Sunday, March 06, 2016

PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Sudah lama ternyata gak lagi menyentuh blog ini...
mencoba untuk mencoret-coret apa yang ada di kepala.. juga kegelisahan hati terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai paradigma. Ya sebagai cara pandang yang menjadi acuan para penggiat Manajemen Risiko Bencana (MRB) yang di Indonesia dikenal dengan Penanggulangan Bencana (PB).

PRB sebagai Paradigma, dari waktu ke waktu
Sudah mafhum, ketika para penggiat PB menempatkan PRB sebagai paradigma. Paling tidak, wacana ini mulai menggeliat paska konverensi dunia tentang PB tahun 1994 di Yokohama. Selanjutnya, tahun 1999, Dewan Ekonomi - Sosial PBB mengeluarkan resolusi 63/99 tentang dekade pengurangan risiko bencana. satu tahun berikutnya (2000), PBB membentuk ISDR (international strategi disaster risk) dengan empat fungsi utama; 1) kebijakan, strategi dan koordinasi; 2) advokasi dan komunikasi; 3) manajemen informasi dan jejaring; serta 4) regional outrech dan kemitraan untuk implementasi. Puncaknya, tahun 2005 diadakan pertemuan tingkat tinggi (World Converence) Pengurangan Risiko Bencana kembali di Kobe - Hyogo dan menghasilkan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Frameworks for Action - HFA) dan menjadi kiblat seluruh Negara anggota PBB dalam mengelola risiko bencana di negara masing-masing.

PRB sebagai paradigma atau cara pandang -  tentunya tidak dibatasi oleh judul. Tapi lebih pada substansinya. Kontek itulah yang menempatkan PRB telah menjadi cara pandang dalam manajemen bencana pada era akhir 80 -  90-an. Dan World Converence di Yokohama yang menghasilkan strategy and plan for safer world, sekalipun fokus pada lingkup sosial ekonomi -  telah meletakan cara pandang holistik dalam penanggulangan bencana.




Lebih jauh lagi -  tahun 1972, sebuah konverensi tingkat tinggi telah diadakan di Stokholm -  Swedia yang membahas tentang padagma pembangunan berkelanjutan. Pertemuan yang menghasilkan 2 norma yang terbungkus dalam Stockholm Declarations tersebut telah menempatkan prinsip 21 terkait dengan kerusakan lingkungan dan prinsip 24 tentang kewajiban bekerjasama. Jika kita membedah isi deklarasi stockholm -  prinsip-prinsip PRB sangat kental disana. khususnya terkait risiko bencana non geologis seperti banjir, longsor, kebakaran, kekeringan atau pencemaran lingkungan.

Kontek ini akan terlihat korelasinya jika kita memandang PRB sebagai paradigma. Sama halnya saat ini secara bersama kita mengkaitkan PRB terhadap MDG's sebagai agenda internasional. atau mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai respon atas pemanasan global yang menghantui kehidupan dunia.

lebih jauh lagi -  pada era sebelum tahun 80-an, dimana fokus PB lebih pada tanggap darurat dan bantuan darurat. Pada dasarnya juga menjadi bagian dari PRB. Sekalipun hanya sebagian saja. asalkan upaya tanggap darurat dan bantuan darurat dilakukan dengan pertimbangan, tidak memunculkan risiko baru atau meningkatkan risiko yang telah ada. sedangkan prinsip building back better dalam artian sesungguhnya -  secara tegas menjadi bagian dari karakter dari PRB itu sendiri.

Hyogo Frameworks for Action (HFA) yang berlaku untuk masa 15 tahun (2005 - 2015), menjadi tonggak sejarah dalam pengelolaan kebencanaan. PRB tidak hanya diletakan sebagai pradigma secara eksplisit, tapi juga secara tegas menawarkan kerangka kerja yang lebih kongkrit terkait PRB. Konverensi yang dihadiri lebih 158 Negara dengan lebih dari 4000 peserta ini meletakan 5 langkah mendasar sebagai  sebagai prioritas aksi; 1) memastikan bahwa PRB sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat; 2) mengidentifikasi, menjajaki dan memantau risiko-risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; 3) menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamtan dan ketahanan disemua tingkat; 4) mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasar (manejemen lingkungan dan sumberdaya alam, praktik-praktik pembangunan sosial dan ekonomi, dan tata guna lahan, IMB dan alat ukur lainnya); 5) memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk respon yang efektif disemua tingkatan.

Lima langkah mendasar tersebut jika kita cermati sangat menarik dan krusial dalam memahami PRB sebagai pradigma. Jika dilihat secara visual, maka makna PRB bisa jadi dipahami hanya pada upaya pra bencana pada tahapan penanggulangan bencana. Namun jika dikaji lebih dalam -  PRB tidak saja pada pra bencana, tapi juga pada semua tingkatan. Baik pra, saat maupun paska bencana.

Paska berakhirnya komitmen yang tertuang dalam HFA, konvrensi dunia tentang PRB dilanjutkan di Sendai dan menghasilkan Sendai Frameworks. tidak banyak berubah secara substansial dari HFA, Sendai Frameworks (SF) merumuskan 4 aksi kunci untuk 15 tahun mendatang (2015 - 2030). Prioritas aksi tersebut meliputi : 1) Memahami risiko bencana; 2) penguatan tata kelola risiko bencana; 3) investasi PRB untuk resilensi dan 4) meningkatkan manajemen risiko bencana.

Menyelami PRB sebagai paradigma
PRB sebagai cara pandang (paradigma) menunjukan sebuah konsep yang menempatkan PB atau manajemen risiko bencana dilakukan secara holistik. PB tidak lagi dipandang secara sektoral yang terkait penanganan bencana secara langsung. tapi variabel-veriabel yang berkorelasi atas risiko, baik terkait dengan ancaman bencana, kerentanan maupun kapasitas baik langsung maupun tidak langsung perlu dipertimbangkan. Dalam kontek ini, tidak saja pada fase pra bencana, tapi juga saat dan paska bencana.

PRB pada fase pra bencana
Tidak sulit melihat PRB pada fase pra bencana. Selain secara visual dapat dibaca melalui konsepsi yang terkait dengan PRB (salah satunya HFA atau SF), PRB bukan dengan mudah dipahami sebagai kegiatan pra bencana. Artinya, untuk mengurangi risiko bencana yang ada, harus dilakukan sebelum bencana itu terjadi.

Pemaknaan seperti di atas tidak lah keliru. karena berbagai upaya mereduksi risiko, harus diakui sebagian besar dilakukan jauh-jauh sebelum adanya kejadian bencana. bahkan sejak diketahui adanya potensi bencana. Untuk itulah, kajian risiko bencana menjadi penting dilakukan. Bahkan dianggap sebagai dasar dalam melakukan PRB. Dan untuk sampai tahu dan memahami risiko bencana yang ada, mengenal ancaman yang berpotensi menjadi pemicu bencana adalah dasar dari kajian risiko.

Menjadi sebuah pertanyaan mendasar. apakah upaya meredam risiko pada pra bencana secara otomatis merupakan bagian dari PRB? tentu tidak. tidak sedikit upaya meredam dampak bencana yang dilakukan pada pra bencana harus dikatakan tidak menggunakan paradigma PRB. tentu ini menimbulkan pertanyaan lanjutan. Kok bisa? Ya menjadi sangat bisa -  jika upaya tersebut memunculkan ancaman atau risiko baru. Atau bisa jadi meningkatkan risiko yang sudah ada karena banyak sebab. Bisa jadi karena minimnya kajian, pendekatan sektoral, atau terjadinya pemindahan risiko dari satu tempat ke tempat yang lain. dimana penduduk yang akan menerima dampak tidak memiliki kemampuan dalam menghadapi ancaman yang ada.

Contoh kasus yang banyak terlihat adalah pengendalian banjir dengan pendekatan mekanik. untuk mengendalikan banjir, dibuat DAM, meluruskan sungai, membuat tanggul  atau membeton bantaran sungai. Pada satu titik tertentu -  misalnya curah hujan ekstrim (diatas batas normal), maka air hujan akan menjadi lebih merusak dibandingkan sebelumnya. atau bertambahnya luasan banjir ditempat lain -  sementara wilayah yang dibuat tanggul bisa jadi aman. atau contoh kasus reklamasi pantai yang akhirnya menggerus (abrasi) dan banjir rob menjadi meluas di daerah lain. Pembangunan sabo penanahan lahar hujan di Merapi pun menunjukan ketidak efektifan sebagai pengendali - tapi sebeliknya meningkatkan risiko dari sebelumnya.

Pada kegiatan-kegiatan rekayasan sosial -  dengan tujuan untuk meningkatkan ketangguhan komunitas. Pun tidak sedikit yang tidak dapat disebut PRB. munculnya ketergantungan baru terhadap pihak luar, berubahnya kultur kebersamaan dan gotong royong atau munculnya elit-elit komunitas yang tercerabut dari sistem sosial yang telah terbentuk adalah contoh kasus yang tidak asing kita lihat. Jika indikator keberhasilannya adalah sebuah peta risiko yang dibuat komunitas, dokumen RPB, tim siaga bencana dll. semua bisa ditunjukan. Tapi, apakah komunitas secara riil betul2 merasa berdaya? atau justru muncul perpecahan dan ketidak pedulian - karena kelompok yang didampingi memunculkan kecemburuan sosial? atau mereka hanya akan mau bergerak jika ada bantuan (materi)?

Merasa sudah melakukan PRB dengan sesuaguh-sungguhnya adalah penyakit kronis yang harus diwaspadi dalam PRB sebagai paradigma PB Penyakit karena ini akan menjadikan kerentanan sebagai variabel risiko menjadi lebih tinggi. Merasa sudah melakukan kajian, merasa sudah melatih komunitas, merasa sudah punya kebijakan dll. sementara realitasnya, hanya sebagian kecil dari komunitas yang ada yang tahu dan paham. semetara, tidak ada upaya transformasi sosial atau minimal transfer pengetahuan dan kemampuan atas berbagai upaya tersebut.

Banyaknya produk kebijakan, baik regulasi maupun rencana dan program serta anggaran yang tersedia untuk PB sampai saat ini belum mampu mendorong PRB sebagai arus utama kebijakan secara menyeluruh di Indonesia. UU No 24/2007 misalnya, yang saat ini telah memasuki usia 8 tahun -  belum mampu dijadikan sebagai regulasi yang dipatuhi oleh seluruh K/L atau pemerintah daerah. UU PB seolah hanya milik BNPB dan BPBD di Provinsi dan Kabupaten. Padahal, sebagai Undang-undang, seharusnya milik dan berlaku untuk seluruh instansi dan warga negara Indonesia. demikian juga dengan UU lainnya seperti UU No 32/2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, UU No 5/90 tentang pengelolaan sumberdaya alam, atau undang-undang lain yang bersifat melindungi seperti UU HAM, Perlindungan perempuan dll.

PRB dipahami sebagai kegiatan pra bencana dan menafikan PRB sebagai cara pandang PB (untuk seluruh tahapan bencana) sangat umum. Bahkan di Indonesia seolah menjadi pemahaman yang benar. pemahaman ini sering kita dengar dalam pertemuan-pertemuan baik formal maupun non formal yang menegaskan - bahwa PRB merupakan kegiatan pra bencana. sedangkan saat dan paska bencana bukan bagian dari PRB. Pemahaman ini juga diperkuat dengan adanya struktur resmi pada lembaga negara yang mengurus tentang PB. adanya direkorat PRB dibawah kedeputian pencegahan dan kesiapsiagaan menunjukan PRB adalah kegiatan pra bencana. dan ini diikuti oleh lembaga di daerah (BPBD) melalui bidang I; pencegahan dan kesiapsiagaan. sehingga menjadi sangat mafhum pemahaman PRB lebih ditempatkan sebagai bentuk kegiatan. bukan cara pandang atau pradigma sebagaimana pemahaman awal; PRB sebagai pradigma Manajemen Risiko Bencana atau Penanggulangan bencana. sementara PB dipahami sebagai seluruh serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulknya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggapi darurat dan dan rehabilitasi (UU No 24/2007, ps 1 (5)).


PRB pada fase saat bencana
PRB sebagai pradigma atau cara pandang PB, jika merujuk pada pemahaman PB itu sendiri adalah "serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana" (UU No 24/2007, ps 1 (10).

Secara substansial, PRB telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kerja tanggap darurat atau emergency response. Dilakukan dengan segera, bahkan pada pasal selanjutnya diperkuat lagi dengan prinsip yang tertuang dalam pasal 3 (2) berupa 9 prinsip. yang jika kita dalami merupakan bagian dari nilai-nilai dari PRB itu sendiri. Cepat, tepat, prioritas, koordinasi, pemberdayaan atau berhasil guna merupakan penguat atas upaya PB dalam menangani dampak buruk, menyelamatkan dan melindungi, memenuhi kebutuhan dasar serta memulihkan sarana dan prasana. intinya adalah, bagai proses tanggap darurat, bantuan darurat dan pemulihan dapat mengurangi penderitaan penduduk terkena bencana. 

Mengurangi penderitaan adalah poin penting jika upaya pra bencana yang dilakukan sebelumnya tetap menjadikan sebuah kejadian memenuhi katagori bencana. Mengurangi penderitaan yang tidak memunculkan ketergantungan, tidak memunculkan dampak buruk atau risiko bencana baru, atau menambah kerentanan adalah cara pandang PRB dalam fase tanggap darurat. PRB sebagai paradigma wajib melekat dalam penanganan tanggap darurat. tidak saja berlaku pada penduduk terkena bencana, tapi juga pada pelaku yang menjalankan kerja-kerja tanggap darurat.

Contoh kasus bantuan bencana yang memunculkan risiko baru-dari mulai pemberian bantuan kadaluarsa, keracunan obat, memunculkan wabah, konflik di masyarakat, ketergantungan atau merusak sistem sosial masyarakat sudah seharusnya dihilangkan. Untuk itulah, menjadi mafhum ketika muncul gagasan dan saat ini telah menjadi bagian dari kebijakan - relawan PB, harus bersertifikat. artinya, para relawan atau pekerja kemanusiaan harus memiliki pengetahuan dan skill dalam melakukan kerja-kerja penanggulangan bencana. Memahami dan mau menjalankan paradigma PRB dalam seluruh rangkaian kerja-kerja tanggap darurat. sehingga mampu menjadikan kejadian bencana sebagai sebuah media untuk menjadikan komunitas lebih tangguh, lebih berdaya dan mandiri.

PRB pada fase paska Bencana
tahapan atau fase penangulangan bencana di Indonesia mengalami penyesuaian. hal ini tidak terlepas sebagai bagian dari pensiasatan sistem pengelolaan keuangan negara. Paska Bencana yang umum terdapat pada empat tahapan; bantuan darurat, pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi dibuat rumusan baru. Bantuan darurat dan pemulihan dini (early recovery) dan yang seharusnya menjadi bagian dari pra bencana; siaga darurat (bagian dari kesiapsiagaan) -  disatukan dalam satu tahapan tanggap darurat.  sedangkan pemulihan, rehablitasi dan rekonstruksi disatukan satu tahapan menjadi rebalitasi dan rekonstruksi. 

Jika merujuk pada UU dan PP No 21/2008, tidak ditemui istilah-istilah tersebut. karena saat perumusan regulasi tersebut masih merujuk pada teori yang berkembang dan berlaku di hampir seluruh dunia. Namun pada perjalanan impelementasi PB di Indonesia, kendala tersebut ditemui, salah satunya adalah sistem penganggaran yang tidak memungkinkan prinsip cepat dan tepat dapat dijalankan. Maka munculah penyesuaian-penyesuaian dengan munculnya istilah baru. tentu ini bukan persoalan besar. karena teori yang berkembang bukan berarti harus diikuti. tapi justru kondisi setempatkan yang perlu menjadi pertimbangan utama. namun, pertanyaan menjadi sangat simple, siapa yang harus disesuaikan dan menyesuaikan. Bukankan UU PB itu bersifat lek specialist? artinya Regulasi yang bersifat khusus? sehingga bisa jadi sistem yang perlu disesaikan dengan kebutuhan dari UU PB. karena tidak hanya sistem penganggaran, tapi juga kita bisa lihat bagaimana lembaga PB di daerah yang tidak berdaya atau krisis SDM yang mumpuni dalam menangani PB. Apalagi jika harus melekat cara pandang PRB didalamnya.

