Community Base Disaster Management.. keren ya. Tentu sangat keren segala kata ketika dienggriskan. Kalau di endonesiakan seolah menurun kualitasnya. Itulah hebatnya kata2.. lebih hebat lagi si bahasa penjajah, bahasa kapitalis yang sekarang udah resmi se resmi2nya jadi bahasa internasional. Akan ketinggalan pesawat dalam kehidupan sekarang kalau gak bisa speak2 english. Contohnya gw sendiri.. he. he...
Seolah menjadi orang bodooooooohhhhh banget ketika berhadapan dengan sekelompok orang yang cas cis cus.. sekalipun bule nya cuma satu ekor. 10 ekor lainnya melayu.
Bagaimana dengan substansi itu sendiri. Pengelolaan bencana berbasis masyarakat. Sebuah upaya terpadu, terinternalisasi dalam kehidupan sehari2, secara sadar kritis mengurangi risiko dan dampak bencana. CBDRM memang jadi populer sejak tsunami menggempur Aceh-Nias. Beda banget dengan tahun 90-an, ketika gw mulai belajar sekaligus jalanin di lereng Merapi. Gak banyak bahan bacaan yang siap saji. Ada, eh... pake bahasa kapitalis pula. Jadi harap maklum... kalau bukunya lebih banyak dijadikan hiasan. Belajar dari pengalaman... trial and error ja'e.
Dulu orang berkerut jidatnya kalau mendengar CBDM (sebelumnya belom ada R = risk). Sekarang, wuihhhh... orang begitu antusias lho. Seolah, gengsi kalau dibilang gak tahu tentang CBDRM. kalaupun gak jelas juga, apakah beneran muka berbinar penuh semangat itu dibarengin sama pemahaman dan ketertarikan untuk pengembangan CBDRM. tapi gw sendiri, lebih suka make pengelolaan bencana oleh masyarakat ajah.
Pengelolaan bencana oleh masyarakat beda gak dengan pengelolaan bencana berbasis masyarakat om eyanks? He.. he.. itu yang kerap dilontarkan banyak orang
Bisa beda bisa enggak sih. Tergantung orangnya memahami berbasis itu apa. WALHI sendiri menggunakan oleh untuk menegaskan saja untuk menempatkan masyarakat sebagai subject utama. Dengan menggunakan "oleh", menurut WALHI gak bisa tergantikan. Gak ada justifikasi yang bisa dipake untuk menempatkan masyarakat sebagai simbol. Implikasinya tentu sangat berat. Baik dalam kontek implementasi maupun pembuktian. Tapi itu konsekwensi yang harus diambil ditengah maraknya pengrajin project yang menempatkan CBDRM sebagai issue garapannya.
Masyarakat sebagai perencana dan pelaku
Merencanakan adalah bagian penting dari sebuah aksi. Terlalu banyak orang mengabaikan perencanaan untuk sebuah kegiatan. Bahkan pada orang yang menempatkan perencanaan sangat penting sekalipun. Contohnya ya para aktifis NGELESM itu. Masa iya, mau mengajak demo untuk perubahan kebijakan, hanya didiskusikan 1 minggu, bahkan ada yang cuma dua hari. itu pun kagak intensip. cuma 2 kali rapat ajah. weleh.. weleh..
Sebuah perencanaan pun tidak lepas dari analisis situasi, kecenderungan isu, aktor2 yang berkepentingan atau bahasa kerennya stake holders, kepasitas diri selain kebutuhan2 kenapa sebuah kegiatan dibutuhkan. Selain item2 tersebut, posisi masyarakat lah yang sangat penting. Tidak hanya keterlibatan, tapi masyarakat yang betul2 sebagai pelaku.
Susah lho melibatkan masyarakat sepenuhnya. Bisa dibayangkan, untuk satu desa aja (apalagi kalau di Jawa), bisa ribuan orang. Gimana caranya bisa melibatkan semua? Disinilah letak kecerdasan dan keterbukaan serta kepercayaan dibutuhkan. Kecerdasan artinya harus mempu berfikir, media apa, methode, atau materi apa yang bisa dipake. Juga peluang2 yang paling mungkin digunakan, resources yang dapat dimobilisasi dll. Keterbukaan adalah membuka diri terhadap input dari manapun. Keterbukaan pun harus bersifat aktif. Bukan gaya SBY atau para pejabat negeri ini yang hanya menggunakan "Open House". Kepercayaan, adalah percaya pada proses, percaya dengan individu dan kelompok atau organisasi yang ada.
Struktur dan sistem sosial serta administrasi di negari ini sudah sangat memadai. masalah hanya pada konsistensi dan mungkin tidak maksimal dikelola. Ditingkat yang paling kecil ada RT (rukun tangga), naik ke Rukum Warga, Dusun (jika di pedesaan), ada juga istilah jorong, gampong dll. Naik lagi ada kelurahan atau kantor desa sampai ke kabupaten.
Untuk bisa mensosialisasikan atau mengundang warga untuk sebuah rencana kerja atau akan membuat rencana, jika memanfaatkan struktur tersebut, sebesar apapun agenda yang akan dibuat dapat dilakukan. Gak ada dana...??? itu alasan banyak pemda ketika ngomong tentang keterlibatan masyarakat secara masif. makanya, jangan heran, kalau mereka cuma ambil satu dua ekor warga, dan dijustifiasi udah melibatkan warga. Nah.. apakah ornop yang protes mulu dengan gaya pemerintah juga akan melakukan hal yang sama????
Apakah seluruh warga harus ikut? Yang terpenting dari proses tersebut, warga harus tahu bahwa keterlibatan mereka penting. Implikasi jika gak terlibat juga tahu. dan apa pula implikasi ke depan buat kehidupan mereka. Kalau itu udah disampaikan dan pahami, kalau warga tetep gak mau ikut, itu adalah hak warga juga untuk tidak berpartisipasi. dan yang lebih penting adalah, woro2 tentang undangan atau sosialisai nilai penting (strategis) untuk sebuah pembahasan harus betul2 sampai dan dipahami warga. Pilihan ada di warga, ikut atau tidak ikut.
Masyarakat sebagai penentu kebijakan
Rakyat adalah pemegang mandat tertinggi. Melalui sistem kenegaraan Republik Disaster ini diterjemahkan dengan perwakilan. Ya.. DPR dan DPRD itu. sebelumnya, keterwakilan ditentukan oleh 3 Parpol resmi Negara. Rakyat cuma dikasih kesempatan nyoblos partai.
Sekarang rakyat udah milih langsung calon, tapi ternyata intervensi partai masih tetep menentukan, kalau gak masuk kuota. Presiden, gubernur ampe bupati pun sekarang dah dipilih langsung. Jadi, ya.. mau apalagi... menjadi sah kalau mereka memutuskan atas nama rakyat. contohnya pemerintah, ya dengan memutuskan mendukung resolusi PBB untuk kasih sangsi ke Iran. Kalau DPR mah lebih banyak lagi.. sekalipun keputusan2nya jauh dari kepentingan rakyat. Contohnya ya minta laptop ditengah banyaknya kejadian bencana.
Mengembalikan fungsi dan peran, rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat gak gampang. harus dimulai dari tingkat yang paling bawah. Tingkat dusun, atau RT. Setelah keputusan dibuat, gak serta merta selesai, perlu pengawasan atas keputusan tersebut. jagnan sampe diselewengkan untuk kepentingan yang lain.
Pada tataran ringan, ya dalam penyusunan rencana ditingkat kelompok atau dusun lah. Mempuat perencanaan program pengelolaan bencana oleh masyarakat. Yo kita coba, selain mengurangi risiko bencana yang menjadi fokus utama, juga mereduksi dominasi para elit atau tokoh dalam mengambil kebijakan. dari mulai rencana, sampe monitoringnya
he.. he.. kok gak nyambung ya dengan judul di atas. bodo akh... ambil aja manfaatnya kalau ada.. kalau gak, ya gak usah dianggap apa2.
No comments:
Post a Comment