Wednesday, March 09, 2016

PENCINTA ALAM DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA


Pandangan masyarakat atas diri pencinta alam (PA) cukup beragam. Bagi warga seputar gunung-gunung yang menjadi salah satu aktifitas, digambarkan dengan sekelompok orang berpakaian "nyentrik" dengan tas punggung besar besar. Bisa berbeda dengan warga masyarakat pada lokasi goa, tebing atau sungai berarus deras. Bagaimana dengan warga perkotaan dalam menilai sang pencinta alam? cuek, berpakaian tidak rapi dengan beragam aksesoris "aneh". 


Paling tidak, penilaian umum gak jauh2 amat dari kesan coboy. Namun bagi yang melihat lebih dalam, beragam pujian pun kerap muncul. Lebih dalam lagi, semakin mengagumi. Bahkan tidak jarang orang tua yang sebelumnya tidak memiliki background PA, mendorong anaknya untuk terlibat aktif dalam kegiatan PA.

Bekerja dalam kesunyian. Paling tidak itu yang terlihat jika kita bersama-sama melakukan kegiatan pencarian dan penyelamatan. entah karena ada sesama rekan PA yang hilang digunung, kecelakaan yang terjadi di hutan, laut atau sungai, maupun terlibat dalam kegiatan-kegiatan tanggap darurat bencana. Ya, sangat jarang terlihat, aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan membawa bendera atau uniform. sekalipun tidak pernah ada larangan secara tertulis. Namun etika diri untuk bersatu dalam kebersamaan -  menghilangkan ego diri maupun kelembagaan. 

Kerja-kerja kemanusiaan pada operasi tanggap darurat telah menjadi bagian utama kelompok pencinta alam (KPA). Dimana pun ada kejadian bencana, bisa dipastikan anggota KPA hadir disana. Baik secara resmi diutus oleh organisasi, maupun mengikuti panggilan jiwa dan tergabung dengan organisasi kemanusiaan atau lembaga resmi negara (SAR, BNPB/BPBD). Meraka akan berjibaku tanpa mengenal lelah dan berbaur dengan tim-tim yang ada. Gempa dan Tsunami Aceh, Desember 2004, mungkin menjadi momen terlibatnya KPA seluruh Indonesia dalam kerja-kerja kemanusiaan. dari mulai evakuasi jenazah, mengumpulkan dan distribusi bantuan, pendataan penduduk terkena bencana, pengelolaan data base maupun penguatan komunitas. Ribuan anggota pencinta alam berbaur menjadi satu. dan..... tanpa label yang menyertai, dari mana organisasi pencinta alam mana mereka berasal. demikan juga saat bencana gempa bumi di Jogjakarta, Maret 2006 atau Gempa Sumatera Barat 2007 dan 2009.

Pada kerja-kerja tanggap darurat, bantuan darurat sampai pada fase pemulihan, peran KPA begitu nyata. Ini juga yang menjadikannya salah satu penilaian positif dari banyak kalangan. Karena tulusnya kerja-kerja yang dilakukan KPA ini, tidak jarang banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk mengangkat nama besar mereka sendiri. Ya melibatkan para pencinta alam tidak lebih hanya sebagai "pekerja". namun luar biasanya -  panggilan kemanusiaan yang melekat pada diri para relawan dari KPA, tidak menjadikannya persoalan. "kami bekerja hanya untuk kemanusiaan -  tidak lebih".



Menempatkan Pengurangan Risiko Bencana sebagai paradigma manajemen risiko bencana
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) telah menjadi paradigma dalam Manajemen Risiko Bencana (MRB). artinya, seluruh pengelolaan -  baik pra, saat maupun paska bencana harus menempatkan PRB sebagai cara pandang oleh seluruh pelaku. 
KPA yang sementara ini lebih cenderung bekerja pada saat bencana, pun harus menempatkan PRB sebagai paradigma dalam operasi tanggap darurat maupun bantuan darurat. Baik pada proses evakuasi penyelamatan, pengurusan jenazah, maupun pengumpulan dan distribusi logistik. Jika akan memperluas kerja tanggap darurat, juga melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap aset-aset penduduk terkena bencana maupun pengelolaan pengungsian.

PRB dalam tanggap darurat berprinsip secara simple adalah kerja-kerja yang dilakukan tidak meningkatkan risiko atau memunculkan risiko baru. seperti, dalam proses pencarian penduduk terkena bencana  tidak meningkatkan risiko, penggunaan alat kerja maupun proses pencarian berpotensi meningkatan risiko yang sudah ada. seperti secara tidak sadar, timbunan lumpur pada kasus bencana longsor, menghalangi jalur air (sungai). sehingga berpotensi terhadap banjir bandang bagi wilayah bawah. atau pegelolaan sampah yang buruk para relawan sehingga berpotensi menyebarkan penyakit. dapat juga munculnya potensi konflik dengan penduduk setempat karena dianggap melanggar norma2 yang berlaku di wilayah setempat.

Mencermati dampak-dampak negatif yang bisa ditimbulkan atas operasi kemanusiaan, serta melakukan upaya peredaman atas dampak yang berpotensi muncul merupakan cara pandang atau paradigma PRB. Dan ini penting bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada seluruh tahapan dalam manejemen risiko bencana.

Pencinta alam yang membaur dengan pekerja kemanusiaan
sumber : www.merdeka.com
Keterlibatan KPA dalam operasi kemanusiaan, umumnya hanya didasarkan atas panggilan kemanusiaan. Sekalipun dalam Diklat, diberikan materi analisis sosial (Ansos) atau Sosiologi Perdesaan (Sosped), namun kerap dianggap sebagai materi pelengkap. Bukan menjadi materi prioritas, karena orientasi utama lebih pada pengetahuan dan skill kegiatan alam bebas. Sama halnya dengan materi konservasi sumberdaya alam atau manajemen lingkungan. adanya anggapan hanya sebagai relawan dan menjadi bagian dari tim, sedangkan manajemen sudah ada yang mengatur -  menempatkan relawan KPA hanya bermodalkan kemauan. 

Kondisi-kondisi tanpa pengetahuan dan skill dalam operasi kemanusiaan, menempatkan relawan dari KPA tidak lebih hanya sebagai prajurit yang siap tempur. apapun perintah dari komandan, akan dilaksanakan. Celakanya, kerap komando pada fase tanggap darurat yang berubah dengan cepat, bahkan tidak jarang yang bertolak belakang. tidak jarang juga adanya dua atau lebih perintah yang berbeda. sebagai relawan yang telah menempatkan dirinya sebagai prajurit -  kerap menjadi dilema. Bahkan jika terjadi konflik pada pengelola atau ditingkat manajemen, menjadikan relawan semakin bingung. apakah harus berpihak, tetap melanjutkan kerja-kerja kemanusiaan, atau mundur dan mencari kelompok lain yang lebih baik.

Penanganan bencana perlu dilakukan secara sadar. Sadar akan bahaya yang mungkin terjadi pada dirinya, dan sadar jika upaya yang dilakukan betul-betul menyelamatkan, mengurangi penderitaan penduduk terkena bencana dan membuat lebih baik. Kesadaran atas hal tersebut menempatkan KPA perlu merubah paradigma dalam penanganan bencana. Tidak lagi hanya bermodalkan niat baik atau atas nama kemanusiaan. tapi juga perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang mumpuni. 

pemukiman yang tenggelam akibat lumpur lapindo
(doc. eyanks)
Beragamnya jenis ancaman bencana di Indonesia, menuntut para pekerja kemanusiaan -  termasuk KPA memahami karakteristik ancaman bencana yang ada. Mengenal dengan baik karakteristik ancaman, paling tidak akan menjadi dasar bagi relawan untuk lebih siaga dan mampu mendorong penduduk terkena bencana maupun relawan atau para pekerja kemanusiaan untuk mencermati kemungkinan adanya ancaman bencana susulan maupun ancaman bencana sekunder. Kasus relawan yang terjebak di bungker dan menjadi korban pada erupsi Merapi 2006, patut menjadi pembelajaran bersama - mengenal karakteristik ancaman bencana dapat menentukan hidup mati sang relawan.

tidak cukup hanya mengenal karakteristik ancaman bencana dan wilayah terpapar, KPA juga perlu memahami tentang dasar-dasar manejemen risiko bencana. Jika memang hanya akan fokus pada tanggap darurat, maka memahami dan mengusasi manajemen kedaruratan menjadi sangat fital dilakukan. sehingga kehadirannya dalam komunitas kemanusiaan menjadi lebih bermakna. tidak saja menempatkan diri menjadi lebih baik, tapi juga mendorong bagi relawan lain maupun para pekerja kemanusiaan untuk berbuat lebih maksimal. Baik memberikan masukan saat rapat koordinasi maupun menawarkan sebuah konsep pengelolaan kedaruratan berdasarkan pengkajian yang dilakukan secara matang.

Meningkatkan Peran KPA dalam Penanganan Bencana
Belum terorganisirnya KPA dalam penanggulangan bencana, sedikit banyak melemahkan posisi tawar dengan pihak lain. Tim yang umumnya terbentuk atau dibentuk secara ad hock saat adanya kejadian bencana, menempatkan tim KPA tidak terkonsolidasi dengan baik. pada masing-masing individu pun masih belum memiliki kesamaan persepsi, cara pandang atau menyepakati alur kerja yang akan dilakukan. Sehingga posisi sebagai prajurit atau pekerja tetap menjadi tempat sempurna. 

Sementara, seiring waktu berjalan dalam operasi yang dilakukan, kerap ditemui hal-hal yang dianggap tidak wajar atau tidak layak dilakukan. Namun karena tempat yang dipilih adalah prajurit, maka "hanya bisik-bisik tetangga" yang bisa dilakukan. sekalipun ada ruang dialog dalam rapat koordinasi, tidak banyak membantu. Selain waktu yang terbatas, juga posisi tawar prajurit cenderung lemah.  

Memasukan materi penanggulangan bencana -  atau lebih spesifik tanggap darurat pada pendidikan dan pelatihan (Diklat) KPA adalah salah satu hal yang sangat strategis. Dengan masuknya materi penanggulangan bencana, paling tidak, anggota KPA telah mulai dikenalkan pengetahuan atas kerja-kerja penanggulangan bencana. Materi dengan contoh-contoh kasus berdasarkan pengalaman, akan lebih mudah memberikan gambaran terhadap penanganan bencana dilapangan. Apalagi jika tersedia audio visual (film) dari operasi tanggap darurat yang pernah ada.

Materi dalam diklat tentu sangat terbatas. sementara, pengetahuan dan keterampilan dalam penanggulangan bencana cukup banyak yang perlu dipelajari. Masih kuatnya kebersamaan antar organisasi pencinta alam dapat menjadi momentum untuk menyatukan antar organisasi dalam sebuah wadah bersama. Pelatihan khusus terkait dengan kebencanaan, dapat dilakukan tidak per organisasi, tapi dilakukan secara bersama-sama (koalisi). Pelatihan bersama, selain dapat mempercepat transfer pengetahuan ditingkat organisasi yang terlibat, juga dapat menjadi ajang memperkuat kebersamaan dalam sebuah tim kerja bersama. 

Proses menyiapkan pelatihan bersama, dari mulai menyiapkan kurikulum, menyiapkan modul, memilih trainer sampai pelaksanaan akan menjadi media untuk saling berbagi ide atau gagasan, menyusun aturan main, fokus operasi atau ruang lingkup operasi, kode etik maupun pola kerjasama yang perlu dilakukan untuk efetifitas penanganan bencana ke depan.

Kebersamaan yang dibangun didasarkan atas komitmen dan perencanaan yang matang, tentu akan lebih berdaya guna dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa -  dibandingkan dengan cara ad hock dengan prinsip; yang penting jalan.

dengan adanya wadah bersama, KPA dalam penanggulangan bencana, maka kerjasama dengan pihak lain pun akan lebih terbuka. baik dengan instansi pemerintah, pihak swasta maupun organisasi kemanusiaan yang sudah mapan. Dan hal yang terpenting, mereka tidak akan lagi meragukan kemampuan KPA dalam penanganan bencana. sehingga bukan lagi ditempatkan hanya sebagai prajurit. sekalipun sebagai prajurit, namun prajurit yang cerdas dan kritis.

Pra Bencana sebagai sebuah tantangan
selain kerja operasi saat bencana (emergency response), peran KPA dalam penanggulangan bencana adalah pada pra bencana. baik pada mitigasi maupun kesiapsiagaan. Peluang untuk memperkuat komunitas menghadapi bencana; baik mitigasi maupun kesiapsiagaan terhadap bencana, KPA memiliki program desa binaan atau bakti sosial.  Lokasi-lokasi desa yang merupakan tempat kegiatan pada umumnya dapat menjadi bagian dalam membangun ketangguhan komunitas dalam menghadapi bencana.

Proses awal yang perlu dilakukan tentu dengan mengenal dengan cara mengidentifikasi jenis-jenis ancaman bencana yang ada. Untuk mengetahui jenis-jenis ancaman bencana tidak lah sulit. Kita dapat mencari informasi dengan bertanya pada mbak google maupun mengunjungi desa dan menggali sejarah kebencanaan yang ada. dari informasi yang didapat, kita dapat melanjutkan dengan menggali berbagai informasi terkait respon penduduk dan upaya yang telah dilakukan; baik pra, saat maupun paska bencana. Idealnya, proses ini dilakukan secara komprehensip melalui kajian risiko bencana partisipatif. Modul kajian risiko partisipatif; download disini

Namun jikapun tidak, pola dialog dengan penduduk dapat memberikan gambaran apa yang bisa dilakukan sebagai bagian dari mereduksi risiko bencana yang ada. Pilihan tindak tentu perlu disesuaikan dengan kemampuan KPA. Jika bentuknya infrastruktur karena adanya alokasi anggaran yang memadai, dapat diarahkan sebagai bagian dari pengurangi risiko bencana. seperti penghijauan pada lahan-lahan yang teridentifikasi rawan longsor, membuat teras siring, atau membuat jalur evakuasi dan tanda peringatan dini.

Pengetahuan dan keterampilan untuk membangun kesiapsiagaan dapat menjadi pilihan kegiatan pada desa binaan atau kegiatan bakti sosial. sudah saatnya kita meninggalkan pendekatan bantuan instan yang tidak berjangka panjang. Pengobatan gratis memang penting, tapi itu hanya sesaat. Belum tentu juga pengobatan gratis yang dilakukan dibutuhkan masyarakat saat itu. Akan lebih baik justru memperkuat puskesmas atau memberikan kesempatan bidan desa untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Pasar murah memang dibutuhkan, tapi tidak berjangka panjang. akan lebih baik mendorong kegiatan yang dapat meningkatkan ekonomi warga, seperti pengetahuan membangun jaringan pasar, mendapatkan dukunga modal atau proses paska panen.

Tidak dimiliki SDM untuk melaksanaan kegiatan berjangka panjang -  akan terpecahkan dengan adanya kerjasama antar KPA dalam penanggulangan bencana. KPA dari perguran tinggi yang membidangi agama misalnya -  dapat meminta KPA dari peternakan, saat ada kebutuhan untuk sosialisasi terkait persoalan ternak. demikian juga saat penduduk membutuhkan pengetahuan terkait kebencanaan -  dapat menghubungi lembaga-lembaga yang telah mapan dalam PB. butuh biaya? belum tentu -  karena dengan dialog yang baik, KPA tidak akan mengeluarkan dana sepeserpun. Bahkan mendapatkan bonus, selain pengetahuan -  juga jejaring yang bisa dikembangkan untuk ke depan.

Akhirnya, akan kembali pada KPA itu sendiri -  akan tetap memilih sebagai prajurit dalam PB atau menjadi bagian yang menentukan arah penanggulangan bencana di Indonesia. Tujuan utamanya tentu pada terpenuhinya hak masyarakat untuk tetep bermartabat.

Jakarta -  rumah perlawanan JATAM,, 10 Februari 2016



No comments: