Panik.. koordinasi kacau.. komunikasi semrawut.. overlapping pekerjaan dll..
itu lah "gambar" yang disajikan setiap terjadi bencana cukup besar di Republik Bencana ini.. Lalu.. para pejabat pun berlomba cepat buat pernyataan.. bak valentio rossi membesut Yamaha-nya. Kadang otak warasnya gak terpakai... sehingga pernyataannya justru menyebabkan "sakit hati" atau mebuat "drop" warga lain yang juga sama sedang mengalami penderitaan akibat bencana. Sebuah akibat ketidak mampuan "mereka" menjalankan mandat sebagai pemimpin Negeri ini untuk melindungi warganya dari berbagai ancman bencana.
Sudah lebih dari cukup pembelajaran bisa dipetik, dari yang super the most of disasters.. seperti gempa dan tsunami di Aceh (2004), gempa Jogja-Klaten (2006), Nabire (2008).. Banjir; di Aceh (2006), Jawa Tengah (2007), sampai yang menenggelamkan 80% Ibu Kota tercinta (2007) ini. erupsi gunung api pun menyambangi negeri ini. selain konflik sosial dan wabah..
tapi.. kenapa kita masih juga lebih dari seekor kledei dungu.. yang bangga dan melakoni dengan tulus melakoni kebodohan itu????
Terasa tertimpa durian montong rasanya ketika melihat berita di stasiun swasta tentang kejadian gempa bertepatan dengan peringatan tragedi 30 September. Gempa berkekuatan 7,3 SR mengguncang Sumatra Barat. uedan tenan... (harusnya sih mengucap istigfar yaaa). Bagi yg pernah menikmati goyangan bumi.. pasti bisa membayangkan.. betapa dahsyatnya Lindu yang berpusat di kedalaman 71 Km dan 57 Km barat daya Pariaman. Gempa yang terjadi pada pukul 17.16.09 wib, disusul dengan gempa berkekuatan 6,2 SR yang berpusat di kedalaman 110 km, 22 Km barat daya Pariaman. Hari kesaktian Pancasila pun dimeriahkan Gempa di Proponsi tetangga Sumbar; Jambi berkekuatan 7 SR. Rakyat kembali dipaksa berduka... ratusan jiwa kembali menambah angka2 jumlah korban meninggal akibat bencana..
"Orang terlemah dalam komunitas, pun memiliki kemampuan (keterampilan, sumberdaya, kekuatan dan ketrampilan) untuk menolong dirinya sendiri dan orang lain".
Itu harus diyakini oleh kita semua dalam kontek apapun, termasuk dalam penanganan bencana. Ini merupakan sebuah "warning", jangan sampai terjadi, "niat baik untuk membantu warga terkena dampak bencana menjadi bumerang bagi mereka. mematikan kreatifitas, insiatif, semangat dan sejenisnya untuk segera bangkit melanjutkan kehidupan".
Realitas yang lain... sumberdaya dari luar yang terbatas tidak akan pernah cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan warga terkena bencana. apalagi jika dikaitkan dengan standar minimum penanganan pengungsi seperti tertuang dalam SPHERE project.
Untuk itu, siapapun, lembaga manapun.. termasuk pemerintah seharusnya memahami prinsip-prinsip penanganan bencana yang memberdayakan.
Belajar dari Jogja dan Banjir Bengawan Solo
Gempa berkekuatan 5,9 SR yang mengguncang Jogja-Klaten, yang dianggap lebih kecil dampaknya dibandingkan Sumbar saat ini oleh para pemimpin negeri ini.. menelan 7.000 jiwa dan ribuan rumah rata dengan tanah. Minggu kelabu tersebut, menyisakan kepedihan sampai saat ini.
Sepuluh hari paska bencana, warga telah didorong secara swadaya membersihkan puing-puing rerentuhan bangunan. Memilah bahan bangunan yang masih bisa digunakan dan menggunakan sumberdaya yang dimiliki untuk memulai proses pemulihan. Dorongan WALHI Jogja dan LSM lokal yang sebelumnya menolak program "cash for work" diterapkan di Jogja melihat pengalaman buruk di Aceh, mendapatkan respon luar biasa dari daerah lain disekitar jogja dan Klaten untuk bergerak.
Gerakan solidaritas sosial diawali beberapa penyediaan alat2 bangunan oleh WALHI Jogja dan beberapa LSM lokal, relawan lereng Merapi berbekal cangkul, skop, martil dan alat bangunan, serta pesantren Nurul Ummah Kota gede yang menggerakan santrinya, mampu mendorong berbagai komunitas lain untuk ikut terlibat. Ratusan truck masuk ke wilayah2 bencana dipenuhi warga bersenjata perlengkapan bangunan. tidak lupa, mereka membawa bekal selama mereka menjadi volunteer.
Pemandangan yang mengharukan tentunya.. disela kesedihan yang mendalam hilangnya harta benda karena gempa, kedatangan warga yang sebelumnya mereka tidak kenal memicu semangat warga terkena bencana untuk bangkit. bersama-sama membersihkan puing2 bangunan, memilah bahan bangunan yang masih dpt digunakan, sekaligus membangun tempat bernaung sementara yang layak. setelah beberapa hari, mereka terpuruk dlm kesedihan dan harapan kosong menunggu bantuan dari luar.
Proses pemulihan Jogja dianggap sukses. Mobilisasi sumberdaya lokal yang dipadu dengan terbangunnya relasi sosial terbukti mampu mempercepat proses pemulihan.
Lain cerita relasi yang di lakukan saat terjadi benjir besar Bengawan solo, 2007 lalu. Relasi sosial yang dibangun dengan cara memobilasi sumberdaya tetangga kampung yang tidak terkena banjir. Komunitas yang sebelumnya kurang percaya diri dapat membantu saudaranya denga sumberdaya mereka, mampu dibangkitkan solidaritasnya. barbagai makanan pun mampu mereka siapkan bagi warga tetangganya yang kesulitan makanan. Penuturan warga yang secara suka rela berbagi makanan tidak merasa berat, karena mereka memasak sekaligus untuk kebutuhan rumah tangganya. yang dibutuhkan hanyalah mekanisme pengumpulan yang dilakukan bersama-sama, antara penduduk terkena bencana dan yang tidak. Hubungan sosial ini terus terbangun sampai banjir surut dan memulai bercocok tanam. warga dengan suka rela meminjamkan benih, pupuk, bahkan alat-alat pertanian.
Penanganan bencana Sumbar, kemana akan diarahkan?
hiruk pikuk penanganan bencana daerah2 terkena bencana di Sumbar masih terjadi. Berbagai kebutuhan terus dipublikan, dari mulai mie instans, air mineral, sampai tenda untuk tempat tinggal sementara. Belum satu daerah terpenuhi, muncul daerah lain yang mulai terbuka akses dan informasinya masih belum mendapatkan bantuan apapun. sementara, barang-barang bantuan untuk warga terkena bencana menumpuk di tempat2 penampungan bantuan. di pemda, bandara, pelabuhan atau post penanganan bencana. persoalan klasik kembali mengemuka.. kesulitan transportasi, dari mulai jalan tidak bisa ditembus kendaraan, sampai langkanya BBM dan kendaraan angkutan.
Belum lagi perdebatan valid atau tidaknya data yang munculkan..
Warga seperti di setting untuk terus menunggu dan berharap. wawancara yang dilakukan pun seolah diarahkan untuk mengatakan, butuh bantuan, dan bantuan belum sampai ditangan mereka. lembaga2 kemanusiaan pun seolah berlomba untuk menembus daerah2 yang belum terakses bantuan. untuk menjadi yang pertama mencapai lokasi. tidak hanya lembaga kemanusiaan yang berlomba untuk menjadi yang pertama, tapi juga media massa..
Demikian heroiknya menjadi yang pertama. sama persis Sir Edmun hillary menjadi yang perama menjajakan kaki di puncak Everest. atau Nail Amstrong sebagai yang pertama menjajakan kaki di Bulan. setelah mereka menjadi yang pertama, lalu? apakah warga terkena bencana yang ditemui pertama tersebut selesai masalahnya????
disisi lain, selain kegembiraan yang didapat warga karena ada orang luar yang menemui mereka, mengambil gambar mereka, mengambil pernyataan atau wawancara, atau bantuan yang diberikan (terlepas mencukupi atau tidak), adalah penderitaan baru bagi warga. karena setelah itu, akan datang beruntun tim penjajakan kebutuhan untuk menanyakan hal yang sama.. berulang-ulang. berapa jumlah meninggal, berapa yang terluka, berapa rumah yang rata tanah, rusak berat dan ringan. berapa jumlah penduduk, berapa anak2, balita, laki-laki, perempuan dll. sementara, semua kebutuhan yang warga sampaikan, entah kapan dapat dipenuhi.
Apakah warga tidak akan mampu bertahan hidup tanpa bantuan dari luar????
Jika warga tinggal digurun pasir nan tadus bak gurun sahara, tujuh hari akan menjadi neraka bagi mereka. air bersih tidak tersedia, makanan langka dan iklim yang tidak bersahabat dpt mencabut sisa2 kehidupan disana.
tapi disini bukan lah gurun sahara atau kutub utara. bukan juga kutub selatan dengan iklim yang sangat ekstrem. tidak juga terlalu sulit mendapatkan air bersih dan makanan. Juga terdapat tetangga kampung yang mungkin tidak terkena dampak buruk, sekalipun jaraknya mungkin puluhan kilo. artinya, masih terdapat sumberdaya untuk dapat mempertahankan hidup mereka. tinggal, bagaimana memobilisasi dan mengelola sumberdaya yang ada untuk bisa memenihi kebutuhan dasar sesuai dengan standar minimum.
rasanya, tidak terlalu urgent tenda jika masih ada bambu dan rumbia. tidak sangat dibutuhan air meneral kemasan, jika masih tersedia mata air dan sumberair bersih disana. tidak terlalu butuh mie instan dan makanan siap saji jika masih terdapat makanan, baik berupa umbi-umbian, pisang, jagung maupun sumber karbohidrat lain. tapi menjadi sangat penting adalah barang2 yang dapat memaksimalkan sumberdaya yang ada. alat2 bangunan, tempat penampungan air bersih (ember, drigen dll), perlengkapan penunjang kesehatan (sabun, sikat gigi, pasta gigi), bahan bakar, paku, tenaga medis (termasuk tenaga yang mampu menangani trauma), pengrajin bambu, tenaga pendidikan dll.
Untuk itu, kita dapatlah memperkirakan, apa skill yang dibutuhkan sebagai tenaga sukarelawan atau lembaga yang akan menangani bencana ini?
assessment memang penting... menyediakan dan mendistribusikan kebutuhan dasar pengungsi juga penting..
tapi.....
pikirkan....
jangan semua yang kita lakukan dengan niat baik... menjadi bumerang bagi warga terkena bencana... dalam jangka pendek.. menengah dan jangka panjang..
No comments:
Post a Comment