Wednesday, March 30, 2016

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARING DALAM PRB

Pagi yang cerah... teringat permintaan Om Agus Bengkulu (FPRB Bengkulu) untuk minta refrensi tentang laporan pembelajaran. Melalui sohib yang baik hati, Om Google, coba mencari2 materi terkait. Sampailah ke halaman Blog Ahmad Archery yang menyuguhkan Contextual Teaching and Learing (TCL) - (http://ahmadarchery.blogspot.co.id/2014/04/contoh-laporan-analisis-pembelajaran.html). 

Sangat menarik ulasan yang disuguhkan sekalipun dalam bentuk laporan. Pikiran pun menerawang kepada Sekolah/Madrasah Aman yang sedang didorong segenap Ornop dan mendapatkan respon positif dari BNPB dan Kemendikbud. Juga inisiasi yang mendorong API PRB untuk menjadi bagian materi dalam Gerakan Pramuka Indonesia. Sebuah pengembangan dari inisiatif di tingkat Global Kepanduan Internasional untuk membuat Bedge atau Tanda Kecakapan untuk isu perubahan iklim. Dengan judul Climate Change Challange Challange Badge, FAO sebagai salah satu unit di PBB menjadi lembaga yang akan mengembangkan di dunia. 

TCL menjadi menarik ketika pendekatan yang ditawarkan adalah sebuah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh. Siswa didorong untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mampu menerapkannya dalam kehidupan mereka. 

Pada masa penulis sekolah, jadi teringat pendekatan yang mulai diperkenalkan saat itu dengan judul CBSA (Cara belajar siswa aktif). Ya, itu kurang lebih 30an tahun yang lalu. Dan masih teringat dengan lekat, bagaimana kegagapan guru-guru untuk menerapkan perubahan kebijakan pendidikan yang sebelumnya cenderung satu arah. Namun jika dicermati, CBSA sebagai pendekatan baru pada dasarnya tidak lah baru. Karena di luar jam sekolah, Guru-guru kami melakukan dialog dengan siswa secara bebas. Tidak jarang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk mendapatkan jawaban secara mandiri. Tentu di luar materi sekolah. Dan jika ditelisik lebih jauh - proses belajar yang mungkin dianggap bukan menjadi bagian pelajaran di sekolah lebih dapat diterima. Misalnya, Guru meminta siswa untuk membawa tanaman dari rumah untuk ditanam di sekolah. Jika menjadi tugas sekolah, maka permintaan itu sekedar membawa jenis tanaman tertentu dan segera ditanam di depan kelas. Berbeda saat guru melepaskan diri dari tuntutan pelajaran. Guru kami akan meminta juga mempelajari bagaimana tanaman tersebut tumbuh, bagaimana merawatnya juga manfaat dari tanaman tersebut. sehingga terjadi dialog yang lebih konstruktif dari permintaan membawa tanaman. Dan ini yang kami rasakan sebagai CBSA yang sesungghnya.

Dalam Blognya yang diambil dari Laporan Observasi Lapangan yang dilakukan di SD Pancasila Lembang, Ahmad S.Pd, M. Pd menekankan tiga hal yang perlu dipahami dari konsep CTL. 
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan siswa hanya menerima pelajaran saja, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapa memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.


Karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.
  1. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge).
  2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).
  3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge).
  4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
  5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
Lebih lanjut, Ahmad menjelaskan tentang prinsip-prinsip dalam CTL. Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain termasuk guru, akan tetapi dari proses menemukan dan mengkonstruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan segal keunikannya. Siswa adalah organisme yang aktif yang memiliki potensi untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberik kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih bermakan bagi kehidupan mereka.
  1. Konstruktivisme (Constructivism). Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut.
  2. Inkuiri (inquiry). Proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang dihafalkan oleh siswa, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
  3. Bertanya (Questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam pembelajaran CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
  4. Masyarakat Belajar (Learning Community). Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.
  5. Pemodelan (Modelling). Yang dimaksud dengan asas modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya, guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing.
  6. Refleksi (Reflection). Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.
  7. Penilaian Nyata (Authentic Assesment). Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan, baik intelektual maupun mental siswa
Dari bacaan sekilas dari beberapa refrensi setelah dipicu oleh eprkenalan TCL melalui Blog Ahmadarchery.blogsppot.co.id ini, pikiran liar pun mulai menusuk2 kepala. Bagaimana jika diterapkan dalam praktik sekolah/madrasah aman. Bagaimana juga jika diterapkan pada insiatif API dalam Gerakan Pramuka Indonesia?

Sekolah/Madrasah Aman
Untuk mewujudkan sekolah aman, terdapat tiga pilar sebagai penyangganya; pilar satu; fasilitas sekolah aman, pilar dua; manajemen (risiko) bencana di sekolah dan pilar tiga; pendidikan pecegahan dan PRB di sekolah. Sekalipun terlihat, hanya pada pilar 3 kontek TCL dapat diterapkan, pada tataran proses - pilar 1 dan 2 sangat mungkin untuk dilakukan.

Tujuh prinsip yang ada, ideal untuk diterapkan dalam operasional sekolah/madrasah aman. Prinsip Konstruksi misalnya - dapat memadukan ketiga pilar dalam satu kesatuan yang dipelajari oleh siswa melalui pengalaman. Pengetahuan yang diperoleh dikonstruksikan melalui pengalaman langsung. Untuk memenuhi pilar satu, siswa dapat mulai diajarkan tentang berbagai jenis ancaman bencana yang berdampak pada fasilitas sekolah. Selanjutnya, siswa dapat secara langsung melakukan obervasi terhadap fasilitas-fasilitas sekolahnya terkait dengan ancaman. Fasilitas sekolah aman dapat dimulai dari bangunan, halaman sekolah, sarana dan prasana umum yang ada maupun yang bersifat khusus. Selanjutnya, siswa dapat mulai diajak berdialog dalam kontek pengalaman, baik yang bersifat langsung maupun yang bersifat reflektif imaginative

Tantangan bagi orang dewasa adalah menempatkan siswa  tidak memiliki kemampuan atau pengetahuan. Realitasnya,  setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang dapat dikembangkan. Memberikan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman akan mendorong proses penyerapan untuk selanjutnya memudahkan siswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan hasil analisisnya dari olah pengetahuan dan pengalaman yang ada.

Pada pilar dua terkait manajemen sekolah aman, siswa dapat terlibat aktif baik dalam proses identifikasi kebutuhan maupun proses verifikasi, jika manajemen yang disusun sesuai dengan kebutuhan siswa. Bahkan, siswa pun melalui proses yang disesuaikan metode dan pendekatannya -  dapat secara aktif dalam proses penyusunan manajemen sekolah. peran masing-masing aktor misalnya, dapat didialogkan secara terbuka dengan para siswa. Apa tugas kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, orang tua siswa maupun masyarakat sekitar sekolah sebagai bagian dari warga sekolah.  Proses yang melibatkan secara langsung siswa sebagai bagian dari kelompok sasaran dari sekolah/madrasah aman tentu menjadi bagian dari pengetahuan sekaligus pengalaman yang dapat menjadi bagian membentuk sikap dan tindakan siswa itu sendiri.

Prinsip-prinsip lain seperti inkuiri atau berpikir secara sistematis untuk menemukenali materi maupun jawaban dari berbagai permasalahan yang ada. Tiga pilar yang menjadi sangga sekolah aman menjadi tantangan tersendiri dalam TCL. Bagaimana siswa turut terlibat dalam pilar satu, pilar dua maupun pilar 3.  Pada pilar satu, siswa sudah bisa mulai mencari jalan keluar saat fasilitas sekolah terbatas dalam mensikapi ancaman bencana. Pada ancaman banjir misalnya, bagaimana siswa diajak berpikir secara sistematis memenuhi kebutuhan untuk keselamatan diri. Jika sekolah tidak memiliki alat keselamatan berupa perahu karet, pelampung atau bahkan tempat aman -  maka siswa mulai diajak untuk mencari alternatif -  bagaimana melindungi dan menyelamatkan diri. Bahkan pada banyak kasus -  tidak jarang siswa menemukan solusi dengan menggunakan kekuatan jaringan yang dimiliki orang tuanya.

Bertanya dan mendapatkan atau menemukan jawaban adalah hal mutlak dalam proses pembelajaran. mendapatkan atau menemukan jawaban dapat dilakukan dengan banyak cara. Pada kontek masyarakat perkotaan, dimana hubungan anak dan keluarga cenderung terbatas, maka prinsip bertanya menjadi salah satu alat perekat hubungan anak dengan keluarganya. Buatlah pertanyaan-pertanyaan untuk menjadi bahan dialog dengan kaluarga. Dalam kontek sekolah aman, pertanyaan-pertanyaan yang dicarikan jawabannya melalui proses dialog keluarga menjadi sangat krusial. Jika dikatikan dengan prinsip inkuiri, jawabab-jawaban yang ada, dapat menjadi salah satu dasar dalam menerapkan dan mengembangkan pilar dua maupun pilar tiga.

Masyarakat belajar -  melaui proses diskusi kelompok, baik antar siswa maupun dengan melibatkan kelompok lain, menjadi media yang mempu mempercepat proses transformasi pemikiran dan tindakan bagi siswa. pertukaran informasi, pengetahuan maupun pengalaman serta membiasakan diri untuk bertukar pendapat, menghargai pendapat orang lain serta memutuskan secara bersama adalah proses pembelajaran luar biasa dalam menyiapkan diri terjun pada realitas sosial.

Simulasi atau praktik lapang adalah cara ideal untuk menunjukan secara langsung, bagaimana sebuah hasil pembelajaran atau sebuah teori dipraktikan. Simulasi tidak hanya sekedar untuk kepentingan pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Dalam kontek manajemen risiko bencana, simulasi adalah sebagai upaya membiasakan diri. Dalam kontek darurat, kapanikan adalah salah satu musuh utama yang dapat menjerumuskan seseorang celaka, bahkan dapat berujung pada kematian. Membiasakan diri untuk bertindak sesuai dengan langkah-langkah agar tetap aman akan meredam rasa panik yang mungkin timbul saat kondisi darurat terjadi.

Refleksi adalah sebuah proses yang harus dilakukan secara terus menerus. Refleksi yang dapat diartikan sebagai pemantauan atau evaluasi tidak harus diterjamahkan secara formal. Dalam kontek sekolah aman yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam alur kehidupan, refleksi atas proses yang dilakukan tentu menjadi kebutuhan secara terus menerus. Melihat secara serius, bagaimana proses dan capaian dapat dihasilkan. bagaimana pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan maupun keberlanjutan.

Penerapan sekolah/mandarasah aman, tidak harus menyediakan waktu khusus. Apalagi kurikulum baru yang mungkin akan menambah beban bagi guru dan siswa. Sekolah aman lebih awal perlu ditetapkan dulu sebagai kebutuhan. Sebagaimana kebutuhan guru atas fasilitas belajar mengajar. Guru atau kepala sekolah tentu akan berjuang sekuat tenaga jika sekolah tidak memiliki cukup papan tulis atau alat tulis. Juga akan berupaya sekuat tenaga jika ruang kelas tidak mencukup sesuai dengan kebutuhan siswa. Kondisi yang sama akan terjadi pada kebutuhan penerapan sekolah aman. Seberapa besar warga sekolah menempatkan terlindungi dan terselamatkan dari bencana sebagai prioritas atau menjadi bagian dari kebutuhan mendasar?

Next catatan -  akan menuliskan tentang CTL dalam kontek Gerakan Pramuka Indonesia

No comments: