Sunday, December 17, 2017

MAKSIAT DAN BENCANA

Hampir bisa dipastikan, setiap ada kejadian bencana akan ada opini yang mengkaitkan kejadian tersebut dengan maksiat. Bencana sebagai balasan atau azab akibat perbuatan maksiat. Dan sudah dipastikan juga, akan ada respon balik atas pernyataan tersebut. Baik yang bersifat "nyinyir", mempertanyakan atau mencoba menjawab ada tidaknya hubungan antara bencana dan maksiat.

UNISDR secara prinsip menyebut sebuah kejadian atau kondisi dari bahaya (hazard) menjadi bencana ketika : 1) menyebabkan gangguan yang meluas di masyarakat, 2) berdampak yang menyebabkan  kerugian (jiwa atau sosial budaya, ekonomi, fisik dan lingkungan), dan 3) masyarakat terkena dampak tidak memiliki kemampuan mengatasi dampak yang ditimbulkan. Terminologi ini secara jelas menempatkan, TIDAK SEMUA ancaman menjadi bencana. Bisa saja gunungapi erupsi setiap hari, jika tidak memenuhi ketiga variabel di atas, bukan lah bencana. Dan ini tentu berlaku untuk jenis-jenis ancaman bencana yang ada. Gempa, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran gedung dan pemukiman atau hutan dan lahan dll.

Terkait dengan terminologi bencana, sekalipun kita telah memiliki dan menjalankannya selama 10 regulasi PB, masih perlu upaya lebih dalam membumikan gambaran secara utuh dan ruang lingkupnya. Implikasinya, tentu terkait erat dengan berbagai upaya yang diperlukan dalam mengurangi risiko bencana.

Mengkaitkan Maksiat dengan bencana pada dasarnya tidak berbeda ketika banyak orang mengkaitkan Bencana dengan Takdir. Ketidak mampuan menterjemahkan atau menggunakan terminologi yang sama menempatkan peristilahan tersebut "salah tempat" dalam penggunaannya. Dan bisa jadi, akan benar dan semuanya akan sapaham atau sependapat, saat ruang yang digunakan telah sama.

Maksiat dan bencana memiliki hubungan. Saya pribadi sangat sepakat. Sama sepakatnya dengan pemahaman atas hubungan bencana dan takdir. Kesepahaman saya ini tidak lepas dari makna maksiat itu sendiri. Maksiat memiliki makna durhaka/tidak patuh (maksiyah - arab). Maksiat adalah lawan kata dari Taqwa, sebuah perbuatan dosa, tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.  Maksiat tidak hanya dimaknai sempit seperti judi, zina, minum minuman keras, dll. Hal yang sama dalam memaknai takdir dalam artian sempit hanya menerima tanpa ada upaya atau ikhtiar sebagai bagian dari kewajiban manusia.

Maksiat sebagai pemicu bencana menjadi sangat relevan jika kita memperluas makkna maksiat tersebut sebagai perbuatan yang meninggalkan perintah dan menjalankan larangan Allah SWT. Durhaka tentu tidak tidak hanya berjudi, minum khamer atau narkotik dan zina. adalah bagian dari durhaka adalah korupsi, membabat hutan, membunuh satwa, merusak sungai, mengeruk bahan tambang atau membuang limbah atau melakukan pencemaran. Juga termasuk maksiat adalah melanggar aturan, tidak menegakan hukum atau mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Secara jelas, perbuatan-perbuatan tersebut adalah mengangkangi perintah Alllah SWT untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi.  Akibat dari perbuatan maksiat tersebut, Allah SWT menegur untuk memberi peringatan atau mengazab dengan bencana. Bencana yang relevan dengan perbuatan merusak alam.

Dalam kotek pengelolaan risiko bencana, terdapat ancaman yang tidak dapat diintervensi. Paling tidak sampai saat ini, Iptek belum mampu meredam gempa bumi, tsunami atau letusan gunungapi. Untuk mengurangi risikonya, intervensi dilakukan mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas.

Tidak setiap kondisi atau ancaman menjadi bencana dapat menjadi dasar menempatkan pemahaman pola hubungan "maksiat dan bencana" atau "takdir dan bencana". Ancaman sebagai takdir yang termuat sebagai siklus alami cukup relevan. Sekalipun masih dapat digali faktor-faktor pemicu sebagai akibat perbuatan manusia. Gempa bumi terkait dengan perubahan iklim merupakan sebuah hipotesa yang telah dibuktikan relevansinya melalui penelitian Simon Dya (Oxford Univ), Mc Guire dan Serge Gueles  (UCL) selama 30 tahun dan di paparakan dalam "Climate Forcing of Geological and Geomorphological Hazards", September 2009 di London Inggris.

Berbagai perbuatan yang melawan alam dan menyebabkan kerusakan dapat dipastikan adalah perbuatan maksiat. Perbuatan sebagai bentuk pembangkangkan atas perintah dan larangan Allah SWT. Karena Allah SWT melalui Al Quran dan Hadits secara jelas memerintahkan menjaga alam dan melarang berbuat kerusakan.

Luasnya makna Maksiat, tidak hanya zina, mabuk atau berjudi membuka ruang bagi kita untuk tidak hanya sekedar NYINYIR. tapi ada tantangan untuk membuka wacana makna maksiat secara hakiki. dan dalam kontek manejemen risiko bencana, maksiat sebagai faktor peningkatan risiko, baik terhadap ancaman, kerentanan maupun kapasitas adalah fakta. Dari tidak dijalankannya kewajiban mengenal risiko, meningkatkan kapasitas, membuat regulasi reduksi risiko sampai upaya tanggap darurat dan pembangunan paska bencana. Menjadi bagian dari maksiat juga pengabaian terhadap pontensi bencana demi investasi, atau membuat kebijakan yang mendekatkan warga negara pada risiko bencana. dalam menetapkan tata ruang, pemberian izin pertambangan, perkebunan skala besar, alih fungsi kawasan dll.

Semoga, paparan bebas ini dapat menginspirasi pengembangan pemahanan atas pendekatan religi dalam manejemen risiko bencana dan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. kita sudah terlalu lelah perang opini hanya mengedepankan ego masing-masing. Negeri ini butuh solusi dan saling mengisi untuk mensikapi 94 % wilayahnya yang rawan bencana.

Mampang Prapatan, pertengahan Desember 2017

No comments: