Saturday, August 09, 2008

DISASTER RISK REDUCTION

antara bangga dan sedih


Paska gempa yang diikuti gelombang tsunami di sepanjang pesisir barat Aceh Barat - Utara, boleh dibilang, penghuni bumi dipaksa untuk refleksi diri. Paska mega bencana yang diciptakan itu juga, pengetahuan dan skill bencana menjadi kebutuhan yang amat sangat. Kebutuhan banyaknya SDA untuk diterjunkan ke Aceh dan Nias, memaksa tidak sedikit lembaga (milik pemerintah, swasta maupun NGO's) menurunkan seluruh sumberdayanya. tidak cukup... dibukalah tenaga sukarelawan.
wal hasil... Aceh kebenjiran orang luar dar beragam suku, agama, ras dll. sebuah pemandangan yang tak lazim sebelumnya. Karena Aceh cukup tertutup dengan konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun.

Munculnya beribu manusia ke Aceh menjadi keunikan tersendiri. satu sisi, mendorong situasi aceh lebih kondusif, tapi sisi yang lain, tentu memunculkan problema. tidak tahu apa yang harus dilakukan, merupakan kelaziman yang ada dari sekian masalah tersebut. Demikian juga dengan kurangnya tempat tinggal menyebabkan harga sewa rumah diatas batas normal yang bisa ditolerir logika. tapi bagaimana pun... hukum pasar selalu berlaku. apalagi ketika pemerintah tidak mampu mengatur kondisi tersebut.

kejadian bencana, sepertinya tak berhenti.. kejadian demi kejadian besar antri. gempa susulan yang hanya berselang 3 bulan, banjir bandang di aceh tenggara, Banjir bandang di Jember, longsor di Banjarnegara adalah kejadian beruntun yang terjadi dalam 12 bulan paska tsunami. rentetan kejadian bencana bak antri minyak tanah seperti itu, sebetulnya selalu terjadi di bumi ini. dari tahun ke tahun. Namun menjadi perhatian tersendiri ketika mega bencana memincu hampir seluruh penduduk bumi untuk berkaca diri dan menembatkan ancaman bencana sebagai ancaman kehidupan.


Telah lebih dari tiga tahun kejadian tersebut berlangsung. hiruk pikuk problem mengiringi proses rehab rekon yang di claim sangat berhasil oleh sang Ketua BRR. Claim keberhasilan pun di amini para pemimpin negeri ini, termasuk pemberi dana. Menutup mata dan telinga keluh kesah warga dan pemberitaan berjuta masalah di lapangan.

Lepas dari hiruk pikuk pembangunan kembali paska bencana, isu pengurangan risiko bencana menjadi begitu populer. Kondisi ini tentu sangat baik. Karena sebelumnya, dilirik pun tidak. Sekejap menjadi perhatian jika ada kejadian bencana. Setelah saling tuding, saling caci, dan ditutup dengan prioritas menangani korban bencana... pembicaraan pun hilang. tertutup oleh kejadian2 lain yang lebih menarik. entah itu kontra versi pernyataan para elit atau sekedar ulah selibritis yang beratem dng produsernya,

Hal yang sangat menggembirakan adalah respon yang begitu cepat dari sekelompok orang yang selalu mengatasnamakan rakyat- sekelompok orang yang berkantor dikelilingi pagar nan tinggi dengan pengamanan eksta ketat. Dengan semangat tinggi, berniat menggunakan hak nya sebagai legislator mengusulkan undang-undang. wow... sebuah kejadian langka setelah negeri ini mendapatkan status kemerdekaannya dari kolonial Belanda.apalagi dengan target yang cepat.. 6 bulan. fantastis
tentu ini amat sangat baik, karena sebelumnya, sampai dengan suara parau segelintir orang yg konsisten bekerja untuk management bencana mendorong hal tersebut. Bak dpt durian runtuh... begitu lah kira2. cuma tragisnya.. durian itu baru jatuh setelah 200 ribu orang menjadi korban ganasnya gelombang tsunami.

Seiring naiknya isu reduksi risiko bencana, tentu kebutuhan akan orang atau lembaga yang mengerjakan isu tsb menjadi besar. apalagi setelah secara terang benderang, beberapa lembaga donor mendeklarasikan membuka program pengurangan risiko bencana. semakin terbuka lebar lah peluang untuk hijrah menangani isu tersebut. tidak hanya pada response kejadian bencana... tapi lebih jauh lagi. embel-ember community base pun menjadi barang nan laris.

Beberapa kejadian bencana terus antri. Jogjakarta, sebagai gudangnya orang pinter pun remuk oleh goyangan bumi. Kembali.. 7000 korban menjadi tumbal. semakin banyak lagi kebutuhan orang untuk menangani kebencanaan ini. Isu pengurangan risiko pun menjadi lebih kenceng.sekencang isu penanganan pembangunan kembali paska bencana. Apalagi ditambah dengan ancaman dari perubahan iklim. semakin seru lah dunia kebencanaan menjadi lahan.

Proses alamiah pun berjalan lebih cepat. kebutuhan yang besar akan sumberdaya manusia yang mengerjakan ruang kosong pun harus diisi. tak bisa dicegah. munculah pemain-pemain baru di dunia persilatan pengelolaan risiko bencana. sebuah keberhasilan tentunya.. setelah berpuluh-puluh tahun sebelumnya hanya segelintir orang saja yang bermain pada isu pengelolaan risiko bencana. istilah dia lagi.. dia lagi.. telah masuk kotak besi dan terkunci rapat. pemain-pemain baru telah bermunculan.. merata hampir di seluruh penjuru mata angin.

Jika dilihat dari kaca mata project.. tentu ini sebuah keberhasilan luar biasa. apalagi.. pemerintah pun merespon cukup baik. buktinya.. (sekalipun telat banget dari terget yang dulu ditetapkan), kebijakan PB telah menjadi sandaran hukum negeri ini. demikian juga badan yang mengurusi bencana. Bahkan beberapa daerah telah mengesahkan perda, rencana aksi daerah, bahkan telah menganggarkan dana bencana dalam APBD nya. dari sisi orang atau kelompok pun... telah cukup dijadikan tolok ukur keberhasilan atas kepopuleran isu DRM tsb. Juga dari disiplin ilmu.. wuihhh.. hampir semua bidang ilmu telah mengkaitkan DRM sebagai mainstreaming. kurang apa lagi?????

Sukses besar kah... May Be Yes.. May Be No.. begitu kira2. Karena ada hal yang cukup membuat miris seiring meningkatnya isu dan respon atas PRB. Lihat lah turunan UU PB berupa Peraturan pemerintah atau Kepres. Lihat juga beberapa aturan teknis dalam penanganan bencana yang dibuat.. atau lihat lah hasil kerja pembangunan kembali atau bahkan kerja-kerja tanggap darurat yang dilakukan? lebih baik kah??? atau....
Lihat juga dominasi para pelaku PRB? kok..... lihat juga hasilnya????
dan yang lebih menyedihkan lagi... hasil-hasil kerja yang mereka lakukan menggunakan stempel community base alias BERBASIS MASYARAKAT. salah kah?????

Tidak ada yang salah... ini bagian dari proses bung. jangan sirik... kasih kesempatan. atau.. kenapa anda tidak terlibat???
Ya begitulah kira2 jawaban-jawaban atas pertanyaan kritis yang terlontar atas perkembangan yang ada.
Namun cukup kah perdebatan tersebut menjadi jalan mendapatkan solusi cerdas atas penyimpangan-penyimpangan yang ada????
Penyimpangan??? begitu sadis kah sehingga kondisi yang ada dikatagorikan sebagai bentuk penyimpangan.

Jika melihat dari implikasi yang dihasilkan yang begitu besar bagi kehidupan warga... mengapa takut menyebut hal tersebut sebagai bentuk penyimpangan? Penyusunan kebijakan misalnya. bisa dibayangkan... bagaimana implikasinya? atau bentuk-bentuk lain yang mempengaruhi hajat orang banyak...
Keresahan ini tidak lepas karena munculnya banyak produk dengan atas nama masyarakat sipil. atas nama communty base.
sehingga keterlibatan justru menjustifikasi... kebijakan itu sendiri yang sebetulnya secara langsung atau tidak langsung berkontribusi melemahkan posisi warga.

akhhhhhhh...... terlalu sulit agaknya menuliskan kegelisahan berkaitan dengan ini...
lebih enak diskusi secara oral.... mengeluarkan berbagai argument.. contoh2 kasus dll tentang itu semua..

Niat baik... belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik.. jika tidak disertai dengan jalan yang baik.







No comments: