"hidup adalah perjuangan.. perjuangan butuh pengorbanan. takut berkorban, jangan berjuang. takut berjuang.. jangan hidup".
begitu kira2 ungkapan spirit anak2 muda tahun 1980-an. Paling gak, ungkapan itu begitu populer dikalangan anak2 smu zamanku dulu. Begitu populer karena hampir ditulis ditiap buku pelajaran. entah nulisnya saat iseng, ngantuk menghadapi ocehan guru fisika, atau jengkel karena diputusin pacar. atau mungkin juga saat melawan rasa frustasi karena ditolak cintanya sama sang pujaan hati. whatever lah????
Berjuang... berjuang ayo berjuang...
Berjuang yang seperti apa? berjuang untuk apa?
Banyak orang sekarang mempertakan makna perjuangan. Berjuang untuk apa lek? Pikir dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain?
Jelas berbeda ketika sebelum taon '45, begitu telanjang makna dari perjuangan. Panggul senjata (sekalipun cuma banu runcing), atau menyiapkan logistik untuk para petempur (aku lebih suka menggunakan kata itu, karena para ibu yang menyediakan makanan, yang menyembunyikan para petempur dan alat2 perang juga pejuang kan???)
Makna tersebut tentu masih relevan kalau di Irak, Afganistan, atau Timur Tengah yang bergolak).
Sayup-sayup syair lagu darah juang mengalun. Semakin lama semakin jelas. Nyala semangat sekelompok orang jelas terlihat. Terik matahari diabaikan. Hujan pun tak menyurutkan mereka untuk membubarkan diri. Suara lentang penuh semangat pun merobek hiruk pikuk lalu lalang lalu lintas. "Hancurkan tirani, Gayang keangkuhan... Turunkan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat". "Perjuangan ini belum selesai kawan.. tak surut langkah sebelum cita2 terkabul".
Kata perjuangan atau berjuang kembali mengalun. Bertumburan dengan pertanyaan pasimistis, berjuang untuk apa? berjuang untuk kepentingan siapa? Berjuang atas ajakan siapa?
Sebagai anak muda idealis, pertanyaan pasimistis pasati langsung digasak.
Bagaimana gak, mereka betul2 tulus mengorbankan kepentingannya, keluarganya, lingkungannya... atau bahkan masa depannya. demi sebuah keyakinan. Perubahan hakiki. Perubahan yang gak cuma jargon. gak cuma celoteh merdu para elit yang saat ini menempati berbagai posisi dari perubahan sandiwara.. REFORMASI.
Tapi kadang, nyala api semangat yang membara terlalu polos. Bersih bak kain putih keluar dari pabrik textile. Kepolosan terbungkus gelora semangat dan kadang.. kesombongan. Hingga.. tanpa sadar, mereka kerap menjadi bulan2an si mulut manis kaki tangan para bromocorah politik. Rela mengorbankan semua yang mereka punya, untuk kepentingan sesaat sang aktor.
Guncangan bumi yang tiba2, gelombang pasang air laut masuk daratan, atau matrial perut bumi menenggelamkan ribuan rumah. Ratusan ton matrial atau air menghancurkan kampung.. meninggalkan kepedihan. Tanpa kabar.. tanpa isyarat. Bencana.. begitu tiba2 datang. kemiskinan pun tercipta sebagai dampak terdahsyat. Mereka pun harus berjuang untuk tetap bisa bertahan hidup.
Berjuang... mereka berjuang untuk dirinya sendiri. berjuang untuk keluarganya dan untuk komunitasnya. Jarang ada harapan mereka untuk dapat kembali pada kehidupan sebelumnya. Karena fakta.... mereka akan ditinggalkan setelah gegap gumpita respon darurat. Sementara... para bandit2 berpesta menikmati hak2 warga korban bencana. Langsung maupun tidak langsung. Ini adalah realitas bung.. not dream or illusion. You must ready if you want to live in republic of disaster.
tentu kita masih ingat, bagaimana dana bencana dialihkan untuk asuransi atau perubahan dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Dijadikan pundi2 para wakil rakyat melalui percaloan. Dialihkan untuk pembangunan gedung olah raga atau.... perjalanan dinas. Tentu kita pun masih ingat, bagaimana bencana dijadikan alat untuk mengajukan hutang baru. Membuka ruang untuk memasukan sampah2 tak berguna dengan alasan untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Kembali lagi.. kata berjuang berkumandang. Berjuang untuk siapa? berjuang untuk apa?
Masyarakat bahorok telah lebih dari 2 tahun melantunkan dana sedih. Warga Nabire mencibir atas ketidak jelasan masa depan yang ditawarkan negara. Warga Jogja pun harus puas menciptakan kehidupan bermartabat dengan 15 juta. Pangandaran, Sinjai, Pesisir selatan atau Sumatra Barat. Bahkan banyak warga yang hanya menelan ludah karena sang pembawa mandat gak peduli. Akh... cuma 3 orang yang mati.... busyet dah???
Lalu... apa yang secara hakiki diperjuangkan saat ini? Melawan pembawa mandat negara yang telah berkhianat? atau berjuang melawan apatisme dan egoisme? Untuk siapa?
Tentu untuk rakyat, untuk warga kebanyakan yang tertindas?
Lah... wong yang diperjuangkan (rakyat atau kaum marjinal) aja gak merasakan itu. Buktinya... mereka gak pernah punya keinginan untuk terlibat dalam perjuangan...
Lalu................ kita berjuang untuk siapa ya? atau jangan2, kita ini hanya berhalunisasi... bermimpi sebagai pejuang sejati pada waktu dan tempat yang salah
No comments:
Post a Comment