Paparan ini merupakan bagian dari proses penyusunan rencana kontijensi (contungency planning) komunitas tingkat kelurahan yang difasilitasi oleh BPBD DKI Jakarta tahun 2013 - 2014. Sebuah gagasan dalam membangun ketangguhan komunitas dalam menghadapi ancaman bencana banjir yang menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat DKI Jakarta. Kelompok masyarakat sipil berkolaborasi bersama BPBD DKI Jakarta dalam menyiapkan berbagai persiapan. Dari mulai training yang difasilitasi oleh MercyCorps Indonesia untuk Program Adaptasi Perubahan Iklim dan pengurangan Risiko Bencana untuk Ketangguhan (API Perubahan), Wahana Visi Indonesia, Child Fund, MPBI, Forum API PRB DKI Jakarta, Dompet Duafa, Bingkai Indonesia juga kelompok masyarakat Jelambar baru, Kedoya, Komunitas bantaran sungai Ciliwung dll.
Jakarta identif dengan banjir. Tidak satupun pimpinan daerah yang mampu menyelesaikan banjir secara tuntas. Sekalipun topik ini selalu diangkat dalam pemilu kepala daerah sebagai isu yang diharapkan mampu meraup suara. Sama halnya dengan kemacetan yang telah menjadi bagian tidak tidak terpisahkan dari kehidupan Ibu Kota Negara RI sekaligus pusat ekonomi, sosial - budaya.
Ya, Jakarta tidak akan betul-betul bebas bajir. Karena secara alamiah wilayahnya merupakan wilayah tampungan air. 13 sungai mengalir melewati wilayah Jakarta dan bermuara di laut jawa. Sungai Ciliwung dan Cisadane merupakan sungai besar yang berhulu di kawasan Jawa Barat. adanya aliran sungai besar ini lah justru menjadikan wilayah ini dipilih sebagai wilayah strategis yang menarik minat para pencari kehidupan material.
Banjir Jakarta tempo dulu - sumber : Kaskus |
Mengurus banjir untuk wilayah Jakarta yang telah menjadi pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, telah diurus secara serius pada masa pemerintahan Belanda. Dibentuknya Burgelijke Openhare Werken tahun 1850an sebagai badan khusus mengurus banjir Jakarta adalah salah satu bukti keseriusan tersebut. Paska Banjir besar tahun 1918, upaya lebih komprehensif dilakukan. Banjir Kanal Barat yang dibangun tahun 1922 merupakan artefak hidup hasil kerja tim penyusun rencana pencegahan banjir yang dikepalai oleh Dr. Herman Van Breen (Mustafak, Tempo - 23 Februari 2005).
Sampai saat ini, banjir yang masih terus terjadi menjadi PR besar bagi rentetan pemimpin DKI Jakarta. Menjadi pertanyaan besarnya adalah; Jika memang banjir tidak bisa dihilangkan - masihkah dengan bodohnya para calon Gubernur yang akan maju ditahun 2017 nanti menjanjikan BEBAS BANJIR bagi Jakarta? Dengan cara apa banjir dapat dihilangkan? Memindahkankan ke daerah lain? atau mengurug seluruh dataran yang berada di bawah permukaan laut menjadi lebih tinggi? Atau memaksa penduduknya untuk hidup nyaman bersama banjir. Menempatkan ancaman dan risiko sebagai bagian dari daur kehidupannya. Sehingga pilihan mengurangi risiko dapat dilakukan semaksimal mungkin?
Rencana Kontijensi (Contingency Planning)
PP No 21 Tahun 2008 dikenal dengan istilah rencana penanggulangan kedaruratan sebagai bagian dari upaya kesiapsiagaan. Sebagai bagian dari kesiapsiagaan juga diperlukan penyusunan data akurat, informasi dan pemutahiranprosedur tetaptanggap darurat bencana yang diatur dalam pasal 16 (2). Selanjutnya, pada pasal 17 dipertegas dengan bahwa, rencana penanggulangan kedaruratan merupakan acuan pelaksanaan tanggap darurat dan dapat dilengkapi dengan rencana kontijensi.
Merujuk dari PP No 21/2008 sebagai regulasi operasional dari UU No 24/2007, Pemerintah maupun pemerintah memiliki kewajiban atas penyusunan Rencana Penanggulangan Kedaruratan (RPK) dalam menjalankan mandat kesiapsiagaan. Kewajiban penyusunan RPK ini pada dasarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia dengan multi ancaman. Dengan 13 sampai 14 ancaman bencana yang ada, dibutuhkan sebuah pedoman atau acuan bersama dalam penanganan bencana secara umum dan maupun yang bersifat spesifik. Pada pengaturan yang bersifat umum, misalnya pengerahan sumberdaya baik yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat berlaku sama. Namun beberapa aspek, dibutuhkan hal spesifik. Misalnya kebutuhan jenis bantuan; pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, shelter dll pada beberapa jenis ancaman bencana.
Hampir 8 tahun perjalanan regulasi sebagai dasar kebijakan PB di Indonesia, dan 7 tahun lembaga negara yang menjalankan mandat PB, nampaknya anjuran lebih utama dibandingkan yang bersifat wajib. Ini terlihat dari upaya yang dilakukan, baik pada level Nasional maupun Daerah dalam menyiapkan kondisi darurat. sampai saat ini, tidak ditemukan dokumen maupun proses penyusunan rencana penanggulangan kedaruratan sebagai mandat dari pasal 16 dan 17 dari PP No 21/2008. Tapi kita dengan mudah menemukan dokumen rencana kontijensi pada jenis-jenis ancaman bencana, khususnya tsunami, erupsi gunungapi, dan banjir - baik pada level nasional maupun dareah.
Sampai saat ini, banjir yang masih terus terjadi menjadi PR besar bagi rentetan pemimpin DKI Jakarta. Menjadi pertanyaan besarnya adalah; Jika memang banjir tidak bisa dihilangkan - masihkah dengan bodohnya para calon Gubernur yang akan maju ditahun 2017 nanti menjanjikan BEBAS BANJIR bagi Jakarta? Dengan cara apa banjir dapat dihilangkan? Memindahkankan ke daerah lain? atau mengurug seluruh dataran yang berada di bawah permukaan laut menjadi lebih tinggi? Atau memaksa penduduknya untuk hidup nyaman bersama banjir. Menempatkan ancaman dan risiko sebagai bagian dari daur kehidupannya. Sehingga pilihan mengurangi risiko dapat dilakukan semaksimal mungkin?
Rencana Kontijensi (Contingency Planning)
PP No 21 Tahun 2008 dikenal dengan istilah rencana penanggulangan kedaruratan sebagai bagian dari upaya kesiapsiagaan. Sebagai bagian dari kesiapsiagaan juga diperlukan penyusunan data akurat, informasi dan pemutahiranprosedur tetaptanggap darurat bencana yang diatur dalam pasal 16 (2). Selanjutnya, pada pasal 17 dipertegas dengan bahwa, rencana penanggulangan kedaruratan merupakan acuan pelaksanaan tanggap darurat dan dapat dilengkapi dengan rencana kontijensi.
Merujuk dari PP No 21/2008 sebagai regulasi operasional dari UU No 24/2007, Pemerintah maupun pemerintah memiliki kewajiban atas penyusunan Rencana Penanggulangan Kedaruratan (RPK) dalam menjalankan mandat kesiapsiagaan. Kewajiban penyusunan RPK ini pada dasarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia dengan multi ancaman. Dengan 13 sampai 14 ancaman bencana yang ada, dibutuhkan sebuah pedoman atau acuan bersama dalam penanganan bencana secara umum dan maupun yang bersifat spesifik. Pada pengaturan yang bersifat umum, misalnya pengerahan sumberdaya baik yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat berlaku sama. Namun beberapa aspek, dibutuhkan hal spesifik. Misalnya kebutuhan jenis bantuan; pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, shelter dll pada beberapa jenis ancaman bencana.
Hampir 8 tahun perjalanan regulasi sebagai dasar kebijakan PB di Indonesia, dan 7 tahun lembaga negara yang menjalankan mandat PB, nampaknya anjuran lebih utama dibandingkan yang bersifat wajib. Ini terlihat dari upaya yang dilakukan, baik pada level Nasional maupun Daerah dalam menyiapkan kondisi darurat. sampai saat ini, tidak ditemukan dokumen maupun proses penyusunan rencana penanggulangan kedaruratan sebagai mandat dari pasal 16 dan 17 dari PP No 21/2008. Tapi kita dengan mudah menemukan dokumen rencana kontijensi pada jenis-jenis ancaman bencana, khususnya tsunami, erupsi gunungapi, dan banjir - baik pada level nasional maupun dareah.
Apakah rencana kontijensi lebih penting dari rencana penanggulangan kedaruratan, sehingga menjadi lebih diutamakan? atau lagi-lagi, karena terjebak dengan pemahaman atas isu dan trend yang berimplikasi pada pengalokasian anggaran dana pemerintah. Atau lebih didorong pihak eksternal yang lebih mendorong rencana kontijensi karena sifatnya yang spesifik dan mudah diukur pencapaiannya?
Kita akan mendapatkan banyak jawaban dari pertanyaan di atas. Pemahanan atas terminologi, ruang lingkup atau teori-teori atas keduanya merupakan salah satu tertuduhnya. Teori maupun pengalaman penyusunan rencana kontijensi atau contingency planning akan sangat mudah kita dapatkan. dari mulai bertanya pada mbah google yang baik hati, maupun pada penggiat penanggulangan bencana. Levelnya pun bisa beragam, dari tingkat nasional, provinsi maupun level komunitas.
Ketersediaan teori atau pengetahuan serta dokumen-dokumen contoh rencana kontijensi, baik melalui website yang siap download maupun dalam bentuk hardcopy/softcopy dibanyak pihak, menunjukan Renkon lebih sangat populer sebagai media dalam membangun kesiapsiagaan. Bandingkan dengan RPK. Jangankan dokumen sebagai contoh, teori atau konsep yang menjelaskan tentang itu pun tidak mudah kita dapatkan. Padahal jika dikaitkan dengan mandatnya - RPK merupakan mandat langsung dari regulasi sebagai dasar hukum berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari sisi fungsi dari keduanya - Renkon menjadi pilihan selain karena popularitas atau tersedianya banyak refrensi, tidak lepas dari dokumen ini yang lebih fokus. Sehigga dalam mengukurnya menjadi lebih mudah. Demikian juga jika dikaitkan dengan proses pemantauan dan evaluasi. Ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari trend yang ditangkap dan menjadi sebuah peluang. Peluang mendapatkan pendanaan dari lembaga donor oleh banyak organisasi kemanusiaan, khususnya International NGO's dan lembaga PBB. Kondisi ini sekaligus menjadikan Renkon banyak mendapatkan kesempatan untuk diimplementasikan, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Banyaknya inisiasi menjadikan Renkon sebagai obat mujarab dalam menghadapi ancaman bencana yang ada di suatu wilayah.
Kontijensi sendiri diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan yang segera dapat terjadi - namun bisa tidak juga tidak terjadi. Dalam kontek penanggulangan bencana, rencana kontijensi menggambarkan sebuah perencanaan dalam menghadapi sebuah keadaan atau kondisi darurat (bencana) yang diprediksi akan segera terjadi - namun bisa juga tidak terjadi. Probabilitas ini perlu disikapi dengan melakukan identifikasi dampak, kebutuhan, ketersediaan serta kesenjangan yang ada untuk meminimalkan dampak-dampak yang dapat terjadi melalui sistem dan pengelolaan yang terkoordinasi, sistematis, cepat dan tepat.
Syarat Penyusunan Renkon
Penyusunan Renkon pada prosesnya, tidaklah bersifat tunggal. Renkon adalah bagian tidak terpisahkan dari berbagai upaya kesiapsiagaan. Paling tidak, sebelum proses Renkon disusun, beberapa hal perlu ada atau sudah siap. Diantara adalah;
1. Komitmen para pihak;
Merupakan pra syarat utama dalam penyusunan Renkon. Tanpa komitmen yang jelas, jangan harap dokumen atau bahkan jikapun telah menjadi kekuatan hukum - yang seharusnya menjadi acuan dalam tanggap darurat, namun tidak menjadi pegangan bersama. Jika dapat dikomposisikan dalam penyusunan Renkon, bisa jadi membangun komitmen ini menempati prosentasi 75 - 80 % dari keseluruhan proses Renkon. artinya, jika komitmen para pihak telah terbentuk, proses selanjutnya hanya tinggal 25 - atau 20 % saja.
Karena bentuk-bentuk teknis dapat dilakukan dengan lebih mudah dan tidak membutuhkan waktu panjang. Misalnya dalam mengidentifikasi ketersediaan dari kebutuhan yang ada, akan dengan mudah terpetakan karena masing-masing pihak secara sungguh-sungguh melakukan indentifikasi ditingkat internal masing-masing. Demikian juga saat menghitung kesenjangan dan upaya pemenuhannya. Hal yang lebih penting, tentu saat Renkon berubah menjadi Rencana Operasi (Renops), dimana kesepakatan sebagai hasil komitmen diuji untuk dijalankan. tidak hanya seberapa besar pengerahan sumberdaya dari masing-masing pihak sesuai dengan dokumen Renkon, tapi juga kecepatan dan ketepatan dengan sistem kominikasi dan koordinasi melalui sistem komando yang sistematis.
Telah adanya komitmen yang kuat, dapat mendorong adanya mandat - jika dibutuhkan. Mandat kelembagan memiliki fungsi krusial, karena tidak keputusan atau kesepakatan yang dihasilkan akan mengikat secara institusi.
2. Kajian risiko bencana;
Kerap menjadi berdebatan, apakah dalam penyusunan Renkon masih dibutuhkan kajian risiko bencana - sementara kajian tersebut telah ada sebelumnya. Jika sebelumnya belum ada, maka kebutuhan sebuah kajian risiko untuk jenis ancaman yang akan disusun Renkon dapat diterima oleh seluruh kalangan. Karena dianggap penting. Kebutuhan akan kajian risiko bencana dalam Renkon akan kembali pada dokumen kajian risiko bencana telah menyajikan data dan informasi yang mencukupi atau belum.
Renkon pada pada tingkat Provinsi atau Kabupaten, bisa dipastikan - kajian risiko bencana yang ada masih bersifat umum. Sekalipun untuk menentukan tingkatan (kelas) risiko bencana pada masing-masing jenis ancaman yang ada telah menggunakan data dan informasi sampai pada level desa (untuk kabupaten), namun beberapa informasi masih perlu digali untuk mendapatkan hal yang lebih spesifik. Contoh kasus untuk risiko banjir. Kajian risiko bencana (KRB) pada tingkat Kabupaten telah menyajikan tingkatan (kelas) risiko banjir tinggi, sedang atau rendah. Kelas tersebut didasarkan atas tingkatan ancaman, dampak dan indek kerugian sebagai hasil analisis kerentanan maupun indek kapasitas. Kelas risiko tinggi yang teridentifikasi pada satu lokus (wilayah) misalnya - pada tataran real, tidak seluruh wilayahnya berisiko tinggi karena berbagai faktor. Baik karena topografi, infrastruktur, kesiapsiagaan maupun hal lainnya.
Atau lebih spesifik bisa kita lihat, apakah banjir pada suatu wilayah memiliki karakteristik yang sama, kedalamannya, terdapat tempat-tempat berbahaya dll. Kondisi ini dalam proses penyusnan Renkon harus mampu teridentifikasi dengan baik sebagai bagian untuk menghitung kebutuhan, ketersediaan maupun gaps serta strategi dan aksi yang direncakan dalam penanganan krisis.
Melihat kebutuhan akan spesifiknya data dan informasi terkait risiko bencana, maka pendalaman dari kajian risiko bencana yang ada perlu dilakukan. Hasil kajian, juga akan memberikan informasi lebih - bahkan sampai pada kelas risiko pada satu wilayah (yang pada hasil kajian risiko bencana masuk kelas risiko tinggi). proses kajian - juga sekaligus untuk melakukan verifikasi atau cross check atas data dan informasi yang sebelumnya tersedia. dari mulai jumlah penduduk terpapar, kelompok rentan, aset-aset berisiko, aset yang masih dapat berfungsi saat kondisi kritis dll.
3. Jalur, tanda dan tempat evakuasi;
Jalur, tanda dan tempat evakuasi dalam proses penyusunan Renkon idealnya telah tersedia. Prosesnya bisa dilakukan bersamaan dengan kajian risiko bencana. Telah tersedia jalur, tanda dan tempat evakasi bukanlah tujuan. tapi informasi akan jalur, tanda dan tempat evakuasi adalah hal yang vital.
Sama halnya dengan kajian risiko bencana - jika telah ada, pada proses penyusunan renkon dilakukan evaluasi. apakah jalur, tanda dan tempat evakuasi telah sesuai dengan kebutuhan. atau jika kita akan menggunakan indikator SPHERE, apakah telah sesuai dengan standard minimum? Jika belum - informasi ini akan menjadi bagian dari kesenjangan yang perlu dipenuhi.
Pada kasus jalur, tanda dan tempat evakuasi yang belum tersedia - maka proses kajian risiko bencana dapat menjadi media untuk menentukan jalur dan tempat evakuasi. proses partisipatif menjadi sangat penting, karena informasi dari masyarakat tempatan tentu lebih valid. Dan pada proses penyusunan Renkon, jalur dan tempat evakuasi dapat dibahas, disepakati dan ditetapkan.
Keberadaan jalur, tanda dan tempat evakuasi dalam Renkon berfungsi vital, karena terkait denga mobilisasi sumberdaya. Misalnya Tim SAR, akan dengan mudah menuju lokasi yang diprioritaskan. Demikian juga dengan penduduk terkena bencana akan lebih mudah menuju lokasi-lokasi yang telah ditentukan bersama. Berbagai bantuan - juga akan mudah sampai ke tempat-tempat pengungsian karena telah jelas jalan yang akan dilalui, kondisinya serta daya tampung dari lokasi-lokasi pengungsian.
4. Early Warning System (EWS)Tanda peringatan dini merupakan kunci - bagaimana sumberdaya dan sistem yang telah disiapkan dapat dimobilisasi secara terkoordinasi, cepat dan tepat sasaran. sebagai tanda peringatan dini yang telah tersistem, EWS harus memenuhi paling tidak 4 hal; a) segera, b) menjangkau, c) dapat dipahami dan d) dikeluarkan oleh lembaga resmi (yang memiliki otoritas; seperti gempa, kekeringan dan tsunami - BMKG, erupsi gunungapi - BVMKG, Banjir dan longsor- PU, wabah - Kemenkes dll).
Pemenuhan terhadap 4 hal dalam EWS, nampaknya yang sampai saat ini dapat dilakukan. sekalipun beberapa jenis bencana telah siapkan cukup baik, seperti tsunami dan gunungapi - namun jika dikaitkan dengan parameter menjangkau - masih jauh dari cukup. Karena makna menjangkau tentu terkait dengan penduduk terpapar dari jenis ancaman tersebut. Tsunami misalnya - dari 4.500 km panjang pantai yang rawan tsunami, hanya ada 38 sirine tsunami dari kebutuhannya kurang lebih 1.000 sirine. Shelter evakuasi, hanya tersedia 50 unit dari kebutuhan 2.500 unit. Tidak kurang dari 5 juta penduduk berisiko terhadap tsunami (Sutopo, 2014). Lebih lanjut, Sutopo - Direktur Pusdatin BNPB mengatakan, sekalipun wilayah tersebut telah terpasang tanda peringatan tsunami - tidak seluruhnya siapsiaga. Bersadarkan survei saat gempa 8,5 SR dan tsunami di Aceh tanggal 11 April 2012, rata2 masyarakat keluar rumah saat gempa. 21 % tetap berada di rumah. 63 % tidak mendengar sirine tsunami dan 75 % masyarakat evakuasi dengan membawa kendaraan sehingga terjadi kemacetan. dari Masyarakat yang ada, 71 % masyarakat belum pernah ikut latihan*.
Informasi di atas menunjukan, sekalipun telah ada EWS, masih terdapat kesenjangan untuk membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana. Itu dengan telah ada EWS, bagaimana dengan bencana yang tidak atau belum ada memiliki EWS. Atau yang menganggap punya EWS, tapi empat aspek penting dari EWS sama sekali tidak terpenuhi. Baik dari sisi kecepatan, menjangkau dan dapat dipahami oleh masyarakat.
EWS, jika dijadikan sebagai indikator sebagai berlakunya rencana operasi akan mempercepat proses pengerahan sumberdaya. Karena seluruh pihak yang terikat dalam Renkon, akan memiliki alat ukur yang sama dalam memobilisasi sumberdaya yang dimiliki dan dialokasikan untuk merespon kondisi krisis. Sekalipun dalam praktiknya - pengerahan tersebut tetap harus berdasarkan keadaan dan kebutuhan riil dilapangan. Namun sebagai langkah kesiapan, menjadikan seluruh pihak untuk siap bergerak. Tidak harus menunggu keputusan dari kepala daerah untuk status bencana - yang kadang dipengaruhi aspek politis atau pertimbangan atas kepentingan.
5. Regulasi
Adanya landasan, siaga darurat menjadi media strategis bagi Pemda maupun pemerintah untuk tidak menunggu kondisi darurat karena bencana terjadi - baru bisa bertindak karena adanya alokasi anggaran. Menggerakan sumberdaya sudah dapat dilakukan jauh sebelum kondisi darurat. Dan jika dikaitkan dengan EWS, maka renkon sangat mungkin dijalankan sesaat setelah tanda peringatan dini disampaikan.
Bagi Pemda, regulasi ini perlu diperkuat melalui Peraturan daerah, dimana ruang lingkup tanggap darurat meliputi siaga darurat, tanggap darurat, bantuan darurat dan pemulihan dini. Regulasi ini tentu harus disiapkan tidak hanya untuk BPBD sebagai lembaga PB, tapi juga berlaku bagi SKPD lain - termasuk menyiapkan alokasi anggaran pada masing-masing SKPD untuk memenuhi kebutuhan dalam memobilisasi sumberdaya pada kondisi darurat.
Regulasi dasar atas proses penyusunan Renkon serta dokumen renkon itu sendiri juga krusial bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Kedudukan Renkon yang menjadi dasar bergeraknya secara bersama dan sinergis seluruh sumberdaya yang ada memerlukan landasan hukum. Peraturan Gubernur pada tingkat Provinsi atau Peraturan Bupati/Walikota sudah lebih dari cukup sebagai landasan Renkon. Dengan catatan, pada Perda PB di daerah telah diatur tentang kedudukan Renkon atau RPK.
.... bersambung (tulisan berikutnya, akan membahas tentang proses penyusunan Renkon, termasuk lampiran panduan penyusunan renkon yang bisa di download)
*liputan6; http://news.liputan6.com/read/2134733/bnpb-ada-5-juta-penduduk-ri-tinggal-di-daerah-rawan-tsunami
Adanya landasan, siaga darurat menjadi media strategis bagi Pemda maupun pemerintah untuk tidak menunggu kondisi darurat karena bencana terjadi - baru bisa bertindak karena adanya alokasi anggaran. Menggerakan sumberdaya sudah dapat dilakukan jauh sebelum kondisi darurat. Dan jika dikaitkan dengan EWS, maka renkon sangat mungkin dijalankan sesaat setelah tanda peringatan dini disampaikan.
Bagi Pemda, regulasi ini perlu diperkuat melalui Peraturan daerah, dimana ruang lingkup tanggap darurat meliputi siaga darurat, tanggap darurat, bantuan darurat dan pemulihan dini. Regulasi ini tentu harus disiapkan tidak hanya untuk BPBD sebagai lembaga PB, tapi juga berlaku bagi SKPD lain - termasuk menyiapkan alokasi anggaran pada masing-masing SKPD untuk memenuhi kebutuhan dalam memobilisasi sumberdaya pada kondisi darurat.
Regulasi dasar atas proses penyusunan Renkon serta dokumen renkon itu sendiri juga krusial bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Kedudukan Renkon yang menjadi dasar bergeraknya secara bersama dan sinergis seluruh sumberdaya yang ada memerlukan landasan hukum. Peraturan Gubernur pada tingkat Provinsi atau Peraturan Bupati/Walikota sudah lebih dari cukup sebagai landasan Renkon. Dengan catatan, pada Perda PB di daerah telah diatur tentang kedudukan Renkon atau RPK.
.... bersambung (tulisan berikutnya, akan membahas tentang proses penyusunan Renkon, termasuk lampiran panduan penyusunan renkon yang bisa di download)
*liputan6; http://news.liputan6.com/read/2134733/bnpb-ada-5-juta-penduduk-ri-tinggal-di-daerah-rawan-tsunami
No comments:
Post a Comment