Dampak rutin dan akumulatif akibat pengoperasian PLTN
di Semenanjung Muria yang nyaris terlupakan
Oleh : George Junus Aditjondro[1]
tulisan ini karya besar George J Aditjondro. Sangat penting untuk diketahui bersama. Untuk itulah, tulisan beliau saya tempatkan di Blog ini. Makasih banyak Bang George..
Tulisan ini dibuat dan disajikan dalam Dialog & Mubahatsah 'Alim Ulama se-Jawa Tengah mengenai PLTN Muria menurut perspektif Fiqih, diselenggarakan PCNU Jepara-Kudus dalam rangka Harlah NU Ke-81 di Jepara, hari Sabtu, 1 September 2007.
SYUKUR ALHAMDULLILAH, saya ucapkan atas undangan PC NU Jepara, untuk ikut meramaikan acara Dialog dan Mubahatsah Alim Ulama se Jawa Tengah di Jepara. Dengan demikian, saya bisa bersilaturahmi dengan para Nahdliyin se Jawa Tengah, khususnya dari kawasan Jepara, Kudus, Pati dan Rembang, lengkapnya dari seluruh Semenanjung Muria, yang mendapat kehormatan dari para penguasa di Jakarta untuk menjadi tapak PLTN pertama yang mau dibangun oleh orang-orang pintar dari Jakarta.
Saya bersyukur, karena dengan demikian dapat kembali memperkuat gerakan anti-PLTN yang dicetuskan oleh WALHI di tahun 1980, 27 tahun lalu. Saya bersyukur, karena dengan menghadiri acara di pantai barat Semenanjung Muria ini, saya dapat menggenapi pelebaran sayap gerakan ini di Muria, yang saya mulai bersama kawan saya, M. Nasihin Hasan, sekarang Ketua Lakpesdam NU Nasional, yang waktu itu selain menjadi Direktur LP3M, juga menjadi Ketua Presidium WALHI, di mana saya menjadi Wakilnya. Kami berdua memulai gerakan penyadaran masyarakat di kampung orangtua Mas Nasihin Hasan di Rembang, di pantai timur Semenanjung Muria.
Mari kita kembali ke orang-orang pintar dari Jakarta, yang mau membangun PLTN ini. Mereka memang pintar, karena tahu seluk beluk membangkitkan tenaga listrik dari turbin yang digerakkan oleh uap dari air yang direbus oleh panas yang timbul akibat terurainya proton dan elektron dari atom-atom uranium di isotop sekecil isi potlot di reaktor nuklir. Sayangnya, orang-orang pintar ini tidak memikirkan akibat perbuatan mereka, khususnya dampak rutin dan dampak akumulatif yang harus ditanggung oleh penduduk di sekitar Semenanjung Muria (lihat Aditjondro 2003). Karena dalam forum ini akan ada sepuluh orang pembicara yang pintar-pintar, termasuk Menteri Negara Riset dan Teknologi, yang menjadi pembicara kunci, maka sebagai pembicara yang nyaris juru kunci, saya akan fokuskan pada salah satu dampak rutin dan salah satu dampak akumulatif pembangunan dan pengoperasian PLTN ini.
Saya memberanikan diri untuk bicara di forum alim ulama yang terhormat ini, bukan karena saya orang pintar di bidang nuklir, tapi juga bukan orang yang kemintar. Saya cuma mau bicara di sini, sebagai orang yang pernah meninjau dampak pembangunan PLTN di Semenanjung Bataan, Filipina, dan di Teluk Veracruz di Mexico. Kita perlu belajar dari pengalaman tragis bangsa Filipina, yang harus membayar hutang pembelian reaktor nuklir sebanyak 2,3 milyar dollar kepada maskapai Westinghouse di AS, walaupun tidak sampai menghasilkan satu Watt listrik buat rakyat Filipina, setelah pemerintah Corazon Aquino, menghentikan pembangunan reaktor nuklir itu, yang dibeli oleh Ferdinand Marcos, untuk keuntungan kroninya, Hermano Disini (Eurodad 2007).
DAMPAK RUTIN: POLUSI AIR PANAS.
TENTU saja, yang pertama kali dan seterusnya paling menderita dampak pembangunan sebuah reaktor nuklir, adalah para nelayan di sekeliling Semenanjung Muria. Sebab pada saat tapak nuklir seluas belasan, mungkin puluhan hektar, diratakan untuk pembangunan reaktor nuklir, menara pendinginnya, dan semua bangunan pelengkapnya, termasuk gardu listriknya, ke mana larinya tanah hasil perataan perbukitan di Desa Balong? Tentu saja ke laut, sebab laut, bagi banyak orang, memang keranjang sampah terbesar ciptaan Tuhan buat orang-orang malas yang tidak menghargai kebersihan. Nah, lumpur ribuan ton itu akan menghancurkan karang-karang di tepi pantai, tempat bersembunyi ikan-ikan yang juga harus bobo di malam hari.
Ikan-ikan yang selamat dari perataan tanah buat kompleks PLTN itu, menghadapi ancaman berikutnya: polusi air panas. Setiap pembangkit listrik yang menggunakan tenaga uap untuk menggerakkan turbin yang satu sumbu dengan generator listrik, selalu memerlukan menara pendingin uap panas itu. Kalau tidak, pembangkit tenaga listrik itu bisa meledak saking panasnya. Untuk itu, selain melalui menara pendingin, yang prinsip kerjanya sama seperti reaktor dalam mobil, uap yang telah berubah bentuk menjadi air panas perlu dikembalikan ke alam. Makanya, PLTU dan PLTN, selalu dibangun dekat sungai atau di tepi laut, supaya berjuta-juta liter air panas itu bisa dibuang ke sungai atau laut. Dari situlah timbul apa yang disebut polusi air panas (Aditjondro 2003: 221-223).
Nah, air panas yang merupakan produk sampingan PLTU dan PLTN, yang terlalu banyak untuk mendirikan pemandian air panas di Balong, terlalu banyak juga buat nener-nener di perairan sekeliling Semenanjung Muria, yang dicari oleh petani tambak di sekeliling Muria untuk menghasilkan ikan bandengnya. Bandeng yang selanjutnya dilego ke Juana untuk dijadikan bandeng presto.
Makanya, yang secara rutin akan menderita kerugian ekonomis dari pengoperasian PLTN Muria adalah para nelayan pengumpul nener bandeng, para petani tambak, para produsen bandeng presto, dan akhirnya, toko-toko bandeng presto di sepanjang Jalan Pandanaran, di kota Semarang. Itulah sebabnya, mengapa saya katakan: Selamat Tinggal, Bandeng Presto! di judul makalah saya.
DAMPAK AKUMULATIF: BAYI-BAYI RADIO-AKTIF.
WAKTU reaktor nuklir di Chernobyl, waktu itu masih termasuk Uni Soviet, meledak, karena macetnya sistem pendinginan reaktor itu, bukan cuma orang di Uni Soviet yang terkena dampak radio-aktifnya, tapi juga orang-orang di Jerman (saya lupa, Timur atau Barat). Soalnya, debu radio-aktif yang dibawa angin di udara, akhirnya jatuh ke rumput-rumput hijau di Jerman. Rumput hijau dimakan oleh sapi perah, dan susu sapi itu diminum oleh manusia. Bagaimana akibatnya kalau manusia terlalu banyak minum susu yang radio-aktif, tanya saja pada pak Iwan Kurniawan dan pak Budi Widianarko, ahli fisika nuklir dan biologi lingkungan yang satu panel dengan saya.
Semenanjung Muria, sependek pengetahuan saya, tidak terkenal sebagai daerah sapi perah. Itu harus ke Boyolali, dekat Salatiga, di mana saya sering minum susu sapi segar sebelum saya terpaksa hijrah ke Australia. Tapi radio-aktifitas dari PLTN Muria, bisa juga mempengaruhi kesehatan penduduk di sini, walaupun tidak melalui susu sapi. Sebab bayi-bayi di sini, masih banyak yang minum air susu ibu (ASI), kan? Walaupun kadang-kadang harus berebutan dengan bapaknya.
Nah, kalau tanaman dan hewan di sekeliling PLTN Muria tercemar radio-aktivitas, maka secara akumulatif, lewat susu ibu, bayi-bayi di Semenanjung Muria akan mendapatkan dosis radio-aktivitas yang melewati ambang batas. Boleh jadi, bayi dan balita di Semenanjung Muria akan menjadi semakin hiper-aktif, sebab coklat saja sudah dapat membuat bayi dan balita hiper-aktif, apalagi radio-aktivitas bocoran dari reaktor nuklir. Mudah-mudahan saja, BATAN akan menciptakan lapangan kerja khusus bagi bayi-bayi radio-aktif dari Muria, sebagai perwujudan dari tanggungjawab sosial mereka.
TITIKRAMA ORDE BARU
MENYADARI hal-hal di atas ini, serta berbagai pertimbangan lain yang sudah diungkapkan oleh pembicara-pembicara lain sebelum dan sesudah saya, dapatlah kita fahami penolakan masyarakat Semenanjung Muria, khususnya lagi di Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, terhadap pembangunan PLTN ini. Makanya, mengherankan sikap Polres Jepara, yang memanggil Setyawan Sumedi, Koordinator Persatuan Masyarakat Balong (PMB), pasca demo besar-besaran menolak rencana PLTN Muria di desa itu (Suara Merdeka, 7 Agustus 2007).
Semestinya BATAN lah, atau Menteri Ristek sekalian, yang dipanggil ke Mabes Polri, untuk menjelaskan mengapa pemerintah tetap mau ngotot membangun PLTN itu, gagasan peninggalan Menteri Ristek BJ Habibie yang kini dihidup-hidupkan kembali. Ataukah ini menunjukkan, bahwa rezim Orde Baru tidak pernah mati, tapi hanya bermetamorfosa, bertitikrama, menjadi rezim baru yang tetap mau mewujudkan impian-impian lama?
Titikrama Orde Baru ini dapat dilihat dari siapa yang sudah menyatakan minat untuk membangun PLTN Muria ini, kapan pernyataan itu dibuat, dan pada kesempatan apa. Maskapai penghasil migas swasta terbesar di Indonesia, Medco, telah menyatakan minatnya untuk membangun PLTN Muria. Saat kunjungan tiga hari Presiden SBY ke Seoul, Korea Selatan, akhir Juli lalu, Medco Energi Internasional dan Korea Hydro and Nuclear Power Co Ltd menandatangani perjanjian awal untuk pembangunan reaktor tenaga nuklir, dengan kontrak senilai 8,5 milyar dollar AS (sekitar Rp 78,5 trilyun). Kontrak itu ditandatangani di hadapan Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro di Seoul, hari Rabu, 25 Juli lalu. Seolah-olah sudah diangkat menjadi jurubicara Medco, Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa batas waktu pembangunannya sudah ditetapkan pada tahun 2016, dan reaktornya dijadualkan akan mulai beroperasi pada tahun 2017 (Suara Merdeka, 26 Juli 2007).
Model-model menandatangani kontrak dengan perusahaan asing, di saat-saat mendampingi Kepala Negara dalam muhibahnya ke luar negeri, memang merupakan salah satu modus operandi bisnis yang dekat dengan kalangan Istana. Memang, Medco dibangun oleh Arifin Panigoro di masa-masa jaya Soeharto, antara lain dengan merangkul besan Soeharto, Eddi Kowara Atmawinata, mertua Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut (Aditjondro 2006: 26, 288, 364-5, 405, 411-2, 443-4, 451).
Pasca Soeharto, Arifin mula-mula mendekat ke Amien Rais, lalu setelah kelihatan bahwa kans Amien Rais untuk menjadi Presiden pengganti Habibie sangat kecil, ia mendekat ke Megawati Soekarnoputri dengan masuk ke PDI-P, dan perhitungannya kali ini tepat. Setelah popularitas Megawati merosot, ia keluar dari PDI-P, dan bersama Laksamana Sukardi, mendirikan partai baru. Boleh jadi, ia sekarang sedang mendekat ke SBY, sambil melihat-lihat, apakah SBY akan berhasil merebut masa jabatan kepresidenan yang kedua, atau tidak.
Medco Energi Internasional yang sudah teken kontrak dengan maskapai Korea di atas untuk membangun PLTN di Muria, memang sedang melakukan diversifikasi dari pertambangan migas, ke proyek-proyek energi yang lain. Di Batam, Medco memiliki dua perusahaan pembangkit tenaga listrik, yakni PT Mitra Energi Batam yang mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Panaran I Batam yang sejak 2004 membangkitkan 2 x 27,75 MW, dengan nilai investasi US$ 30 juta; dan PT Dalle Energy Batam yang membangun PLTG Panaran II Batam dengan kapasitas 2 x 27,75 MW pula (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007: 31).
Itu belum semua. Medco juga pemilik 5% saham PT Energy Sengkang yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Sengkang di Sulawesi Selatan yang berkapasitas 135 MW. Baru-baru ini, Medco telah ditunjuk untuk mengoperasikan dan memelihara PLTU Tanjung Jati B dengan kapasitas 2 x 660 MW. Kemudian, bersama Ormat International Inc. dari AS dan Itochu Corp. dari Jepang, Medco juga telah menyatakan minatnya untuk membangun Pembangkit Tenaga Listrik Panasbumi di Sarulla, Sumatera Utara, dengan kapasitas 330 MW (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007, hal. 31-32).
Makanya, dari sudut logika bisnis, PT Medco Energi Internasional Tbk yang telah menjual 19,97 % sahamnya kepada Mitsubishi Corporation dari Jepang (Kompas, 27 Agustus 2007), masuk akallah bahwa perusahaan yang dipimpin oleh Hilmi Panigoro, adik kandung Arifin Panigoro, kini berusaha masuk ke pembangkitan listrik tenaga nuklir. Iming-imingnya kepada calon konsumennya, adalah bahwa harga listriknya bisa US$ 3 sen per kWh, lebih rendah dari pada harga listrik yang dihasilkan oleh PLTU atau PLTGU. Namun diakui oleh Hilmi Panigoro, bahwa “mendapat dukungan dari masyarakat adalah tantangan utama yang harus kita hadapi” (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007: 32).
TOLAK PLTN!!!
DARI uraian di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa rencana pembangunan PLTN, bukanlah karena krisis tenaga listrik yang sering didengung-dengungkan, sebab dengan berbagai pembangkit yang ada terutama PLTA, PLTU, dan PLTGU kebutuhan listrik untuk industri dan rumah tangga di Jawa sudah dapat terpenuhi. PLTU dan PLTGU, juga tidak akan menambah ketergantungan kita pada bahan baku dari luar negeri, sebab batubara dan gas kita berlimpah. Sedangkan untuk keperluan PLTN, kita harus mengimpor uranium dari Australia, untuk dijadikan isotop yang ‘dibakar’ di dalam reaktor PLTN, yang menimbulkan permasalahan baru lagi, yakni pengamanan limbah nuklirnya.
Jadi sebenarnya, pembangunan PLTN lebih merupakan ambisi kaum pengusaha yang dekat ke Istana, atau mendekat ke Istana, dengan menawarkan iming-iming dukungan buat Pemilu dan Pilpres 2009. Sementara dampaknya, begitu banyak, dan sangat sulit dikendalikan. Karena itu, mengutip kata penyair Wijih Tukul, menghadapi rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria ini: Lawan!
Yogyakarta, 31 September 2007.
Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (2003). Korban-korban pembangunan: Tilikan terhadap beberapa kasus perusakan lingkungan di tanah air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagian II: Dilema Seputar Pembangunan PLTN, hal. 105 s/d 272.
--------------- (2006). Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkaki tiga: Istana, tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: LkiS.
Eurodad (2007). Skeletons in the cupboard: Illegitimate debt claims of the G7. Brusssels: Eurodad.
1 comment:
You could easily be making money online in the undercover world of [URL=http://www.www.blackhatmoneymaker.com]blackhat affiliate[/URL], You are far from alone if you have no clue about blackhat marketing. Blackhat marketing uses little-known or not-so-known avenues to produce an income online.
Post a Comment