Tuesday, February 17, 2009

MAINSTREAMING DISASTER RISK REDUCTION INTO SPATIAL PLANNING

Keren buangettttt judulnya. lebih tepatnya.. Mengerikan. Udah pake engris... topiknya juga sangar. Hanya expert ruar biasa yang sanggup "sepertinya" yang bisa nyusun topik ini.. apakah ini berarti tulisan sederhana ini sebagai media proklamasi "sang penulis" sebagai expert??? tent tidak... karena sebagai "anak kemarin sore", hobbinya kan caper alias cari perhatian... gitu lah kira2 salah satu niat tersembunyi dari tulisan ini. mudah2an, jadi renungan kita bersama untuk penyusunan tata ruang di mana pun dan kapan pun.

Penataan ruang adalah sebuah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (ps 1 (5) UU No 26/2007). Gunanya menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. begitu penting fungsi penataan ruang, tidak salah kalau banyak para "orang pinter" mempelajarinya dengan sungguh2. Ini tidak lepas dari peluang yang diberikan tujuan dan fungsi dari tata ruang.


Buat orang yang separo otaknya berisi materi, tata ruang adalah peluang bisnis yang menggiurkan. tidak hanya peluang untuk terlibat menyusun, tapi juga peluang-peluang lain dalam pemanfaatan ruang itu sendiri. misalnya menjadi spekulan tanah, investasi dll. Buat si penyusun tata ruang, kewajiban daerah untuk menyusun tata ruang adalah peluang bisnis sambilan yang menjanjikan. karena tidak kurang dari setengah milyar akan dikelola sebagai imbal jasa dalam penyusunan tata ruang per kabupaten/propinsi.

Tata Ruang dan Ancaman Bencana
Jauh sebelum tsunami menyapu sepanjang pantai barat - utara negari serambi mekah, daerah rawan bencana telah menjadi perhatian dalam penataan ruang. Daerah-daerah rawan bencana seperti longsor, banjir atau erupsi gunung api ditetapkan sebagai daerah pengembangan terbatas. atau bahkan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Penetapan kawasan ini semakin kuat dengan kejadian bencana yang lebih mendapatkan pertatian setelah akhir Desember 2004. bagaimana tidak, lebih dari 300 ribu jiwa menjadi korban ganasnya gelombang tsunami yang sebelumnya diguncang oleh gempa berkekuatan besar, 8,9 SR. tiga bulan berikutnya, kembali gemba menggoyang yang merontokan Nias dan kepulauan Simeulue.

Karena perhatian menjadi lebih atas kejadian bencana, seolah negeri ini tak kunjung berhanti menghadapi kejadian bencana. kejadian-kejadian tersebut seolah mengantri menunggu giliran. dari mulai banjir bandang, banjir genangan, angin puting beliang, erupsi gunung api, maupun yang telah menjadi teror sebagian warga negeri ini; gempa dan tsunami. Belum lagi wabah dan mal nutrisi alias kelaparan. Konflik sosialpun menyeruang diantara bencana yang picu olah Alam. dan Bencana akibat gagalnya teknologi skala besar, melengkapi kejadian-kejadian bencana menjadi sepurna.

dari kejadian-kejadian, entah dipicu oleh kejadian alam atau manusia, tata ruang menempati posisi strategis. kesalahan menyusun atau menterjemahkan dokumen/kebijakan tata ruang berakibat sangat fatal. investasi bertahun2 musnah dalam hitungan detik atau menit. anggaran negara tersedot luar biasa sebagai respon atas kejadian bencana. belum lagi kerusakan atau kehilangan aset milik warga dan pihak swasta. begitu besar kerugian yang diderta akibat dari kejadian bencana...
lalu dimana letak pembelajarannya? apakah telah menjadi lesson learn bagi semua pihak. buat pemerintah, rakyat, swasta. lebih spesifik lagi, apakah juga telah menjadi pelajaran berharga bagi pihak-pihak penyusun tata ruang?

Tata ruang dan proses penyusunan
Pemda berkewajiban memiliki tata ruang merupakan sebuah kewajiban dari daerah untuk

Telah menjadi rahasia umum, penyusunan tata ruang selalu diwarnai polemik. dari mulai ketidak transparan dalam proses penyusunannya, tidak partisipatif, atau yang lebih menjijikan... cukup copy paste dari yang telah ada. celakanya... kerap ditemukan, copy paste yang "jorok". Nama daerah di propinsi/kabupaten lain muncul pada daerah yang sedang disusun tata ruangnya. ajaibnya.. konsultan penyusun tata ruang merasa "aman damai" tanpa ada rasa salah sedikitpun.

Tidak transparannya penyusunan tata ruang lebih disebabkan alasan waktu dan biaya. banyaknya masukan atau kritikan, tentu akan menambah waktu yang berimplikasi pada biaya. Menutup akses proses penyusunan adalah jalan yang dipilih kebanyakan konsultan selama proses penyusunan. Jangan aneh, jika warga yang berminat atas proses penyusunan tata ruang kesulitan mengakses telah sejauh mana proses penyusunan, apalagi dokumentnya. Konsultasi publik yang menjadi bagian proses pun kerap di persempit maknanya lewat keterwakilan.

Alasan pembenar para konsultan adalah; mereka di kotrak oleh Pemda. sehingga tanggung jawabnya tentu hanya sama Pemda. sebagaimana layaknya sebuah bisnis tentunya. dan mereka akan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah, terserah pemerintah mau apakan hasil mereka. termasuk tidak terpakai...

Mereka lupa, diluar urusan bisnis, mereka sedang menentukan masa depan hidup dan kehidupan jutaan warga negara.
Konsultan tata ruang yang umumnya para akademisi dengan sederet gelar, pun lupa, ada yang mengikat mereka melalui tri darma perguruan tinggi. juga sumpah jabatan dll.
Namun, otak matrialistis telah menutup aturan maen dan tanggung jawab sebagai warga negara, sebagai manusia dan sebagai hamba dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Penataan ruang diselanggarakan dengan memberhatikan ; kondisi fisik negara kesatuan RI yang rentan terhadap bencana.. (ps 6 (1) point a). Menjadi menarik, perspektif bencana menjadi pertimbangan atas pembuatan undang-undang ini. artinya, saat penyusunan, telah disadari tingginya tingkat kerentanan benacana di negeri kepulauan ini.

Namun sayangnya.. ancaman bencana yang dimaksud hanya dibatasi pada bencana alam. tidak untuk bencana non alam. Padahal.. pemicu bencana non alam atau penggabungan antara alam dan non alam sebagai pemicu bencana.. tidak kalau besar. Bahkan kalau mau jujur, kejadian bencana akibat dari non alam jauh lebih besar.

Kembali ke proses penyusunan tata ruang, kerentanan bencana agaknya belum ditempatkan sebagai pertimbangan khusus. dari beberapa tata ruang yang ada, penanggulangan bencana yang juga dimandatkan dalam UU No 24/2007 hanya "diselipkan" sekedar memenuhi kewajiban. Jika pemerhati PRB tidak ikut terlibat atau kurang jeli, bisa dipastikan... rencana tata ruang sebuah wilayah akan melenggang mulus menjadi kebijakan.

Terlewatkannya PRB dalam RTRW, tentu tidak lepas dari kapasias sang penyusun dalam memahami PRB. selain faktor "malas" memeras otak atawa sekedar berdiskusi dengan para penggiat PRB. Hampir tidak pernah ada kabar, penggiat PRB yang saya kenal bercerita diajak diskusi dengan para konsultan RTRW. Cerita yang ada, ketika mereka ingin melibatkan diri pun, mereka kesulitan. sekalipun mereka berkawan karena satu kampus...

PRB dalam Rencana Tata Ruang
Harus diakui, belum cukup mainstreaming PRB dalam UU penataan ruang. PRB dalam UU No 26/07 baru ditempatkan sebagai ancaman dari alam. UU tersebut juga terlalu gegabah dengan menyatakan "cukup jelas" dalam penjelasan pasal. Kondisi berimplikasi pada pasal turunan, juga pelaksanaan penyusunan RTRW dilapangan.

Aceh, Jogja dan Sumatra Barat serta Papua adalah contoh tragis. wilayahnya yang telah diporak porandakan oleh bencana, ternyata tidak menunjukan "penyesalan" salah urus wilayah. Rencana Tata ruang tentu salah satu biang atas bahaya yang terjadi berubah menjadi bencana maha dahsyat. tidak terpetakannya kawasan rawan bencana secara spesifik, menyebabkan pemanfaatan ruang tidak disesuaikan dengan kondisi ancaman. tidak ada upaya maksimal sebagai bentuk reduksi risiko bencana. sampai terjadinya kejadian luar biasa dengan mengorbankan jiwa, harta, mata pencaharian, fasilitas publik maupun lingkungan.

kejadian bencana yang luar biasa, seharusnya menempatkan pemerintah daerah menjadi belajar. apa yang mereka abaikan, telah menyebabkan malapetaka. pengembangan kawasan pada kawasan rawan bencana (kota) secara otomatis mendorong pertumbuhan ekonomi. tidak dilakukan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Bahkan informasi jika kawasannya rawan bencana pun tidak terdengar. Jika ditengok lebih jauh... dalam tata ruang yang ada, yang dibuat para cerdik pandai perguruan tinggi nan terkenal, tidak menyebutkan kawasan pesisir barat - utara aceh sebagai kawasan rawan bencana gempa dan tsunami. pada sepanjang bantul-klaten merupakan kawasan rawan gempa. juga wilayah padang..

RTRW sebagai acuan dasar arah pembangunan dan peruntukan ruang juga menjadi dasar keluarnya perijinan, termasuk ijin mendirikan bangunan (IMB). ketika dalam tata ruang tidak memasukan kerentanan yang ada, maka tidak ada halangan instansi pemda memberikan ijin pada siapaun. tidak ada catatan khusus.. karena daerahnya dianggap aman. Lebih celaka lagi, yang dilakukan Pemda Bantul. Kawasan rawan bencana yang ditetapkan sebagai kawasan lindung, dirubah menjadi kawasan industri. kawasan lindung yang melekat pada kawasan rentan bencana dihilangkan melalui amandemen Perda. kelambanan investastor mengisi tawaran Pemda Bantul, sedikit menyelamatkan investasi ketika gempa berkekuatan 5,9 sr memporak porandakan bantul, termasuk kecamatan piyungan yang telah berubah status menjadi kawasan industri (kawasan strategis Kabupaten).

Saat ini, akibat dari terjadinya bencana besar, UU mengamanatkan untuk menyusun ulang rencana tata ruang.
"Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala
besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan
batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun" (ps 20 ayat 5. Pasal serupa berulang berlaku di tingkat Provinsi dan Kabupaten.

Karena ada pemicu, apakah RTRW yang disusun ulang telah menempatkan ancaman bencana sebagai ruh dari tata ruang yang dibuat? apakah konsultan yang mendapatkan mandat penyusunan, dengan kesadaran tinggi pun menempatkan mandat tersebut diatas mandat administrasi dan ekonomi? apakah juga tidak ada pesanan khusus dari Pemda, untuk tetap ngotot menjual aset-aset alam demi PAD?

Kajadian bencana skala besar seharusnya ditempatkan sebagai satu refleksi atas kejadian-kejadian bencana lainnya. besar atau kecil sebuah kejadian bencana, tetap merupakan bencana. yang menyengsarakan warga negara, merusak lingkungan dan tentu akan menguras anggaran negara. selain gempa dan tsunami di aceh, telah nyata terjadi kejadian banjir bandang, lognsor, wabah, kegagalan teknologi, konflik satwa. Bahkan kejadian banjir tahun 2007 di aceh tengah, aceh utara, sigli, pidie dan lhoksuemawe menyebabkan ratusan ribu warga negara mengungsi. artinya, bencana banjir tersebut masuk katagori sangat besar.

Ancaman bencana lain selain gempa dan tsunami tentu harus menjadi perhatian dalam penyusunan RTRW. Namun apa yang terjadi. dari draft yang disusun melalui BRR (tentu ada konsultan dari perusahaan yang orangnya diambil dari perguran tinggi) sangat dangkal. Bahkan pada proses pembangunan kembali di tapak bencana gempa dan tsunami sendiri. RTRW sebagai media pengurangan risiko bencana sama sekali tidak muncul. Bencana hanya dipahami sebuah kejadian alam yang merusak dan membunuh.

Tidak berbeda dengan daerah lain. Jogjakarta sebagai kota pelajar pun melakukan hal yang sama. gempa, tsunami, eruspi gunungapi, banjir, longsor maupun angin ribut serta wabah tidak ditempatkan sebagai ancaman bencana yang harus diminimalisasi risiko melalui rencana tata ruang.

Dari proses penyusunan RTRW, khususnya pada kawasan yang telah mengalami dahsyatnya bencana hampir semuanya dilakukan secara tertutup. Publik dihadapkan setelah dokument RTRW selesai dan mulai dibahas di DPRD. Bisa ditebak... pembahasan ditingkat legislatif lebih mementingkan posisi formal. Bisa jadi.. sang legislatif sendiri tidak mempunyai cukup kapasitas membaca dan menganalisis dok. RTRW yang diajukan eksekutif. Mau tanya.. malu... dikasih masukan sok tahu. apalagi jika di tingkat legislatif sendiri punya kepentingan terhadap pengembangan kawasan.

Keterbukaan, sebuah alternatif
Di era terbuka seperti saat ini, menjadi keharusan semua proses yang Berhubungan dengan kepentingan publik dilakukan secara terbuka. termasuk dalam proses penyusunan dan pengesahan RTRW. siapa konsultan yang ditunjuk pemda, berapa nilainya, kapan waktu dan berapa lama, maupun metode, serta mekanisme komunikasi bisa diketahui publik. proses terbuka seperti ini, jika dilihat dari sisi posisif, justru akan memudahkan konsultan dalam proses penyusunan. karena input dari masyarakat secara langsung dapat diterima, tanpa harus menunggu jalur formal, seperti konsultasi publik atau interview.

Tim konsultan, bisa juga diambil dari berbagai ahli dibawah koordinasi pemda. bukan dilelang kepada perusahaan jasa konsultan. tim penyusun tata ruang, bekerja aas dasar surat keputusan kapala daerah. rekrutment dibuat terbuka dengan persyaratan yang jelas. Untuk memenuhi kebutuhan, tim harus terdiri dari beberapa ahli, termasuk didalamnya adalah ahli pengurangan risiko bencana.

Dengan sistem informasi yang canggih, bukan halangan proses penyusunann yang dilakukan bisa terus disampaikan kepada publik, baik melalui web site maupun melalui media lainnya. Publik yang dapat memberikan masukan, bahkan berkonsultasi dengan tim penyusun melalui media yang disediakan.

Media-media pertemuan ditingkat masyarakat yang telah ada, dapat dijadikan media sosialisasi atau media interaksi tim penyusunan tata ruang langsung dengan publik. selain biaya yang dikeluarkan menjadi hemat, juga akan mendekatkan diri dengan masyrakat.

Sebisa mungkin, RTRW yang disusun bersifat aplikatif. tidak lagi menunggu parturan pelaksana.