Wednesday, October 13, 2010

DILEMA PENANGANAN BENCANA

Sebuah refleksi atas bencana banjir bandang Wasior - Papua Barat

Banjir bandang Wasior menyisakan pilu mendalam. air keruh berarus yang menggeser rumah-rumah penduduk, memporakporandakan kehidupan selama ini hanya dapat disaksikan melalui televisi di luar negari. Namun, kejadian itu saat ini terjadi di dalam negeri. di sebuah Ibu Kota Teluk Wondoma-Papua Barat. dan seperti kejadian bencana ekologis lainnya, hal yang muncul adalah perang opini penyebab banjir bandang yang saat ini tercatat mengorbankan 149 orang meninggal. sudah dapat dipastikan, pemerintah melalui Menhut dan KLH menolak keras bahwa penyebab banjir adalah pembalakan liar. Sedangkan kalangan aktifis lingkungan sebaliknya, sangat menyakini jika banjir bandang tersebut akibat rusaknya ekologis, yang didalamnya akibat pembabatan hutan, legal maupun illegal.

Nenek-nenek juga tahu kalau banjir itu dipicu oleh hujan. Sekalipun tanpa hujan, banjir bandang bisa saja terjadi akibat jebolnya DAM atau bendungan yang menahan genangan air. Hal yang kadang kurang luput dari pengamatan kita berkaitan dengan hak perlindungan dan keselamtan adalah early warning atau peringatan dini. Sebagai upaya kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana. Selain juga, pengetahuan tentang ancaman bencana yang ada, kemampuan meminimalisasi risiko dan kesiapan menghadapi kondisi kritis (emergency).

Masing-masing pihak sudah memastikan penyebab banjir kadang membuat miris. Karena disatu sisi, penduduk terkena bencana (PTB) dan ratusan pekerja kemanusiaan sedang dalam kondisi tertekan, mencoba menyelamatkan jiwa dan harta benda yang tersisa, namun sisi yang lain saling menuding yang tidak sedikitpun menyentuh persoalan mereka saat ini. Kebutuhan riil PTB adalah tempat hunian yang layak sesuai dengan standar minumum. sebuah ruang berukuran 3,5 m2 yang bersih dan sehat. Air bersih, antara 7,5 - 15 liter perhari perjiwa, kalori 2.100 Kcal, atau bantuan darurat lainnya termasuk pelayanan kesehatan. Bahkan untuk saat ini, bagi keluarga yang belum menemukan anggota keluarganya, memastikan mereka hidup atau mati jauh lebih penting di bandingkan memperdebatkan atau saling tuding tentang penyebab.

Ada waktu yang tepat untuk membongkar itu semua. tidak akan hilang barang bukti penyebab banjir. dari data tutupan hutan, catatan iklim atau curah hujan, dokumen tata ruang, maupun upaya-upaya penguranganan risiko bencana yang dapat terlihat dengan jelas melalui atau program pemerintah daerah dan RAPBD.

Hak penduduk terkena bencana adalah terpenuhinya kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar minimum. Paling tidak, PERKA BNPB No 7/2008 dapat menjadi pijakan, bagaimana negara dapat memenuhi tanggung jawabnya. Dari mulai kebutuhan air bersih dan sanitasi, hunian sementara, pangan dan non pangan, pelayanan kesehatan. Jangan sampai PTB yang telah menderita akibat bencana, kembali menderita atau lebih menderita oleh berbagai wabah penyakit paska bencana dan kesulitan hidup karena buruknya penanganan.

Diare, ISPA, campak, penyakit kulit, DB atau malaria (jika endemik) merupakan ancaman yang dapat menyebabkan kematian dalam pengungsian. artinya, masih terdapat ancaman yang dapat menjadi bencana kedua akibat salah atau buruknya penanganan bencana. dan ini bukan main-main dan harus ditangani secara serius.

Hal yang kerap memperburuk kondisi dan penanganan bencana adalah kedatangan para pejabat tinggi, apalagi setingkat Presiden di lokasi bencana. "Kewajiban" seorang pemimpin Negara untuk melihat secara langsung lokasi bencana, tidak diimbangi dengan sistem keamanan dan protokoler khusus pada kondisi darurat. Lokasi yang harus steril dipahami di tingkat lapang menghentikan sebagian atau bahkan seluruh aktifitas penanganan bencana. dan itu berdampak buruk bagi PTB sendiri. sekalipun secara psikologis, mereka cukup terbantu dengan kedatangan langsung sang pemimpin negeri.

Banda Aceh, 13 Oktober 2010










No comments: