BENCANA SETELAH BENCANA..
itu loh mas, hutan di sana udah pada gundul. Slamet menunjuk daerah perbukitan yang memang sudah botak. Minggu pagi, hari yang seharusnya ceria karena merupakan hari libut sekolah. hari yang biasa diisi oleh canda tawa renyah anak2. Hari yang juga menyenangkan buat orang tua karena anak2 mereka membantu kerja mereka.
Sejak semalaman hujan seolah di tumpahkan dari langit. tidak satu pun warga desa terpencil keluar rumah. Padahal biasanya, selepas isya, mereka duduk2 sambil ngobrol2 di beberapa tempat. Kelopok pemuda, punya tempat favorite sendiri. Kelompok Tua pun demikian. Kelompok2 ibu2 muda pun tidak ketinggalan. Berkumpul sambil ngerumpi di salah satu rumah sambil menonton sinetron. Namun, malam itu, hujan yang begitu deras memunculkan keengganan untuk keluar rumah.
Jam menunjukan pukul 12.45 WIB, ketika suara bergemuruh mengiringi nyanyian hujan yang mulai menegecil. Gemuruh bak mesin pesawat jet begitu cepat mendekat ke arah perkampungan. Warga yang belum terlelap pun bertanya2, suara apakah gerangan? Belum sempat menemukan jawaban, tiba2 rumah2 mereka hancur berkeping di terjang benda pekat. Jeritan kesakitan dan ketahutan pun serentak menggema penuhi udara kampung. Sesaat hening... lalu terdengar2 kembali suara parau meminta tolong, berbaur dengan rintih kesakitan.
Banjir bandang... telah meluluh lantakan sepertempat kampung lereng bukit. Kampung yang selalu nyaman dan mengundang decak kagum para tamu. Udara yang segara, sapa ramah penduduk atau berbagai produk lokal yang ditawarkan. sekalipun tidak mudah mencapai desa terpencil tersebut, terbalaskan seluruh jerih payah dalam perjalanan dengan suasana yang damai. Silahkan mampir bu.. sapa perempuan tua disela kesibukannya menjemur kemiri. Gadis2 manis lugu pun menebarkan senyum indahnya menujukan sikap ramah bermungkus malu.
Banjir bandang... meninggalkan luka. Luka fisik dan luka jiwa yang menganga. Anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak. Kehilangan kerabat dekat, dan harta benda yang secara perlahan dikumpulkan selama menjani kehidupan. Tidak ada lagi tawa renyah disela obrolan ringan antar tetangga. Tidak ada lagi tangis anak yang berebut mainan. Hilang bersama air bah bercampur lumpur, batu dan kayu2 glondongan.
Begitu cepat banjir bandang mencipta bencana. Mencipta penderitaan dan Mencipta kepanikan seluruh pihak. Kepanikan penanganan akibat media massa yang memberitakan terus menerus sebab, kondisi desa, dan penanganan pengungsi. Seluruh sumberdaya dikerahkan untuk menanganani kejadian bencana. Tim evakuasi, dapur umum, tim kesehatan sampai penyediaan tempat hunian dan makanan. Berbagai fasilitas publik pun disulap menjadi tempat2 penampungan sementara.
Kepanikan akibat dari sorotan publik atas penanganan bencana perlu kita cermati. Kesigapan yang begitu hebat terlihat namun tidak pernah ditemui di lapangan. Evakuasi misalnya, seolah2 terlihat serius dilakukan ketika moncong2 kamera merekan aktifitas mereka. Ketika tidak ada, mereka melakukan ala kadarnya. Duduk2 santai, sambil menikmati kepulan asap tembakau. Medis dan pra medis terlihat ramah.. berubah muka masam ketika tidak ada yang mengawasi. Demikian juga dengan yang lain.
Ini adalah fakta yang terjadi di banyak tempat. Kesigapan untuk menepis bahwa pemerintah serius menangani korban bencana.
Kesigapan kamuflase. Kesigapan yang sebetulnya tidak sigap. Kesigapan atas dasar kepanikan. Kesigapan untuk menutup aib sebuah kesalahan besar, sebuah kesalahan paling fatal atas mandat negara yang paling hakiki. Melindungi segenap tumpah darah dan bangsa..
Kepanikan ini jelas terlihat dari bagaimana mereka bekerja tanpa sistem, perencanaan dan dukungan pendanaan yang cukup. Menangani jiwa2 yang sedang bertahan untuk tetap hidup dengan hanya menggunakan insting.
Dana tersedia untuk penanganan bencana yang terpampang di APBN - APBD sama sekali tidak didasarkan atas kondisi dilapangan. Berapa penduduk rentan dan besaran potensi ancaman. Berbagai sumberdaya tersedia tidak dikelola dalam sebuah sistem "rencana kemungkinan darurat" (contingency planning). Jika banjir bandang terjadi di sebuah desa dengan populasi sekian, kondisi jalan yang telah terpetakan dan sistem informasi tersedia. Berapa sumberdaya harus dikerahkan. tempat penampungan sementara, jumlah air harus tersedia, jumlah medis dan paramedis berikut obat2annya, kendaraan sebagai sarana transportasi lengkap dengan jenis yang sesuai dengan medan yang akan ditempuh, sampai sumberdaya manusia seperti apa yang dibutuhkan. Jika tidak tersedia, bagaimana bisa mendatangkan ke lokasi bencana. butuh berapa lama untuk itu. Kebutuhan logistik berapa dan berapa tersedia?
Ini semua dapat dibuat jika peta rawan dan komunitas rentan bencana telah tersedia. dari data tersebut, akan dengan mudah dibuat sistem kedaruratan atau berbagai upaya preventif untuk reduksi risiko dan dampak bencana. RAPBD - RAPBN pun dengan mudah menganggarkan besaran budget, berapa untuk kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan, berapa untuk emergency respon - recovery nya. Dana tersebut, bisa saja dititipkan melalui instansi teknis dengan catatan khusus. Atau berada di satu lembaga khusus dengan kebijakan khusus pula.
Ketidak siapan menanganai bencana akan menimbulkan bencana baru. salah satunya yang dikenal dengan post disaster desease (wabah penyakit paska bencana). ISPA, Diare, Campak, gizi buruk adalah penyakit biasa namun dapat menjadai penyakit mematikan pada kondisi pengungsi. Selain ketersediaan 5 kebutuhan dasar sesuai dengan kebutuhan, sistem pun akan sangat menentukan. Ketersediaan barang mungkin cukup atau bahkan melimpah, tidak menjamin sampai ke pengungsi dengan baik. Penanganan Aceh-Nias adalah sebuah fakta. Masih Banyak barang bantuan setelah 2 tahun kejadian bencana yang masih tertahan di pelabuhan2, bandara atau bahkan gudang2 logistik pemerintah. Buruknya sistem adalah penyebab utamanya. Koordinasi antar instansi tidak jalan dalam menghadapi kondisi darurat.
Bencana pun dapat terjadi sebelum bencana sesungguhnya terjadi. Lagi2 pada penanganan yang tidak didasarkan atas sistem dan ketersediaan kebutuhan yang memadai. Letupan merapi menyebabkan banyak pihak bergidik. Korban jiwa yang terjadi akibat dari bencana menyebabkan pemerintah lebih dini bersikap. Penduduk pun di ungsikan. Masalah muncul ketika tidak disertai dengan kecukupan kebutuhan. Tempat penampungan tidak memadai, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan pun jauh dari cukup. Berbagai kegiatan seremonial para pejabat pun menambah beban baru bagi warga yang dipaka mengungsi.
Lebih tragis lagi, warga yang meniggalkan desa karena perintah dari pemda tidak mendapatkan jaminan apa2 atas aset2 yang ditinggalkannya. Tidak pula dipikirkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bencana pun terjadi sebelum bencana yang sesungguhnya datang...
Sebagai warga yang juga punya hak untuk dilindungi dan diselamatkan dari ancaman bencana, apa yang bisa kita lakukan? Faktanya.. negara masih mengabaikan hak2 tersebut. Negara, dalam hal ini pemerintah masih tidak menjalankan mandat paling hakiki tersebut?
WALHI, sebagai bagian dari kelompok masyarakat sipil akan terus mendorong kewajiban2 negara untuk melakukan itu. Mendorong melalui berbagai aksi kongkrit. Bergabunglah.. dan mari bersama2 warga lain untuk mendesakkan berbagai upaya mereduksi risiko dan dampak bencana...
No comments:
Post a Comment