Monday, January 21, 2013

PEMBERITAAN BENCANA

Kadang dilematis menyaksikan pemberitaan tentang bencana. satu sisi, kita membutuhkan info terkini yang diberitakan -  tapi sisi lain kadang etika jurnalistik kerap terabaikan. Tidak jarang kita mengumpat menyaksikan reporter dalam mebawakan berita atau mewawancarai narasumber. Kadang -  tanpa tersisa perasaan sebagai orang yang berada dilokasi bencana. Gambar-gambar yang ditayangkan pun kadang "ajaib". guna mendukung pemeritaan - kerap gambar yang ditampilkan bukan gambar terkini. tapi gambar yang teleh lewat yang menunjukan "kehororannya".

Kawan Armin Bell dari Ruteng - Flores dengan rasa gemas menuliskan unek2 dalam milis bencana. Kegeraman Armin bukan tanpa alasan. Beliau menuliskannya setelah menyaksikan salah satu stasiun swasta dalam meliput banjir Jakarta. Sang Reporter yang tidak menunjukan empati terhadap kerja relawan serta telah memiliki persepsi sendiri berusaha mendesak narasumber yang saat itu seorang relawan -  seolah kerja2 kemanusiaan yang dilakukan adalah salah.

Satrio Arismundandar, salah seorang jurnalis stasiun swasta juga menuliskan pemikirannya yang intinya mengingatkan kepada jurnalis untuk mengedepankan etika jurnalistik. diantara tekanan dan kebutuhan berita yang diperoleh dilapangan. Hal yang wajar tentunya jika berita yang dibawa harus spesial. karena selain akan menunjukan spesial bagi stasiun televisi yang bersangkutan -  juga akan membawa hal yang spesial bagi si reporter itu sendiri.



Menanyakan kepada pengungsi "apakah sudah ada bantuan dari pemerintah?" seolah menjadi pertanyaan wajib bagi reporter. Dan kita bisa menebak jawaban dari pengungsi. "belum ada bantuan apapun?" setelah itu, daftar kebutuhan pun meluncur deras.
Agak bersyukur, liputan humanis sudah mulai muncul. Metro TV cukup baik meliput bagaimana proses evakuasi yang dilakukan Kopasus yang dilakukan secara persuasif dilakukan. Demikian juga kerja-kerja relawan yang bahu-membahu melakukan proses evakuasi.

Hal yang masih luput dari pemberitaan adalah, kemampuan komunitas dalam menghadapi bencana tersebut. sebuah prinsip -  selemah2nya komunitas, pasti memiliki sumberdaya untuk menyelamatkan dan melindungi dirinya atau komunitasnya. Prinsip itu tidak lah berlebihan. jangankan manusia sebagai mahluk berakal, binatang atau mahluk hidup secara alamiah memiliki naluri untuk menyelamatkan diri. Hal yang membedakan tentu terkait dengan apakah pola atau cara yang berkembang tersebut sistematis atau tidak. efektif dan efesien atau tidak. atau bisa jadi cara tersebut justru cenderung membahayakan orang atau komunitas lain.

Pada wilayah rawan bencana seperti bantaran sungai di Jakarta atau lereng gunung berapi atau pesisir rawan tsunami -  tidak sedikit komunitas yang telah mengembangkan upaya penanggulangan bencana. baik langsung atau tidak langsung. baik berkembang secara alamiah melalui pengetahuan dan kearifan lokal atau difasilitasi oleh kelompok masyarakat sipil, pemerintah atau sektor swasta. apapun judul program/proyeknya atau bentuk kearifan/pengetahuan lokal yang ada dan berkembang -  upaya tersebut patut diangkat. adanya kejadian bencana merupakan alat uji -  apakah sistem yang terbangun dan berkembang mampu menghadapi ancaman yang ada? seberapa besar sistem itu berjalan? apa dan dimana terdapat gaps dari sistem yang telah ada tersebut.

Bantuan dari luar sudah pasti akan memiliki kesenjangan. baik dari sisi waktu maupun kecukupan. bahkan tidak jarang, tidak dapat diprediksi kapan dan berapa jumlahnya. Menggantungkan uluran tangan apapun alasannya merupakan "kebodohan",  dimana wilayah tempat tinggal merupakan kawasan rawan bencana.Seirama kebodohan tersebut tentunya dengan pertanyaan seorang reporter darimanapun berasal yang menanyakan tentang bantuan dari luar; baik dari pemerintah, pemerintah daerah, LSM atau donatur lainnya.

Kebiasaan menggantungkan terhadap pihak luar mengatasi masalahnya sendiri akan terus berlanjut jika kontek penanganan bencana masih mempertahankan pendekatan relief. sebuah pendekatan karitatif yang menempatkan penyintas sebagai orang yang tidak berdaya. Menempatkan rasa iba yang tidak pada tempatnya karena terkena bencana.

tidak sedikit komunitas yang sejak terbentuknya memiliki resiliensi - hancur lebur karena pendekatan penanganan bencana karitatif. Komunitas yang sebelumnya memiliki pola mensikapi ancaman dalam sistem kehidupannya. dari mulai memprediksi musim, deteksi dini, pola-pola penyelamatan, prasarana dan sarana transportasi, rumah tinggal, sistem keamanan lingkungan sampai jenis mata pencaharian. Bantuan instan dengan alasan bencana -  akhirnya merusak sistem yang telah ada dan berkembang. Banjir yang sebelumnya ditempatkan sebagai daur ditempatkan sebagai bencana. Bantuan yang mampu memenuhi kehidupannya selama masa banjir menempatkan warga tidak perlu lagi bersusah payah bekerja. sekolah yang diliburkan atau memberikan permakluman karena sebagai korban bencana - menjadikan anak2 sekolah enggan bersusah payah pergi ke sekolah.

Pemberitaan yang mengangkat upaya-upaya komunitas tentu akan lebih bermakna dibandingkan mencari-cari kesalahan dari berbagai pihak dalam penanganan bencana. Sekalipun tanggung jawab tersebut tetap melakat secara mutlak terhadap penyelenggara negara. Pemerintah dan pemerintah daerah. Khususnya dalam memfasilitasi peningkatan kesadaran dan kapasitas komunitas, memfasilitasi sarana dan prasarana diluar kemampuan komunitas, early warning system maupun dukungan-dukungan lain yang menjadi tanggung jawab negara. Dan saat negara tidak melakukannya, baik karena lalai atau tidak menjalankan fungsi-fungsi sebagai penyelenggara negara -  wajib menanggung kesalahannya. baik dari sisi pidana maupun perdata.

semoga, review UU No 24/2007 yang saat ini sedang dalam proses untuk melihat efektifitas implementasi kebijakan penanggulangan bencana dapat menjawab persoalan ini. khususnya sangsi pidana dan atau perdata bagi pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajibannya. yang akhirnya menyebabkan terjadinya bencana. Dan makna bencana itu sendiri tidak serta merta dengan sebuah kejadian yang menyebabkan kerugian jiwa, harta, lingkungan dan dampak psikologis. Namun lebih dari itu, yakni kemampuan komunitas dalam menangani kejadian tersebut. Baik yang bersifat tiba-tiba maupun yang terjadi secara berlahan-lahan (slow on side)

1 comment:

Obat Tradisional Kanker Kelenjar Getah Bening said...

terimakasih atas pemberitahuannya