Tulisan ini merupakan pokok pikiran dari sebuah proyek yang didukung oleh SC DRR - UNDP dalam mengintegrasikan analisis perubahan iklim dalam kajian risiko bencana. Melalui proses panjang tentunya.. Masih menjadi wacana dalam pengimplementasiannya dari berjalan saat ini. Baik di BNPB dengan Kajian Risiko Bencana, maupun KLHK dengan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim maupun K/L lainnya sebagai dasar pengambilan kebijakan. Sehingga program pembangunan di Indonesia memiliki pradigma pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Sudah dimafhumi, jika Indonesia merupakan negara dengan sejuta ancaman. Beberapa peristiwa bahkan menjadi bagian dari perubahan sistem bumi. Letusan Gunung Toba, Tambora atau Krakatau tercatat sebagai peristiwa luar biasa yang mempengaruhi sistem iklim bumi. Dipercaya, letusan yang gunung Toba yang terjadi 74.000 tahun yang lalu dipercaya, salah satu penyebab punah sebagian kehidupan yang ada dibumi. Tidak saja karena dampak primer, tapi juga dampak sekunder. Dimana bumi mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan erupsi Gunung Tambora (1815) yang tercatat lebih rinci - menyebabkan daratan Eropa gagal merasakan musim panas pada dua musim. Peristiwa ini dikenal dengan Tahun tanpa musim panas.
Tsunami Aceh, 2004 - sumber Tempo |
Gempa yang diikuti gelombang tsunami, 26 Desember 2004 seolah menyadarkan kembali jika negeri ini memang republic of disaster. Tidak kurang dari 160.000 jiwa menjadi korban akibat amuk gelombang maha dahsyat di sepanjang pesisir Aceh, dari selatan sampai utara. selain Aceh dan Nias, negara tetangga pun ikut terdampak seperti Thailand, Laos, Maldives, India hingga afrika. Disusul dengan gempa Jogja dua tahun berikutnya (2006), tsunami Pangandaran (2006), Gempa di Sumbar sampai erupsi merapi (2007 dan 2009), tsunami di mentawai dan banjir bandang di Wasior yang berlangsung secara bersamaan pada tahun 2010. Dan yang tidak kalah dahsyat dan menjadi perhatian dunia adalah bencana semburan lumpur lapindo - Sidorajo yang akhirnya berbuntut polemik, akibat peristiwa alam, yakni gempa Jogja atau karena kesalahan pengeboran.
Sebagai negara yang dihimpit tiga lempeng bumi aktif serta sebagai jalur cicin api pasifik, bencana yang dipicu oleh aktitifas geologi menjadi sangat wajar. Menjadi tidak wajar Negara tidak menyiapkan sistem pembangunan dan sistem kehidupan menghadapi ancaman yang telah menjadi fitrah. Namun, ancaman bencana di Negeri kolam susu ini tidak hanya dipicu oleh geologi. sebagai negara tropis, negeri ini juga disuguhi ancaman yang berpotensi bencana; banjir, longsor, kekeringan, angin ribut atau puting beliung, kebakaran maupun wabah - epidemi. Dan sebagai negara dengan beragam suku, ras dan agama - potensi konflik juga cukup besar. apalagi jika tidak diimbangi dengan pengelolaan SDA dan pembangunan yang berkeadilan.
Paradigma Pengurangan Risiko Bencana, menempatkan manajemen risiko bencana yang berdasarkan pemahanan atas risiko bencana itu sendiri. Untuk memahami risiko yang merupakan korelasi dari ancaman bencana, kerentanan dan kapasitas - kajian risiko bencana menjadi salah satu medianya. Kajian risiko bencana sendiri yang berkembang saat ini cukup beragam. Namun dari beragam metode, rumusan yang menempatkan korelasi antara hazard (bahaya) dan vulnerability (kerentanan) telah menjadi kesepahaman bersama dalam menentukan risiko. Makna korelasi atau pola hubungan menjadi penting untuk menghindari pola penilaian yang dilakukan secara mekanik atau statistika sebagai satu-satunya metode yang dianggap benar. Makna korelasi juga membe,rikan isyarat, untuk mengetahui risiko tidak dapat dilakukan pada satu cara. Kajian risiko bencana disadari sejak awal merupakan proses rumit dan penuh tantangan. Multi disiplin ilmu harus terlibat dengan beragam pemangku kepentingan. Sehingga substansi risiko yang merupakan korelasi antara variabel, komponen dan indikator dari hazard, vulnerability dan capacity dalam membentuk risiko diketahui. Pengetahuan ini lah yang akan menjadi dasar manajemen risiko bencana.
Kajian risiko bencana bukan hanya sekedar membuat peta yang menunjukan tinggi, rendah atau sedang dari risiko bencana yang ada. Lebih dari itu, kajian risiko harus mampu menunjukan faktor pembentuk dan penyebabnya serta dampak yang berpotensi terjadi jika ancaman datang/terjadi. selain itu, faktor dinamis perlu dipertimbangkan dengan baik. sebuah faktor yang dapat berubah-ubah seiring dengan situasi dan kondisi. Faktor-faktor dinamis seperti perkembangan politik, trend perkembangan sosial dan ekonomi dunia, dapat secara drastik meningkatkan risiko bencana.
Contoh paling kongrit yang banyak ditemui di Indonesia adalah pemberian izin-izin pemanfaatan sumberdaya alam seiring dengan pemilihan kepala daerah, Menteri - atau Presiden. Obral perizinan tanpa mempertimbangkan risiko bencana bak menanam bibit risiko. Samarinda - Kalimantan Timur telah menjadi Kota percontohan - bagaimana paska obral izin pertambangan menjadikan kota ini menjadi wilayah berisiko benjir. Atau provinsi asap; Riau, Sulsel, Jambi, Kalteng dan Kalsel yang tidak lepas dari obral HPH dan perkebunan skala besar. Faktor atau tekanan dinamis - pada akhirnya berimplikasi menciptakan atau memperkuat faktor-faktor pembentuk dan penyebab risiko.
Mulai dirasakannya dampak perubahan iklim pada berbagai faktor kehidupan, menempatkan kajian risiko bencana sebagai dasar pengelolaan risiko bencana perlu mempertimbangkan. Apalagi komponen-komponen iklim berkaitan erat dalam penyebab dan pembentuk risiko bencana. Pada jenis ancaman bencana hidrometeorologis - tidak ada silang pendapat, jika dampak perubahan iklim berupa curah hujan, kelembaban maupun suhu mempengaruhi terhadap tingkat ancaman bencana banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, gelombang tinggi, abrasi atau angin ribut/puting beliung. tidak hanya itu, dampak perubahan iklim juga secara signifinan mempengaruhi tingkat kerentanan dan kapasitas. penduduk dengan mata pencaharian nelayan dan petani - saat ini mengalami kendala besar dalam mensikapi perubahan-perubahan alam yang terjadi. ketidak mampuan mensikapi perubahan yang dipicu oleh perubahan iklim ini tentu akan berimplikasi pada kesiapan menghadapi ancaman bencana. Baik kerena dari aspek ekonomi yang mengalami penurunan pendapatan, maupun dari apek sosial yang juga memiliki kecenderungan mengalami perubahan. Meninggalkan kampung halaman untuk mencari pendapatan dan perebutan air adalah kasus-kasus yang paling sering ditemui dilapangan saat ini.
Jika melihat variabel dalam menentukan risiko bencana, maka dampak perubahan iklim tidak hanya berkorelasi dengan ancaman bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor, kekeringan atau gelombang ekstrim dan abrasi serta kebakaran. Dampak perubahan iklim juga perlu menjadi pertimbangan terhadap ancaman bencana geologi, pada aspek kerentanan dan kapasitas. Bahkan pada acaman bencana konflik sosial - dampak perubahan iklim bisa jadi menjadi sangat signifikan untuk dijadikan sebagai faktor dinamis.
Kajian risiko bencana pada bencana hidrometeorologis, pada komponen hazard perlu secara spesifik melihat jenis ancaman bencana. Banjir misalnya - tidak dapat disamaratakan. karena jenis-jenis banjir memiliki karakteristik yang spesifik. Seperti banjir bandang, banjir genangan dan banjir rob yang memiliki karakteristik berbeda, baik sebagai ancaman dan dampaknya, maupun faktor pembentuknya. sekalipun salah satunya adalah curah hujan, namun untuk jenis banjir bandang membutuhkan data lebih spesifik untuk melihat potensi terjadinya. Data curah hujan tahunan yang saat ini menjadi indikator dalam menentukan banjir tidak mencukupi untuk melihat potensi terjadinya banjir bandang. Demikian juga dengan longsor yang berhubungan dengan curah hujan ekstrim, tutupan lahan, jenis tanah dan batuan, gerakan tanah serta kemiringan topografi.
Pentingnya informasi bulanan atau bahkan harian pada komponen iklim adalah sebagai bagian dari menentukan waktu risiko bencana berpontensi terjadi. Trend kejadian dari waktu ke waktu, yang umumnya digunakan antara 25 - 30 tahun dapat melihat kecenderungan kejadian pada suatu wilayah. bagaimana melihat curah hujan misalnya, memincu bencana. Data yang menunjukan sama (tinggi curah hujan), tapi menyebabkan bencana yang berbeda, dapat memberi sinyal terjadap penyebab lain. Apakah terjadi perubahan fungsi ekologis atau ada faktor lain. Artinya - data dan informasi, walaupun untuk kepentingan melihat hazard, tapi dapat menjadi dasar untuk melihat komponen dari variabel lain, baik kerentanan maupun kapasitas.
Konsep note integrasi iklim dalam kajian risiko bencana, download di sini
tambang batu bara, sumber : graha properti.com |
Ancaman bencana yang dipengaruhi faktor-faktor dimanis seperti arah pembangunan di wilayah rawan bencana masih belum menjadi pertimbangan penting. Jika dilihat dari ruang dan waktu yang ada, bisa jadi menempatkan risiko yang teridentifikasi menjadi berbeda jauh seiring perubahan yang terjadi. apalagi jika dilihat, arah pembangunan ini pun juga mempengaruhi aspek kerentanan dan kapasitas.
Hal yang juga signifikan dalam kajian risiko bencana terkait iklim adalah menggunakan data dan informasi serta peta skenario iklim menjadi bagian dalam menentukan risiko bencana. bagaimana konsepsi untuk mengintegrasikannya. Ini merupakan bagian dari tantangan bagi Indonesia ke depan sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. pengintegrasian ini perlu dipahami tidak hanya sekedar teknis, tapi juga pada hal strategis. bagaimana PRB menjadi bagian dalam upaya adaptasi perubahan iklim dan saling mengisi dan melengkapi melalui kebijakan pembangunan di Indonesia.
No comments:
Post a Comment