Diantara RUU yang sedang proses pembahasan, terselip RUU Penanggulangan Bencana sebagai inisiatif DPR. Dorongan untuk merevisi UU No 24/2007 pada dasarnya telah cukup lama didengungkan sejak UU memasuki usia 5 tahun. Ada beberapa persoalan yang dinilai menghambat kerja-kerja PB. Dorongan itu mendapat respon dengan dimasukannya pembahasan dalam Prolegnas priode 2014 - 2019 pada urutan bontot. Namun tidak menjadi prioritas hingga dianggap penting saat pandemi COVID 19 menjadi "hantu" yang sebelumnya menjadi guyonan para pejabat.
Sudah nasibnya regulasi ini harus dipicu oleh sebuah kejadian besar. Kelahiran UU No 24/2007 tidak lepas dari rentetan kejadian besar; gempa dan tsunami Aceh - Sumut (2004), gempa Jogja - Jateng dan semburan lumpur panas Lapindo (2006) serta rentetan banjir tahun 2005 - 2006. dorongan kebutuhan Indonesia memiliki regulasi setingkat UU tentang PB sejatinya telah mulai digaungkan sejak pertengahan tahun 1990-an. Kebutuhan ini kerena negeri ini yang dipenuhi berbagai jenis ancaman (hazard), terabaikannya ancaman dalam berbagai kebijakan serta mulai lunturnya sensifitas dan kemamampuan bersikap atas berbagai ancaman yang ada.
#NoNaturalDisaster, sebuah taggar tegas dalam pengurangan risiko bencana. tagar ini memiliki makna sangat fundamental bagaimana mengelola risiko yang tidak terjebak dari sisi pemicu bencana. Karena alam telah memiliki siklusnya. Sisi lain, manusia memiliki andil dalam merubah siklus alam, langsung atau tidak langsung, memperbesar atau meningkatkan intensitas lewat berbagai sikap dan prilaku tidak bijak dan merusak. Perubahan Iklim sebagai dampak dari pemanasan global, tidak saja hanya mengacaukan siklus musim, tapi juga memicu terjadinya pergeseran pergerakan lempeng bumi yang berpotensi memicu gempa dan aktivitas gunungapi (https://sains.kompas.com/read/2009/10/08/09513570/perubahan.iklim.membuat.gempa.menjadi.lebih.dahsyat?page=all).
Dalam penanggulangan bencana (disaster risk management), difokuskan pada tata kelola risiko, menyiapkan kesiapsiagaan, efektivitas tanggap darurat serta upaya pemulihan dan pembangunan kembali. Tata kelola risiko ini tidak akan membedakan sumber pemicu dari mana, namun dari sisi dampak bencana yang ditimbulkan. Besaran dampak bencana sendiri tidak bisa dilepaskan dari seberapa besar kebijakan, sistem sosial, atau pemanfaatan ruang mempertimbangkan jenis ancaman.
Jumlah kejadian bencana yang tercatat dalam DIBI BNPB sampai tahun tahun 2019: 1.967 (2015), 2.342 (2016), 2.175 (2017), 2.564 (2018), dan 3.622 (2019). Kita bisa berdebat tentang jumlah tersebut terkait metode pencatatan kejadian, ruang lingkup atau indikator kejadian berkatagori bencana atau membedakan satu kejadian pada satuan wilayah administratif. tapi seberapa besar perdebatan tersebut bermanfaat menekan risiko, baik pada wilayah terpapar atau wilayah berpotensi lain yang belum mendapatkan giliran. Yang pasti, negeri gemah ripah loh jinawi ini menyimpan "sejuta" ancamanan yang berpotensi menjadi bencana dengan dampak luar biasa jika kita tidak memiliki kemampuan mengurangi dan mengelola risikonya. Jika melihat berbagai jenis ancaman yang ada, boleh dibilang, tidak ada sejangkal tanahpun di negeri ini yang tidak berisiko. Wabah adalah salah satu jenis ancaman yang tidak mengenal ruang dan waktu. anda teledor atau abai, maka akan menjadi korban dan menjadi pambawa wabah itu sendiri untuk menyebar keluarga, teman dekat atau masyarakat.
Naskah Akedemik, DIM dan Draft RUU
Naskah Akademik (NA) RUU Penanggulangan Bencana telah tersedia sejak tahun 2019. dokumen tersebut dapat dilihat dan diunduh di website DPR RI: http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20191017-032742-1149.pdf
Dokumen setebal 54 halaman ini menyajikan kajian teoritis dan praktik empiris, evaluasi dan analisis keterkaitan peraturan sampai pertimbangan filosifis, sosiologis dan yuridis serta arah pengaturan dan ruang lingkup. Banyak hal menarik dari NA yang disajikan untuk dicermati. Termasuk literatur yang digunakan sebagai rujukan, pola analisis dari praktik penanggulangan bencana dalam kurun waktu 13 tahun pelaksanaan UU No 24/2007 maupun analisis keterkaitan dengan peraturan lain.
Hal yang menarik pertama tentu dalam menyarikan konsepsi pengurangan risiko bencana sebagai paradima management risiko bencana (dalam konteks RUU dengan istilah penanggulangan bencana). Berbagai refrensi yang digunakan sekalipun belum menggunakan yang terbaru, namun cukup memadai sebagai landasan mengambil kesimpulan. diantaranya adalah terkait model dalam PB yang mengkritisi tentang model siklus atau daur. yang dalam penyelenggaraan PB mengalami berbagai kendala, karena dipahami sebagai tahapan. Dalam konteks teoritis, tahapan-tahapan dalam siklus manajemen bencana hanya untuk memudahkan pengertian dan ringkup pada masing-masing tahapan. Bukan lantas dipahami secara mentah dalam konteks praktik. Model "contract-expand" merupakan penjelasan, bagaimana manajemen bencana dioperasionalkan dalam daur bencana secara paralel.
Kondisi ini seharusnya dapat dijabarkan secara gambang sebagai persoalan pada bagian selanjutnya, yakni praktik PB berdasarkan UU No 24/2007 dan permasalahannya: adanya permasalahan dalam memahami manajemen risiko bencana maupun pengurangan risiko bencana sebagai paradigma. Permasalahan yang akhirnya dikuatkan dalam kebijakan operasional secara otomatis menjadi penghambat efektifitas PB. Seperti upaya pemulihan, rehabitasi maupun rekonstruksi yang tidak bisa dilakukan sebelum fase tanggap darurat selesai dilakukan, persoalan pendanaan, maupun fungsi Badan Penanggulangan Bencana sendiri.
Pada bagian analisis keterkaitan dengan paraturan lain sangat disayangkan tidak menyajikan secara lugas kesenjangan dari pasal-pasal antar undang-undang yang ada, status Undang-undang PB sebagai lex specialist atau perundang-undangan lain yang memiliki korelasi erat dengan peningkatan risiko bencana. Sebagai contoh, pada UU No 41/1999 tentang kehutanan hanya penekankan pada optimalisasi, penjagaan dan kelestarian. bagaimana keterkaitan dengan pasal-pasal yang membuka ruang atas konversi hutan menjadi fungsi lain? adakah kesenjangan dan upaya yang diperlukan dalam UU PB yang baru dalam memastikan optimalisasi, penjagaan dan kelestarian. pada UU No 27/2007 juga terasa sangat dangkal. padahal UU PWP3K memiliki pasal khusus terkait mitigasi bencana. Pulau-pulau kecil berisiko tinggi tidak hanya pada akses, tapi pulau-pulau kecil terancam oleh dampak perubahan iklim. Memastikan kualitas kehidupan dan penghidupan tetap terjaga harusnya lebih dijabarkan dengan mengkaitkan pasal-pasal yang ada dalam UU PWP3K. selain perlindungan terhadap eksistensi pulau dan ekosistemnya. UU No 32/2009 tentang PPLH tidak hanya melindungi fungsi lingkungan hidup dari bencana, tapi fungsi lingkungan hidup itu sendiri sebagai bagian dalam mengurangi risiko bencana. Keterkaitan ini juga perlu digali lebih dalam, sehingga pasal-pasal yang akan dirumuskan dalam RUU PB mengisi dan memperkuat upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian dari pengelolaan risiko bencana.
Kesempulan dari serapan berbagai dasar pemikiran, landasan sampai landasan filosifis, sosialogis maupun yurudis pada akhirnya dapat terlihat pada materi muatan sebagai hasil akhir. Dari rumusan yang disajikan, secara tidak sadar membuat tangan kita menjambak rambut. Karena antara pembahasan sebelumnya yang telah dengan gagah perkasa menyatakan pengurangan risiko bencana sebagai paradima dalam PB atau penjabarkan persoalan siklus bencana yang dinilai menghambat operasional PB dan refrensi konsep yang mungkin lebih sesuai untuk diterapkan, tidak berbekas. Bahkan terkesan menyempitkan makna manajemen risiko bencana dan pengurangan risiko bencana yang saat ini terus berkembang.
Penyempitan dimulai dari terminologi yang termuat pada halaman 29 yang menjadi bagian dari Bab V disebutkan:
"Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa disebabkan
faktor alam yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang menyebabkan timbulnya korban
jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, dan/atau dampak
psikologis serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan
dan penghidupan masyarakat".
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa, kalimat ini jelas tidak mencerminkan paradigma PRB. Karena bencana bukan lagi dinilai dari peristiwanya, tapi kondisinya yang mengganggu terhadap keberfungsian kehidupan dan penghidupan serta menyebabkan kerugian. Pada pengertian bencana, juga membatasi ruang lingkup bencana hanya pada faktor alam. Artinya, jika terjadi bukan faktor alam, bukan lagi bencana. Bisa jadi, adanya UU No 7/2012 menjadikan UU PB tidak lagi perlu membahas tentang penanganan konflik. Juga UU No 36/2009 tentang Kesehatan dan UU No 6/2018 tentang karantina kesehatan yang menjadikan UU PB tidak lagi dianggap penting membahas tentang wabah. Pun terkait bencana lingkungan (UU PB mengkatorigikan sebagai kegagalan teknologi atau konstruksi) karena telah ada UU lain yang mengatur.
Nampaknya, RUU ini akan disiapkan sebagai UU Penanggulangan Bencana Alam, sekalipun mungkin judulnya akan tetep sama dengan UU No 24/2007. Pemahaman tentang bencana dilihat dari sisi pemicu secara jelas memperlihatkan fakir terhadap pemahaman manajemen risiko bencana maupun paradigma pengurangan risiko bencncana. Konsep PRB secara jelas tidak lagi melihat bencana dari sisi pemicu, tapi lebih melihat dari sisi kondisi dan dampak yang terjadi. Pemahaman ini bukan tanpa sebab. Karena dilihat dari sisi manampun dari kejadian bencana, campur tangan manusia lah yang lebih dominan. Baik dari sisi kebijakan, pembangunan yang dilakukan pada wilayah berisiko, sistem sosial budaya masyarakat maupun pola dan sistem ekonomi yang dikembangkan.
Alam secara tetap berjalan sesuai siklusnya. gempa bumi, tsunami, erupsi gunungapi, hujan, gerakan tanah, badai atau angin ribut dll. siklus itu berjalan sebagai bagian dari perjalanan kehidupan bumi. Sikap dan tindakan kita yang tidak menempatkan siklus alam itu lah yang menyebabkan bencana terjadi. Pemanfaatan ruang wilayah rawan bencana untuk berbagai kegiatan manusia dan penduduk yang rentan merupakan bagian tidak terpisahkan dari terjadinya bencana. Tidak akan terjadi bencana jika wilayah rawan tersebut tidak berpenghuni. Namun apakah mungkin mengosongkan seluruh wilayah rawan? Jika tidak mungkin, maka kebijakan, pembangunan dan sistem sosial budaya serta ekonomi lah perlu menyesuaikan dengan jenis ancaman yang ada. Jika wilayahnya banjir, tentu kita perlu melakukan penyesuaian atas siklus banjir yang akan terjadi, baik dari intensitas, besaran maupun durasi banjir. Demikian juga jika wilayah tersebut rawan gempa bumi. Maka lokasi, kekuatan dan bentuk bangunan serta berbagai fasum harus disiapkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gempa. Konteks ini yang menjadikan pemicu bencana; alam, non alam maupun akibat manusia ditempatkan dalam pengkatogorian bencana. #NoNaturalDisaster, demikian lah tagger kampanye yang sampai saat ini didengungkan.
Meningkatkan daya rusak dari ancaman pun tidak lepas dari rusaknya keseimbangan lingkungan. Ini tidak saja terjadi pada tipe bencana hidrometeologis yang secara kasap mata terlihat korelasi antar variabel risiko. Pada bencana geologis seperti gempa bumi, erupsi gunung api atau tsunami, keseimbangan ekologis menjadi salah satu penentu besaran dampak yang ditimbulkan. keberadaan hutan mangrove telah terbukti meredam energi tsunami mencapai daratan. demikian juga keberadaan tebing, gumukpasir, padang lamun atau terumbu karang. Dan keberadaan peredam alamiah ini tergusur karena alasan pembangunan atau ekonomi.
Cacatnya pemahaman atas MRB dan PRB pada akhirnya mengacaukan rumusan-rumusan lebih lanjut. termasuk pembahasan penyelesaian sengketa dan pidana. Terlihat janggal karena masih memuat atau diperuntukan terhadap bencana non alam atau sosial.
NA RUU PB sebagai produk akademik dan menjadi landasan dalam perumusan DIM dan RUU idealnya diposisikan sebagai produk ilmiah. Sehingga isinya, jika dibutuhkan dapat diuji pada tingkat akademik, bersifat terbuka untuk dikritisi dan didialogkan sebelumnya resmi menjadi dokumen negara.
Krisis Ekologis
Krisis ekologis yang terjadi saat ini memiliki korelasi dengan kejadian, intensitas, besaran maupun dampak ancaman. terganggu atau rusaknya fungsi ekologis kawasan bahkan dapat memunculkan risiko baru dari yang sebelumnya tidak ada. atau paling tidak, meningkatkan risiko yang ada. Pada kasus banjir, banjir bandang, banjir pasang surut/rob, banjir lahar hujan, longsor, kebakaran hutan dan lahan, wabah, abrasi, kekeringan dan angin ribut korelasi tersebut dapat dengan mudah terlihat. Masyarakat awam pun akan dengan mudah menjelaskan pola hubungan kejadian dengan terjadinya perubahan fungsi ekologis yang ada. Hutan gundul, lahan gambut dibakar, lereng dengan kemiringan di atas 40 % menjadi lahan pertanian semusim, adanya aktifas pertambangan atau perkebunan skala besar.
Bacaan masyarakat yang tidak belajar ekologi dapat dipertanggung jawabkan karena berbasis fakta dan pengalaman. Jika dibuat forum debat terbuka pun, saya memiliki keyakinan mereka akan mampu bertanding dengan para akademisi bertitel panjang yang hanya mengandalkan teori dari fasilitas teknologi. Namun sayangnya, penghargaan atas pendapat masyarakat non gelar akademik di negeri ini masih sangat rendah. Sehingga pendapat didominasi oleh mereka. dan celakanya, tidak sedikit para akademisi rela mengorbankan gelar dan keilmuannya pada pihak-pihak yang berkontribusi meningkatkan risiko bahkan pemicu bencana.
Besarnya kontribusi krisis ekologis terhadap risiko dan bencana masih belum tersentuh dalam NA, DIM maupun draft RUU yang saat ini dibahas. Lingkungan hidup dimasukan sebagai bagian dari prinsip, baik dalam UU No 24/2007 maupun RUU yang dibahas. Namun tidak dijabarkan kontribusinya sebagai bagian dalam PB. Dan hal yang paling krusial yang perlu disikapi adalah hilangnya sifat Lex Specialist dari UU PB yang memberikan kuasa dari UU ini untuk menyelaraskan perundang-undangan yang ada, demi mencapai tujuan paling hakiki dari negara: menjamin perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana untuk mendapatkan rasa aman.
Krisis ekologis sejatinya tidak saja terhubung dengan tipe bencana hidrometeorogis, tapi juga pada bencana geologis. Fungsi ekologis wilayah-wilayah rawan bencana geologis tentu memiliki ukuran-ukuran dasar. Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup, kita mengenal daya dukung lingkungan (carrying capacity). daya dukung dalam konteks PB dengan paradigma PRB tentunya penting untuk melihat besaran daya dukung yang dapat meminalkan risiko bencana. kelebihan atas daya dukung, tentu akan berakibat risiko menjadi lebih besar. sebagai gambaran, wilayah rawan tsunami membutuhkan zona pengamanan yang mampu meredam energy tsunami yang mungkin terjadi. antar satu wilayah dengan wilayah lain bisa saja berbeda. sebagai zona lindung yang memiliki fungsi meredam energy tsunami, sudah selanjimnya akan ditempatkan berbagai sarana dan prasana, baik berupa fisik maupun non fisik. salah satu contoh adalah hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove dengan luasan tertentu (berdasarkan perhitungan kemungkinan potensi tsunami) merupakan bagian dari dukung ekologis pada PB. Hal yang sama berlaku pada ancaman erupsi gunungapi atau longsor.
Menempatkan fungsi ekologis dalam manajemen risiko bencana inilah yang membutuhkan sinergi antar perundang-undangan. dan UU PB sebagai lex specialist menjadi penting tetap memiliki fungsi menyelaraskan peranturan perundang-undangan. sehingga jika pada suatu saat terdapat UU yang berpotensi meningkatkan atau memunculkan risiko bencana, maka UU PB lah yang akan menjadi salah satu alat untuk mengingatkan atau menyeleraskan. Dan sebagai UU dengan kewenangan menyelaraskan, regulasi ini pun dapat memaksa kebijakan lain untuk memasukan prinsip maupun upaya PB dalam implementasinya. Seperti mewajibakan penataan ruang untuk menimbang daya dukung terhadap lingkungan dan PB.
No comments:
Post a Comment