Saturday, December 27, 2008

Tsunami drill, kesiapsiagaan dan pengelolaan sumberdaya lokal

Ratusan pasang kaki memenuhi jalanan seiring suara sirine melengking dari spiker mesjid. Tidak biasanya. spiker sebagai alat pengeras suara di Mesjid umumnya mendendangkan suara adzan, sebagai panggilan atau tanda umat muslim beribadah. Namun pagi itu, 24 Desember 2008, yang kelur adalah pengumuman terjadinya gempa yang berpotensi tsunami. Meminta warga untuk waspada dan bersiap melakukan evakuasi.

Ada hal yang menarik dari proses tsunami drill atawa simulasi evakuasi kejadian tsunami di pantai selatan Yogyakarta ini. penggunaan media komunikasi peringatan tsunami dengan menggunakan fasilitas masyarakat. Spiker mesjid. inovasi yang luar biasa, mengingat hampir disetiap kampung2 (yang mayoritas beragama Islam) di negeri ini memiliki tempat mushola atau mesjid. dan hampir dipastikan, setiap mushola/mesjid memiliki pengeras suara. Sehingga pesan atau peringatan kejadian yang berpotensi bencana dapat dengan cepat sampai ke masyakarat yang membutuhkan. seberapa efektif inovasi made in bantul tersebut dirasakan masyarakat? "ini baru ujicoba mas", "kekurangan yang ada lewat simulasi ini, akan menjadi masukan dan perbaikan ke depan", Taufik, salah satu Pokja Kabupaten Bantul menjelaskan.



"Suara peringatan dari spiker tidak jelas, kemresek...", "jangkauan spiker tidak sampai ke masyarakat yang jauh dari mesjid..", "spiker gak bunyi juga lho pak..", begitu komentar saat evaluasi tsunami drill paska kegiatan yang dihadiri para petinggi penanggulangan bencana negeri ini. Ada BPPT, BNPB,LIPI, BMG dll. Juga bumbu-bumbu lainnya. seperti orang2 yang bertugas di Pusdalops masih terlihat gugup atau terlalu santai, info yang mendahului dari satu instansi, atau ditingkat masyarakat sendiri...

Wajar... begitu kalau kita melihatnya dari kacamata positif. "lah wong waktu persiapannya mefet kok mas. sekalipun rencana ini sudah lama, tapi kami juga melakukan hal yang lain untuk persiapan. dari mulai sosialiasi, sampai menyiapkan perangkat. justru dari drill ini kita akan mengetahui, apa kekurangan yang ada untuk dibenahi". komentar santai dari salah satu Pokja bisik2 disela evaluasi yang sebagian besar menggunakan pendekatan negatif, alias menghakimi..

Memobilisasi ribuan orang bukan perkara mudah. siapapun menyadari itu. apa lagi ditambah dengan mengkonsolidasi berbagai instansi yang terbiasa bekerja secara parsial. Terbiasa tertib bekerja sesuai juklas dan juknis atawa tupoksinya sendiri-sendiri. Tambahan lainnya yang kerap membuat negeri ini kacau balau mengelola sesuatu yang bersifat massal atau besar,pemerintah atau orang-orang pusat yang bermain dengan pikirannya sendiri. Pikiran wong pusat dan mengabaikan dinamika daerah. dan.... melembar 90 % kesalahan kepada wong daerah dengan tudingan.. gak punya kapasitas.

Simulasi evakuasi kejadian tsunami yang diperkirakan melibatkan 2000 ribu sebagian masyarakat pesisir selatan Yogyakarta sangat menarik menjadi proses belajar. Belajar, bagaimana masyarakat yang tinggal pada wilayah rawan bencana mempunyai kapasitas dan kesiapsiagaan tinggi menghadapi ancaman yang ada. Belajar bagaimana sumberdaya yang ada ditingkat lokal dapat dikelola dan bermanfaat untuk menyelamatkan diri secepat mungkin. Belajar juga, bagaimana orang lokal saling berbagai (pengetahuan dan keterampilang), saling membantu dan mengorganisir diri. pada tataran pemerintahan, proses ini menjadi pembelajaran, bagaimana pemerintah menjalankan mandatnya;"melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman bencana". Refleksi atau mengevaluasi diri tentang peran, sistem atau kebijakan.

Sosialiasi tentang apa, bahaya, risiko dan upaya reduksi risiko tidak harus orang pemerintah yang melakukan sendiri. cukup membekali orang lokal, maka orang tersebut akan berfungsi dan memposisikan diri sebagai fasilitator lokal. Sebagai orang lokal, kesempatan berbagi informasi dan pengetahuan menjadi sangat luas. kesempatan untuk berbagai pun menjadi tak terbatas. coba bandingkan dengan pola sosialisasi "konvensional" yang kerap dilakukan kebanyakan pemerintah. dari mulai dengan judul penyuluhan, sosialisasi sampai kampanye.

Memposisikan masyarakat lokal sebagai kader atau fasilitator lokal merupakan pengelolaan sumberdaya lokal. sama halnya dengan memanfaatkan spiker mesjid untuk kebutuhan lain selain panggilan ibadah, pengajian atau pengumuman. Inovasi cerdas tersebut dapat memangkas anggaran negara dalam mengadaan alat peringatan dini sebagai bagian dari early warning system. Berapa negara diuntungkan dengan inovasi sederhana made in Bantul dengan dukungan GTZ ini? Sebagai perbandingan, satu alat tanda peringatan dipatok seharga 750 juta - 1,2 milyar. sedangkan made in Bantul-GTZ antara 15 - 20 juta. Boleh lah ada keunggulan dari sirine canggih nan mahal ini karena dapat menjangkau 2 Km. Tapi jika diperbandingkan lagi dengan biaya perawatan, kemampuan peneglolaan dan perawatan tentu penghematan anggaran yang diambil dari uang rakyat ini akan berlipat-lipat lagi.

Mencermati Jalur Informasi
Belajar dari pengalaman, kejadian tsunami waktunya singkat. Dari informasi yang didapat BMG melalui geteran gempa yang terjadi dilautan dan reaksi gelombang laut berkisar 30-60 menit - 2 jam. BMG membutuhkan waktu 6-10 menit untuk menganlisis gempa yang terjadi berpotensi tsunmai atau tidak. 30 - 60 menit adalah observasi awal (alam_ ternadi tsunami/kedatangan gelombang pertama). 1 - 10 jam berikutnya potensi tsunami berakhir.

BMG sebagai pusat peringatan dini tsunami nasional berfungsi memantau gempa dan tsunami berdasarkan data=data yang dikumpulkan dari jaringan stasiun seismik nasional dan internasional, sistem pelampung (Bouys), dart dan pengukur pasang surut (tide gauges). selanjutnya mengelola data dan mengambil keputusan untuk menyebarkan informasi gempa dan peringatan tsunami berupa ifo gempa. BMG,menyebarkan informasi peringatan atau pembatalan. BMG regional daerah (yogyakarta untuk daerah DIY), mendukung fungsi teknis dengan menyebarkan info gempa dan peringatan tsunami kepada pemangku kepentingan.

PUSDALOPS (Pusat pengendalian operasi) sebagai pusat peringatan daerah (dalam hal ini Kab. Bantul), dirancang untuk mampu mampu merima peringatan dari BMG, mengalisis isi peringatan, membuat keputusan perlunya masyarakat beraksi dan menyebarluaskan peringatan kepada masayrakat.

Gempa dan tsunami sebagai bahaya berpotensi menjadi bencana memiliki karakteristis khas. Tidak dapat diprediksi kapan terjadinya. dan ini kerap menjadi dilematis bagi pengambil keputusan. Hasil analisis bisa saja salah. Bagaimana jika tanda peringatan terlanjur dibunyikan namun tidak terjadi tsunami. Tentu Pemerintah akan menjadi bulan-bulanannya masyarakat. atau kalau hal tersebut kerap terjadi, bisa saja warga akhirnya tidak percaya lagi dengan tanda peringatan, sekalipun itu benar.

Menyusun strategi, mengumpulkan kekuatan
Banyak tantangan ke depan. Persoalan yang muncul di depan mungkin hanyan bagian kecil yang akan dihadapi tim atau pemerintah dalam menjalankan mandatnya. untuk itu, perlu dibangun strategi sekaligus menggalang kekuatan yang ada. Kebiasaan pemerintah yang hanya memanfaatkan sumberdaya sendiri harus segera ditinggalkan. berganti dengan meneropong sumberdaya yang ada disekelilingnya, terutama ditingkat masyrakat sendiri.

Pemanfaatan spiker mesjid sebagai alat peringatan dini hanya satu contoh, bagaimana sumberdaya lokal dapat dimanfaatkan maksimal. demikian juga tenaga lokal menjadi fasilitator membngun kesiapsiagaan untuk masyarakatnya sendiri. tentu masih banyak aset-aset lain atau sumberdaya yang bisa dikelola sebagai kekuatan.

Dilematis yang akan dihadapi bukanlah masalah. tapi merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan menyodorkan strategi dan keseriusan maksimal. salah satunya adalah kapasitas dari pengelola ditubuh pemerintah dan sarana pendukungnnya.
selain kesiapsiagaan yang telah dilakukan, pun banyak upaya lain yang bisa dilakukan warga masyarakat bersama pemerintah dan sektor swasta.

Disaster drill atau saya lebih suka menyebutnya dengan simulasi evakuasi telah memberi pelajaran bagi kita semua. Swasta pun dapat terlibat secara aktif dalam proses terebut. demikian juga organisasi kemasyarakatan. bahkan organisasi hobby.. off road community dll.

tapi... dimana LSM lokal yaaaa???????

Saturday, September 20, 2008

CBDRM; antara bangga dan sedih

suasana petemuan sedikit kaku.. bahkan terkesan tegang.. suara tak senang memenuhi ruang pertemuan tanpa AC. suasana panas bertambah panas. Gak usah pake ngetes segala. pertemuan ini tidak untuk me-ngetes. ada petemuan lain yang lebih tepat untuk itu...

Pertemuan itu semakin menegaskan, bagaimana perkembangan CBDRM yang sedang naik daun. saat banyak lembaga donor dan international NGO's menempatkan sebagai isu utama. secara otomatis, local NGO's pun ngekor apa yang menjadi trend dikalangan lembaga donor. karena... memang sumber penghidupan mereka satu-satunya adalah lembaga dana. sehingga wajar.. kemana pun angin ditiupkan lembaga dana, kearah sana juga sebagian besar NGO lokal menuju. salah kah????



Tentu tidak. karena salah satu tujuan dalam menjalankan program adalah mengangkat sebuah isu menjadi pola pikir yang selanjutnya menjadi pola tindak. raising awarness atau public awareness adalah salah satu kegiatan yang selalu nempel apapun jenis project nya. artinya,, mengangkat isu menjadi arus utama adalah salah satu output. apalagi dalam upaya pengurangan risiko bencana di negeri dengan sejuta ancaman.

Sebuah sukses besar tentunya ketika banyak kelompok masyarakat sipil kini membecarakan disaster risk reduction dengan bumbu community base. Berbeda 10 tahun yang lalu, sungguh langka ada LSM lokal menjalankan kerja-kerja pengelolaan bencana. Langka dan terampat langka karena tidak banyak lembaga donor atau INGO's yang punya program management bencana. Cuma LSM nekat aja yang mau ngurusin kerentanan masyarakat yang tinggal pada daerah berisiko. entah itu gunungapi, daerah rawan banjir, longsor atau gempa dan tsunami. Nekat, karena dana yang didapat dari lembaga donor tidak dapat menutupi kebutuhan project itu sendiri. alih2, ya harus nombok..

Kejadian bencana gempa yang diikuti gelombang tsunami telah membuka mata dunia. termasuk mata lembaga donor untuk menempatkan isu pengelolaan risiko bencana sebagai salah satu focus yang harus ditangani. Bertaburnya dolar, euro, yen sampe dinar ke negeri serambi Mekah mendorong banyak anak negeri ini segera belajar cepat tentang pengelolaan bencana. Karena, peluang kerja terbuka lebar. puluhan bahkan mungkin sampai mencapai ratusan trilyun harus dihabiskan sebagai upaya membangun kembali Aceh paska luluh lantak dihantam bencana. tidak perlu genap pengetahuan dan skill, apa lagi pengalaman. karena disadari, isu pengelolaan bencana masih baru. sedangkan kebutuhan SDM untuk menghabiskan dana yang telah terlanjur terkumpul sangat besar.

Berbondong-bondonglah atret isu dan focus lembaga dan kalangan aktivis. sebelumnya, menangani pendidikan, anak jalanan, demokrasi, kesehatan putar arah. tidak hanya aktifis, para dosen, mahasiswa maupun pengangguran pun berlomba mereguk nikmatnya peluang untuk berkarya secara riil pada dunia DRM.

Kembali lagi.. sukses besar telah diraih para penggiat DRM. kejadian mega bencana telah membantu mereka yang sebelumnya ter-mehe2 mendorong isu DRM. di acuhkan para Pemda atau Pemerintah pusat saat menyampaikan pentingnnya kebijakan khusus PB.

saking seksinya isu DRM paska mega bencana tsunami, DPR yang sebelumnya pasif menggunakan haknya membuat undang-undang bereaksi cepat. DPR dengan gagah perkasa mendeklarasikan akan menggunakan hak inisiatif mengajukan UU. RUU PB dengan bumbu cepat saji. 6 bulan ditargetkan RUU ini akan menjadi kebijakan resmi negeri bencana.

ternyata oh ternyata.. sesumbar itu lewat tanpa bukti. target enam bulan menjadi dua tahun. seperti umumnya RUU lainnya, akselerasi sampe menjadi UU butuh gizi dan vitamin. dan RUU PB mengalami gizi buruk. sehingga tim DPR maupun pemerintah pun ogah2an untuk membahas dan menyelesaikan RUU ini. maklum saja, selain dana penyusunan RUU dari pemerintah yang memang standard, vitamin dari luar hanya di dukung oleh INGO's yang dititipkan lewat LSM lokal. Sangat wajar kalau tim mengalami gizi buruk. berbeda dengan penyusunan kebijakan ekstraktif yang didalamnya terselip gizi dan vitamin super dari para sponsor.

Hal yang sungguh menyedihkan tentu kaitan dengan substansi. ternyata, DRR masih belum dianggap penting dan menjadi prioritas negara. sebagai wujud tanggung jawab menjalankan mandat kengeraan. Melindungi dan menyelamatkan warga negara dari berbagai ancaman, termasuk ancaman bencana. Hal yang sama tentunya dikalangan masyarakat sipil yang parkir di isu pengelolaan bencana.

tiga tahun lebih bencana gempa dan tsunami di Aceh telah berlalu. dua tahun lebih bencana gempa di jogja terlewati. seharunya, waktu yang tidak sebentar ini telah menepatkan para kelompok masyarakat sipil yang parkir memiliki pengetahuan dan kapasitas dalam management risiko bencana. Para akademisi, yang isinya para dosen, pun jauh lebih mumpuni dalam DRM.

Sebagai sebuah dampak, para penggiat DRM menterjemahkan keahlian dasarnya dengan pengetahuan barunya tentang DRM. ahli transportasi akan membuat konsep baru dengan mainstreaming DRR. para ahli pertanian pun demikian. juga para konsultan penyusunan tata ruang. apalagi mereka itu dijadikan sebagai pelaku proses pembangunan kembali.

Kenyataan yang terjadi... substansi DRR belum sepenuhnya nyangkut. apalagi dengan pendekatan community base. Para kelompok masyarakat sipil yang atret atau parkir, lebih banyak menempatkan diri sebagai penerima manfaat. yaaa.. penerima manfaat para NGO's internasional maupun lembaga donor yang harus menyalurkan dananya untuk isu DRM yang telah dipatoknya.

Pemahaman yang tidak genap dan terlanjur dikampanyekan, seolah menempatkan diri ahli cukup menggelikan sekaligus menyedihkan. apalagi dengan kesombongan, i dont need to up greading my capacity. enough men.. i just need your money to do what i have plan

satu hal yang lebih menyedihkan, pengetahuan dan kapasitas yang jelas bias.. ternyata di amini oleh INGO's yang bertanggung jawab menyalurkan dana dari donor yang mereka peroleh.
what happen man???? are you dont know about community base disaster risk reduction? or.. you dont have a power to change them knowledge and paradigm..
or... you too worried on your project.. you are worry be called... muddle of your jobs..
community base disaster management... nasib mu...
disaster risk reduction... nasib mu juga...

i dont know... back to laptop deh... kata tukul sih...


Thursday, August 14, 2008

WABAH, Bencana bukan?

Flu burung.. begitu menakutkan wabah tersebut. sampai2 muncul larangan memelihara unggas. Bau sangit daging dan bulu2 unggas terbakar ada dimana2. trilyunan rupiah duit negara pun mengalir deras. Belum tuntas flu burung ditanggulangi, wabah lain menyalip. Demam berdarah menyalib di tikungan. korban pun berjatuhan. Salah satunya keponakanku tercinta... yang di diagnosis oleh dokter "kampungan" terserang types. Belum tuntas menangani dua wabah di beberapa daerah... cacar tiba2 muncul. wabah yang pernah di tetapkan telah hilang dari peredaran. WHO sebagai badan kesehatan dunia menetapkan Indonesia bebas cacar, tahun 1974. penyakit yang telah menyelimuti negeri ini sejak tahun 1856. Penyakit sangat menular ini akhirnya dinyatakan hilang dari bumi oleh WHO tahun 1980. Dunia bebas cacar.
Lah kok.. tapi kenapa tiba-tiba tahun 2007-2008 penyakit itu nongol lagi.. dan membawa korban tidak sedikit, terutama anak?
bahkan bayi yang masih dalam kandungan... seperti Muhammad Yusuf. menutup mata sebelum melihat gegap gumpitanya dunia. Meninggal dunia akibat tertular virus varicella-zoster

Malam semakin larut. nyanyian merdu puluhan.. atau mungkin ratusan nyamuk menendang gendang telinga. Jengkel.. tapi tak mampu berbuat apa2. Waktu telah masuk tengah malah. warung-warung kecil telah menutup jendela kecil sekaligus sebagai tepat disply dagangannya. lotion anti nyamuk pun tidak bs di dapat. sekalipun ada... jauhhhhhh....
Jantung seakan berhenti.. ketika RCTI melalui berita malamnya memberitakan tentang wabah Kolera yang terjadi di Papua. tepatnya di Kabupaten Dogiyai. saat itu diberitakan, korban kolera telah mencapai 93 orang. sedangkan data Deptkes mencatat 81 orang. Beda jumlah... akh.. itu biasa di negeri yang lucu ini.

Berita itu mendorong untuk kembali membuka internet. search google, dalam waktu 0,034 detik, terdeteksi 8010 tulisan yang bermuatkan kata yang berhubungan dengan "kolera papua". Sinar harapan menulis, korban kolera telah mencapai 239 orang. hebarnya.. wabah tersebut telah mulai menjangkit sejak bulan April 2008. Sungguh luar biasanya, Wakil Gubernur sampai saat ini belum menerima laporan dari Dinkes Papua atas kejadian tersebut. Lebih luar biasa, Menkokesra pun merasa kaget... kaget dengan berita wabah kolera. wow.... !!!! bisa dibayangkan.. bagaimana lucunya negeri ini khan?
para pejabatnya.. manusia2 terpilih yang diberi tanggung jawab ngurus rakyat... rame2 kaget ketika dikonfirmasi pers tentang sebuah kasus. trus... mandat apa yang dia kerjakan?

Wabah dan response
UU No 24/07 menyebutkan, wabah dan epidemi masuk katagori bencana non alam. Sama dengan kejadian lumpur panas lapindo, sekalipun belakangan dimasukan menjadi bencana alam. Dipaksakan masuk yang disebabkan oleh gempa bumi. sebagai bencana, langkah2 penanganan tentu mengacu pada penangnaan bencana. Dari mulai emergency response, bantuan darurat, pemulihan, sampai rehabilitasi dan rekonstruksi. So, what'd done for ones?

Sebagaimana umumnya kejadian, baru mendapatkan tanggapan setelah pers menyampaikan ke publik melalui media. Response awal pemegang otoritas adalah, Kaget dan akan mengececk kebenarannya. Sementara, akibat dari kejadian, warga terkena dampak semakin menderita karena keterlambatan respon. baik kerana buruknya birokrasi atau sistem penanganan kondisi darurat yang belum baik. contingency planning belum disusun dan dibuat sistem operasionalnya. Jadilah PTB harus survive secara mandiri menghadapi berbagai ancaman ikutan paska bencana ini datang.

Penanganan wabah penyakit atau epidemi lebih cenderung ditangani Dept. Kesehatan. bisa dimaklumi.. karena memang terjadi pada ruang lingkup Dept. Kes. demikian juga saat terjadi kejadi semburan lumpur lapindo. Dept. ESDM menjadi leader. Namun ketika bencana akibat gempa-tsunami, letusan gunungapi.. tidak lagi satu persatu dept. tapi ditangani lintas departemen. bagaimana dengan banjir dan longsor yang juga dikatagorikan bencana alam? ternyata yang leading adalah Dept. PU.

Jika melihat kondisi seperti ini, apa yang menjadi kriteria sebuah kejadian harus ditangani lintas Dept? besarnya? dampaknya? jumlah orang yang meninggal? atau apa? itu baru dari sisi siapa leader dalam menangani bencana. Lalu, kriteria bencana tersebut ditetapkan harus ditangani oleh pemerintah pusat atau daerah. belum tuntas keduanya, muncul lagi.. bagaimana dengan kriteria yang ditetapkan Dept. Kesehatan kaitan dengan kasus wabah. termasuk didalamnya gizi buruk akibat krisis pangan.

Jika sebuah kejadian ditepatkan sebagai bencana, sekecil apapun kejadian tersebut ada respon cepat yang dilakukan oleh multi pihak mensikapi kejadian tersebut. Bahkan dari kompenen masyarakat sendiri. Tidak jarang kita melihat, segerombolan mahasiswa meminta sumbangan hanya berbekal kardus kosong bekas minuman mineral atau mie instan. posko-posko pun dibuka untuk mempermudah mengkonsolidasi bantuan untuk PTB (penduduk terkena bencana). Demikian juga ditingkat Pemda, mengerahkan sumberdaya yang ada untuk menangani kejadian tesebut.

Lalu.. bagaimana dengan wabah?
Melihat dari pemberitaan media, penanganan wabah, sekalipun telah ditetapkan sebagai kondisi luar biasa (KLB), respon hanya sebatas penanganan kesehatan. Karantina yang dilakukan sebuah wilayah, tidak lepas dari upaya preventive upaya kesehatan terhadap penyebaran wabah. diterjunkannya medis, paramedis dan obat2an juga dalam rangka menanggulangi wabah yang ada.

Bagaimana dengan mata pencaharian penduduk ketika karantina dilakukan? bagaimana dengan nutrisi yang harus dipenuhi, lebih baik (sesuai dengan standard minimum) dari sebelumnya. Demikian juga dengan air dan santitasi.
dari persoalan dan kebutuhan yang ada, jelas terlihat.. intervensi yang harus dilakukan mensikapi bencana wabah tersebut. tidak hanya menggratiskan biaya pengobatan, menyediakan medis dan tim medis dan obat-obatan serta antisipasi dengan melakukan karantina.

Hal yang perlu dipikirkan selain masa emergency, adalah bantuan darurat. sampai kapan? dan bagaimana pula kepanjutannya pada fase pemulihan dan pembangunan kembali. Pembangunan kembali tentu berbeda dengan pembangunan kembali dengan kejadian bencana yang menghancurkan infrastruktur.
Kenapa wabah kolera berjangkit? perlu dibongkar akar masalahnya. Jika ada persoalan berkaitan dengan sanitasi, lingkungan yang tidak sehat dll, maka pembangunan kembali harus dilakukan. sehingga kejadian serupa tidak lagi terulang.


Contingency planning.
tidak adanya perencanaan kondisi tak terduga atau contingency planning memposisikan negeri ini selalu kalang kabut. perencanaan kondisi darurat yang ada, hanya diakomodir lewat anggaran. itu pun tanpa didasarkan atas kebutuhannya. Penetapan anggaran yang disahkan menjadi Peraturan Daerah atau UU ini, terpaksa lah yang menjadi acuan pemerintah.

Peruntukan dana darurat atau yang dikenal dengan on call budget tidak dibuat didasarkan atas kondisi objective. bagaimana kita bisa menghitung kebutuhan, sementara data yang dimiliki negeri ini carut marut. masing-masing dept. punya data sendiri2 dengan parameter berbeda. daerah rawan bencana saja, masih bersifat general dan macro. data tersebut masih belum di over lay dengan bebarapa jenis ancaman yang ada serta data kependudukan. Bagaimana kita akan membuat rencana pengurangan risiko bencana atau perencanaan kejadian tak terduga jika basis datanya saja lemah.

sangat wajar ketika pemda bingung mau berbuat apa ketika ada kejadian luar biasa (bencana). cadangan dana langsung habis hanya dalam waktu dua hari. demikian juga dengan stok beras, atau obat2an. bahkan banyak stok tidak tersedia, misalnya tenda/terpal, sarana air bersih dll. sungguh menyedihkan lagi, dana tersebut justru dihabiskan hanya untuk menjamu pejabat yang datang, atau membeli makanan dan minuman instant dan distribusinya. dilain sisi, sumberdaya yang dimiliki dan kuasasi negara tidak mampu di mobilisasi. kendaraan tentara, mobil ambulan, mobil dan truk kendaraan dinas dll. demikian juga sarana dan prasarana yang ada.

Kondisi ini mencerminkan, kejadian besar yang telah terjadi tidak pernah dijadikan sebagai tonggak belajar. bagaimana menangani kondisi darurat, yang dimulai dengan mitigasi dan kesiapsiagaannya. dan perencanaan kontijensi salah satu item terpenting ada. sehingga kebutuhan bisa singkron dengan sistem dan sumberdayanya.

Saturday, August 09, 2008

DISASTER RISK REDUCTION

antara bangga dan sedih


Paska gempa yang diikuti gelombang tsunami di sepanjang pesisir barat Aceh Barat - Utara, boleh dibilang, penghuni bumi dipaksa untuk refleksi diri. Paska mega bencana yang diciptakan itu juga, pengetahuan dan skill bencana menjadi kebutuhan yang amat sangat. Kebutuhan banyaknya SDA untuk diterjunkan ke Aceh dan Nias, memaksa tidak sedikit lembaga (milik pemerintah, swasta maupun NGO's) menurunkan seluruh sumberdayanya. tidak cukup... dibukalah tenaga sukarelawan.
wal hasil... Aceh kebenjiran orang luar dar beragam suku, agama, ras dll. sebuah pemandangan yang tak lazim sebelumnya. Karena Aceh cukup tertutup dengan konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun.

Munculnya beribu manusia ke Aceh menjadi keunikan tersendiri. satu sisi, mendorong situasi aceh lebih kondusif, tapi sisi yang lain, tentu memunculkan problema. tidak tahu apa yang harus dilakukan, merupakan kelaziman yang ada dari sekian masalah tersebut. Demikian juga dengan kurangnya tempat tinggal menyebabkan harga sewa rumah diatas batas normal yang bisa ditolerir logika. tapi bagaimana pun... hukum pasar selalu berlaku. apalagi ketika pemerintah tidak mampu mengatur kondisi tersebut.

kejadian bencana, sepertinya tak berhenti.. kejadian demi kejadian besar antri. gempa susulan yang hanya berselang 3 bulan, banjir bandang di aceh tenggara, Banjir bandang di Jember, longsor di Banjarnegara adalah kejadian beruntun yang terjadi dalam 12 bulan paska tsunami. rentetan kejadian bencana bak antri minyak tanah seperti itu, sebetulnya selalu terjadi di bumi ini. dari tahun ke tahun. Namun menjadi perhatian tersendiri ketika mega bencana memincu hampir seluruh penduduk bumi untuk berkaca diri dan menembatkan ancaman bencana sebagai ancaman kehidupan.


Telah lebih dari tiga tahun kejadian tersebut berlangsung. hiruk pikuk problem mengiringi proses rehab rekon yang di claim sangat berhasil oleh sang Ketua BRR. Claim keberhasilan pun di amini para pemimpin negeri ini, termasuk pemberi dana. Menutup mata dan telinga keluh kesah warga dan pemberitaan berjuta masalah di lapangan.

Lepas dari hiruk pikuk pembangunan kembali paska bencana, isu pengurangan risiko bencana menjadi begitu populer. Kondisi ini tentu sangat baik. Karena sebelumnya, dilirik pun tidak. Sekejap menjadi perhatian jika ada kejadian bencana. Setelah saling tuding, saling caci, dan ditutup dengan prioritas menangani korban bencana... pembicaraan pun hilang. tertutup oleh kejadian2 lain yang lebih menarik. entah itu kontra versi pernyataan para elit atau sekedar ulah selibritis yang beratem dng produsernya,

Hal yang sangat menggembirakan adalah respon yang begitu cepat dari sekelompok orang yang selalu mengatasnamakan rakyat- sekelompok orang yang berkantor dikelilingi pagar nan tinggi dengan pengamanan eksta ketat. Dengan semangat tinggi, berniat menggunakan hak nya sebagai legislator mengusulkan undang-undang. wow... sebuah kejadian langka setelah negeri ini mendapatkan status kemerdekaannya dari kolonial Belanda.apalagi dengan target yang cepat.. 6 bulan. fantastis
tentu ini amat sangat baik, karena sebelumnya, sampai dengan suara parau segelintir orang yg konsisten bekerja untuk management bencana mendorong hal tersebut. Bak dpt durian runtuh... begitu lah kira2. cuma tragisnya.. durian itu baru jatuh setelah 200 ribu orang menjadi korban ganasnya gelombang tsunami.

Seiring naiknya isu reduksi risiko bencana, tentu kebutuhan akan orang atau lembaga yang mengerjakan isu tsb menjadi besar. apalagi setelah secara terang benderang, beberapa lembaga donor mendeklarasikan membuka program pengurangan risiko bencana. semakin terbuka lebar lah peluang untuk hijrah menangani isu tersebut. tidak hanya pada response kejadian bencana... tapi lebih jauh lagi. embel-ember community base pun menjadi barang nan laris.

Beberapa kejadian bencana terus antri. Jogjakarta, sebagai gudangnya orang pinter pun remuk oleh goyangan bumi. Kembali.. 7000 korban menjadi tumbal. semakin banyak lagi kebutuhan orang untuk menangani kebencanaan ini. Isu pengurangan risiko pun menjadi lebih kenceng.sekencang isu penanganan pembangunan kembali paska bencana. Apalagi ditambah dengan ancaman dari perubahan iklim. semakin seru lah dunia kebencanaan menjadi lahan.

Proses alamiah pun berjalan lebih cepat. kebutuhan yang besar akan sumberdaya manusia yang mengerjakan ruang kosong pun harus diisi. tak bisa dicegah. munculah pemain-pemain baru di dunia persilatan pengelolaan risiko bencana. sebuah keberhasilan tentunya.. setelah berpuluh-puluh tahun sebelumnya hanya segelintir orang saja yang bermain pada isu pengelolaan risiko bencana. istilah dia lagi.. dia lagi.. telah masuk kotak besi dan terkunci rapat. pemain-pemain baru telah bermunculan.. merata hampir di seluruh penjuru mata angin.

Jika dilihat dari kaca mata project.. tentu ini sebuah keberhasilan luar biasa. apalagi.. pemerintah pun merespon cukup baik. buktinya.. (sekalipun telat banget dari terget yang dulu ditetapkan), kebijakan PB telah menjadi sandaran hukum negeri ini. demikian juga badan yang mengurusi bencana. Bahkan beberapa daerah telah mengesahkan perda, rencana aksi daerah, bahkan telah menganggarkan dana bencana dalam APBD nya. dari sisi orang atau kelompok pun... telah cukup dijadikan tolok ukur keberhasilan atas kepopuleran isu DRM tsb. Juga dari disiplin ilmu.. wuihhh.. hampir semua bidang ilmu telah mengkaitkan DRM sebagai mainstreaming. kurang apa lagi?????

Sukses besar kah... May Be Yes.. May Be No.. begitu kira2. Karena ada hal yang cukup membuat miris seiring meningkatnya isu dan respon atas PRB. Lihat lah turunan UU PB berupa Peraturan pemerintah atau Kepres. Lihat juga beberapa aturan teknis dalam penanganan bencana yang dibuat.. atau lihat lah hasil kerja pembangunan kembali atau bahkan kerja-kerja tanggap darurat yang dilakukan? lebih baik kah??? atau....
Lihat juga dominasi para pelaku PRB? kok..... lihat juga hasilnya????
dan yang lebih menyedihkan lagi... hasil-hasil kerja yang mereka lakukan menggunakan stempel community base alias BERBASIS MASYARAKAT. salah kah?????

Tidak ada yang salah... ini bagian dari proses bung. jangan sirik... kasih kesempatan. atau.. kenapa anda tidak terlibat???
Ya begitulah kira2 jawaban-jawaban atas pertanyaan kritis yang terlontar atas perkembangan yang ada.
Namun cukup kah perdebatan tersebut menjadi jalan mendapatkan solusi cerdas atas penyimpangan-penyimpangan yang ada????
Penyimpangan??? begitu sadis kah sehingga kondisi yang ada dikatagorikan sebagai bentuk penyimpangan.

Jika melihat dari implikasi yang dihasilkan yang begitu besar bagi kehidupan warga... mengapa takut menyebut hal tersebut sebagai bentuk penyimpangan? Penyusunan kebijakan misalnya. bisa dibayangkan... bagaimana implikasinya? atau bentuk-bentuk lain yang mempengaruhi hajat orang banyak...
Keresahan ini tidak lepas karena munculnya banyak produk dengan atas nama masyarakat sipil. atas nama communty base.
sehingga keterlibatan justru menjustifikasi... kebijakan itu sendiri yang sebetulnya secara langsung atau tidak langsung berkontribusi melemahkan posisi warga.

akhhhhhhh...... terlalu sulit agaknya menuliskan kegelisahan berkaitan dengan ini...
lebih enak diskusi secara oral.... mengeluarkan berbagai argument.. contoh2 kasus dll tentang itu semua..

Niat baik... belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik.. jika tidak disertai dengan jalan yang baik.







Friday, August 01, 2008

NIAS; diantara hiruk pikuk rebuilding; part 2

Kebijakan yang menyesatkan
Tidak sedikit para relawan kemanusiaan melihat perubahan status, dari bencana Nasional menjadi Bencana Daerah. apa dasarnya. Bukankah banyak daerah justru menginginkan status bencana nasional. karena dengan status ini, pemerintah nasional lah yang harus turun tangan, termasuk dana yang diambil dari APBN. Kenapa Pemerintah Nias atau Sumut justru sebaliknya?

Banyak spekulasi yang beredar mencikapi hal tersebut. Salah satunya yang cukup beralasan adalah; Pilkada. Ya.. Nias saat itu sedang bersiap untuk pemilihan kepala daerah. status bencana daerah memungkin seluruh penanganan harus dibawah koordinasi Pemda. artinya, bantuan yang mengalir deras ke Nias, dapat dijadikan sebagai alat kampanye sang calon bupati yang saat itu berkuasa. sedangkan analisis kedua adalah; bantuan kemanusiaan jauh lebih banyak dari luar pemerintah. akan lebih menguntungkan jika di kelola sendiri tanpa campur tangan pemerintah nasional. dan kemungkinan lain adalah: eforia otonomi daerah. Lebih untuk menunjukan kemampuan daerah dalam mengatasi masalahnya sendiri.

Apapun alasan yang diajukan Pemda, perubahan status sangat mempengaruhi penanganan bencana di sana. Keluhan sulitnya mendapatkan akses ke lokasi bencana menjadi gunjingan pekerja kemanusiaan. Baru pada hari ke tiga paska bergoyangnya bumi Nias yang ke dua, puluhan NGO's dapat membawa bantuan kemanusiaan melalui bandara mungil dan Pelabuhan.\
Sementara penduduk terkena bencana di sana... telah kehilangan kesabaran akibat ketidak mampuan Pemda menangani bencana yang terjadi. terjadi kerusuhan saat distribusi bantuan dilakukan. Isu bantuan hanya dibagikan kepada kroni dan kantung2 suara sang calon bupati bukan hanya sekedar gosip.

Keterbatasan akses dan sumberdaya, termasuk SDM lah yang menyebabkan penanganan bencana di Nias kacau balau. yang tak kalah pentingnnya adalah sistem dalam menangani bencana itu sendiri. Untuk yang terakhir, jangankan di Nias, di Jakarta sendiri sebagai ibu kota masih belum menyiapkan sistem yang siap pakai.

Akibatnya sudah bisa di tebak... dampak bencana yang begitu luar biasa terhadap kehidupan di Nias semakin tak tertangani dengan baik. penderitaan pun bertambah. jangan kan mendapatkan makanan, selembar terpal plastik pun tidak terdistribusikan secara merata. Namun.. ego untuk mempertahankan kekuasaan nampaknya jauh lebih penting dibandingkan penderitaan warga. Pendapatan dari linangan air mata jauh lebih menggiurkan dibandingkan isak tangis anak2 yang kelaparan. Sebuah kontras yang sengaja di ciptakan tanpa melihat penderitaan warga yang bertumpuk dan terus bertumpuk.

Satu bulan paska Gempa susulan... BRR pun terbentuk. Nias masih ditetapkan sebagai wilayah kerja. Justru disinilah terjadi kerancuan dalam menjalankan kerja-kerja pembangunan kembali. Pemda merasa berhak atau berwenang menjalankan seluruh kerja-kerja pembangunan kembali. karena status bencana daerah memberikan wewenang untuk itu. sementara, BRR dibentuk oleh Pemerintah Pusat. yang tanggung jawab pekerjaannya pun kepada pusat. bukan daerah. tidak ada hubungan langsung dengan daerah secara hirarki. Koordinasi lah yang menghubungkan kerja BRR dengan Pemda Nias atau Sumut.

Friksi terus berlangsung. dari mulai mendata jumlah korban, rumah dan fasilitas publik terkena dampak sampai saat penetapan.. siapa yang berhak mendapatkan "bantuan". Ruwetnya koordinasi, berdampak pada kerja-kerja NGO's yang lebih mementingkan kerja riil dan langsung bekerja bersama masyarakat. Tumburan antar kepentingan pun berimplikasi di level warga sendiri. sang pemilik akses.. sontak memanfaatkan peluang. Lupa sudah.. kejadian gempa dirasakan bersama, sependeritaan. Kondisi ini memperkusut situasi dan kondisi karena bertambahnya masalah; friksi antar masyarakat.

Demikian luas implikasi dari sebuah kebijakan tanpa analisis mendalam. tidak penting memang, apakah status bencana tersebut masuk katagori nasional atau daerah. lebih penting dari itu semua... bagaimana pelayanan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warga terkena dampak. karena memenuhi seluruh kebutuhan dasar merupakan bagian dari HAM. selain memenuhi hak melindungi dan menyelamatkan warga dari ancaman bencana.

tulisan berikutnya akan lebih memotret, hiruk pikuk setelah lebih dari 3 tahun berjalannya rebuilding dilevel masyarakat

Thursday, July 31, 2008

NIAS; diantara hiruk pikuk rebuilding; part 1

Dipenghujung tahun 2004, sontak mata dunia terbelalak. Sebagai manusia, kita "dipaksa" untuk iba.
Dipaksa..lah kok dipaksa... apakah kejadian luar biasa itu emang tidak membuat iba? siapapun orangnya.. melihat kehancuran yang luar biasa... pasti iba dong. kenapa harus ada tanda "dipaksa". siapa yang memaksa dan siapa yang dipaksa?

Dipaksa karena kita memang dibuat untuk tidak pernah membayangkan... kejadian se-tragis itu akan terjadi di Negeri yang dikenal dengan zamrud katulistiwa. negeri gemah ripah loh jinawi. negeri yang kaya raya.. baik keragaman hayati, migas maupun mineral. belum lagi pemandangan yang memikat sehingga jutaan turis mengarah ke negeri ini. "Dipaksa" juga, karena akhir tahun umumnya merupakan saat liburan panjang akhir tahun. Sebagian orang (tentu yang memiliki harta berlebih), telah bersiap-siap dengan agenda liburannya. Di "paksa" karena pemberitaan dari pagi ampe dini hari disuguhi kerusakan maha dahsyat akibat gempa yang diikuti gelombang tsunami. Dan juga dipaksa.... karena himbauan, ajakan, atau mungkin sedikit memaksa agar kita terlibat dalam penanganan kemanusiaan terbesar di jagat ini selama 10 tahun terakhir, diluar peperangan.


Apakah dipaksa iba tersebut masih terus berlangsung? bagaimana juga dengan kejadian serupa - bencana, yang terjadi di luar Aceh dan Nias akibat gempa dan tsunami. Jogjakarta, sumatra barat, jember, banjarnegara, atau bahkan Jakarta sang ibu kota?
Aceh telah cukup terkenal sejak masa perlawanan menghadapi penjajah. heroisme rakyat aceh cukup banyak menoreh sejarah. konflik bersenjata dengan segala dinamikanya, pun menjadikan Aceh tetap konstan menjadi pembicaraan. demikian juga SDA yang dimilinya. di eksploitasi untuk memenuhi pundi2 tanah jawa.

Nias.... tidak cukup populer sebelumnya. Nias lebih dikenal sebagai pulau bertanah tandus, miskin, atau sebagai daerah terisolir. Nias hanya menempati pembicaraan pinggiran. Boleh dibilang, hanya sebagai pelengkap kalau pulau seluas 5.625 km2 bagian Indonesia. Pulau yang dihuni 700 ribu jiwa ini secara beruntun mengalami bencana goyangan gempa dengan kekuatan terbesar di dunia sejak tahun 1965 kurang dari satu tahun.

Nias dan status bencana
Nias, 26 Desember 2004 tiba2 jadi pembicaraan. Diantara luluh lantaknya pesisir Aceh. sekalipun hanya kecamatan Sirombu yang dihempas tsunami akibat gempa berkekuatan 8,9 skala richter, tapi bencana yang hebat sampai ke negeri tetangga menjadikan Nias menjadi topik pembicaraan. apalagi Nias mengalami masalah akses menuju lokasi. 122 jiwa meregang nyawa akibat gempa dan Tsunami yang menghantam Sirombu dan Mandrehe. karena bersamaan dengan kejadian di Aceh, maka status bencana pun menjadi satu paket dengan Aceh sebagai bencana Nasional.

Karena besarnya dampak yang ditimbulkan, pemerintah membetuk satu unit khusus institusi negara setingkat Menteri. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias. sebuah organ baru negara yang khusus menangani pembangunan kembali paska bencana. SBY pada 29 April 2005 mengeluarkan Keppres No 63/M/2005 dan menunjuk Kuntoro sebagai ketuanya.

Gempa dan tsunami yang maha dahsyat menempatkan pemerintah untuk memberi status bencana Nasional. tidak lebih dari satu minggu setelah JK mendeklarasikan, penanganan untuk Aceh dan Nias masuk fase rehabilitasi dan rekonstruksi, gempa susulan terjadi. gempa dengan kekuatan 8,7 skala richter mengguncang dan memporak porandakan Nias dan sebagian Aceh. 638 jiwa kembali meregang nyawa. tidak satupun bangunan di Aceh yang tidak terkena dampak. BRR mencatat, 13.000 rumah rusak total, 24.000 rumah rusak berat, dan sekitar 34.000 rumah rusak ringan. Sebanyak 12 pelabuhan dan dermaga hancur, 403 jembatan rusak dan 800 km jalan kabupaten dan 266 km jalan provinsi hancur. Sebanyak 723 sekolah dan 1.938 tempat ibadah rusak.

ajaibnya.. justru karena bencana susulan tersebut, maka status bencana nasional berubah menjadi bencana daerah. Ini atas permintaan dari Pemda Nias yang direspon dengan baik oleh Pemda Sumut. pemerintah pusat pun tidak keberatan dengan usulan tersebut. sekalipun BRR tetap meng-cover Nias sebagai wilayah kerja mereka.

bagaimana dampak kebijakan tesebut.. semoga dalam beberapa hari ini bisa disambung dalam tulisan berikutnya...

menulis... mulai lagi sebagai bagian dari transformasi

lama sekali gak ngisi Blog ini. terlalu sibukkah??? gak juga sepertinya. kalau pura2 sibuk.. sepertinya iya..
awal Juni.. merupakan awal bulan aku tidak lagi bekerja di organisasi lingkungan terbesar di Indonesia ini. Lembaga yang telah membawaku pada pelajaran hidup.. bagaimana melakukan berbagai upaya membela lingkungan dan kepentingan keberlanjutan masyarakat. pilihan untuk istirahat tidak lagi berkutat pada masalah administrasi nampaknya sudah menjadi tekadku. dengan harapan.... lebih banyak waktu untuk berpikir dan berbuat lebih kongkrit..

yach.. cukup sepertinya 14 tahun berjalan bersama organisasi ini sejak di Jogjakarta. karena kejadian tsunami di Aceh.. memaksa langkah bermukim di ibu kota. melanjutkan beberapa agenda proses pembangunan kembali di Aceh.
Namun... kejadian demi kejadian bencana sepanjang 2005 - 2008 memposisikan WALHI, khususnya divisi PRB harus berpikir keras. merubah pendekatan yang tertumpu pada advokasi pada areal kerja humanitarian. respon kedaruratan.

paska tidak lagi di WALHI.... lebih banyak mengisi training bagi organisasi yang sedang menjalankan program disaster risk reduction. Nias, tepatnya kecamatan sirombu adalah kegiatan awal memberikan training. selanjutnya di Nabire. sedangkan fasilitasi workshop dilakukan di Sumatra Utara.

ada kerinduan untuk mengisi blog ini sebagai bagian dari share... apa yang telah aku lakukan.. apa yang aku pikirkan.. atau kejengkelan2 melihat situasi dan kondisi yang ada. intinya.... bagaimana hak terlindungi dan terselamatkan warga negara dapat dipenuhi oleh Negara.

mudah2an.. bisa dilakukan... bersama tekad yang ada...

salam hangattttt...

Monday, March 31, 2008

Zalimnya Pemerintah Ini

Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar. Matanya memandang kosong ke arah jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan. Pak Jumari, demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur. "Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?" tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang seakan hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia limapuluh dua tahun ini menggeleng. "Gak ada minyaknya."

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan, katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. "Saya bingung. saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi harus jualan apa. modal gak ada.keterampilan gak punya.." Pak Jumari bercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang cekung.

"Maaf dik saya menangis, saya benar-benar bingung. mau makan apa kami kelak.., " ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana. "Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami begini ."

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang melingkar di leher. "Dik, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang ini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana, punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja. " Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh.

"Dik, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati... mungkin kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah..." Pak Jumari menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita, oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya. Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup mewah dari hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut 'anggaran negara' digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah, fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan, akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas gila lainnya. Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah!

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli betapa rakyatnya kian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah perduli. Betapa zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empuk hotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar negeri berkedok studi banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan. Di tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. "Nak, ini nasi bungkus yang engkau minta." Dia makan dengan lahap. Saya tatap dirinya dengan penuh kebahagiaan. Alhamdulillah, saya masih mampu menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri, bukan numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran negara yang sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup. Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar. Mudah-mudahan mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di mahkamah akhir kelak. Mudah-mudahan mereka masih punya nurani dan mau melihat ke bawah.

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal...

Amien Ya Allah.
Wassalam, ..

27 Mar 08 13:54 WIB
Kiriman teman
karya tulisan dari : Rizki Ridyasmara



Friday, March 07, 2008

SEWA HUTAN UNTUK DILESTARIKAN

Masyarakat Mau "Sewa Hutan"
Lokasi yang Disewa Akan Dibiarkan Utuh
Kamis, 6 Maret 2008

WIB Jakarta, Kompas - Sejak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengumumkan donasi publik untuk menyelamatkan hutan Indonesia, sambutan masyarakat di luar dugaan. Ratusan orang menyatakan komitmen untuk ”menyewa hutan” demi kelestarian. Jumlah mereka yang berminat masih terus bertambah. Masyarakat, mulai dari penjaja gorengan, ibu rumah tangga, pengacara, pelajar, aktivis LSM, artis, dosen, pengacara, hingga rohaniwan, adalah masyarakat yang memberikan komitmen itu.

Sejumlah nama, seperti artis Franky Sahilatua, agamawan Din Syamsuddin, aktivis hak asasi manusia Usman Hamid, dan pengamat politik Sukardi Rinakit, berada di antara daftar itu.
Minat menyewa hutan terus bermunculan. Kami akan mendesak pemerintah mengatur mekanismenya agar publik dapat menyewa hutan demi kelestarian,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Chalid Muhammad di Jakarta, Rabu (5/3).

Prioritasnya adalah ”menyewa” hutan lindung yang akan ditambang. Mantan menteri dukung. Pada diskusi publik seputar PP No 2/2008 di Kantor LP3ES, Jakarta, Rabu, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim juga menyerahkan uang Rp 50.000 kepada Manajer Kampanye Hutan Walhi Rully Syumanda. ”Ini simbol penolakan hutan lindung bagi pertambangan terbuka,” katanya.

Senin lalu, massa saat aksi menolak PP No 2/2008 di depan kantor Departemen Keuangan menyerahkan donasi Rp 1.614.000 kepada wakil Menteri Keuangan. Uang itu untuk ”menyewa” hutan lindung seluas 2.690 meter persegi selama dua tahun—karena pada tahun 2009 Presiden RI terpilih didesak harus mencabut PP No 2/2008 itu.

Komitmen muncul menyusul penetapan PP No 2/2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. Di sana disebutkan tarif dipatok Rp 1,2 juta-Rp 3 juta per hektar per tahun, termasuk untuk kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung.

Menteri Kehutanan MS Kaban menyebut, PP itu dimaksudkan bagi 13 perusahaan tambang. Namun, PP itu juga mengatur kompensasi pembukaan hutan lindung dan produksi bagi jalan tol, infrastruktur telekomunikasi, industri migas, dan infrastruktur energi terbarukan, serta peruntukan lain.

anda ingin terlibat dalam kampanye dan advokasi menyelamatkan hutan dari kehancuran??? click link dibawah ini ;
http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/080228_ppdua_duaribulapan_li/

”PP itu memanipulasi hukum,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi. Dalam PP juga tidak tegas disebutkan 13 perusahaan tersebut. ”Ini bukan soal tarif, tetapi hutan yang sudah rusak harus dipulihkan,” ujarnya.

Cabut sukarela
Pemerhati hukum lingkungan Mas Achmad Santosa menyebutkan, proses keluarnya PP No 2/2008 tidak memenuhi asas peraturan perundang-undangan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di antaranya, melanggar asas keterbukaan, kejelasan rumusan, dan kedayagunaan.

”Secara sukarela, pemerintah sebaiknya mencabutnya. Tak perlu lewat gugatan hukum,” katanya. Seperti diakui pemerintah, PP ini merupakan hasil negosiasi sejumlah departemen dengan pengusaha.

Rully Syumanda dari Walhi mengatakan, pihaknya akan terus menggalang dukungan publik untuk melindungi hutan dari ancaman kerusakan dengan meminta uji materi.

Terapkan standardisasi
Menanggapi silang pendapat tentang pemanfaatan hutan lindung untuk pertambangan, Bambang Setiadi, Kepala Badan Standarisasi Nasional, menegaskan perlu penerapan standardisasi hutan dan neraca sumber daya hutan. Menurut Bambang, ada standar yang dapat diadopsi untuk diterapkan di Indonesia.

Perhitungan nilai guna secara tidak langsung hutan konservasi yang dilakukan Nugroho dari Institut Pertanian Bogor tahun 2003 menunjukkan, untuk area seluas 158.000 hektar nilai ekonomis yang dapat diraih mencapai lebih dari Rp 33,5 triliun.

Komponen jasa ekosistem hutan yang memberi nilai ekonomi meliputi keteraturan iklim atau cuaca, suplai air, pengendalian erosi, penyusunan formasi tanah, siklus nutrien, pengelolaan limbah, produksi makanan, sumber bahan baku dan genetik, sebagai obyek budaya dan wisata. Juga harus dilihat jumlah penduduk yang bergantung pada keberadaan hutan yang lestari. (GSA/YUN)

Thursday, January 10, 2008

SHOOT TO SAVE COSTAL AREA

WANTED..!!!! 
andakah orang yang kami cari?
- suka akan tantangan
- berjiwa seni
- peduli lingkungan dan kehidupan


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebuah organisasi lingkungan hidup mengundang anda sekalian untuk melakukan aksi nyata... SAVE OUR COSTAL WITH YOUR CAMERA.. 

Bergabunglah bersama kami…
SHOOT TO SAVE OUR COSTAL !!!
Buktikan anda adalah orang yang peduli lingkungan dan keberlanjutan kehidupan..

Sebuah event yang menggabungkan modeling, human interest dan landscape
10 model akan menyatu dengan kondisi riil pesisir utara Jakarta..
Event menantang hanya untuk Photographer kreatif dan inovatif serta menyukai tantangan baru..
Event yang menuangkan rasa peduli terhadap kehidupan bertabat dan kelestarian lingkungan tidak berhenti hanya pada keinginan atau omongan.. 
tapi aksi kongkrit!!!!

Sifat even
1. terbuka untuk umum
2. peserta dibatasi hanya 100 orang photographer

Waktu dan tempat
Marunda, 16 Februari 2008; 12.00 – selesai

Methode pemotretan :
1. Modeling
2. Human interest
3. Landscape
4. Journalism

Ketentuan sebagai peserta :
1. Peserta adalah individu yang telah terdaftar sebagai peserta;
- mengisi form pendaftaran.
(form pendaftaran akan dikirim melalui email dan dikembalikan kepada panitia)
2. Membayar biaya akomodasi sebesar Rp. 100.000,-
(biaya tersebut akan dikembalikan kepada peserta berupa T-shirt, makan siang, matrial kampanye. Sisanya akan menjadi kontribusi peserta untuk penanaman dan pengelolaan mangrove di pesisir utara jakarta)
3. Menyumbang foto hasil pemotretan untuk kepentingan kampanye lingkungan hidup WALHI sebanyak 3 foto; a) landscape, b) model-human interest, c) journalism
(hak cipta foto tetap melekat pada photographer. Jika akan digunakan untuk kepentingan kampanye, WALHI akan menghubungi pemilik foto). Panitia akan menyediakan komputer untuk mengkopi foto sumbangan peserta.

KETENTUAN PEMOTRETAN

Pemotretan akan dibagi dalam 3 session;
1. Modeling
2. Modeling-Human Interest
3. Landscape and Journalism

1. Modeling;
Untuk pemotretan modeling, akan disediakan 5 model. Tempat yang akan digunakan adalah rumah legendaris pitung dan lingkungan pesisir.
Photographer dalam sesi ini dapat mengarahkan model untuk pose-pose yang diinginkan sepanjang tidak melanggar etika ketimuran.
Peserta akan dibagi dalam kelompok. Pemotretan dibatasi oleh waktu yang telah ditentukan.

2. Modeling - Human interest
Sesi ini, akan disediakan 5 model. tempat yang akan digunakan sebagai lokasi pemotretan adalah rumah penduduk, pantai marunda dan muara BKT (banjir kanal timur).
Untuk sesi ini, model akan memerankan sebagai penduduk lokal, baik sebagai perempuan nelayan, maupun gadis-gadis desa khas pesisir. Photographer tidak dapat mengarahkan model untuk ber-pose. Untuk sesi ini, photographer dituntut kecepatan, kecermatan dan tentu keberuntungan mengambil angle-angle yang baik. demikian juga dengan lighting alami.
peserta akan dibagi kedalam kelompok dan dibatasi oleh waktu untuk masing-masing model

3. Human interest dan Journalism
Peserta diberi kebebasan untuk mengambil objek yang ada dilokasi pemotretan. kerusakan lingkungan, kondisi dan kehidupan yang kontras, pencemaran, maupun kehidupan masyarakat disana. tidak ada batasan waktu untuk pemotretan ini.

Kontak person :
Sofyan : 0811 18 3760
Samsul Bahari : 0813 1509 9664
Didik WALHI Jakarta : 0813 1491 9254

AGENDA LAIN
selain pemotretan, ada serangkaian kegiatan yang dilakukan secara bersamaan.
1. lomba lukis untuk anak setempat
2. panggung hiburan
3. penanaman mangrove