Friday, September 29, 2017

OPINI PUNAH MENGANCAM EKSISTENSI HARIMAU JAWA

Press release – mendialogkan (kembali) harimau Jawa dan keberlanjutan  hutan Pulau Jawa

Foto yang diunggah petugas TN Ujung Kulon (25/8) kembali mengangkat wacana “kepunahan” Harimau Jawa (panthere tigris sondaica). Sekalipun hasil identifikasi foto mengarah pada sosok Macan Tutul (Panthera Pardus), namun tidak menyurutkan keraguan atas pernyataan punah dari IUCN (1973) atau WWF (1996) dan beberapa peneliti carnivor besar. Berbagai data dan informasi kembali mengemuka tentang masih eksisnya Harimau Jawa. Tidak saja di TN Merubetiri sebagai salah satu kawasan yang ditetapkan sebagai habitat Harimau Jawa. Tapi juga di banyak wilayah-wilayah hutan yang tersisa di Jawa.

Sejak 20 tahun yang lalu (1997), pengumpulan data dan informasi secara terstruktur dilakukan. Melalui ekspedisi pencinta alam dan pemerhati lingkungan melalui PL KAPAI (Pendidikan Lingkungan untuk Kelompok Pencinta Alam) menjadi awal dimulainya pencarian sosok Harimau Jawa. Tidak hanya menunggu, tapi juga menjemput berbagai informasi dari berbagai sumber.
Menelusur hutan-hutan, memasang kamera trap, mengumpulkan bukti sampai mendengar dengan tekun aneka cerita dari berbagai sumber menjadi bagian dari proses panjang pembuktian keberadaan sang raja hutan jawa. Beragam data dan informasi tersebut saat ini terkelola dengan apik. Dari mulai feses (kotoran), gip jejak kaki, bulu/rambut, kulit, taring, kuku maupun foto-foto berupa cakaran serta rangkaian kalimat dari berbagai sumber.

Opini punah atas Harimau Jawa nampaknya masih cukup kuat. Sehingga apapun informasi maupun bukti-bukti yang mengarah keberadaan “macan gembong” ditempatkan sebagai rumor. Bahkan tidak jarang dikaitkan dengan klenik. Berbagai argumentasi kerap dikeluarkan untuk menepis bukti-bukti yang diajukan terhadap keberadaan Sruni atau Lareng sebagai sebutan lain dari Harimau Jawa.
Para aktifitis yang secara swadaya mencoba mengumpulkan dan menyajikan informasi keberadaan Harimau Jawa kerap dihadapkan respon negatif. Tidak saja argumentasi yang terkesan menyudutkan[1], tapi juga dianggap tidak pernah ada.
“Setiap infomasi (tentang harimau jawa), dari mana pun itu adalah sangat berharga. Masyarakat pinggiran hutan jelas memiliki pengetahuan lebih dalam membedakan spesies. Apalagi para pemburu. Mereka bisa membedakan spesies didasarkan atas harga, demikian juga si pembeli.  Gak mungkin penjual atau pembeli bertransaksi dengan barang yang salah”. Demikian mas Didik Raharyono menganalogikan tentang informasi keberadaan Harimau Jawa di banyak tempat. Tahun 2012 pemburu medapatkan Harimau Jawa di Jawa Timur. Dan tahun 2014, juga Harimau Jawa tertangkap.    

Lebih lanjut, Mas Didik juga menunjukan kebaradaan harimau Jawa tidak harus melalui foto yang saat ini seolah menjadi tuntutan. Berbagai temuan yang saat ini ada, sudah lebih dari cukup menjadi dasar analisis. Selain rambut yang dapat dibuktikan lewat test DNA, juga jejak kaki dengan ukuran yang mengarah pada Harimau Jawa dengan besar jejak di atas 14 x 16 cm. atau cakaran di atas 180 cm ke atas pada pohon di hutan sebagai habitat harimau jawa.

Perjalanan panjang yang dilakukan oleh Tim Pembela dan Pencari Fakta Harimau Jawa (TPPFJ) selama ini, keberadaan Harimau Jawa teridentifikasi di hutan-hutan diantaranya : Jawa Barat; Ciamis, Gunung Ciremai, Garut Selatan, Tasikmalaya. Banten di seputaran TN Ujung Kulon dan hutan diseputaran Baduy. Jawa Tengah; gunung Slemet, pegunungan Dieng – Banjarnegara, Blora dan  Jawa Timur pada hutan-hutan di Gunung Lawu, Gunung Semeru, Bojonegoro, Gunung Argopuro, Gunung Raung, TN Merubiri dan TN Alas Purwo. 

Hal utama dalam melindungi dan menyelamatkan Harimau Jawa adalah menghilangkan dulu asumsi punah. Penilaian subyektif ini, apalagi telah ada di kepala pemilik kebijakan atau orang-orang yang memiliki kewenangan jelas akan menghambat bebagai data dan informasi maupun upaya yang dilakukan para pihak dalam membuktikan keberadaan Harimau Jawa. Penurunan tim oleh TN Ujung Kulon untuk melacak keberadaan Harimau Jawa patut diapriasi. Dan ini akan menjadi langkah awal untuk dikembangkan ke wilayah-wilayah lain yang teridentifikasi menjadi bagian habitat Harimau Jawa.

Lebih jauh, keberadaan Harimau Jawa juga dapat menentukan keberlanjutan Hutan-hutan di Jawa. Perlakukan hutan Jawa saat ini mengalami tekanan yang sangat luar biasa. Hutan Gunung Slamet misalnya, saat ini mengalami tekanan akibat pembangunan PLTG. Pembukaan hutan untuk pembangunan energi bersih seolah melegalkan perusakan hutan dan abai dampak buruk yang dapat ditimbulkan. Dari mulai mengganggu fungsi hidrologi sampai risiko bencana. Selain itu, Gunung Slamet sebagai salah satu yang teridentifikasi sebagai habitat Harimau Jawa untuk wilayah jawa tengah dapat saja terganggu.

Siti Maimunah sebagai salah satu peserta Ekspedisi Harimau Jawa tahun 1997 juga mengingatkan. Bagaimana TN Merubetiri sebagai kawasan konservasi, saat itu juga terancam eksploitasi tambang emas. Status punah terhadap Harimau Jawa dapat saja menjadi salah satu alasan penurunan status kawasan yang akhirnya melegalkan aktifitas penambangan yang secara jelas akan menghancurkan fungsi-fungsi ekologis kawasan.

Talkshow mendialogkan (kembali) Harimau Jawa mendapatkan antusias dari kalangan luas. Seluruh peserta sepakat jika Harimau Jawa masih ada. Bukti-bukti yang disampaikan Didik Raharyono sebagai narasumber semakin memperkuat keyakinan keberadaan Harimau Jawa. Tinggal, bagaimana para pihak mengambil peran sesuai dengan keahliannya masing-masing saling mendukung upaya perlindungan dan penyelematan harimau jawa dan hutan-hutan tersisa di Pulau Jawa sebagai habitatnya. Gagagan ini disampaikan oleh Melir dari Lingkar Yogyakarta yang melihat banyak peluang untuk membangun sinergis. Baik dari pihak pemerintah, akademisi maupun organisasi non-pemerintah.

Informasi lebih lanjut tentang Harimau Jawa
-        Didik Raharyono : 0815 658 0056
Informasi pelaksanaan kegiatan talkshow
-        Sofyan eyanks : 0811 18 3760
Livestreaming proses talkshow : https://www.facebook.com/sofyan.eyanks


[1] Saat menunjukan jejak kaki dengan ukuran besar (14 x 16 atau lebih) , dianggap jejak macan terpeleset atau ditanah lunak, sehingga jejak menjadi lebih besar dari ukuran sebenarnya.

No comments: