Mempertimbangkan fungsi ekologis dalam menentukan risiko bencana, sekalipun dianggap penting, namun nampaknya masih enggan untuk didalami kemungkinan menjadi bagian dalam pengkajian risiko bencana. Keengganan tersebut, bisa jadi karena adanya kerumitan-kerumitan yang akan dihadapi dari metode yang berkemang saat ini. Bisa dibayangkan, bagaimana risiko banjir misalnya harus juga menghitung fungsi hutan dari sisi daya dukung menangkap, menyimpan atau menahan air hujan. selain indikator yang saat ini digunakan berupa tutupan lahan, kemiringan, jenis tanah, bentuk sungai dll. dan dalam menentukan kemampuan hutan (tidak sekedar tutupan lahan), juga akan dipertimbangkan jenis-jenis tanaman yang ada, bagaimana pola pengelolaan hutan, tingkat kerusakan dll.
Kerumitan yang akan dihadapi sejatinya bukan berarti hambatan tanpa jalan keluar. Pentingnya fungsi ekologis menjadi bagian untuk dimasukan dalam menentukan kelas risiko bencana perlu dilihat sebagai jalan memperkuat komunikasi dan koordinasi antar bidang. Karena penilaian fungsi ekologis sendiri pada bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup bukan lah hal baru. para pakar lingkungan di Indonesia telah cukup banyak yang mampu melakukan kajian fungsi ekologis kawasan. Baik menghitung daya dukung lingkungan secara umum maupun secara spesifik. misalnya seberapa besar kawasan karst mampu menyimpan air dari curah hujan tahunan. atau seberapa besar kemampuan hutan mampu menyimpan dan menahan air hujan pertahun. Demikian juga para pakar gambut yang telah mempu menghitung volume air yang tersimpan atau kemampuannya dalam menstabilkan siklus hidrologis.
Telah adanya para pakar lingkungan, yang sebagian telah menjadi bagian dari komunitas pengurangan risiko bencana, menjadi peluang untuk mengembangkan metode kajian risiko bencana yang saat ini ada. Sehingga, saat kejadian bencana seperti banjir atau longsor - tidak ada lagi upaya pengkambing hitaman terhadap sesuatu yang absur. Seperti menempatkan "kesalahan" pada curah hujan yang di atas normal, sungai yang rusak, hutan yang beralih fungsi dll. Tanpa kita tahu pasti, seberapa besar fungsi ekologis tersebut mampu mengimbangi komponen lain dari pembentuk risiko.
Hal yang krusial dari dimasukannya fungsi ekologis sebagai bagian dari komponen atau indikator risiko bencana adalah upaya yang perlu dilakukan dalam meredam risiko bencana yang ada. Kebijakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian kajian risiko bencana menjadi lebih tepat sasaran. Karena faktor pembentuk dan penyebab risiko telah diketahui dari sisi ekologis. Dan rekomendasi untuk tidak mengurangi atau bahkan menghilangkan fungsi ekologis menjadi lebih kuat.
Kasus pertambangan karst untuk memenuhi kebutuhan pabrik semen adalah salah yang perlu menjadi pembelajaran bersama. Seberapa besar kelas/tingkatan risiko bencana yang ada berpengaruh jika bentang alam karst tersebut dieksploitasi. Risiko bencana tidak hanya dilihat dari sisi ancaman, tapi juga variabel lain berupa kerentanan dan kapasitas sebagai penentu tingkat risiko bencana. Hilangnya sumber air, baik untuk kebutuhan pertanian maupun kebutuhan pokok tentu akan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. ketersediaan ini jelas akan berpengaruh terhadap aspek kerentanan. Sementara, karst yang memiliki fungsi menyimpan air hujan dan bahkan mampu mereduksi gas rumah kaca (dalam kontek perubahan iklim), akan berpengaruh terhadap ancaman bencana, baik berupa banjir maupun kekeringan. terbukanya kawasan, juga akan berpengaruh terhadap pembentukan angin puting beliung. Jika kawasan tersebut berpotensi terhadapa gempa bumi, eksploitasi kawasan, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap besaran MMI (daya rusak dari gempa) atau bisa jadi berpengaruh terhadap aktifasi pergerakan sesar (tentu perlu ada penelitian lebih lanjut, seberapa besar pengaruh pertambangan terhadap aktifasi sesar atau lempeng bumi).
Pada kasus alih fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan skala besar, atau kawasan lainnya - tentu berdampak besar bagi risiko bencana. Secara teori sederhana dan telah terbukti dari berbagai kejadian bencana - bahwa banjir menjadi lebih sering, lebih besar dan lebih memeikan dibandingkan sebelum hutan tersebut di konversi. Aceh, kalimantan timur, kalimantan selatan, Jambi, Sumsel, dan Sumbar adalah daerah-daerah yang telah merasakan, bagaimana dampak konversi hutan meningkatkan kejadian bencana di wilayahnya.
Dan hal yang belum menjadi bagian dari isu manajemen risiko bencana adalah konflik satwa dengan manusia. Satwa liar yang memasuki kampung dan merusak, kerap menjadi dilema tersediri. Satwa dalam katagori dilindung dan terancam punah seperti Gajah atau Harimau, menjadikan warga masyarakat harus pasrah menerika dampak negatif. Mereka tidak punya pilihan. Jika harus melawan pun - ada hukum yang menanti karena dianggap membunuh satwa yang dilindungi Undang-undang. Sementara, kerusakan yang ditimbulkan dianggap konsekwensi yagn harus diterima karan pemukimannya berada ditepian hutan.
Kerap menjadi pertanyaan adalah, bagaimana satwa tersebut memasuki perkampungan masyarakat? Jawaban hampir dapat dipastikan - karena habitat satwa tersebut telah rusak. artinya, konflik satwa liar yang menyebabkan gangguan bagi kehidupan, menyebabkan kerugian serta masyarakat tidak mampu mengatasi dengan sumberdaya yang mereka miliki (telah dianggap bencana jika merujuk pada terminologi bencana - UNISDR) adalah terkait dengan fungsi ekologis.
Tantangan dalam menempatkan fungsi ekologis dalam menentukan risiko bencana bukan saja pada komunitas PRB yang saat ini mengembangkan metode pengkajian risiko bencana, tapi juga bagi komunitas lain yang memiliki keterkaitan erat. Komunitas lingkungan, masyarakat adat, yang bergerak pada isu pembangunan berkelanjutan atau isu-isu spesifik seperti anak, gender atau lainnya. Artinya, tantangan ini diperuntukan bagi seluruh kalangan untuk bersama-sama berkontribusi mendorong fungsi ekologis menjadi bagian dalam menetukan tingkat risiko bencana. Dan pada tataran pemerintahan, tentu ini menjadi peluang mensinergiskan tugas dan fungsi pada kementeriannya. seperti BNPB, KLHK, KKP, ESDM, Kementerian ATP, Kemendagri, Bappenas dll.
No comments:
Post a Comment