Building back better sebagai prinsip dari rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan cermin dari PRB sebagai paradigma. tentu dengan ketentuan, prinsip tersebut dipahami secara holistik. tidak saja dilihat dari aspek fisik, tapi juga non fisik. tidak saja pada ancaman bencana primer, tapi juga seluruh ancaman atau risiko bencana yang ada atau mungkin ada. tidak saja pada aspek manusianya, termasuk sistem sosial ekonomi -  tapi juga aspek ekologis. artinya pembangunan harus lebih baik dari sebelumnya dipahami secara menyeluruh, lintas isu dan lintas sektoral.

Polemik relokasi penduduk terkena bencana erupsi gunung sinabung terkait lahan menjadi menarik. Saat lahan yang dibutuhkan berada pada kawasan hutan lindung. Jika dilihat dari aspek kemanusiaan - maka apalah artinya hutan lindung. hutan bisa saja dibangun ditempat lain. tapi manusia yang terkena bencana, harus segera mendapatkan kepastian kehidupannya. Namun dari aspek ekologis, seberapa penting fungsi hutan lindung menopang sistem ekologis pada lingkungan setempat maupun lingkungan bawahnya. apa dampak yang mungkin terjadi, jika fungsi hutan hilang. tidak saja fungsi lingkungan, apakah keragaman hayati akan terganggu. misalnya adanya satwa atau tanaman endemik yang hanya ada diwilayah tersebut. atau kawasan tersebut menjadi bagian dari habitat satwa yang terancam puncah. Aspek lain tentu akan memiliki pertimbangan, seperti ketersediaan air, udara, atau bahkan hak tenurial masyarakat lainnya.

Suksesnya BRR membangun rumah buat warga aceh dan nias   sisi jumlah patut diapresiasi. tidak sedikit jumlah rumah yang harus dibangun hanya dalam tempo 5 tahun masa kerja BRR. tapi, diantara bangunan yang "mungkin" jauh lebih bagus dari bangunan sebelumnya sudah secara otomatis menjadi indikator keberhasilan dari prinsip building back better? Belum tentu. tanpa menghilangkan apresiasi dan hormat para pekerja dan relawan atas pembangunan rumah, kita bisa lihat dari sisi lokasi. apakah lokasi rumah-rumah yang telah dibangun masih berada di wilayah rawan bencana tinggi? apakah bangunan yang berdiri berdasarkan rekonstruksi tahan gempa? apakah fasilitas yang disediakan telah menjamin terjadinya proses evakuasi jika terjadi bencana? itu baru dari aspek fisik, bagaimana dengan cara pandang, pendidikan, ekonomi maupun sistem sosial masyarakat. apakah telah dapat dikatakan lebih baik dari sebelum kejadian bencana tsunami 2004?

PRB sebagai paradima dalam rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi lekat pada seluruh program atau pendekatan maupun kegiatan yang dibutuhkan. kembali lagi -  kajian risiko menjadi penting dilakukan sebagai bagian dari perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. dan kajian risiko sendiri perlu dikaji ulang, baik komponen-komponen yang ada maupun pendekatannya. Kajian risiko harus mampu menemukenali penyebab dan pembentuk risiko. sehingga upaya pengelolaan risiko bencana menjadi tepat sasaran. Dan dalam proses untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi - kajian risiko tidak hanya terfokus pada ancaman bencana primer (penyebab kejadian bencana saat itu), tapi juga risiko lain yang ada diwilayah tersebut. tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan saat itu, tapi juga harus memperhatikan kecenderungan perubahan ke depan. Dan dampak perubahan iklim perlu menjadi pertimabangan utama. sehingga proses rekabilitasi dan rekonstruksi akan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam upaya adapatasi perubahan iklim. tidak hanya dalam menentukan lokasi relokasi misalnya, tapi juga dalam menentukan mata pencaharian, membangunan  infrastruktur dll.
  

Jakarta, 5 Maret 2016


No comments: