Banjir yang kembali menggenangi banyak kawasan di Jakarta, kembali mengingatkan kita pada perdebatan panjang; akuntabulitas vs kebutuhan para penyintas. Akuntablitas yang umum di usung lembaga-lembaga kemanusiaan menduduki pringkat pertama. jangan harap bicara tentang distrubusi bantuan tanpa ada data detil penyintas yang mengungsi. Dari mulai lokasi, jumlah jiwa, jenis kelamin, kelompok umur sampai hal-hal yang kadang membuat kening berkerut.
Akuntabilitas menjadi hal penting, bahkan terpenting tidak lepas karena perjalanan waktu penanganan bencana sebelumnya. Bantuan tidak tepat sasaran, menumpuknya bantuan sampai penyelewengan bantuan. bagi pekerja kemanusiaan, tentu tragedi penanganan pengungsi di Rwanda menjadi momok yang menakutkan. Niat tulus membantu berbuah petaka. saat Bantuan susu balita yang tidak diimbangi dengan informasi akurat terkait ketersediaan air bersih memunculkan wabah. Dan kematian balita akibat wabah justru jauh besar ketimbang korban balita akibat konflik itu sendiri.
Kasus penyelewengan bantuan atau tidak tepat sasaran seolah mengiringi penanganan bencana sepanjang masa. Tidak tepat sasaran seperti menumpuknya bantuan hanya pada satu lokasi pengungsian, bantuan tidak atau kurang dibutuhkan pengungsi atau bahkan penerima bantuan bukan pengungsi. Pada bencana besar seperti tsunami Aceh atau gempa jogja - kita bisa saksikan, bagaimana pakaian pantas pakai menjadi sampah tersendiri. demikian juga dengan "penyelewengan" bantuan.
Penyelewengan bantuan dalam PB sebetulnya dapat kita lihat dari berbagai sisi. Ada penyelewengan yang bersifat kriminal namun ada juga yang bersifat sebagai bagian dari bertahan hidup. Pada aspek kriminal adalah karena bantuan diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Namun tidak jarang, penyelewengan bantuan dilakukan sebagai upaya bertahan hidup. dan umumnya dilakukan secara komunal. penyelewengan seperti ini umumnya di cap kan oleh kelompok/lembaga lain. seperti menumpuk bantuan gudang dan selalu menyampaikan kepada lembaga pemberi bantuan kalau komunitasnya belum menerima bantuan dari siapapun. Namun ketika diselidiki, ternyata bantuan telah menumpuk di gudang meraka. pada kasus seperti ini - kita perlu lebih bijak melihat persoalan lebih dalam. karena mereka melakukan itu umumnya karena ketidak percayaan atau tidak adanya kepastian kehidupan mereka paska situasi daruat.
Akuntabilitas Penanganan Bencana
Cukup banyak tools atau piranti yang digunakan lembaga kemanusiaan untuk mengukur akuntabilitas dalam PB. HFI bersama PIRAC menerbitkan sebuah pedoman akuntabilitas Pengelola Bantuan Kemanusia, 2011. Sebelumnya, paling tidak ada 6 pedoman lain yang juga disebutkan dalam buku tersebut; 1) People in Aid, Code of Good Practice in the Management and Support of Aid Personnel; 2). Humanitarian Accountability and Quality Management Standard 2007 (kini sudah tersedia versi 2010); 3) Impact Measurement and Accountability in Emergencies: The Good Enough Guide; 4) ALPS (Accountability, Learning and Planning System of ActionAid International); 5). The Active Learning Network for Accountability and
Performance in Humanitarian Action (ALNAP); dan 6) The Sphere Project, Humanitarian Charter and Minimum Standard in Disaster Response
Kewajiban dari individu maupun lembaga yang mengelola sumber daya publik untuk mempertanggungjawabkan secara fiskal, manajerial dan kegiatan program pemberian bantuan baik
logistik atau material, tenaga dan bentuk lainnya. Kewajiban ini ditujukan sebagai tanggapan terhadap suatu kondisi krisis kemanusiaan dengan tujuan utama untuk menyelamatkan nyawa, meringankan penderitaan, dan menjaga martabat manusia (HFI, 2011).
Terdapat 13 prinsip yang yang menjadi indikator akuntabilitas. Hal yang menarik dari prinsip ini adalah yang pertama; Independensi. Bahwa: Organisasi adalah otonom dan bebas dari pengaruh dan kepentingan-kepentingan pemerintah, partai politik, donor/lembaga penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun yang
dapat menghilangkan independensi organisasi dalam bertindak bagi kepentingan umum
Pada prinsip pertama ini - benturan dalam implementasi kerap muncul. benturan ini tidak lepas dari kesamaan persepsi terhadap makna independensi sendiri. Bebas dari pengaruh dan kepentingan adalah salah satu yang memunculkan polemik - khususnya terkait dengan syarat maupun prasyarat penyediaan dan distribusi bantuan. diantaranya adalah data penyintas atau pengungsi, berita acara sampai logo lembaga kemanusiaan itu sendiri. belum lagi kepentingna lain seperti batasan bantuan: hanya untuk mitra kerja lembaga yang bersangkutan, hanya untuk bayi, balita dan anak2 atau perempuan.
Menjadi bermasalah ketika lembaga kemanusiaan harus bermitra dengan para relawan lapangan. karena pernik-pernik persyaratan bagi relawan menghambat proses penyelamatan bagi penyintas. Bagaimana tidak, relawan yang melihat dengan kepala sendiri penderitaan warga - harus melengkapi segudang pernik-pernik dengan alasan akuntablitas. sementara, berbagai kebutuhan warga pengungsi justru terkonsentrasi pada lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut.
Sehingga tidak haran, jika lembaga-lembaga yang bekerja untuk bencana karena dasarnya adalah kemanusiaan merasa enggan berhubungan dengan lembaga-lembaga yang terbentuk dan hidup dari isu kemnausiaan. Relawan atau kelompok-kelompok kemanusiaan dadakan tersebut cenderung memilih untuk bekerjasama dengan dermawan secara individual maupun korporasi.
Enggak ribet mas mekanismenya. Kita tinggal menyampaikan lokasi yang terkena dampak bencana serta kondisinya - barang bantuan sudah bisa disalurkan. tidak perlu berbagai syarat, termasuk seremonial penyerahan bantuan, berita acara dll. Begitu kira2 jawaban relawan dari komunitas hobby off road. Jawanan senada juga disampaikan komunitas pencinta alam yang tergabung dalam poko kemanusiaan dalam menangani bencana.
"Maaf Mas, kami masih melakukan assessment untuk melihat kebutuhan dasar. Kami juga masih rapat koordinasi dengan mitra kami".
"kami baru bisa mengeluarkan bantuan kalau ada data assessment, jumlah pengungsi - termasuk komposisi umur dan jenis kelamin serta kebutuhan yang sudah ada di sana. Ini untuk membuat keputusan kami apakah bantuan yang ada bisa kami keluarkan atau tidak".
"Bantuan kami harus sampai ditingkat keluarga. kalau bisa malah jiwa. sehingga kami akan tahu siapa penerima manfaat dari bantuan kami".
"Barang bantuan kami hanya untuk masyarakat dampingan lemabaga kami". jadi sulit untuk mengeluarkan bantuan di luar wilayah tersebut?
Begitu kira2 respon lembaga-lembaga kemanusiaan. sebuah lembaga yang lahir dan berkembang atas nama kemanusiaan. Lembaga yang menghidupi sekian puluh atau bahkan ratusan melalui isu kemanusiaan.
Penanganan Bencana kontek Indonesia
Penanganan bencana idealnya disesuaikan dengan kondisi lokal. Ini juga yang tertuang dalam Sphere Standard yang menempatkan kesesuaian kondisi lokal sebagai salah satu prinsip. Ini tentunya termasuk didalamnya dalam menterjemahkan akuntabilitas dalam penanganan bencana.
Prinsip independen misalnya - idealnya dapat diterjemahkan dari banyak sisi. tidak hanya oleh lembaga kemanusiaan yang memiliki stok kebutuhan dasar. tapi juga mintra kerjanya serta penyintas itu sendiri. khususnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar pada kondisi terjepit.
Membagun saling percaya adalah hal utama. Prinsip akuntabilitas tetap akan terjaga dengan mengedepankan prinsip saling percaya. persoalan administrasi dapat sesuaikan pada kondisi yang ada. demikan juga dengan prioritas pemberian bantuan bagi warga yang sangat membutuhkan. tidak dipilah-pilah hanya mitra, wilayah dampingan atau argumen-argumen lain yang justru mencedari makna dari akuntabilitas itu sendiri.
Hal yang spesifik dari sosial budaya di Indonesia adalah kebersamaan yang masih kuat di tingkat komunitas. bantuan bersifat individual kadang mengganggu sistem sosial yang sudah ada. terutama jika jumlah paket-paket bantuan tersebut tidak sesuai dengan jumlah komunitas yang ada, baik yang terdampak paling buruk maupun ringan.
BAGITO atau bagi roto pada penanganan gempa jogja merupakan cermin - bagaimana sebuah komunitas memaknai kebersamaan. Adil kerap dipahami berbeda, antara orang luar dan komunitas itu sendiri. bagi orang luar, hanya yang terdampak buruk saja yang berhak menerima bantuan. sementara bagi komunitas, sama menerima adalah hal yang terbaik untuk mencegah friksi sosial lebih lanjut.
Hal lain yang penting untuk menjadi perhatian dalam kontek Indonesia pada penanganan bencana adalah kompetensi. dimana organisasi memiliki dan mengembangkan kapasitas yang relevan dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan sesuai standar bantuan kemanusiaan.
Kompetensi disini terdapat dilihat dari banyak bidang. dari mulai managemen, assessment, MIS, GIS, sampai mobilisasi dan distribusi bantuan. pada kompetensi mana yang menjadi kewajiban untuk paham luar dalam terkait prinsip2 penanganan darurat bencana seperti SPHERE Standard?
apakah relawan evakuasi pada kasus banjir juga harus paham tentang SPHERE Project? apakah tim distribusi bantuan seperti dari komunitas off road yang menyediakan kendaraan medan tidak biasa juga harus paham HAP?
Sementara, lembaga-lembaga kemanusiaan sendiri memiliki keterbatasan-keterbatasan yang mencolok - selain memiliki barang bantuan yang telah siap di gudang-gudang yang kadang tak terurus???
Jika prinsip penanggulangan bencana juga mengarah pada trend pengurangan risiko bencana atau paling tidak kesiapsiagaan - membangun kemitraan dengan komunitas-komunitas pendukung respon perlu dilakukan jauh-jauh hari. termasuk membangun kapasitas yang dibutuhkan. jika dibutuhkan, workshop standard minimum bisa dilakukan.
Dari banjir Jakarta, gempa jogja atau bahkan jauh sebelumnya seperti Tsunami di aceh - kita perlu melakukan refleksi diri - apakah kita memang telah berpihak pada penyintas? lebih mementingkan keselamatan jiwa dan kehidupan bermartabat di atas segalanya. atau kita masih mempertahankan ketidak mampuan kita menjalankan prinsip2 tanggap darurat dibalik LABEL - AKUNTABILITAS
No comments:
Post a Comment