Wednesday, October 13, 2010

DILEMA PENANGANAN BENCANA

Sebuah refleksi atas bencana banjir bandang Wasior - Papua Barat

Banjir bandang Wasior menyisakan pilu mendalam. air keruh berarus yang menggeser rumah-rumah penduduk, memporakporandakan kehidupan selama ini hanya dapat disaksikan melalui televisi di luar negari. Namun, kejadian itu saat ini terjadi di dalam negeri. di sebuah Ibu Kota Teluk Wondoma-Papua Barat. dan seperti kejadian bencana ekologis lainnya, hal yang muncul adalah perang opini penyebab banjir bandang yang saat ini tercatat mengorbankan 149 orang meninggal. sudah dapat dipastikan, pemerintah melalui Menhut dan KLH menolak keras bahwa penyebab banjir adalah pembalakan liar. Sedangkan kalangan aktifis lingkungan sebaliknya, sangat menyakini jika banjir bandang tersebut akibat rusaknya ekologis, yang didalamnya akibat pembabatan hutan, legal maupun illegal.

Nenek-nenek juga tahu kalau banjir itu dipicu oleh hujan. Sekalipun tanpa hujan, banjir bandang bisa saja terjadi akibat jebolnya DAM atau bendungan yang menahan genangan air. Hal yang kadang kurang luput dari pengamatan kita berkaitan dengan hak perlindungan dan keselamtan adalah early warning atau peringatan dini. Sebagai upaya kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana. Selain juga, pengetahuan tentang ancaman bencana yang ada, kemampuan meminimalisasi risiko dan kesiapan menghadapi kondisi kritis (emergency).

Masing-masing pihak sudah memastikan penyebab banjir kadang membuat miris. Karena disatu sisi, penduduk terkena bencana (PTB) dan ratusan pekerja kemanusiaan sedang dalam kondisi tertekan, mencoba menyelamatkan jiwa dan harta benda yang tersisa, namun sisi yang lain saling menuding yang tidak sedikitpun menyentuh persoalan mereka saat ini. Kebutuhan riil PTB adalah tempat hunian yang layak sesuai dengan standar minumum. sebuah ruang berukuran 3,5 m2 yang bersih dan sehat. Air bersih, antara 7,5 - 15 liter perhari perjiwa, kalori 2.100 Kcal, atau bantuan darurat lainnya termasuk pelayanan kesehatan. Bahkan untuk saat ini, bagi keluarga yang belum menemukan anggota keluarganya, memastikan mereka hidup atau mati jauh lebih penting di bandingkan memperdebatkan atau saling tuding tentang penyebab.

Ada waktu yang tepat untuk membongkar itu semua. tidak akan hilang barang bukti penyebab banjir. dari data tutupan hutan, catatan iklim atau curah hujan, dokumen tata ruang, maupun upaya-upaya penguranganan risiko bencana yang dapat terlihat dengan jelas melalui atau program pemerintah daerah dan RAPBD.

Hak penduduk terkena bencana adalah terpenuhinya kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar minimum. Paling tidak, PERKA BNPB No 7/2008 dapat menjadi pijakan, bagaimana negara dapat memenuhi tanggung jawabnya. Dari mulai kebutuhan air bersih dan sanitasi, hunian sementara, pangan dan non pangan, pelayanan kesehatan. Jangan sampai PTB yang telah menderita akibat bencana, kembali menderita atau lebih menderita oleh berbagai wabah penyakit paska bencana dan kesulitan hidup karena buruknya penanganan.

Diare, ISPA, campak, penyakit kulit, DB atau malaria (jika endemik) merupakan ancaman yang dapat menyebabkan kematian dalam pengungsian. artinya, masih terdapat ancaman yang dapat menjadi bencana kedua akibat salah atau buruknya penanganan bencana. dan ini bukan main-main dan harus ditangani secara serius.

Hal yang kerap memperburuk kondisi dan penanganan bencana adalah kedatangan para pejabat tinggi, apalagi setingkat Presiden di lokasi bencana. "Kewajiban" seorang pemimpin Negara untuk melihat secara langsung lokasi bencana, tidak diimbangi dengan sistem keamanan dan protokoler khusus pada kondisi darurat. Lokasi yang harus steril dipahami di tingkat lapang menghentikan sebagian atau bahkan seluruh aktifitas penanganan bencana. dan itu berdampak buruk bagi PTB sendiri. sekalipun secara psikologis, mereka cukup terbantu dengan kedatangan langsung sang pemimpin negeri.

Banda Aceh, 13 Oktober 2010










SPHERE PROJECT DALAM MEWUJUDKAN HAK MANUSIA BERMARTABAT

SPHERE PROJECT DALAM

MEWUJUDKAN HAK MANUSIA YANG BERTABAT

PENDAHULUAN

Sphere Project atau lebih di kenal di Indonesia dengan istilah SPHERE standard mulai menjadi issue pada penanganan pengungsi awal tahun 2001. Standard minimum yang dimulai tahun 1997 melibatkan lebih dari 4000 orang, represntatif 400 organisasi dari 40 Negara. Proses panjang ini mengahasilkan ketentuan universal berdasarkan tiga pilar utama; deklarasi umum hak-hak asasi manusia (hak hidup bermartabat), hukum kemanusiaan internasional (perbedaan pemanggul senjata dan yang bukan) dan hukum pengungsi (prinsip tidak memulangkan paksa).

Semangat menetapkan standar minimum dalam penanganan pengungsi tidak lepas dari problematika penanganan bencana yang semakin komplek. Tidak saja ancaman bencana yang kian beragam, intensitas semakin sering dan meluas, tapi juga lembaga-lembaga kemanusiaan semakin banyak. Sehingga dibutuhkan sebuah standard yang menjadi acuan bersama sebagai tolok ukur. Selain kebutuhan dasar pengungsi tidak mungkin dipenuhi secara keseluruhan hanya oleh satu lembaga kemanusiaan saja.

Kejadian penanganan pengungsi di Rwanda[1] menjadi titik tolak atas kebutuhan standard minimum yang dapat menjadi rujukan bersama. Istilah kematian yang sia-sia atau kematian yang tidak perlu, yang dipicu oleh bantuan mendorong proses penyusunan standar minumun segera diselesaikan. Bantuan kemanusiaan sekalipun ditujukan untuk meringankan penderitaan dan mencegah kematian, jika salah justru menjadi boomerang bagi pengungsi itu sendiri. Selain ada hak setiap orang untuk hidup bermartabat.

Hak asasi manusia sebagai dasar acuan, memposisikan pengungsi memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pemberi bantuan. Pengungsi dapat menerima atau menolak bantuan yang tidak sesuai dengan kebutuhannya, tidak sesuai dengan keyakinan/agama, atau tidak sesuai dengan kebiasaan atau budaya mereka. Sebaliknya, pemberibatuan berkewajiban menghormati hak-hak pengungsi dan memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan. Pemberi bantuan bukan tuan atau orang yang lebih tinggi martabatnya sehingga dapat memberikan bantuan apa yang mereka suka.

Sangat disadari, kecukupan kebutuhan dasar antar daerah atau antar Negara berbeda. Jenis pangan antara Negara tropis berbeda dengan Negara non tropis. Kebutuhan air bersih pun berbeda antara wilayah yang kering dengan yang basah dll. Untuk itu, dalam SPHERE mengatur hal-hal prinsip seperti kode etik, piagam kemanusiaan, standard minimum, indokator serta dilengkapi catatan panduan serta lampiran. Ini menjadi sangat penting di tingkat implementasi, kerena kerumitan dalam penanganan bencana semakin besar dan membutuhkan sebuah kerangka acuan bersama yang jelas.

KEBUTUHAN DASAR, ANTARA TEORI DAN FAKTA

Piagam Kemanusiaan dan kode etik meruapkan Inti dari Buku Sphere. Piagam Kemanusiaan berdasarkan prinsip hukum kemanusiaan internasional, hukum hak asasi manusia internasional dan hukum pengungsi. Sedangkan Kode etik yang dimaksud adalah kode etik Gerakan Palang merah dan Bulan Sabit Internasional serta LSM Kemanusiaan. Piagam Kemanusiaan menyatakan prinsip inti yang mengatur upaya atau tindakan kemanusiaan dan menegaskan hak penduduk terkena bencana terhadap perlindungan dan bantuan. Piagam Kemanusiaan juga menegaskan tanggungjawab secara hukum Negara dan mereka yang bertikai untuk menjamin hak korban terhadap bantuan dan perlindungan. Jika mereka tidak dapat menjamin hak tersebut, mereka selayaknya memberikan izin organisasi kemanusiaan untuk melakukan upaya tersebut.

Standar Minimum dikembangkan dengan memanfaatkan jaringan pakar yang sangat luas untuk setiap sektornya. Kebanyakan dari Minimum Standar, dan indikatornya, bukanlah hal baru, tetapi merupakan kumpulan dan adaptasi dari pengetahuan dan praktik yang berkembang saat itu. Secara keseluruhan, standar minimum mewakili kesepakatan antara berbagai organisasi, dan menandai sebuah tekad baru guna meyakinkan bahwa prinsip kemanusiaan diwujudkan dalam setiap upaya kemanusiaan.

Sphere project bukan merupakan sebuah produk hukum. Sphere adalah hasil sebuah komitmen lembaga-lembaga kemanusiaan menempatkan pengungsi sebagai manusia yang bermartabat. Kampanye yang dilakukan secara serentak sebagai bagian dari komitmen mendapatkan tanggapan beragam, baik dari organisasi kemanusiaan, pemerintah maupun pihak lain.

Bagi Negara-negara berkembang, angka-angka sebagai indicator pelayanan minimum menjadi momok. “jangankan dalam kondisi bencana, dalam kondisi normal saja kita (Negara) tidak mampu memenuhinya”, begitu lah komentar yang sering terlontar berkaitan dengan standard minimum yang ada dalam SPHERE project. Ungkapan tersebut bukan tanpa fakta. Karena kondisi tersebut adalah realitas, dimana kebutuhan dasar yang dikaitkan dengan HAM masih belum dapat dipenuhi oleh Negara-negara miskin dan berkembang, sekalipun dalam kondisi normal.

Kebutuhan untuk air bersih misalnya, dimana disebutkan dalam indikakator kunci 15 liter perjiwa perhari merupakan sebuah kemewahan. 15 liter bukan lah ukuran baku. Karena dalam catatan panduan selanjutnya dijabarkan tentang kebutuhan-kebutuhan minimum. Seperti untuk kebutuhan air antara 2,5 – 3 liter, praktek kebersihan dasar 2 – 6 liter, memasak 3 – 6 liter. Jika dirata-rata, maka kebutuhan air antara 7,5 – 15 liter perjiwa perhari, tergantung pada iklim, cuaca, norma social, jenis makanan dll.

Angka 15 liter seolah menjadi sebuah angka “wajib” yang harus disediakan oleh Negara sebagai penanggung jawab utama penanggulangan bencana. wajib menyediakan pun lebih dipahami secara sempit harus didatangkan dari luar wilayah bencana. demikian juga dengan kebutuhan dasar lain, seperti pangan, hunian sementara, pelayanan kesehatan dll.

Tidak hanya dari sisi kuantitas, dari sisi kualitas pun standar minimum sangat menjaga harkat dan martabat manusia, sekalipun dalam kondisi darurat. Kualitas bakteri koli dari unsure tinja misalnya tidak lebih dari 100 ml pada titik pembagian/pengambilan air.

Kuantitas dan kualitas tersebut menjadi dasar bagi banyak Negara (pemerintah) untuk menolak standard minimum yang ada dalam SPHERE Project. Demikian juga dengan lembaga-lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk penanganan pengungsi. Ketidak mampuan menyediakan kebutuhan dasar menjadi alasan untuk tidak menerepkan SPHERE Project, sekalipun tidak secara terbuka bentuk penolakannya.

Indicator-indikator yang tinggi, harus diakui menjadi titik krusial bagi siapapun dalam penanganan kondisi darurat. Keterbatasan sumberdaya, kapasitas maupun jumlah penduduk terkena bencana adalah fakta kerumitan yang harus segera ditangani dengan prinsip cepat dan tepat.

Tersedianya sumberdaya yang ada pada wilayah terkena bencana serta kapasitas penduduk, kerap terabaikan dalam penanganan bencana. Anggapan penduduk terkena bencana (PTB) sebagai orang yang tidak berdaya masih mendominasi kerja-kerja penanganan bencana. demikian juga dengan kebutuhan dasar yang masih cukup tersedia di wilayah terkena bencana. Kondisi ini lah yang sebetulnya memberatkan pemenuhan kebutuhan dasar PTB karena harus disediakan dari luar.

Belum disusunnya rencana penanggulangan bencana, rencana kontijensi, standard operation procedure (SOP) dalam respon darurat, serta lemahnya kapasitas kelembagaan dan SDM serta minimnya pendanaan semakin melengkapi kerumitan dalam memenuhi standard minimum yang menjadi hak pengungsi sebagai bagian dari HAM.

Indonesia, yang secara kebijakan telah cukup maju dengan adanya UU No 24 tahun 2007. Dasar hukum menjadi payung hukum yang mengatur penanggulangan bencana dari sebelum, saat maupun setelah bencana. Demikian juga dari sisi kelembagaan Negara, Indonesia pun telah cukup kuat dengan adanya lembaga khusus setingkat kementrian; BNPB yang diturunkan sampai ditingkat Propinsi; BPBD. Perka BNPB No 7/2008 tentang tata cara pemberian bantuan dan pemenuhan kebutuhan dasar.

Kebijakan ini sekalipun masih belum secara keseluruhan mengadopsi apa yang ada pada SPHERE project, namun beberapa bagian telah mengakomodir, seperti kuantitas dari bantuan pangan dengan acuan 2100 kalori atau di konversi dalam bentuk beras senilai 400 gram perjiwa perhari. Air bersih yang dibagi pada tiga hari pertama 7 liter dan berikutnya 15 liter. (dalam SPHERE Project antara 7,5 – 15 liter). Tempat hunian minimal 3 m2 (dalam SPHERE Project 3,5 m2).

Hal yang dilupakan banyak pihak, baik pemerintah maupun lembaga-lembaga penanggulangan bencana dalam penanganan bencana adalah kode etik Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit serta LSM Kemanusiaan yang terdiri dari 10 point, catatan panduan maupun check list yang terdapat dalam buku Sphere project.

Jika kita mencermati hal-hal tersebut di atas, pemenuhan dasar menjadi sangat simple dan dapat dipenuhi dengan cepat serta bisa jadi tidak membutuhkan sumberdaya yang besar. Angka-angka indicator kunci, diposisikan sebagai dasar/acuan seberapa besar kebutuhan PTB, seberapa besar yang tersedia ditingkat local (kawasan bencana) dan berapa yang harus dipenuhi dari luar.

Hal yang menjadi penting dan menjadi catatan bersama adalah, kebutuhan dasar dengan segenap indicator, tidak harus didatangkan dari luar. Dan ini juga yang kerap dilupakan oleh banyak pihak. Sekalipun lembaga-lembaga tersebut menggunakan SPHERE project sebagai acuan. Dalam memenuhi kebutuhan tempat hunian sementa diawal bencana misalnya, seolah terpal atau tenda harus dipenuhi oleh lembaga kemanusiaan termasuk disktribusinya.

Pengetahuan yang minim dari pekerja kemanusiaan akan SPHERE, tidak jarang justru menimbulkan konflik ditingkat PTB sendiri. Pekerja kemanusiaan yang hanya berpaku pada angka-angka indicator kunci, tidak melihat kebiasaan atau kultur masyarakat setempat. Tidak juga melihat sumberdaya yang masih dimiliki PTB termasuk mekanisme local dalam mengatasi krisis.

Terbatasnya terpal yang dimiliki lembaga kemanusiaan dipaksakan mengikuti indicator kunci yang ada. Terpal yang tersedia misalnya 100 terpal ukuran 4 x 6 m dipaksakan hanya untuk 100 KK dengan asumsi masing-masing KK berjumlah 5 orang. Sementara, pada desa tersebut terdapat 250 KK dengan jumlah KK mungkin bervariasi. 150 orang yang tidak mendapatkan terpal akan merasa ditinggalkan atau merasa didiskrimanasikan. Apalagi di tingkat masyarakat sendiri sebelumnya terdapat friksi.

Kondisi seperti di atas bukan lah kejadian aneh dalam penanganan bencana. Staff lembaga kemanusiaan tidak semuanya memahami secara substansial SPHERE project. Sphere tidak hanya mengatur tentang indicator kunci, tapi ada yang jauh lebih penting, yakni piagam kemanusiaan dan kode etik Palang Merah Se-dunia dan Bulan Sabit Merah Internasional serta LSM Kemanusiaan.

Poin ke 4 tentang kemandirian, poin 5 tentang menghargai budaya dan adat setempat, poin 6 tentang melibatkan penerima bantuan, serta poin 8 mengurangi kerentanan masa depan mencerminkan, bagaimana intervensi pihak luar tidak menimbulkan gejolak atau masalah baru.

Hal yang pasti, penanganan bencana akan lebih mudah dilakukan, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar jika upaya PRB dilakukan dengan baik dan benar. Dari mulai penyadaran masyarakat, peningkatan kapasitas, kebijakan sampai berbagai kegiatan kesiapsiagaan (preparedness) seperti rencana penanggulangan bencana, rencana kontijensi, early warning system, SOP dan kebijakan yang menjamin operasionalisasi perencanaan tersebut. sehingga saat kondisi emergency terjadi, selain data lokasi bencana telah cukup lengkap (prediksi PTB, besaran kerusakan, jalur distribusi bantuan, sumberdaya yang tersedia dll), juga telah terpetakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tinggal bagaimana mengerahkan sumberdaya melalui sebuah mekanisme yang cepat dan tepat.

The concept and practice of reducing disaster risks through systematic efforts to analyse and manage the causal factors of disasters, including through reduced exposure to hazards, lessened vulnerability of people and property, wise management of land and the environment, and improved preparedness for adverse events[2].

MENGARUSUTAMAKAN SPHERE PROJECT

Bagi lembaga kemanusiaan yang mendapat dukungan atau bermitra dari promotor SPHERE seperti OXFAM, Save the children, CARE, IFRC, CORDAID dll, Sphere project akan menjadi kata “wajib” untuk diterapkan. Untuk itu, lembaga-lembaga promotor awal SPHERE Project melakukan upaya rising awareness dan peningkatan kapasitas bagi mitra-mitranya dalam memahami SPHERE Project melalui disiminasi informarmasi, pelatihan maupun distribusi buku SPHERE. Selain lembaga internasional, di tingkat nasional MPBI sebagai lembaga non pemerintah menjadi bagian penting dalam mempromosikan SPHERE project lebih dipahami dan menjadi dasar acuan dalam penanganan pengungsi.

Dalam kontek advokasi, WALHI menjadikan SPHERE Project sebagai dasar advokasi pengelolaan bencana, khususnya hak perlindungan dan keselamatan penduduk dari ancaman bencana maupun hak terpenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia bermartabat.

Masih sulitnya penerapan SPHERE Project dalam penanganan bencana tidak lepas dari belum dipahaminya secara menyeluruh tentang standard minimum penanganan pengungsi sebagai mana terdapat dalam SPHERE Project. Sphere project tidak hanya berisikan indicator kunci yang berisi angka-angka kualitatif. Sphere justru menempatkan hak asasi manusia pada tempat yang seharusnya (hidup bermartabat sebagai mana fitrahnya). Dan sphere juga menempatkan pemberdayaan, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat tempatan yang harus dihormati.

Pemahaman yang keliru akibat, baik yang menjalankan dalam praktek penanganan bencana, maupun yang menolak sama-sama melemahkan SPHERE Project sebagai standar minimum dalam mewujudkan martabat manusia pada level yang seharusnya.

Selain itu, kepentingan-kepentingan jangka pendek yang menempatkan kejadian bencana sebagai media kepentingan menjadikan system penanganan bencana menjadi kacau. Standar minimum tidak lagi ditempatkan dalam kerangka menempatkan manusia bermartabat dalam penanganan bencana. tapi bencana ditempatkan sebagai media kampanye perebutan kekuasaan (politik praktis), mempengaruhi keyakinan dalam beragama, popularitas atau bahkan pemperkaya diri/kelompok (korupsi)[3].

Mengarusutamakan SPHERE Project secara sederhana diartikan dengan : memasukkan SPHERE sebagai pendekatan pokok dalam semua tahap penanggulangan bencana dan integrasinya dalam kebijakan, program dan kegiatan-kegiatan[4].

Merujuk dari pengertian di atas, tidak saja tanggap darurat menjadi sasaran dalam SPHERE Project, tapi juga upaya-upaya kesiapsiagaan, bantuan darurat pemulihan, bahkan pembangunan kembali dan upaya preventif dan mitigasi.

Harus disadari, SPHERE project mendorong masyarakat rentan dan berisiko terhadap bencana adalah pelaku utama, yang mengkaji dan menganalisis risiko, merencanakan dan melaksanakan kegiatan pengurangan risiko. Dan Pemerintah, LSM dan lembaga luar lainnya berperan sebagai fasilitator, yang memperlancar proses pengurangan risiko bencana.

Kondisi ini mencerminkan, bagaimana individu-individu yang telah memahami SPHERE sebagai alat promosi HAM (manusia yang bermartabat) dalam penanggulangan bencana harus bersikap dan berbuat. Tidak saja factor luar organisasi kita bekerja, tapi juga factor dalam atau factor internal. Bahkan factor internal menjadi lebih penting dilakukan sebelum mengurusi factor ekternal. Asumsinya, bagaimana kita akan mendorong SPHERE, jika lembaga sendiri tidak mendukung dan mendorong SPHERE sebagai media advokasi dan pemenuhan hak pengungsi?

Untuk melihat factor internal, kita perlu melakukan refleksi kelembagaan, apakah seluruh staff kita telah mengetahui dan memahami SPHERE Project sebagai standard minimum penaanganan pengungsi? Lebih lanjut, apakah seluruh staff telah juga memahami jika SPHERE dapat dijadikan media advokasi dalam PRB?

Selanjutnya kita dapat melihatnya dari tiga factor; 1) kebijakan, 2) fungsional, dan 3) operasional. Dari aspek kebijakan, dapat dilihat apakah organisasi kita telah memiliki kebijakan berkaitan dengan penerapan SPHERE project? Jika belum, apa yang menghambat dan siapa yang dapat memfasilitasi pembuatan kebijakan tersebut.

Dari sisi fungsional, dapat dilihat dari sisi isu dan factor berkaitan dengan perencanaan, rancangan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pendanaan program. Lalu factor apa saja yang menghambat dan apa yang melancarkannya.

Sedangkan dari sector operasional dapat dilihat dari sisi isu dan faktor berkaitan dengan pelaksanaan program di tingkat lapangan. Hal ini menyangkut keprihatinan dasar lembaga atau organisasi dalam penanganan bencana. Apa saja yang menghambat dan apa yang dapat melancarkannya?

Ketiga aspek ini dapat menjawab, apakah organisasi atau kelembagaan kita dapat menjadi kekuatan utama dalam mempromosikan SPHERE, mendorong dan melakukan upaya advokasi secara sistematis atau tidak. Jika belum, maka penting untuk melakukan upaya advokasi secara internal untuk mendapatkan dukungan penuh dari organisasi. Dukungan tidak saja dalam melakukan kerja-kerja eksternal, tapi juga secara internal secara otomatis telah meletakan SPHERE sebagai dasar berpijak.

Secara eksternal, mainstreaming SPHERE dapat dilihat dari Konteks 1) bencana: termasuk frekuensi, intensitas & dampak; 2) Konteks politik; pemerintahan, 3) Struktur Sosial, 4) Struktur Ekonomi dan 5) Nilai budaya dan sistem kepercayaan.

Kekuatan yang mendukung upaya mainstreaming SPHERE dari sisi eksternal adalah kesamaan tujuan. Indonesia sebagai Negara secara tegas menempatkan martabat manusia pada level yang tertinggi. Ini ditegaskan dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945 disebutkan;

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tinggal bagaimana kita menempatkannya secara cerdas. Apalagi negeri ini telah memiliki UU PB melalui UU No 24 tahun 2007. Terlepas dari masih terdapat kekurangan yang ada, kebijakan ini dapat mendukung upaya PRB dengan SPHERE project sebagai acuan dasar.

Perka No 7/2008 secara sederhana telah mengadopsi beberapa standar minimum. Hal yang perlu di advokasi adalah, makna upaya stragey dalam poin dua berkaitan pemenuhan kebutuhan dasar dapat bermakna ganda[5].

Mengupayakan terpenuhinya kebutuhan dasar dapat bermakna sebuah usaha. Tanpa keharusan memenuhi sebagai bagian dari jaminan. Dan ini telah terbukti dilapangan dari berbagai kejadian bencana paska disahkannya Perka BNPB No 7/2008, pemenuhan kebutuhan dasar tidak didasarkan atas sebuah jaminan pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dalam PERKA tersebut, baik dari sisi pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan, tempat hunian sementara, air bersih, maupun pelayanan kesehatan. Kondisi ini mercerminkan, “mengupayakan” dimaknai sebagai usaha tanpa titik tekan pada jaminan.

Masih ditempatkannya bantuan harus didatangkan dari luar wilayah bencana, khususnya pemerintah dan pemerintah daerah semakin menjauhkan penerapan SPHERE dari sisi substansi. Kondisi ini justru akan mendorong pelemahan potensi local yang ada. Baik dari sisi sumberdaya manusia maupun sumberdaya lain sebagai kebutuhan dasar PTB.

Lemahnya kesadaran kritis atas penempatan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai bagian dari HAM serta masuknya kepentingan-kepentingan jangka pendek, harus disikapi dalam sebuah scenario penyadaran kesadaran kritis, peningkatan kapasitas serta advokasi yang sistematis. Konsolidasi antar kekuatan masyarakat sipil perlu terus dibangun dengan dasar yang sama. Sehingga akan terjadi pembagian peran yang baik dalam mengarusutamakan SPHERE standard, baik dari factor internal maupun factor eksternal.

Hal yang pasti, progress dari upaya-upaya yang telah tersusun dan dijalankan harus dikawal secara bersama-sama, baik melalui monitoring maupun evaluasi. Sehingga berbagai hambatan-hambatan yang ada dapat di atasi dan dicarikan solusi dengan cepat dan tepat.

End Note :

[1] Konflik yang mengarah pada genosida mulai tahun 1994

[2] ISDR, 2004 : http://www.unisdr.org/eng/terminology/terminology-2009-eng.html

[3] Baca kasus-kasus korupsi penanggulangan bencana di :

Refrensi

Imelda Abarquez dan Zubair Murshed, Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarak, buku pegangan praktisi lapangan, 2006

Iskandar Leman, bahan tayang pelatihan SPHERE Project, 2005

Peripurno, ET, PRA dalam Pengelolaan Risiko Bencana, DReAM UPN “Veteran” Yogyakarta - KAPPALA – Oxfam GB, Jogjakarta, 2008

Sphere Project, Standar Minimum Penanganan Pengungsi, MPBI - Grasindo, cetakan ke dua, Jakarta, 2004

WALHI Aceh, laporan penanganan bencana gempa dan tsunami, Aceh, 2004

WALHI Eksekutif Nasional, Laporan Pengelolaan Bencana priode 2005 – 2008, Jakarta, 2008

WALHI Jogjakarta, Laporan Penangananan Bencana Gempa Bumi Jogjakarta 2006, Jogjakarta, 2009

Tatang Elmy W dkk, Berkawan dengan ancaman, strategy dan advokasi dalam pengurangan risiko bencana, WALHI, Jakarta, 2007

ISDR : http://www.unisdr.org/eng/terminology/terminology-2009-eng.html

MPBI website : http://www.mpbi.org/content/sphere-humanitarian-standards

UUD 1945

UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Perka No 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Friday, September 24, 2010

Pengembangkan usaha berbasis komunitas

Jumat, 24 September 2010 | 10:46 oleh Fahriyadi
SOCIAL ENTREPRENEUR
Tatang gunakan wisata alternatif untuk bantu masyarakat

Mempunyai jaringan pergaulan atau networkingyang luas memang menguntungkan. Tak hanya buat diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Berkat jejaring inilah, Tatang Elmy Wibowo berani menjadi seorang pemandu kunjungan di daerah bencana. Dengan mengajak turis-turis asing, pria ini mendatangi daerah bencana sembari memberdayakan masyarakat. Pergaulan yang luas bisa menjadi modal seseorang untuk menggapai cita-citanya. Kelebihan ini dapat pula menjadi bekal untuk menolong orang lain. Seperti yang dilakukan Tatang Elmy Widodo. Mantan aktivis Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) ini membuat paket jalan-jalan alternatif, berbekal kemampuannya membuat jaringan. Ia menawarkan paket kunjungan ke daerah bencana bagi turis asing. Tapi, jangan dulu, berpikiran sinis bahwa usaha ini hanya menjual penderitaan. Menurut Tatang, paket piknik ke daerah bencana ini bukan sebuah paket rekreasi. "Kunjungan ini untuk bersosialisasi, memberi bantuan sekaligus melaksanakan program pemberdayaan masyarakat," ujarnya.

Sebagai pemandu, Tatang tak pernah menetapkan banderol tarif. "Karena, konteks awalnya adalah kegiatan sosial," imbuhnya. Selain itu, Tatang bilang, dia dan peserta kunjungan itu ingin membantu. Bantuannya bukan berupa bantuan uang, melainkan sokongan moral, termasuk berbentuk usulan penyelesaian masalah dan tenaga. "Yang lebih penting, terbentuk jalinan kekerabatan antara masyarakat dengan para turis tersebut," katanya. Jalinan kekerabatan dalam bentuk pertemanan dan networking inilah yang diharapkan dapat berkembang. Tatang mengisahkan, salah satu hasil yang terlihat dari kunjungan ini adalah pembuatan radio komunitas di sebuah desa di Yogyakarta. Kini, masyarakat di kawasan siaga bencana itu banyak memperoleh manfaat dari keberadaan radio komunitas tersebut. Sebab, segala informasi bencana disiarkan melalui radio. "Manfaat itu terlihat ketika ada gempa di Yogya beberapa waktu lalu," kata Tatang. Contoh lainnya adalah pembuatan peternakan sapi pada 2006. Peternakan sapi yang berada di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta, itu merupakan inisiatif para turis asing. Tatang bilang, para turis merasa prihatin setelah melihat kondisi kehidupan salah satu desa di pegunungan itu. Alhasil, mereka membangun perternakan sapi dengan harapan bisa membantu perekonomian masyarakat setempat. Secara rutin, Tatang juga sering mengunjungi fasilitas peternakan itu. Selain memantau perkembangan peternakan, dia juga ingin memastikan kalau penduduk mendapat manfaat sebesar-besarnya dari kehadiran peternakan tersebut. Kini, peternakan yang dikelola oleh penduduk desa itu sudah memiliki 40 ekor sapi, baik sapi perah maupun sapi potong. Tak hanya membangun fasilitas fisik, sering para turis asing meluangkan banyak waktunya dengan menetap beberapa lama di wilayah bencana. Menurut Tatang, kegiatan ini sangat menguntungkan bagi turis dan masyarakat di sana. Pertama, para turis itu bisa menggali cerita dan pengalaman hidup penduduk di wilayah bencana. Mungkin saja, cerita ini bisa menjadi pengalaman berharga bila menghadapi kondisi atau bencana serupa di negerinya. Kedua, manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Yakni, mereka mendapatkan pendidikan bahasa Inggris secara gratis. Apalagi, pengajaran bahasa internasional ini berlangsung rutin selama keberadaan turis di wilayah itu. Hanya, sampai sekarang, Tatang masih fokus melakukan kunjungan di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia tak memungkiri, di kedua provinsi itu masih banyak terdapat desa tertinggal secara ekonomi. Apalagi, beberapa daerah juga masih rawan terhadap bencana alam. Meski demikian, Tatang belum berniat mengadakan kegiatan serupa di wilayah-lain. Sebagai orang yang sudah cukup lama berkecimpung di lingkup bencana alam, Tatang menilai korban bencana di Indonesia tidak selalu disebabkan oleh alam. "Ada juga korban bencana sosial dan hasil kebijakan," tukas dia. Untuk korban-korban bencana sosial dan kebijakan pemerintah, biasanya alumnus Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman ini membuat dokumentasi dalam bentuk film pendek. Dalam film itu, dia merekam realitas sosial sebagai salah satu alat untuk bernegosiasi dengan pihak pembuat kebijakan. Selain terlibat dalam usahanya pemberdayaan masyarakat, secara pribadi Tatang juga menyisihkan pendapatannya. Ia menyisihkan penghasilannya sebesar 20% dari bisnis kain batik. Asal tahu saja, Tatang juga menggeluti usaha produksi batik. Kain-kain batik hasil produksinya itu akan ditawarkan pada para turis asing ketika perjalanan wisata alternatif berlangsung. Hanya, omzet Tatang dalam bisnis batik ini masih mungil.

Thursday, April 29, 2010

AVATAR, PAPUA dan SBY

Kamis, 29 April 2010 | 03:09 WIB
Hingga April tahun ini, Presiden SBY sudah menerima sedikitnya lima penghargaan internasional. Paling akhir, sehari setelah peringatan Hari Bumi, 23 April, diserahkan oleh James Cameron—sutradara film Avatar—di Los Angeles. Avatar Home Tree Award diberikan kepada SBY karena program penanaman 1 miliar pohon yang dicanangkannya. Padahal, sepanjang lima tahun terakhir kepemimpinan SBY, lebih dari 10 miliar pohon hutan alam musnah. Sungguh, SBY tak layak mendapat penghargaan ini.

Film Avatar bercerita perjuangan suku Na’vi—penghuni planet Pandora—yang tanah keramatnya dikeruk perusahaan tambang, dibantu pasukan militernya yang brutal. Untuk mendapatkan unobtainium—logam paling mahal saat itu—perusahaan bersedia melakukan apa pun, termasuk mengebom pohon raksasa tempat tinggal para Na’vi. Film ini laris manis sejak diputar, bahkan mendapat penghargaan film terbaik Golden Globe, juga mendapat satu piala Oscar tahun ini.

Pandora dan Papua

Dua kali menonton Avatar membuat saya teringat suku Amungme di Papua Barat, yang puluhan tahun tanah keramatnya dikeruk oleh PT Freeport. Ersberg, salah satu gunung keramat mereka, kini berubah menjadi lubang raksasa dengan kedalaman ratusan meter. Gunug Grasberg, tetangganya, segera menyusul. Sungai-sungai di kawasan bawah juga dicemari. Lebih dari 1,2 miliar ton limbah tailing PT Freeport telah dibuang ke lingkungan sekitar, terus bertambah sedikitnya 200.000 ton tiap hari.

Sayang di Papua Barat tak ada JackSully—sang Avatar—pemimpin penyelamat Pandora. Bahkan, hingga lima kali Indonesia ganti presiden, para pemimpin negara ini tak mampu melindungi suku-suku penghuni pegunungan tengah Papua dari ”kejahatan” PT Freeport. Para pemimpin Papua juga rontok satu per satu. Jika saat ini mereka meninggal karena kekerasan dan konflik bersenjata. Ke depan, serbuan pendatang dan serangan penyakit mematikan HIV AIDS bisa menjadi ”mesin” pembunuh yang ampuh di sana.

Di bawah kepemimpinan SBY, pembangunan di Papua justru mengancam keselamatan warganya. Itulah yang membuat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak didatangkannya pelapor khusus PBB guna mengetahui situasi HAM dan hak atas pangan ke Papua Barat. Hal itu disampaikan AMAN di depan sidang forum permanen PBB untuk isu-isu masyarakat adat di New York, bertepatan dengan penghargaan yang diterima SBY. AMAN mengkhawatirkan rencana proyek industri pangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang berpotensi melahirkan genosida struktural dan sistematis.

Proyek industri pangan berorientasi ekspor ini akan dilakukan pada 1,6 juta ha kawasan dataran rendah, hutan, dan rawa. Kabarnya proyek ini membutuhkan 6,4 juta tenaga kerja, yang sebagian besar akan didatangkan dari luar pulau. Padahal, populasi rakyat Papua saat ini hanya 4,6 juta jiwa, kurang dari separuhnya adalah penduduk asli yang 70 persennya tinggal di kawasan terpencil. AMAN khawatir rencana proyek akan membuat penduduk asli Papua menjadi minoritas dan terus menyusut populasinya.

Penghargaan Avatar

Jika saja James Cameron bertemu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pasti ia akan berpikir seribu kali sebelum memberi SBY penghargaan. Sebab, deforestasi pada masa kepemimpinannya—merujuk data Walhi—angkanya luar biasa besar. Sepanjang 2006-2007, deforestasi mencapai 2,07 juta hektar. Jika di setiap hektar hutan alam hidup sekitar 2.500 pohon dengan diameter beragam, maka ada 5,17 miliar pohon yang musnah. Angka pemerintah sekalipun, deforestasi tahun lalu mencapai 1,07 juta hektar. Artinya ada 2,6 miliar pohon musnah.

Tidak hanya itu. Presiden SBY justru memimpin perusakan hutan yang tersisa lewat kebijakan-kebijakan kehutanan dan pertambangan yang mengancam keselamatan hutan dan rakyat. Setidaknya, ada dua yang patut dicatat.

Pertama, awal 2008 keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan. PP ini mengobral hutan lindung tersisa, salah satunya bisa dialihfungsikan menjadi kawasan tambang. Sewanya lebih murah dari pisang goreng, hanya Rp 150-Rp 300 per meter per tahun. PP ini memicu keluarnya izin tambang yang jumlahnya gila-gilaan. Di Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur, sedikitnya 247 perizinan tambang batu bara dikeluarkan bupati sepanjang tahun 2008 dan 2009.

Kedua, PP No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan PP No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Keduanya dipastikan akan mendorong alih fungsi hutan besar-besaran. Di Kalimantan Selatan saja, ada 97 perusahaan tambang batu bara yang kawasan pengerukannya masuk kawasan hutan. Oleh karenanya, mari menganggap Avatar Home Tree Award ini sebuah lelucon, cara Cameron mengolok kita. Ia sebenarnya ingin menyampaikan pesan, mengingatkan pengurus negeri ini agar berhenti memperlakukan hutannya dengan cara biadab.

Siti Maemunah Jaringan Advokasi Tambang
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/29/03092277/avatar.papua.dan..sby

Thursday, February 25, 2010

MORATORIUM PERTAMBANGAN:

Langkah Strategis Menyelamatkan Sumber Daya Mineral Indonesia

Kepulauan Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya, berada dalam ancaman bahaya ekologi sangat serius. Setelah puluhan tahun mengalami eksploitasi massif oleh negara dan modal, masih saja dibanjiri oleh langkah-langkah blunder untuk memacu investasi di sektor pertambangan. Kita tak memiliki strategi jitu untuk menyelamatkan kepentingan pelestarian lingkungan hidup, kepentingan penduduk local, dan "pembiaran" mineral untuk generasi mendatang. Pemerintah malahan terus menerus memberi izin pada perusahaan pertambangan untuk mengekstrasi sumber daya mineral Indonesia.

Padahal, dihitung-hitung, kontribusi industri pertambangan untuk negara sangat rendah, berkisar antara 1-3 persen dari total pendapatan negara (seperti dikemukakan anggota DPR RI, Pramono Anung Wibowo, dan kertas kerja Econit Advisory Group). Anehnya, industri keruk yang begitu destruktif masih menjadi primadona bagi negara. Bahkan negara tak segan mengeluarkan regulasi yang sangat menguntungkan pemodal di sektor pertambangan.

Secara sistematis pemerintah berupaya mempertahankan eksistensi pertambangan di Indonesia. Bahkan dengan berani menggadaikan nasib generasi mendatang; kahancuran lingkungan hidup; penderitaan masyarakat adat; menurunya kualitas hidup penduduk lokal; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; dan kehancuran ekologi pulau-pulau.

Beberapa kasus tertentu menunjukan , pemerintah tak segan menggunakan aparat pertahanan dan keamanan untuk merepresi rakyat yang melawan kehadiran pertambangan di tanah mereka. Dari situ pelanggaran HAM pun terjadi. Tidak heran jika industri pertambangan di Indonesia tergolong industri yang sarat dengan pelbagai peristiwa pelanggaran HAM.

Akar persoalan buruknya politik pertambangan kita, baik di tingkat perangkat hukum maupun praktek riil pertambangannya. Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan mendasar dan paradigmatik terhadap kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia. Jalan menuju perubahan yang fundamental itu adalah Moratorium Kegiatan Pertambangan.

Mengapa Moratorium?
Semangat eksploitasi (jual murah dan jual habis) adalah warna kental kebijakan pertambangan di Indonesia. Pembiaran mineral di perut bumi untuk generasi mendatang dan kelestarian lingkungan hidup seolah menjadi agenda yang tabu dan dosa bagi pengurus negara.

Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ---yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan modal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding posisi modal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.

Desakan untuk mengubah UU pertambangan bermunculan dalam kurun 3 tahun terakhir. Namun gara-gara rentang waktu orientasi pertambangan yang keliru itu telah berlangsung terlalu lama. Hingga tidak heran jika banyak kalangan yang terhegemoni, termasuk pihak pembuat kebijakan. Akibatnya, upaya perbaikan ketentuan-ketentuan hukum pertambangan saat ini pun masih diwarnai pendekatan lama yang eksploitatif dan jual habis, termasuk draft RUU pertambangan yang baru .

Untuk memutus mata rantai perbaikan kebijakan pertambangan yang tambal sulam itu, diperlukan suatu terobosan baru yang berani, yaitu moratorium. Dengan moratorium kegiatan pertambangan, pemerintah akan lebih mampu menata pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan Indonesia masa depan, yang pro terhadap kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa, dan kepentingan generasi masa depan. Dengan demikian, pemerintah akan berhasil melahirkan suatu strategi baru pertambangan yang bijak berdasarkan pertimbangan yang rasional termasuk kepentingan penduduk lokal, kualitas lingkungan hidup, penghitungan tingkat keterancaman ekologi pulau-pulau, jenis dan jumlah kebutuhan riil bahan tambang oleh bangsa dan pembiaran atau pencadangan mineral untuk kepentingaan generasi mendatang.

Bagaimana Memulai Moratorium?
Moratorium pertambangan bisa berjalan jika ada political will pemerintah. Selain itu, pressure yang kuat dari rakyat dan wakil-wakilnya di parlemen pada pemerintah akan mempercepat terealisasinya gagasan moratorium pertambangan. Demi penyelamatan sumberdaya mineral, keberlanjutan eksistensi bangsa dan jaminan kepastian dalam investasi bagi modal, pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah untuk moratorium pertambangan.

Walaupun saat ini moratorium adalah isu yang tidak populer dimata modal. Ada 5 langkah yang perlu di tempuh untuk mengkonkritkan gagasan moratorium pertambangan. Keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Stop Perizinan Baru
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah "berhasil" memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumalh tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD.

Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan. Oleh karena itu diperlukan ketegasan pemerintah untuk tidak lagi mengeluarkan izin pertambangan sampai ada suatu perubahan yang mendasar terhadap politik hukum pertambangan.

2. Evaluasi Perizinan Yang Telah Diberikan
Langkah kedua yang sebaiknya ditempuh pemerintah adalah mengevaluasi perizinan yang telah diberikan. Bagi pemilik izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, berdasarkan berbagai ketentuaan yang berlaku, pemerintah berhak untuk mencabut perizinannya. Upaya evaluasi terhadap perizinan yang telah diberikan sebaiknya dilakukan secara sistematis untuk seluruh jenis perizinan yang ada. Bila langkah ini dilakukan tidak mustahil pemerintah akan menemukan banyak pemegang izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, sehingga izin mereka patut untuk dibekukan.

3. Tinggikan Standar Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Adalah kenyataan bahwa untuk merangsang invertor pertambangan ke Indonesia, pemerintahaan lama menjadikan isu lingkungan hidup sebagai isu pelengkap semata. Sejauh ini, tak terlihat komitmen pemerintah untuk menindak tegas mereka yang melakukan perusakan lingkungan hidup. Rendahnya komitmen untuk pelestarian lingkungan hidup juga terlihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah. Tumpang tindih antar satu peraturan dengan peraturan yang lain, atau kecilnya kewajiban pengelolaan lingkungan hidup yang baik oleh pelaku bisnis bagitu mudah terlihat.

4. Pelembagaan Konflik
Sengketa antara penduduk lokal dengan perusahaan pertambangan yang saat ini beroperasi terbilang cukup tinggi. Hal itu disebabkan kebijakan pertambangan tidak berpihak pada kepentingan penduduk lokal.

Untuk menyelesaikan sengketa rakyat dengan perusahaan pertambangan, diperlukan suatu upaya pelembagaan konflik agar tercapai solusi yang memuaskan berbagai pihak. Pelembagaan konflik ini seharusnya diprakarsai negara dan perusahaan tambang melalui mekanisme resolusi konflik. Resolusi konflik hanya bisa tercapai jika melibatkan semua stake holder yang berada pada posisi yang sederajat. Resolusi konflik pertambangan sebaiknya dijadikan kebijakan pemerintah, dengan melibatkan fasilitator profesional agar terhindar dari dominasi pihak-pihak yang bersengketa. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dalam mekanisme resolusi konflik sebaiknya dijadikan bagian dari re-negosiasi kontrak, sehingga secara hukum mengikat pihak perusahaan.

5. Kebijakan Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Mineral
Untuk menyelamatkan sumberdaya mineral dan eksistensi bangsa dimasa mendatang, diperlukan kebijakan yang secara tekstual mengatur pemanfaatan mineral atas dasar kebutuhaan rill bangsa saat ini dan generasi mendatang. Kebijakan seperti itu yang kemudian dijadikan rujukan perbaikan peraturan perundang-undangan pertambangan. Oleh karena itu, strategi pemanfaatan sumberdaya mineral sebaiknya tertuang dalam Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sehingga secara hierarkis berada pada posisi yang lebih tinggi dari UU.

Agar menjadi pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan pertambangan yang baru, sebaiknya TAP MPR menyatakan dengan jelas pentingnya dilakukan pengkajian secara cermat tentang seberapa parahnya tingkat kerusakan lingkungan hidup dan keterancaman ekologi berbasis pulau. Penghitungan itu disertai pertimbangan riil aktifitas industri keruk yang telah ada, seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) Perkebunan besar monokultur, dan pertambangan. Selain itu perlu dihitung dengan cermat laju kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh indutri keruk.

Juga diperlukan penghitungan tentang jenis mineral yang riil dibutuhkan bangsa saat ini, berapa besar jumlah kebutuhannya, serta berapa dugaan potensi mineral tersedia, kemudian dibandingkan dengan prediksi kebutuhan generasi mendatang. Kalkulasi-kalkulasi itu menjadi penting untuk diikuti oleh pemerintah dalam membuat strategi pemanfaatan sumberdaya mineral yang berorientasi jangka panjang. Stategi yang telah dibuat itu, dijadikan pijakan utama pembuatan protokol-protokol operasi pertambangan pasca moratorium.

SUMBER:
Makalah, Chalid Muhammad. Disampaikan pada Temu Profesi Tahunan (TPT) IX dan Kongres IV Perhimpinan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), 14 September 2000.



Informasi lebih lanjut: Kontak JATAM
(Jaringan Advokasi Tambang)