Monday, June 06, 2016

HUTAN WAKAF, inisiatif menyelamatkan hutan ala masyarakat


Cukup lama tergelitik dengan inisiatif luar biasa sekelompok aktifis lingkungan Aceh sebagai bentuk menyelamatkan hutan secara nyata. HUTAN WAKAF. Menjadi menarik ketika kata Wakaf digunakan yang umum digunakan untuk kegiatan keagamaan. Wakaf untuk tempat ibadah, pamakaman, panti asuhan atau lahan pertanian -  dimana hasilnya untuk kegiatan-kegiatan keagamaan.

Jarang kita mendengar -  wakaf untuk kebutuhan lain. Wakaf untuk pembangunan jalan, rumah fakir miskin dll. Sekalipun di wilayah perkotaan, telah muncul banyak inisiatif Wakaf dalam bentuk produktif. Wakaf untuk tempat usaha misalnya atau perkantoran.

4 Februari 2008, Pemerintah SBY mengeluarkan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar kegiatan kehutanan, WALHI menggugat regulasi yang menempatkan hutan lindung dan produksi yang dihargai sangat murah. Bisa dibayangkan, PP tersebut khususnya memberikan keleluasaan izin bagi 14 perusahaan tambang untuk melakukan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan tambangnya, infrastruktur dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun. Harga itu sangat lebih murah (bahkan) dengan harga sebuah pisang goring yang biasa dijual. Dalam skema PP tersebut maka bisa diperkirakan sekitar 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia bakal hancur lebur. Tentu saja bisa dipastikan dalam waktu ke depan Indonesia akan semakin parah mengalami bencana ekologis yang lebih dahsyat yang pasti akan menyengsarakan masyarakat kita akibat diberlakukannya PP itu (SiaranPers WALHI, 2008). 

Saat itu, terkumpul dana sebesar Rp. 1.614.000 dan diserahkan kepada Dept Keuangan, Kabag Pengelolaan Opini, Agung Adhianto. Beberapa hari kemudian - dana yang tersebut dikembalikan ke WALHI karena belum ada mekanisme yang mengatur tentang peruntukan sewa hutan.
Terlepas dari besaran dana yang terkumpul saat itu, secara substansi menjadi menarik untuk dicermati terkait keterlibatan masyarakat terhadap pelestarian hutan. WALHI saat itu percaya, jika mekanisme yang telah ada, dana yang akan terkumpul untuk menyelamatkan hutan sebagai pengganti dana yang akan diperoleh dari 14 perusahaan tambang akan terlampau dalam waktu singkat. Keyakinan tersebut tentu tidak berlebihan mengingat daya rusak pertambangan yang masif. Tidak pernah ada contoh kasus pertambangan tidak merusak. Baik pada proses eksplorasi maupun eksploitasi. Dan yang pasti, tidak pernah ada contoh kasus reklamasi paska tambang dilakukan dengan benar.
Hutan Wakaf sebagai alternatif
Tidak pernah berkurang inisiatif upaya masyarakat dalam menyelematkan hutan. Tidak hanya yang disokong proyek2 berdana gendut dibawah NGO's Internasional atau nasional dengan donor raksasa -  tapi justru bertebaran dengan inisiatif berbasis komitmen. Meraka terus bergerilya diantara gagahnya para pekerja NGO's dengan segudang fasilitas.  Ya, mereka kadang tidak pernah dianggap layak untuk menjalankan sebuah proyek karena tidak memenuhi kriteria penerima dana hibah. Kualitas proposal, kelembagaan yang dinilai tidak mampu atau SDM yang tidak bergelar akademik. Mereka berhenti? tidak, mereka terus bergerak  dan membangun kesadaran serta meyakinkan banyak pihak - jika mereka memiliki kemampuan untuk membangun mimpi.

Hutan Wakaf, begitu luar biasa gagasan tersebut terlahir. Saat banyak aktifitas lebih memilih mencari dana hibah melalui dokumen proposal, saat banyak aktifias mulai frustasi dan memilih melamar menjadi staff lembaga-lembaga yang menawarkan gaji dan fasilitas -  mereka membuka donasi publik. Memproduksi marchandise yang keuntungannya untuk membiayai mimpi membangun hutan wakaf. gerakan ini pun menjual produk kopi gayo, dimana 25 % keuntungannya untuk membiayai gerakan hutan wakaf. Saat ini telah terkumpul dana sebesar Rp. 12.358.632,90 per 3 juni 2016.
Perjalanan masih panjang. Tentu.. sebagai gerakan, perjalan tidak akan pernah akan berhenti. Namun, dukungan publik harus lebih real. tidak cukup rasanya mendukung gerakan ini dengan memijit "like and share" pada media sosial. Membeli produk adalah bagian minimum mendukung
gerakan ini. Mendonasikan untuk mempercepat perwujudan hutan wakaf, tentu akan jauh lebih bernilai.

Wakaf atau Waqf (arab - waqafa) berarti menahan; berhenti; berdiam di tempat  atau tetap berdiri. Wakaf menurut fiqh adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb, 2002:414). Wakaf dapat juga berarti menyerahkan susatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seserang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan ataupun badan pengelola dengan ketentuan hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam (M. Zein 2005:425)

Wakaf bertujuan tawarrub kepada Allah SWT untuk mendapatkan kebaikan dan ridha-Nya. Mewakafkan lebih utama karena sifatnya kekal dan manfaatnya lebih besar. Pahala wakaf akan terus mengalir kepada wakif meskipun dia telah meninggal. Tujuan wakaf berdasarkan hadist Ibnu Umar ra dapat dipahami untuk mencari ridha Allah SWT dan untuk kepentingan masyarakat. terdapat rukun (syarat) dan tata cara berwakaf. Berdasarkan UU No  41/2004 pasal 6; ketentuan atau unsur wakaf diantaranya adalah; 1) wakif; 2) nadzir; 3) harta benda wakaf; 4) ikrar wakaf; 5) peruntukan harta benda wakaf; dan 6) jangka waktu wakaf.

Ketentuan-ketentuan sebagaimana disyariatkan tentu tidak dapat diabaikan begitu saja saat gerakan Hutan Wakaf telah dideklarasikan. Wakaf baru dapat dikatakan sah apabila tidakan atau perbuatan yang menunjukan pada wakaf dan adanya ikrar atau ucapan yang mengarah pada wakaf.
Hutan Wakaf yang mulai diinisiasi di Aceh, wajib didukung dan dorong. Sehingga dapat menjadi model dan pembelajaran bagi wilayah lain. Menjadi menarik pada negara yang dengan jumlah muslim terbesar di dunia -  seharusnya mewujudkan hutan wakaf tidak lah sulit. Dengan 87,18% atau 207.176.162 jiwa (BPS, 2010) jika masing-masing mendonasikan Rp. 1.000 (seribu rupiah) saja, maka akan terkumpul Rp. 207 milyar. Jika kita merujuk pada PP No 2/2008 dimana harga sewa hutan untuk pertambangan adalah sebesar Rp. 300 untuk hutan lindung dan 120 untuk hutan produksi; maka dana tersebut telah mampu menyewa hutan untuk tidak ditambang seluas 690.587.206.66 ha hutan lindung. Upsh... ini tentu melebihi dari luas hutan di Indonesia. Data terakhir dari Kemenhut tahun 2012 tersisa 130 juta ha. Hutan alam saat itu seluas 4.730.704,04 ha; hutan konservasi seluar 20 juta ha dan hutan lindung seluas 32,43 ha. sisanya adalah hutan produksi seluas 77,83 juta ha.

Apakah besaran dari donasi Rp. 1.000 itu hanya sebuah mimpi? atau kita bicara realitis -  berapa kemampuan kita mengumpulkan donasi untuk membangun Hutan Wakaf? berapa lama kita bisa mewujudkan mimpi tersebut? dan dengan cara apa kita bisa mendapatkan target kita?
semoga ini tidak sekeddar mimpi..... semoga Allah SWT meridloi kita semua.. aamiin.

Info lebih lengkap tentang Hutan Wakaf bisa kontak :
Akmal Senja : https://www.facebook.com/akmal.senja?fref=nf
website          : http://www.hutan-tersisa.org/2013/12/merchandise.html

No comments: