu dengan terbangunnya relasi sosial terbukti mampu mempercepat proses pemulihan.

Lain cerita relasi yang di lakukan saat terjadi benjir besar Bengawan solo, 2007 lalu. Relasi sosial yang dibangun dengan cara memobilasi sumberdaya tetangga kampung yang tidak terkena banjir. Komunitas yang sebelumnya kurang percaya diri dapat membantu saudaranya denga sumberdaya mereka, mampu dibangkitkan solidaritasnya. barbagai makanan pun mampu mereka siapkan bagi warga tetangganya yang kesulitan makanan. Penuturan warga yang secara suka rela berbagi makanan tidak merasa berat, karena mereka memasak sekaligus untuk kebutuhan rumah tangganya. yang dibutuhkan hanyalah mekanisme pengumpulan yang dilakukan bersama-sama, antara penduduk terkena bencana dan yang tidak. Hubungan sosial ini terus terbangun sampai banjir surut dan memulai bercocok tanam. warga dengan suka rela meminjamkan benih, pupuk, bahkan alat-alat pertanian.

Penanganan bencana Sumbar, kemana akan diarahkan?

hiruk pikuk penanganan bencana daerah2 terkena bencana di Sumbar masih terjadi. Berbagai kebutuhan terus dipublikan, dari mulai mie instans, air mineral, sampai tenda untuk tempat tinggal sementara. Belum satu daerah terpenuhi, muncul daerah lain yang mulai terbuka akses dan informasinya masih belum mendapatkan bantuan apapun. sementara, barang-barang bantuan untuk warga terkena bencana menumpuk di tempat2 penampungan bantuan. di pemda, bandara, pelabuhan atau post penanganan bencana. persoalan klasik kembali mengemuka.. kesulitan transportasi, dari mulai jalan tidak bisa ditembus kendaraan, sampai langkanya BBM dan kendaraan angkutan.
Belum lagi perdebatan valid atau tidaknya data yang munculkan..

Warga seperti di setting untuk terus menunggu dan berharap. wawancara yang dilakukan pun seolah diarahkan untuk mengatakan, butuh bantuan, dan bantuan belum sampai ditangan mereka. lembaga2 kemanusiaan pun seolah berlomba untuk menembus daerah2 yang belum terakses bantuan. untuk menjadi yang pertama mencapai lokasi. tidak hanya lembaga kemanusiaan yang berlomba untuk menjadi yang pertama, tapi juga media massa..

Demikian heroiknya menjadi yang pertama. sama persis Sir Edmun hillary menjadi yang perama menjajakan kaki di puncak Everest. atau Nail Amstrong sebagai yang pertama menjajakan kaki di Bulan. setelah mereka menjadi yang pertama, lalu? apakah warga terkena bencana yang ditemui pertama tersebut selesai masalahnya????

disisi lain, selain kegembiraan yang didapat warga karena ada orang luar yang menemui mereka, mengambil gambar mereka, mengambil pernyataan atau wawancara, atau bantuan yang diberikan (terlepas mencukupi atau tidak), adalah penderitaan baru bagi warga. karena setelah itu, akan datang beruntun tim penjajakan kebutuhan untuk menanyakan hal yang sama.. berulang-ulang. berapa jumlah meninggal, berapa yang terluka, berapa rumah yang rata tanah, rusak berat dan ringan. berapa jumlah penduduk, berapa anak2, balita, laki-laki, perempuan dll. sementara, semua kebutuhan yang warga sampaikan, entah kapan dapat dipenuhi.

Apakah warga tidak akan mampu bertahan hidup tanpa bantuan dari luar????
Jika warga tinggal digurun pasir nan tadus bak gurun sahara, tujuh hari akan menjadi neraka bagi mereka. air bersih tidak tersedia, makanan langka dan iklim yang tidak bersahabat dpt mencabut sisa2 kehidupan disana.

tapi disini bukan lah gurun sahara atau kutub utara. bukan juga kutub selatan dengan iklim yang sangat ekstrem. tidak juga terlalu sulit mendapatkan air bersih dan makanan. Juga terdapat tetangga kampung yang mungkin tidak terkena dampak buruk, sekalipun jaraknya mungkin puluhan kilo. artinya, masih terdapat sumberdaya untuk dapat mempertahankan hidup mereka. tinggal, bagaimana memobilisasi dan mengelola sumberdaya yang ada untuk bisa memenihi kebutuhan dasar sesuai dengan standar minimum.

rasanya, tidak terlalu urgent tenda jika masih ada bambu dan rumbia. tidak sangat dibutuhan air meneral kemasan, jika masih tersedia mata air dan sumberair bersih disana. tidak terlalu butuh mie instan dan makanan siap saji jika masih terdapat makanan, baik berupa umbi-umbian, pisang, jagung maupun sumber karbohidrat lain. tapi menjadi sangat penting adalah barang2 yang dapat memaksimalkan sumberdaya yang ada. alat2 bangunan, tempat penampungan air bersih (ember, drigen dll), perlengkapan penunjang kesehatan (sabun, sikat gigi, pasta gigi), bahan bakar, paku, tenaga medis (termasuk tenaga yang mampu menangani trauma), pengrajin bambu, tenaga pendidikan dll.

Untuk itu, kita dapatlah memperkirakan, apa skill yang dibutuhkan sebagai tenaga sukarelawan atau lembaga yang akan menangani bencana ini?
assessment memang penting... menyediakan dan mendistribusikan kebutuhan dasar pengungsi juga penting..
tapi.....
pikirkan....
jangan semua yang kita lakukan dengan niat baik... menjadi bumerang bagi warga terkena bencana... dalam jangka pendek.. menengah dan jangka panjang..


Monday, April 13, 2009

BERTANYA PADA IKAN PAUS?

Oleh D Elcid Li
Peneliti spesies manusia, anggota Forum Academia NTT (FAN), sedang dikonservasi di Birmingham, Inggris


KETIKA pertama kali diteliti oleh perwakilan pemberi beasiswa (Ford Foundation) tiga tahun lalu penulis ditanya, "Apa hal yang paling berbeda antara di sini (Birmingham, Inggris) dan di Indonesia yang mengagetkan Anda?" Saya menjawab, "Kalau di sini anjing yang obesitas (kelebihan berat badan) ada program khusus untuk diet, menurunkan berat badan, sedangkan di kampung bayi yang mati busung lapar tidak ada yang peduli." Peneliti yang juga antropolog dari AS itu diam.

Mungkin ada yang ia pikirkan.

Cerita di atas seolah terulang kembali ketika membaca berita tentang pecinta ikan paus dan program insitusi lingkungan global semacam WWF (World Wild Fund) yang hendak membikin lokasi konservasi baru di Laut Sawu, dan bingungnya nelayan Lamalera yang merasa terancam penghidupannya.

Tulisan ini semata-mata mencoba mendudukkan di mana artinya manusia di mata manusia lain dengan pandangan bahwa sejarah manusia itu berbeda dan itu membuat pandangannya terhadap dunia pun beda. Alur tulisan ini ada dalam alur anthropocentric. Argumentasi lanjutannya dalam pandangan hidup di Indonesia dikenal dengan nama berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), atau dalam ulasan yang lebih memadai oleh Ivan Illich (1973) disebut conviviality. Konsep ini coba dibuka untuk melihat kembali kaitan antara intervensi lembaga lingkungan ini dan implikasinya terhadap kemampuan berdikari masyarakat.

Pornografi WWF?
Kisah ini bermula dua tahun silam, ketika sejumlah wartawan takjub meliput ada 'dermawan' yang memberikan kamera kepada warga pesisir di Lamalera, di Pulau Lembata untuk merekam kehidupan mereka. Hasil pengambilan gambar itu kemudian dibawa ke mana-mana untuk dipamerkan oleh institusi pencinta satwa liar ini.

Sebagian orang di kalangan ini menyebut sebagai usaha penelitian partisipatif. Menyertakan masyarakat dalam terlibat dalam project itu. Tetapi, apakah benar begitu, kita yang tamu malah mengajak orang setempat untuk terlibat? Kapan ada waktu untuk mengenal mereka, dan keluar dari manual project yang dibawa, sehingga kita pun bisa orisinil dan asli dalam bereaksi? Dan slogan partisipasi tak seperti slogan orang yang hendak menyuntik serum tanpa perlu tahu apa penyakit? Atau, kalau pun tak ada penyakit, tetap saja intervensi itu harus dijalankan dengan asumsi bahwa yang sederhana dan berbeda itu tetap keliru dan harus diperbaiki?

Pertanyaan-pertanyaan itu ditunda dulu. Sejumlah warga di Lamalera dilukiskan oleh para juru warta sibuk dan gembira menggunakan kamera (pinjaman yang totalnya 50 biji) untuk mengambil gambar seisi kehidupan mereka. Tapi dua minggu ini di akhir Bulan Maret 2009, berita tentang embrio ide pelarangan perburuan ikan paus; maupun setelah mendapat reaksi keras pihak pecinta ikan paus memberi alibi/mengedit pesan menjadi: yang dilarang adalah perburuan ikan paus tertentu dan yang sedang hamil. Dan seorang penelitinya berujar, "Ini serupa dengan apa yang telah menjadi kearifan masyarakat lokal?"

Pertanyaan kepada para cerdik pandai ini, "Jikalau kearifan itu sama dengan apa yang hendak kalian paparkan, lantas mengapa para orangtua di kampung harus ketakutan?" Dan lagi, "Jikalau sama apa yang hendak kalian bedakan dengan menambah peraturan ini?" Kalau pun para nelayanLamalera bukanlah target utama dari project WWF, mengapa intervensi itu langsung diarahkan kepada mereka? Kalau memang nelayan dengan kapal-kapal moderen yang menjadi target, kenapa kalian harus pergi ke Lamalera?

Firasat dulu ketika membaca berita di atas itu ternyata terbukti, kamera yang dipinjamkan kepada masyarakat adalah 'kuda troya' untuk mempertontokan aurat kehidupan masyarakat ini. Singkat kata, air susu dibalas dengan air tuba. Atau, dalam bahasa yang lebih tajam, para kawan-kawan dari WWF tidak mengerti manusia dan lebih mengerti 'satwa liar', sehingga tidak tahu mengucapkan kata 'terima kasih' dengan pantas untuk kepercayaan masyarakat yang pernah menerima mereka dengan suka cita. Sehingga hari-hari ini berita yang ada di media adalah suara kebingungan orang kampung para nelayan pemburu ikan paus tradisional yang dilakukan musiman.

Bagi para peneliti satwa liar dan para pegawainya. Lamalera hanyalah tempat singgah sementara untuk sebuah project. Bahkan dalam pandangan ilmuwan, ini cuma satu titik perjalanan kawanan ikan paus dalam berenang mengarungi bumi. Sedangkan bagi orang Lamalera di laut inilah tempat hidup mereka. Dua cara pandang yang berbeda, terkait dengan diri (subyektivitas).

Jika seorang ahli ikan paus bisa membedakan sekian species ikan paus, maka izinkanlah kita bersama-sama mencoba membedakan species manusia sebagai bentuk konkrit lanjutan dari tradisi berpengetahuan barat mengikuti August Comte, perintis sosiologi di Paris. Tesis utama dari pikiran ini, menurut saya: "Semua manusia sama di mata Tuhan, tetapi setiap manusia tidak sama di mata manusia."

Perbedaan Species Manusia
Seorang ilmuwan yang meneliti ikan paus mungkin lebih mengenal ikan paus dibanding mengenal species-nya yang sejenis: manusia, dengan variasi warna kulit (pigmen) yang disebut ras, stratifikasi ekonomi (kelas), maupun kumpulannya yang disebut bangsa, apalagi perbedaan budaya tempatnya berpijak. Jika ikan paus bisa diamati perjalanannya mengelilingi bumi dengan memasang tag, dan memantaunya lewat satelit, maka untuk mengerti manusia aslinya jauh lebih kompleks, sudah pasti kita tidak hanya berbicara ia sudah berenang/berjalan ke mana saja, makan apa untuk bertahan hidup, dan apa yang ia maksudkan dengan hidup.

Untuk itu menyamaratakan manusia dan ikan paus pun perlu dilihat dari cara pandang yang berbeda. Bagi seorang pegawai lembaga lingkungan internasional, kawasan konservasi seperti kebun binatang internasional yang bisa ia kunjungi sesekali. Sedangkan bagi para nelayan Lamalera, itulah hidup mereka.

Bicara soal budaya dan perangkat sosial di dalamnya tidak mungkin dimengerti oleh para kaum kosmopolitan yang tak mengerti artinya rumah. Para pegawai lembaga jenis ini masuk kampung dan bertemu manusia lain seperti melihat makhluk eksotis, dan ketika bertemu dengan manusia yang sama di ruang yang lain, ia pasti akan bertindak berbeda dalam menyapa. Terasa benar bahwa: 'di mata manusia, manusialain tidaklah sama'.

Menikmati Pornografi Pengetahuan
Ketika gunung hilang dan sekian satwa hilang di Papua dimakan Freeport, itu tidak pernah menjadi perhatian WWF, dan tidak pernah dibicarakan di forum-forum resmi. Karena itu bagian dari modernitas. Sebaliknya sejumlah satwa eksotis yang melintas perkampungan nelayan menjadi perhatian. Jika WWF benar-benar ingin heroik membela satwa tentu berpikir bahwa proyek-proyek tambang yang sudah diprotes sekian aktivis tambang itu menyimpan persoalan. Karena persoalan tambang pun menjadi persoalan di Lembata, karena mengancam aspek penghidupan masyarakat setempat.

Sepertinya WWF meletakkan ini sebagai blind spot, dan tidak mau belajar. Sebab konsep harmoni yang dimaksud WWF masih hanya dalam dualisme manusia dengan binatang, sedangkan harmoni melibatkan manusia dan manusia lain belum menjadi hitungan. Hal ini luput dalam kajian karena epistemologi pengetahuan yang dipakai ada dalam langgam ilmu alam.

Kehidupan orang moderen biasanya hanya satu jalur. Kalau ia ingin menjadi pemain sepak bola maka ia hanya hidup dan disiapkan untuk menjadi sepak bola. Begitu pun seorang peneliti ikan paus, keintimannya pada ikan paus melebihi rasa sayangnya pada manusia. Ia bisa jatuh cinta pada ikan paus dan melupakan keluarganya. Itu biasa.

Project pun bukan mengikuti arus laut, tetapi mengikuti arus uang. Putaran ekonomi. Sebab itu para nelayan dari Lamalera tidak bisa mengatur hidup orang di Eropa. Tetapi orang dari Eropa bisa datang dan mengatur 'hidup' nelayan di Lamalera. Atau orang dari Lamalera tidak bisa mengatur seorang aktivis lingkungan yang berumah di Jakarta. Karena memang kita tidak sama. Untuk itu seorang ilmuwan pakar ikan paus tentu harus lebih bisa bertanggung jawab ketika menyebut: 'sama itu'. Apanya yang sama?

'Konservasi' ikan paus ini pun bisa dipandang sebagai ekspresi 'kegilaan' manusia moderen yang tidak mampu menemukan hidup (lagi). Apakah dengan mengerti jalur perjalanan ikan paus di bumi, lantas Anda lebih mengerti soal hidup? Dan peneliti itu menjawab, "Kami mengerti hidup Anda karena sudah melihat seluruh gambar Anda." Maka pertanyaannya pada peneliti, "Apakah kami ini kalian anggap seperti ikan di dalam aquarium?"

Orang-orang yang melihat melihat manusia lain sebagai benda bukanlah manusia, sehingga tidak perlu didengarkan. Cukup dimengerti saja. Tetapi lain kali, siapa pun yang berbaik hati datang membawa bantuan/memberikan fasilitas perlulah kita bertanya, "Ada maksud apa?" Sebab saat ini yang baik itu makin jarang yang gratis. Itu bisa jadi sekedar jerat, meletakkan kita dalam tata pengetahuannya dan dalam piramida kuasa.

Ataukah para ahli ikan paus dan para aktivis WWF merasa lebih mengerti manusia dengan bertanya pada ikan paus? "Bukankah ikah paus tidak bisa berbicara?" Memang benar ikan paus tidak bisa berbicara, sehingga 'aku' kalianlah yang bicara, seolah-olah mengerti ikan paus, padahal hanya mengerti diri sendiri.

Kenapa Harus Protes?
Dalam pandangan berdikari, setidaknya ada tiga alasan mengapa cara kerja WWF perlu ditolak. Pertama, project WWF ini mengancam pola hidup subsisten masyarakat laut Lamalera. Kedua, seharusnya sejak awal agenda WWF perlu dibuka sehingga proses 'berpatner' ini tidak menjadi arena penaklukan. Ketiga, metode partitipatif yang melibatkan penggunaan alat bantu kamera sebagai bagian dalam visual method seharusnya berpijak pada etika. Artinya, apakah Anda para pekerja LSM WWF berkenan meng-expose cara Anda mencari makan, jika diberikan kamera memotret interior hidup anda? Kenapa dalil private itu hanya berlaku untuk anda? Tidak sama bukan?

Singkatnya, aktivis WWF terlalu menggampangkan persoalan ini dan hanya berpatokan pada manual project pembentukan lokasi konservasi. Jika lokasi konservasi sudah dibentuk, tentu ada aturan yang berlaku. Aturan yang dimaksud disebut merupakan hasil kajian scientific. Apakah benar bahwa supremasi scientific itu terhadap pengetahuan masyarakat

lokal itu benar?

Di titik ini, perbedaan pengetahuan antara pegawai WWF berbeda hingga persoalan ontologis dan tidak menjadi perhatian pegawai WWF maupun para ahli ikan paus itu. Ahli ikan paus hanya berpikir soal konservasi ikan paus, tetapi tidak paham bahwa dalam sejarahnya baru pertama kali ini masyarakat laut Lamalera ditaklukkan. Karena konservasi tentu akan diikuti dengan 'mandor' pengontrol, yang berarti masuknya state apparatus ke dalam masyarakat subsisten. Padahal dalam negara yang hanya menjadi lokasi pasar dan sumber bahan baku, watak aparatnya pun serupa dengan kutu busuk. Ini tidak menjadi keprihatinan, karena fokusnya lebih pada ikan paus.

Di mata Tuhan kita adalah sama, sehingga para nelayan Lamalera tidak lebih rendah daripada para aktivis WWF maupun ahli dari mana pun. Sebab jarak tempuh manusia pada sang pencipta adalah sama dari mana pun di bumi ini. Sehingga sistem kasta pengetahuan pun perlu dibuka agar tidak porno. Di mata Tuhan pemberi hidup kita sama. Tetapi tidak di mata manusia. Atas nama keyakinan pada Sang Pencipta, maka kita berhak untuk berbicara tentang hidup kita.

SUMBER : http://www.pos-kupang.com/index.php?speak=i&content=file_detail&jenis=14&idnya=24077&detailnya=1

Sunday, April 12, 2009

SITU GINTUNG ADALAH AWAL...

Sinarharapan/6 Maret 09

*"Tragedi Situ Gintung" Lain Siap Bermunculan
*JAKARTA - Tragedi Situ Gintung yang merampas sedikitnya 100 nyawa
seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pengelola kota di Jabodetabek
untuk serius membenahi persoalan lingkungan. Pesatnya pembangunan fisik
dengan mengabaikan keberadaan alam di sekitar manusia membawa petaka
luar biasa.

Jebolnya tanggul Situ Gintung di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat
Timur, Kota Tangerang Selatan, 27 Maret 2009 lalu, membuktikan bahwa ada
yang salah dalam konteks pembangunan di kawasan tersebut. Pemerintah
daerah (pemda), termasuk juga pemerintah pusat, terbukti telah
mengabaikan persoalan situ yang notabene adalah wilayah tangkapan air
yang seharusnya dipelihara. Jangan malah sebaliknya di-korbankan untuk
kepentingan pembangunan fisik semata.

Bukan rahasia umum lagi jika di kawasan Jabodetabek keberadaan situ-situ
sangat memprihatinkan. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta yang
didapat dari PPK Pengembangan dan Konservasi Sumber Daya Air (PKSA)
mencatat terdapat 202 situ yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Kenyataannya, tidak semua dari situ
yang didata Balai Besar Wilayah Ciliwung dan Cisadane itu masih baik
kondisinya dan seperti keadaannya semula.

Pengamatan Walhi Jakarta membuktikan, lima situ sudah tidak lagi
berfungsi, di antaranya Situ Jati Rangon dan Situ Rawa Lumbu di Kota
Bekasi serta Situ Penggilingan dan Situ Cipayung di Jakarta.

Setelah Walhi Jakarta menginventarisasi, ditemukan fakta bahwa dari 202
situ yang ada, 67 situ di antaranya rusak. Situ yang rusak adalah situ
mengalamai pendangkalan dengan sedimen tinggi. Indikasi lainnya adalah
situ tersebut sudah mulai ditumbuhi gulma secara tidak terkendali.
Pertumbuhan gulma, misalnya eceng gondok, menandakan situ itu tidak
mendapatkan perawatan.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Slamet Daroyni mengatakan, 49 situ di
wilayah Jabodetabek diklaim sedang mengalami rehabilitasi. Namun dia
menilai, rehabilitasi itu tidak jelas.

Gaya hidup yang tidak ramah lingkungan membuat beberapa warga
memperlakukan situ dengan semena-mena. Tanpa belas kasihan pada alam,
warga seenaknya membuang sampah di situ. Sampah dan beberapa faktor lain
membuat situ mengalami pendangkalan. Walhi mencatat, setidaknya 27 situ
di Jabodetabek mengalami pendangkalan atau berubah fungsi menjadi sawah.

Keterbatasan lahan di wilayah metropolitan ini bahkan memaksa orang
menyulap satu situ menjadi dataran. Satu situ diswakelola oleh warga
sekitar. Tiga situ bahkan telah berubah wajah menjadi perumahan. Sebut
saja Situ Ciparigi di Bogor.
Tragis ketika Jakarta sebagai Ibu Kota, kota yang seharusnya menjadi
panutan bagi kota lain hanya memiliki 16 situ. Lebih mengerikan lagi,
dari 16 situ, hanya enam situ yang masih dalam keadaan baik.
Perubahan fungsi dan kerusakan situ di Bogor juga kian hari kian parah.
Dalam daftar inventarisasi situ-situ di Jabotabek dari Proyek
Ciliwung-Cisadane, dari 121 situ yang ada di Kota maupun Kabupaten
Bogor, hanya sekitar 17 persen situ (21 situ) yang kondisinya masih
baik. Sisanya, 83 persen (100 situ), dalam kondisi rusak. Kerusakan
membuat kemampuan menampung air berkurang hingga sekitar 60 persen.
Kondisi situ yang tidak terawat itu sangat rawan terhadap terjadinya
bencana yang bisa merenggut korban jiwa maupun harta.

Asep Yuyun, Kepala Bidang Pembangunan pada Dinas Binamarga dan Pengairan
Kabupaten Bogor, mengungkapkan kalau situ di wilayah Kabupaten Bogor
yang berjumlah 93 buah kini dalam kondisi rusak. Bahkan, belasan di
antaranya mengalami rusak parah dan rawan terhadap terjadinya bencana.

Di Tangerang, dari total 46 situ yang tersebar di wilayah kota dan
Kkbupaten, termasuk Kota Tangerang Selatan, saat ini (37 situ di
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan serta 9 situ di Kota
Tangerang), mayoritas dalam kondisi kurang baik atau rusak.
Menurut catatan SH, dari total situ di Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan dengan luas awal mencapai 1.065,05 hektare, kini yang
tersisia hanya tinggal seluas 686,7 hektare atau menyusut hingga 35,52
persen. Penyusutan terparah dialami Situ Gintung, Situ Kuru, serta Situ
Parigi di wilayah Ciputat, Pamulang, dan Pondok Aren, Kota Tangerang
Selatan.

Situ Teratai di Kecamatan Serpong Utara, Situ Krawon di Kecamatan Pasar
Kemis, dan Situ Kelapa Dua di Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang,
kini berubah fungsi menjadi perumahan dan lahan darat. Sementara itu,
situ lainnya berubah fungsi menjadi areal persawahan dan dikuasai oleh
warga setempat.
Dari sembilan situ yang ada dengan total luas awal mencapai 257 hektare,
kini yang tersisia hanya tinggal enam situ dengan luas menyusut menjadi
152 hektare. Hilangnya situ ditengarai akibat berubah fungsi menjadi
daratan yang kini dibangun jalan dan permukiman.

Kesembilan situ dimaksud di antaranya adalah Situ Cipondoh di Kecamatan
Cipondoh, Situ Gede di Kecamatan Tangerang Kota, Situ Kunciran dan Situ
Bojong di Kecamatan Pinang, serta Situ Bulakan dan Situ Cangkring di
Kecamatan Periuk. Sementara itu, tiga situ yang hilang adalah Situ
Kompeni di Kecamatan Benda, Situ Plawad di Kecamatan Cipondoh, serta
Situ Kambing di Kecamatan Ciledug.

Di Bekasi, menurut Kepala Bidang Tata Air Dinas Bina Marga dan Tata Air
Kota Bekasi Yurizal, sebagian besar situ di wilayahnya telah menjadi
milik pribadi, yayasan, dan pengembang. Dari 18 situ, hanya enam situ
yang milik negara, sedangkan di Depok, Kepala Bidang Sumber Daya Air
Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Depok Welman Naispospos
menyebutkan, terdapat enam situ yang kondisinya mirip dengan Situ
Gintung, yaitu Situ Asih Pulo di Desa Rangkapanjaya, Situ Pedongkelan di
Tugu Cimanggis, Situ Bojong Sari di Sawangan, Situ Pangerang di Cisakak,
Situ Bahar di Limo, dan Situ Sido Mukti di Cilangkap.

Kelalaian Pemerintah

Slamet Daroyni menilai Tragedi Situ Gintung sebagai turunnya kondisi
sebagian besar situ. Menurutnya, perubahan peruntukan situ-situ di
Jabodetabek adalah akibat dari kelalaian pemerintah dalam mengawasi dan
merawat situ.
Tragedi Situ Gintung yang menyebabkan sedikitnya 319 rumah rusak
diterjang air bah menurutnya disebabkan situ itu tidak mendapat
perhatian pemerintah. "Jelas ada pembiaran di sana," tegasnya.

Pembiaran tampak ketika semua pihak pemerintahan saling melempar
kesalahan. Bukan hanya Departemen Pekerjaan Umum saja, melainkan juga
Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang.

Kalalaian pemerintah juga ditangkap pakar perkotaan dari Universitas
Trisakti Nirwono Joga. Dari surveinya pada beberapa situ di Jabodetabek,
Joga mendapati beberapa situ tidak mendapat perawatan dan telah berubah
fungsi. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab
pemerintah. Ia mencontohkan Situ Ciledug, Bekasi. Di atas situ ini kini
berdiri pusat perbelanjaan besar.

Koordinator Peta Hijau Jakarta ini mengatakan, tidak sepantasnya kalau
warga tidak peduli pada situ yang ada, setidaknya pada situ yang ada di
dekat tempat tinggalnya. Tanggung jawab warga justru terdapat pada
hal-hal kecil seperti tidak membuang sampah di atas danau. Sampah,
menurut Joga, membuat situ menjadi dangkal, bahkan berpotensi menjadi
daratan. Ia juga meminta warga tidak menggusur keberadaan ruang terbuka
hijau dan menggantikannya dengan bangunan liar.
Momentum jebolnya tanggul Situ Gintung seharusnya bisa menjadi
pembelajaran bagi kedua pihak, baik pemerintah maupun warga, untuk mulai
bersahabat dengan alam. *(parluhutan gultom/periksa ginting/jonder
sihotang/deytri aritonang)*
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0904/06/jab06.html

Thursday, March 12, 2009

assessment...

sebuah kebutuhan atau gaya-gayaan????

"kami sedang menurunkan tim untuk melakukan assessment. respon apa yang akan dilakukan, tergantung hasil assessment nanti". kira-kira begitulah setiap kali ada kejadian bencana. rapid assessment sebagai langkah awal, memang menjadi kebutuhan dasar bagi banyak lembaga sebelum melakukan tindakan darurat. Karena, dari data tersebut, akan diputuskan dilakukannya tindakan atau tindak terhadap kejadian bencana.


Jawaban "sedang melakukan assessment" atau "akan menurunkan tim assessment" kerap membuat banyak orang geram, gemas atau mungkin juga marah. Rasa jengkel itu kerap terlontar berupa umpatan-umpatan kasar. "Orang sudah mau mati, masih juga bicara prosedur. Bawa saja apa yang ada, semua barang dibutuhkan disini.. karena disini bukan tempat pesta.. disini daerah terkena bencana".

Apa pun cerita, realitasnya seperti itu. Banyak lembaga kemanusiaan sadar atau tidak mengikuti gaya-gaya pemerintah yang selalu dikritik, dihujat atau dicemooh. Respon terhadap kejadian bencana selalu terlambat. Bak film india... dinama polisi selalu datang (terlambat) setelah persoalan diselsaikan oleh sang jagoan nan ganteng..

Apakah ini terpikir oleh pangambil kebijakan lembaga-lembaga yang secara khusus mempunyai resources (dana dan logistik) untuk tanggap darurat. Mungkin sudah... karena banyak kesepakatan.. atau upaya dilakukan untuk memangkas "penyakit menular" tersebut. salah satunya dengan menciptakan regionalisasi, standarisasi tools/manual assessment, membangun kemitraan dengan NGO's lokal atau serangkaian training. Kesadaran atas keterbatasan resources, pun disikapi dengan membuat kesepakatan antar INGO's yang memiliki mandat sama; kerja-kerja kemanusiaan. harapannya, tentu untuk saling menutup kekurangan masing-masing lembaga dalam melakukan tanggap darurat. Kenyataannya... masih zero.. zero.. zero...

Setiap kejadian bencana, selalu saja pernyataan "kami sedang atau akan melakukan assessment", masih nyaring terdengar. Celakanya lagi.. hampir semua lembaga... melakukan hal yang sama.. assessment. sehingga tidak jarang.. mereka bertemu dan ber-say hallo, cipika-cipiki di kantor atau pos penanganan bencana. Data yang diambil sama dan dari sumber yang sama. Yang membedakan.. format laporannya saja.

Sementara, tidak jarang.. sejak hari pertama kejadian bencana, LSM lokal telah turun gunung melakukan pendataan. Setelah data terkumpul.. para relawan pun bingung.. mau di kirim ke siapa. Sasaran pun ke mailing list (berharap, ada lembaga kemanusiaan yang tersentuh dan mau bermitra). Itu pun kalau akses internet lancar. Mereka yang dengan gagah berani turun gunung dengan segala keterbatasan sumberdaya... belum mendapatkan kepastian.. apa yang selanjutnya dapat dilakukan. Kebutuhann dasar jelas di depan mata. tapi untuk memenuhinya.. tidak ada kemampuan.

Pulsa (biaya komunikasi) pun hilang sia-sia. Ketika para relawan mencoba mencari dan membuka komunikasi dengan lembaga-lembaga kemanusiaan. Setelah berkali-kali telpon dan kirim sms, baru mendapatkan kontak person satu atau dua orang yang bekerja di lembaga kemanusiaan. setelah di kontak.. jawaban awal tentu tentang data. "tolong kirimkan datanya". setelah data terkirim, jawaban pun tidak segera di dapat. bisa jadi jawabannya.. "oh.. kami sedang berancana untuk menurunkan tim assessment. atau... maaf, kami sudah punya mitra dan akan turun ke lapangan.. (entah kapan...).

Kondisi ini selalu terjadi dan terjadi. Bikin muak dan akhirnya membuahkan frustasi. Kenapa kondisi ini terus berulang dan berulang. Bukankan mandat kemanusiaan secara gamblang menjadi pegangan para lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut. Bukankah sumberdaya (uang dan logistik) yang mereka kelola atas nama penanganan bencana?

Sebuah keajaiban... Dana untuk menurukan tim untuk assessment tidak lah sedikit. Bahkan bisa jadi setara dengan 10 ton beras. Bisa dibayakan.. ketika gempa terjadi di Nabire atau Manukwari-Papua. Menurunkan tim assessment dari kota-kota yang jauh dari lokasi; jakarta, jogja, bengkulu atau daerah yang jelas-jelas sangat jauh. Berapa rupiah dana dikeluarkan untuk transportasi menuju lokasi bencana? belum lagi kebutuhan untuk akomodasi, transport lokal dan tidak lupa perdiem para assessor?
Bukan kah dana tersebut akan jauh bermanfaat untuk mendukung organisasi lokal? atau langsung untuk menyediakan kebutuhan dasar?

Pertanyaan sederhana kerap muncul di kepala yang tidak lebih besar dari kelapa ini. Apakah memang mutu data dari tim assessment yang diturunkan dari jauh tersebut lebih baik dari yang dibuat komunitas atau LSM lokal?

Kalau sudah begini.. sebetulnya, assessment itu kebutuhan atau gaya?


Tuesday, February 17, 2009

MAINSTREAMING DISASTER RISK REDUCTION INTO SPATIAL PLANNING

Keren buangettttt judulnya. lebih tepatnya.. Mengerikan. Udah pake engris... topiknya juga sangar. Hanya expert ruar biasa yang sanggup "sepertinya" yang bisa nyusun topik ini.. apakah ini berarti tulisan sederhana ini sebagai media proklamasi "sang penulis" sebagai expert??? tent tidak... karena sebagai "anak kemarin sore", hobbinya kan caper alias cari perhatian... gitu lah kira2 salah satu niat tersembunyi dari tulisan ini. mudah2an, jadi renungan kita bersama untuk penyusunan tata ruang di mana pun dan kapan pun.

Penataan ruang adalah sebuah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (ps 1 (5) UU No 26/2007). Gunanya menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. begitu penting fungsi penataan ruang, tidak salah kalau banyak para "orang pinter" mempelajarinya dengan sungguh2. Ini tidak lepas dari peluang yang diberikan tujuan dan fungsi dari tata ruang.


Buat orang yang separo otaknya berisi materi, tata ruang adalah peluang bisnis yang menggiurkan. tidak hanya peluang untuk terlibat menyusun, tapi juga peluang-peluang lain dalam pemanfaatan ruang itu sendiri. misalnya menjadi spekulan tanah, investasi dll. Buat si penyusun tata ruang, kewajiban daerah untuk menyusun tata ruang adalah peluang bisnis sambilan yang menjanjikan. karena tidak kurang dari setengah milyar akan dikelola sebagai imbal jasa dalam penyusunan tata ruang per kabupaten/propinsi.

Tata Ruang dan Ancaman Bencana
Jauh sebelum tsunami menyapu sepanjang pantai barat - utara negari serambi mekah, daerah rawan bencana telah menjadi perhatian dalam penataan ruang. Daerah-daerah rawan bencana seperti longsor, banjir atau erupsi gunung api ditetapkan sebagai daerah pengembangan terbatas. atau bahkan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Penetapan kawasan ini semakin kuat dengan kejadian bencana yang lebih mendapatkan pertatian setelah akhir Desember 2004. bagaimana tidak, lebih dari 300 ribu jiwa menjadi korban ganasnya gelombang tsunami yang sebelumnya diguncang oleh gempa berkekuatan besar, 8,9 SR. tiga bulan berikutnya, kembali gemba menggoyang yang merontokan Nias dan kepulauan Simeulue.

Karena perhatian menjadi lebih atas kejadian bencana, seolah negeri ini tak kunjung berhanti menghadapi kejadian bencana. kejadian-kejadian tersebut seolah mengantri menunggu giliran. dari mulai banjir bandang, banjir genangan, angin puting beliang, erupsi gunung api, maupun yang telah menjadi teror sebagian warga negeri ini; gempa dan tsunami. Belum lagi wabah dan mal nutrisi alias kelaparan. Konflik sosialpun menyeruang diantara bencana yang picu olah Alam. dan Bencana akibat gagalnya teknologi skala besar, melengkapi kejadian-kejadian bencana menjadi sepurna.

dari kejadian-kejadian, entah dipicu oleh kejadian alam atau manusia, tata ruang menempati posisi strategis. kesalahan menyusun atau menterjemahkan dokumen/kebijakan tata ruang berakibat sangat fatal. investasi bertahun2 musnah dalam hitungan detik atau menit. anggaran negara tersedot luar biasa sebagai respon atas kejadian bencana. belum lagi kerusakan atau kehilangan aset milik warga dan pihak swasta. begitu besar kerugian yang diderta akibat dari kejadian bencana...
lalu dimana letak pembelajarannya? apakah telah menjadi lesson learn bagi semua pihak. buat pemerintah, rakyat, swasta. lebih spesifik lagi, apakah juga telah menjadi pelajaran berharga bagi pihak-pihak penyusun tata ruang?

Tata ruang dan proses penyusunan
Pemda berkewajiban memiliki tata ruang merupakan sebuah kewajiban dari daerah untuk

Telah menjadi rahasia umum, penyusunan tata ruang selalu diwarnai polemik. dari mulai ketidak transparan dalam proses penyusunannya, tidak partisipatif, atau yang lebih menjijikan... cukup copy paste dari yang telah ada. celakanya... kerap ditemukan, copy paste yang "jorok". Nama daerah di propinsi/kabupaten lain muncul pada daerah yang sedang disusun tata ruangnya. ajaibnya.. konsultan penyusun tata ruang merasa "aman damai" tanpa ada rasa salah sedikitpun.

Tidak transparannya penyusunan tata ruang lebih disebabkan alasan waktu dan biaya. banyaknya masukan atau kritikan, tentu akan menambah waktu yang berimplikasi pada biaya. Menutup akses proses penyusunan adalah jalan yang dipilih kebanyakan konsultan selama proses penyusunan. Jangan aneh, jika warga yang berminat atas proses penyusunan tata ruang kesulitan mengakses telah sejauh mana proses penyusunan, apalagi dokumentnya. Konsultasi publik yang menjadi bagian proses pun kerap di persempit maknanya lewat keterwakilan.

Alasan pembenar para konsultan adalah; mereka di kotrak oleh Pemda. sehingga tanggung jawabnya tentu hanya sama Pemda. sebagaimana layaknya sebuah bisnis tentunya. dan mereka akan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah, terserah pemerintah mau apakan hasil mereka. termasuk tidak terpakai...

Mereka lupa, diluar urusan bisnis, mereka sedang menentukan masa depan hidup dan kehidupan jutaan warga negara.
Konsultan tata ruang yang umumnya para akademisi dengan sederet gelar, pun lupa, ada yang mengikat mereka melalui tri darma perguruan tinggi. juga sumpah jabatan dll.
Namun, otak matrialistis telah menutup aturan maen dan tanggung jawab sebagai warga negara, sebagai manusia dan sebagai hamba dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Penataan ruang diselanggarakan dengan memberhatikan ; kondisi fisik negara kesatuan RI yang rentan terhadap bencana.. (ps 6 (1) point a). Menjadi menarik, perspektif bencana menjadi pertimbangan atas pembuatan undang-undang ini. artinya, saat penyusunan, telah disadari tingginya tingkat kerentanan benacana di negeri kepulauan ini.

Namun sayangnya.. ancaman bencana yang dimaksud hanya dibatasi pada bencana alam. tidak untuk bencana non alam. Padahal.. pemicu bencana non alam atau penggabungan antara alam dan non alam sebagai pemicu bencana.. tidak kalau besar. Bahkan kalau mau jujur, kejadian bencana akibat dari non alam jauh lebih besar.

Kembali ke proses penyusunan tata ruang, kerentanan bencana agaknya belum ditempatkan sebagai pertimbangan khusus. dari beberapa tata ruang yang ada, penanggulangan bencana yang juga dimandatkan dalam UU No 24/2007 hanya "diselipkan" sekedar memenuhi kewajiban. Jika pemerhati PRB tidak ikut terlibat atau kurang jeli, bisa dipastikan... rencana tata ruang sebuah wilayah akan melenggang mulus menjadi kebijakan.

Terlewatkannya PRB dalam RTRW, tentu tidak lepas dari kapasias sang penyusun dalam memahami PRB. selain faktor "malas" memeras otak atawa sekedar berdiskusi dengan para penggiat PRB. Hampir tidak pernah ada kabar, penggiat PRB yang saya kenal bercerita diajak diskusi dengan para konsultan RTRW. Cerita yang ada, ketika mereka ingin melibatkan diri pun, mereka kesulitan. sekalipun mereka berkawan karena satu kampus...

PRB dalam Rencana Tata Ruang
Harus diakui, belum cukup mainstreaming PRB dalam UU penataan ruang. PRB dalam UU No 26/07 baru ditempatkan sebagai ancaman dari alam. UU tersebut juga terlalu gegabah dengan menyatakan "cukup jelas" dalam penjelasan pasal. Kondisi berimplikasi pada pasal turunan, juga pelaksanaan penyusunan RTRW dilapangan.

Aceh, Jogja dan Sumatra Barat serta Papua adalah contoh tragis. wilayahnya yang telah diporak porandakan oleh bencana, ternyata tidak menunjukan "penyesalan" salah urus wilayah. Rencana Tata ruang tentu salah satu biang atas bahaya yang terjadi berubah menjadi bencana maha dahsyat. tidak terpetakannya kawasan rawan bencana secara spesifik, menyebabkan pemanfaatan ruang tidak disesuaikan dengan kondisi ancaman. tidak ada upaya maksimal sebagai bentuk reduksi risiko bencana. sampai terjadinya kejadian luar biasa dengan mengorbankan jiwa, harta, mata pencaharian, fasilitas publik maupun lingkungan.

kejadian bencana yang luar biasa, seharusnya menempatkan pemerintah daerah menjadi belajar. apa yang mereka abaikan, telah menyebabkan malapetaka. pengembangan kawasan pada kawasan rawan bencana (kota) secara otomatis mendorong pertumbuhan ekonomi. tidak dilakukan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Bahkan informasi jika kawasannya rawan bencana pun tidak terdengar. Jika ditengok lebih jauh... dalam tata ruang yang ada, yang dibuat para cerdik pandai perguruan tinggi nan terkenal, tidak menyebutkan kawasan pesisir barat - utara aceh sebagai kawasan rawan bencana gempa dan tsunami. pada sepanjang bantul-klaten merupakan kawasan rawan gempa. juga wilayah padang..

RTRW sebagai acuan dasar arah pembangunan dan peruntukan ruang juga menjadi dasar keluarnya perijinan, termasuk ijin mendirikan bangunan (IMB). ketika dalam tata ruang tidak memasukan kerentanan yang ada, maka tidak ada halangan instansi pemda memberikan ijin pada siapaun. tidak ada catatan khusus.. karena daerahnya dianggap aman. Lebih celaka lagi, yang dilakukan Pemda Bantul. Kawasan rawan bencana yang ditetapkan sebagai kawasan lindung, dirubah menjadi kawasan industri. kawasan lindung yang melekat pada kawasan rentan bencana dihilangkan melalui amandemen Perda. kelambanan investastor mengisi tawaran Pemda Bantul, sedikit menyelamatkan investasi ketika gempa berkekuatan 5,9 sr memporak porandakan bantul, termasuk kecamatan piyungan yang telah berubah status menjadi kawasan industri (kawasan strategis Kabupaten).

Saat ini, akibat dari terjadinya bencana besar, UU mengamanatkan untuk menyusun ulang rencana tata ruang.
"Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala
besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan
batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun" (ps 20 ayat 5. Pasal serupa berulang berlaku di tingkat Provinsi dan Kabupaten.

Karena ada pemicu, apakah RTRW yang disusun ulang telah menempatkan ancaman bencana sebagai ruh dari tata ruang yang dibuat? apakah konsultan yang mendapatkan mandat penyusunan, dengan kesadaran tinggi pun menempatkan mandat tersebut diatas mandat administrasi dan ekonomi? apakah juga tidak ada pesanan khusus dari Pemda, untuk tetap ngotot menjual aset-aset alam demi PAD?

Kajadian bencana skala besar seharusnya ditempatkan sebagai satu refleksi atas kejadian-kejadian bencana lainnya. besar atau kecil sebuah kejadian bencana, tetap merupakan bencana. yang menyengsarakan warga negara, merusak lingkungan dan tentu akan menguras anggaran negara. selain gempa dan tsunami di aceh, telah nyata terjadi kejadian banjir bandang, lognsor, wabah, kegagalan teknologi, konflik satwa. Bahkan kejadian banjir tahun 2007 di aceh tengah, aceh utara, sigli, pidie dan lhoksuemawe menyebabkan ratusan ribu warga negara mengungsi. artinya, bencana banjir tersebut masuk katagori sangat besar.

Ancaman bencana lain selain gempa dan tsunami tentu harus menjadi perhatian dalam penyusunan RTRW. Namun apa yang terjadi. dari draft yang disusun melalui BRR (tentu ada konsultan dari perusahaan yang orangnya diambil dari perguran tinggi) sangat dangkal. Bahkan pada proses pembangunan kembali di tapak bencana gempa dan tsunami sendiri. RTRW sebagai media pengurangan risiko bencana sama sekali tidak muncul. Bencana hanya dipahami sebuah kejadian alam yang merusak dan membunuh.

Tidak berbeda dengan daerah lain. Jogjakarta sebagai kota pelajar pun melakukan hal yang sama. gempa, tsunami, eruspi gunungapi, banjir, longsor maupun angin ribut serta wabah tidak ditempatkan sebagai ancaman bencana yang harus diminimalisasi risiko melalui rencana tata ruang.

Dari proses penyusunan RTRW, khususnya pada kawasan yang telah mengalami dahsyatnya bencana hampir semuanya dilakukan secara tertutup. Publik dihadapkan setelah dokument RTRW selesai dan mulai dibahas di DPRD. Bisa ditebak... pembahasan ditingkat legislatif lebih mementingkan posisi formal. Bisa jadi.. sang legislatif sendiri tidak mempunyai cukup kapasitas membaca dan menganalisis dok. RTRW yang diajukan eksekutif. Mau tanya.. malu... dikasih masukan sok tahu. apalagi jika di tingkat legislatif sendiri punya kepentingan terhadap pengembangan kawasan.

Keterbukaan, sebuah alternatif
Di era terbuka seperti saat ini, menjadi keharusan semua proses yang Berhubungan dengan kepentingan publik dilakukan secara terbuka. termasuk dalam proses penyusunan dan pengesahan RTRW. siapa konsultan yang ditunjuk pemda, berapa nilainya, kapan waktu dan berapa lama, maupun metode, serta mekanisme komunikasi bisa diketahui publik. proses terbuka seperti ini, jika dilihat dari sisi posisif, justru akan memudahkan konsultan dalam proses penyusunan. karena input dari masyarakat secara langsung dapat diterima, tanpa harus menunggu jalur formal, seperti konsultasi publik atau interview.

Tim konsultan, bisa juga diambil dari berbagai ahli dibawah koordinasi pemda. bukan dilelang kepada perusahaan jasa konsultan. tim penyusun tata ruang, bekerja aas dasar surat keputusan kapala daerah. rekrutment dibuat terbuka dengan persyaratan yang jelas. Untuk memenuhi kebutuhan, tim harus terdiri dari beberapa ahli, termasuk didalamnya adalah ahli pengurangan risiko bencana.

Dengan sistem informasi yang canggih, bukan halangan proses penyusunann yang dilakukan bisa terus disampaikan kepada publik, baik melalui web site maupun melalui media lainnya. Publik yang dapat memberikan masukan, bahkan berkonsultasi dengan tim penyusun melalui media yang disediakan.

Media-media pertemuan ditingkat masyarakat yang telah ada, dapat dijadikan media sosialisasi atau media interaksi tim penyusunan tata ruang langsung dengan publik. selain biaya yang dikeluarkan menjadi hemat, juga akan mendekatkan diri dengan masyrakat.

Sebisa mungkin, RTRW yang disusun bersifat aplikatif. tidak lagi menunggu parturan pelaksana.

Monday, February 16, 2009

DISASTER MAINSTREAMING DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA

Semilir hembusan angin, berpadu dengan hijau kebiruan laut... begitu tenang. Tak terlihat gulungan ombak yang menakutkan. Beningnya air laut menampakkan pesona terumbu karang nan indah di dalamnya. tentu dengan berbagai ragam keindahan tentunya. selain manfaat yang luar biasa dari kehadiran terumbu karang secara alamiah.. Salah satunya penahan gelombang, termasuk tsunami

Pulau Weh atau lebih dikenal dengan Sabang, hanya salah satu dari ribuan tempat yang memiliki keindahan pantai di Negeri kepulauan ini. Masih ada Bunaken, Raja Ampat, Nusa Ceningan, Karimunjawa, Ujung kulon dll. Dengan luas 121 Km2, pulau Weh memiliki cerita panjang dibalik alamnya nan memikat. Jauh sebelum perang dunia ke dua, pulau sabang telah menjadi tempat penting dunia. Secara alamiah, pulau Sabang telah membentuk palabuhan yang sempurna. tak salah ketika pemerintahan Hindia Belanda mengembangkannya sejak tahun 1881. Pada tahun 1895, Sabang pun menjadi pelabuhan bebas, yang dikenal dengan vrij haven, dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij. Sabang pun mengalami masa suram, ketika sekutu membombardir wilayah tersebut karena dikuasi Jepang, tahun 1942.

Kemurahan alam tersebut pada pengembangan ekonomi pun dilengkapi pesona lain. Pantai yang menawan dengan terumbu karang yang indah. tidak cukup dengan itu, Pulau Weh ini masih mempunyai danau yang dikenal dengan anek laot. Kesempurnaan pulau weh bak cipratan surga. tinggalah.. bagaimana mengelola anugrah luar biasa ini dapat memakmurkan 26.505 jiwa rakyatnya (bps 2003).

Keindahan membuat hanyut.. terlena.. bahkan lupa daratan. tak peduli keindahan itu berbentuk apa.. termasuk keindahan alam. keindahan yang disediakan alam, menjadikan manusia hanyut dan terlena. Dapat melupakan problem atau hanya sekedar menyegarkan pikiran. dengan alasan itulah, pariwisata dibuat. dicipta untuk membuat manusia dapat melupakan rutinitas yang membelenggu pikiran dan fisiknya.

Adalah kenyataan, keindahan alam yang selanjutnya dikembangkan menjadi tempat2 wisata, kerap berdampingan dengan ancaman bencana. Segarnya alam pegunungan dan hutan, bersanding dengan ancaman erupsi gunungapi, banjir bandang atau longsor. Ini hampir merata pada objek2 wisata yang berkemang di negeri ini. Gunung Merapi, Slamet, Bromo, Semeru, Bahorok, Pacet adalah sebagian contoh kawasan tersebut. demikian juga kawasan pariwisata pantai nan mempesona. gempa dan tsunami pun menempel pada kawasan tersebut.

Selain bersumber dari alam, bencana pun bisa datang dari manusianya. salah urus dan salah kebijakan bahkan lebih mendominasi kejadian bencana 10 tahun terakhir. Banjir dan longsor, tidak lagi bisa dianggap sebagai bencana alam. bencana yang dipicu murni akibat fenomena alam saja. hilangnya atau tidak berimbangnya daya dukung, daerah tangkapan air, alih fungsi lahan atau pengembangan pemukiman pada wilayah banjir lebih besar porsinya dibandingkan curah hujan. pada curah hujan itu sendiri, pun dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang penyebabnya adalah akibat manusia.

WISATA ALAM DAN TANTANGAN KE DEPAN
Bali begitu mendunia. Keindahan alam pulau dewata bak menyihir para pelancong untuk sekedar singgah atau berlama2 menikmati pulau seluas 5.808,8 Km2. Diantara sejuta keindahan yang ditawarkan, Bali pun termasuk jalur ring of fire, cicin api yang berpotensi terhadap gempa dan letusan gunungapi. Bali pun menjadi bagian wilayah yang terancam perjalanan lempeng aktif indo-australia, sehingga rentan terhadap kejadian gempa dan tsunami. Laut terbuka yang pada wilayah selatan, menyebabkan Bali pun rentan menghadapi badai dan gelombang pasang.

Kondisi ini sangat disadari paska kejadian gempa dan tsunami di Aceh, akhir Desember 2004. Hampir semua wilayah rentan tsunami kembali dipetakan. berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi risiko bencana tersebut. tidak hanya bali, tapi juga Padang dan wilayah barat pulau sumatra, sepanjang selatan Jawa, sulawesi sampai papua.

Tingginnya tingkat kerentanan, tentu menjadi tangan yang berat bagi pengambangan pariwisata. Telah menjadi pelajaran, bagaimana Pukat dan daerah wisata di Thailand menerima dampak akibat bencana tsumani. Juga daerah wisata di Kamboja, Indonesia; Aceh, Pangandaran, Kebumen, Cilacap, maupun Parangtritis. Wilayah yang menawarkan kenyamanan, justru menjadi mimpi buruk. tidak adanya early warning system, jalur evakuasi atau arahan2 untuk penyelamatan, menyebabkan korban bergelimpangan. demikian juga dengan bangunan2 yang tidak menyesuaikan sebagai bagian dari mitigation and preparedness.

Selain bencana yang dipicu alam, pengambangan pariwisata pun dapat terusik oleh ancaman lain. Konflik dan keamanan (termasuk terorisme) dan wabah dapat membuat sektor pariwisata tiarap. Segala keindahan alam dan kelengkapan struktur dan infrasuktur tak berarti apa2. Larangan kunjungan negara2 maju sebagai bentuk tanggung jawab negara melindungi warganya semakin memojokan selain informasi yang saat ini tidak lagi mengenal batas jarak dan waktu. saat ini kejadian, detik berikutnya informasi tersebut dapat diakses oleh seluruh orang di dunia.

Menjadi keharusan bagi setiap wilayah yang mengembangkan pariwisata menyiapkan upaya maksimal perlindungan dan penyelamatan bagi wisatawan. perlindungan terhadap tamu2 daerah kunjungan wisata, secara otomatis seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan upaya melindungi dan menyelamatkan warga negaranya sendiri. Komunitas yang menjalani hidup dan kehidupannya di wilayah tersebut. segenap upaya tersebut meliputi upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Mitigasi non struktural maupun struktural harus menjadi bagian dari upaya pengembangan pariwisata.

Peta bahaya dan risiko, jalur evakuasi, tempat-tempat evakuasi, peringatan2 ancaman bencana maupun sistem peringatan dini adalah hal mutlak yang harus ada. demikian juga buku2 saku atau practice tools tentang; apa, bahaya, risiko dan dampak serta apa yang harus dilakukan menjadi bagian yang harus dipahami setiap orang yang berkunjung ke wilauah tersebut.

pusat informasi pariwisata, hotel, restoran, souvenir shops, maupun kantor2 pemerintahan harus menjadi bagian dari upaya reduksi risiko bencana. menyediakan informasi lengkap atas upaya PRB. dengan kemasan yang cantik dan bahasa yang menarik, informasi penting ini tidak lagi menjadi teror. tapi menjadi bagian pembelajaran plus yang diterima wisatawan atas PRB. karena selain bahaya atau ancaman yang disampaikan, berbagai fasilitas penyelamatan atau upaya penyelamatan pun melengkapi informasi yang disampaikan. termasuk komunitas tanggap bencana atau komunitas yang mengembangkan pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat.

Ancaman tersembunyi
Disadari, pariwisata adalah sektor yang sangat rentan gangguan. sedikit saja isu negatif dapat mempengaruhi kunjungan wisata. Gosip terjadinya gangguan keamanan, secara cepat akan menyebabkan negara-negara maju akan membuat larangan atau peringatan kapada warganya. Demikian juga dengan wabah. Flu burung dan demam berdarah misalnya, secara cepat menyebabkan kunjungan wisata merosot tajam.

Selain yang bersifat terbuka, kerentanan pariwisata pun terjadi akibat pengalaman buruk. Perlakuan yang tidak mengenakan, tidak rasional dll akan menyebar dengan cepat. mempengaruhi agenda kunjungan wisata. Banyak kasus atas perlakukan atau suasana tidak nyaman terjadi tanpa terduga. penipuan, pencurian, perampokan, pelecehan sexual bahkan pemerkosaan.

Mulai tumbuhnya kepedulian lingkungan pada warga negara maju, pun akan mempengaruhi nilai dari kawasan pariwisata. Kerusakan lingkungan yang terjadi menuju tempat wisata berpengaruh besar untuk pengembangan wisata ke depan. Kondisi ini yang kerap tidak disadari Pemda atau pemerintah dalam pengembangan pariwisata secara general. Mereka masih menganggap, pengembangan pariwisata hanya ditentukan oleh promosi dan kelengkapan akomodasi-struktur dan infrastruktur serta jaringan transportasi.


Militer; keteribatan dalam Pariwisata dan PRB
Kehadiran militer maupun kepolisian pada sebuah wilayah kerap mengusik pikiran. ada yang senang, karena wilayahnya akan aman dari gangguan ketertiban, ada juga yang sinis karena akan memunculkan masalah baru. Bahkan ada juga yang secara terang2an menolak kehadirannya. Banyaknya persoalan atas kehadiran militer yang disandarkan atas kepentingan, menjadi alasan banyak pihak mengkritisi kehadiran militer, apalagi dalam jumlah diluar batas normal. ada apa dengan kehadian mereka?

TNI bagian dari rakyat, manuggal abri/tni dengan rakyat atau bakti TNI belum mampu menutup banyaknya keterlibatan oknum TNI dalam berbagai masalah. Illegal logging, penyelundupan atau perdagangan satwa langka dilindungi, backing kegiatan illegal (perjudian, prostitusi), atau sekedar menjadi kaki tangan pengusaha adalah diantara kerja2 TNI di luar tugas pokok, mengamankan negara.

Hal yang membuat blunder adalah, korsa TNI-Polri yang begitu tinggi. loyalitas institusi yang berlebihan, kerap menutup mata kesalahan2 yang dilakukan para oknum. Para komandan, kerap mati2an membela berbagai kesalahan yang dilakukan para anggotanya. dilain sisi, sikap ini merupakan bagian dari upaya menyelamatkan diri dari tanggung jawabnya sebagai pimpinan. dan ini terjadi secara terstruktur, sampai ke tingkat yang paling atas.

Tidak atau lemahnya penegakan hukum dikalangan TNI-POLRI, menyebabkan kelakuan menyimpang anggota TNI-POLRI terus berlanjut. tidak ada efek jera karena hukuman bahkan sistem akan mem-back up nya, sekalipun mereka melakukan kesalahan terhadap rakyat atau warga negara lain.

Menghadapi tingginya ancaman bencana yang begitu komplek serta upaya meningkatkan pendapatan negara dari sektor wisata, ada banyak peran TNI-POLRI, tanpa melepaskan mandat utamanya.. membela dan mengamankan NKRI.

bersambung.....

Thursday, February 05, 2009

TRAINER OR FACILITATOR???

Udara begitu panas. sinar matari bak berencana membakar isi bumi. Namun, diruangan berpendingin... panasnya suhu dari matahari tak sampai menyentuh kulit 35 orang yang berkumpul disana. sebaliknya, rasa sejuk menyelimuti ruangan. rasa nyaman yang diciptakan salah satu ruang hotel diharapkan membantu konsentrasi manusia-manusia yang sedang belajar menjadi seorang fasilitator...

"Menjadi fasilitator itu gampang... asalkan ada kemauan; belajar, sabar, berpihak kepada kepentingan masyarakat... dll, semua bisa melakukannya". Begitu kira2 dari trainer yang enggan di sebut seorang trainer. alasannya simple... "sejujurnya.. saya belum mampu jadi trainer. tapi kalau jadi fasilitator, gak ada masalah..".

Mengapa banyak orang lebih suka disebut fasilitator di bandingkan seorang trainer? Bener gak sih jadi fasilitator itu lebih gampang dari pada jadi trainer?
Ini dah lama membuat aku tergelitik... benarkah? apakah manusia2 yang telah merasa mampu menjadi fasilitator bener telah memahami posisinya, perannya.. tentu lengkap kemampuannya sebagai seorang fasilitator...

Ini sebenernya bagian dari perjalanan hidup.. sejak awal tahun 90'an. Pertama-tama, bangga menjadi instruktur diklat pencinta alam.. setelah sebelumnya selalu jadi peserta diklat kegiatan petualangan. dari mulai belajar survival di gunung gede, latgab SAR di gunung Cireme, trus masuk organisasi pencinta alam "MAPALASKA". Mengenang masa lalu... wissshhhhh... buangga gak ketulungan ketika dipercaya jadi seorang instruktur materi survival. selain emang pengetahuan dan ketrampilan hidup dialam bebas dah lama aku pahami, juga pernah prektek juga gara2 nyasar 21 hari di Ujung Kulon.

Kebanggaan masih terbayang, ketika pertama juga punya kesempatan sebagai narasumber materi lingkungan hidup, diluar komunitas aktifis. juga saat berkesempatan menjadi trainer untuk training PRA... Ya.. masih lekat deh rasa bangga itu. setelah sebelumnya... cuma jadi peserta ajah.. jadi peserta seminar, peserta workshop, peserta pelatihan, peserta kurus dll.

Tapi ketika mencoba mengingat2... kapan pertama kali jadi fasilitator??? rasanya kok sulit.. kapan awalnya.. dan mungkin berakhir sampe kapan juga...

Berawal dari racun tikus...
berita tentang sebuah pelatihan yang "memikat" menjadi pembicaraan di WALHI eknas. Ya, saat itu... aku masih bekerja di WALHI as manajer management risiko bencana. Pelatihan menjadi fasilitator handal. Dani Munggoro "sang racun tikus" itu. mencoba mengenalkan pola vibrant facilitator dengan kendaraan Inspirit Inc.

Mencoba mengingat2... ya.. ya.. pernah dulu waktu di WALHI Jogja mendapatkan undangan mengikuti training ini di Bali. but.. so sorry... muahhhaallllllll boooo.... Waktu itu, gileeee... di jogja yang namanya training gak pernah harus pake bayar. yang ada... malah kita dpt ganti uang transport. dan kalau beruntung.. dapat pula perdiem. kalau menggunakan sedikit akal culas... bisa dpt bonus. naek bus or kereta, pake tiket pesawat... mmmm... lumayan thoooo....?????

Ya.. ya... beruntung juga sih.. karena nyari dana untuk program Aceh lagi gampang2nya... WALHI pun dpt dukungan dari HIVOS untuk ngadain 3 kali putaran training "vibrant facilitator"; dua kali di Aceh dan sekali di Medan. pesertanya, tentu anggota walhi aceh dan sumut plus mitranya Hivos.

Dari racun tikus itu lah... peserta semua menjadi paham.... ada beda yang sangat signifikan antara trainer/pelatih, fasilitator dan narasumber. Namanya trainer, tentu peran dan posisinya melatih dari proses pelatihan. dalam sebuah pelatihan, bisa jadi ada narasumber. fungsinya.. menjadi orang yang memberitahu atau sekedar share pengetahuan dll berkaitan dengan sebuah topik. Namanya juga narasumber, sooo pasti.. dia harus expert dibidangnya. Lalu... fasilitator sendiri? fasilitator adalah orang yang bertugas membuat mudah sebuah proses pertemuan, dialog, diskusi, dll. fasilitate sendiri konon berasal dari bahasa yunani, fasil.. yang artinya memudahkan..

Beberapa hal penting dari fasilitator adalah.. konten netral. artinya menghilangkan subyektifitasnya. apalagi mengarahkan pertemuan sesuai dengan kemauannya dia.. mmmm.... dan yang penting.... seorang fasilitator harus mampu merubah suasana negatif (bosan, jenuh, suntuk, ngantuk dll) menjadi suasana penuh suka cita. mempu merubah pikiran peserta yang pasif menjadi inovatif..
sebuah tantangan berat... (kalau gak dibilang... susah juga yaaa??????)

Trainer atau pelatih adalah untuk mengajarkan sesuatu agar orang tersebut bisa, punya pengetahuan dan kemampuan singkatnya. Pelatih atau trainer boleh dibilang sama dengan guru.. yang mengajarkan sesuatu agar si peserta paham dan tahu.. fasilitator... gak harus. karena yang dikejar adalah hasil dari pertemuan tersebut. entah itu berupa kesepakatan.. kesepahaman.. or.. sebuah konsep.

training of trainer vs training for facilitator...
dari banyak kasus yang ditemui, sepertinya "judul" fasilitator lebih familier dibandingkan trainer. lebih berwibawa menggunakan nama fasilitator dibanding trainer. kondisi ini kerap menjebak... tanpa memahami substansinya. atau kadang juga, tujuan yang hendak dicapai.. ya gak jelas juga. Maunya apa?????

Kami ingin mencetak seorang fasilitator lapang yang handal. yang mampu memfasilitasi dan mengorganisir masyarakat lokal untuk mereduksi risiko bencana. untuk itu... kami akan mengadakan TOF (Training of Facilitator). kami Belum butuh mencetak trainer...
Ini salah satu percontohan saja, bagaimana ketidak jelasan output dan objective menyebabkan kerancuan sebuah proses pelatihan. karena yang ada dilapangan, gak cuma masyarakat lokal, tapi bisa juga organisasi, atau hanya berupa komunitas saja.

Karena yang akan dicetak adalah seorang yang mempunyai kemampuan mengorganisir masyarakat serta mampu memfasilitasi berbagai pertemuan.. dipilihkan paket instant. materi dasar tentang DRR + community organizing + teknik fasilitasi. waktunya... bisa dibuat didasarkan atas pesanan juga. Tentu beserta bumbu pembenar.. misalnya.. peserta diasumsikan dah tahu tantang DRR, punya pengalaman mengorganisir masyarakat plus pernah juga memfasilitasi berbagai kegiatan. faktanya benar atau tidak, gak penting juga... karena, yang penting.. ada pembenar, jika training tersebut cukup dilakukan 5 atau 7 hari, dengan masa belajar efektif 6 jam.

Agak diabaikannya latar belakang peserta, bisa jadi pelatihan tersita untuk materi dasar itu sendiri. sisanya.. ya dibagi dua.. CO dan teknik fasilitasi. Beberapa pensiasatan keran juga dilakukan. misalnya... dengan memberikan materi yang akan diberikan kepada calon peserta, atau dibuat semodel pre test.

Hal yang menarik adalah, selain proses training itu sendiri yang kadang gak nyambung.. jauh dari output (karena out put juga kadang gak jelas juga...), adalah posisi si pemberi materi. Berperan sebagai apa? fasilitator or pelatih???? sekalipun gak begitu penting penyebutan itu dibanding hasil dari porses itu sendiri, tapi menjadi penting ketika digali lebih dalam... seberapa siap dia memerankan diri sebagai trainer atawa facilitator?

Lah.. kalau yang ngasih training aja gak dong posisinya... gimana dia mau mencetak para peserta pelatihannya tho....???? jadi.. penting-penting gak penting dongggg...???

Pola Instant... bikin ruwet
Pola instant, memang saat ini gak cuma milik mie instant kaya supermie, indomie dan yang sejenisnya. dari jenis makanan instant sendiri, sekarang dah macem2. sampe2, makanan tradisional pun dikemas dalam pola instant.. tiwul instant... by indofood.

dalam kehidupan sehari-hari, pola instant betul2 menjadi racun dan telah merubah sosial kultur. sebelumnya, untuk mengundang warga dalam pertemuan dilakukan dengan cara mendatangi warga satu persatu. dalam pertemuan tersebut, terjadi interaksi sosial. sekarang.. cukup kirim sms. demikian juga pada pola pertanian. Sebelumnya, pupuk harus dibikin sendiri, demikian juga pestisida dan benih. Lah sekarang.. mohon pangapunten... mending beli aja di toko, tinggal lep... kata dedy mizwar sih. sehingga, menjadi masalah bessssaaarrrrr, ketika terjadi kelangkaan pupuk, benih atau pesitisida. bukan ditempatkan sebagai peluang untuk kembali pada pertanian selaras alam.

Pola instant.. juga terjadi pada proses capacity building for community empowering. sekedar beromantisme... untuk mempelajari PRA, dasar2nya dibutuhkan waktu tiga bulan. peserta training selain mempelajari berbagai alat PRA, juga diberi penjelaskan secara paripurna.. substansi dari PRA itu sendiri. titik tekan.. PRA hanya alat.. bukan tujuan. lalu dari sembilan alat PRA yang sakti mandra guna.. tidak harus juga dipake semua. antar alat bisa saling melengkapi datanya. mendatangi warga, bukan mengumpulkan warga. sebelumnya, harus ada analisis sosial dilokasi tersebut... dan bla.. bla.. lainnya.

sekarang nihhhh... PRA cukup dibikin tiga hari saja. trus peserta pelatihan diminta (karena sebagai RTL) untuk mempraktekan di desanya masing-masing. Kelucuan kerap terjadi disini. sebagai orang lokal, peserta yang lagi praktek kerap memposisikan dirinya sebagai orang luar. Nanya ini itu kepada tetangganya sendiri. atau.. kalau dah kecapean.. dipilih cara instant juga.. peserta mengisi data-data yang dibutuhkan.. beres tho... karena hasil PRA sendiri kerap hanya diposisikan sebagai bahan verifikasi project. atau.. PRA diposisikan sebagai studi. weleh.. welehh... cilaka thoooo.....?????

pendekatan instant sebetulnya juga gak lepas dari para aktor2 pelaksana project. lembaga donor, minta cepat dengan dana seminal mungkin. si pelaksana project yang ketakutan gak dpt project.. akhirnya manut maunya si lembaga donor. demikian juga si orang yang ketiban puluh untuk jalanin kegiatan yang di setting jadi instant.

Bagaimana mungkin, sebuah organisasi yang belum pernah mempelajari DRR secara sistematis, bisa langsung bikin kegiatan TOF? kenapa bisa begitu???
berawal dari si pemilik organisasi yang merasa mampu (lebih tepatnya gengsi), harus mempelajari DRR dari dasar. pengalaman lapangan dah cukup lahhhh... tiap bencana selalu melakukan response thooo... si donor, seneng juga kasih duit langsung untuk membiayai TOF. celakanya.. si trainer atau fasilitator.. juga seneng jalaninnya.. karena waktunya jadi singkat dengan bayaran yang sama..

klops.. and klops..

tantangan ke depan.. bukan lah persoalan instant atau pembedaan nama fasilitator atau trainer. tapi kembali ke capaian yang hendak dicapai. what is results for that?
menjadi menarik justru, jika kita bersama mampu menciptakan berbagai inovasi baru dalam proses training atau workshop. kalau emang evektifnya bisa dihasilkan dalam waktu singkat.. kenapa harus berlama2. but... jangan korbankan peserta atau siapapun karena ke sok tahuan kita atas sesuatu.

TRAINER OR FACILITATOR BRO... up to u....