Cukup lama tergelitik
dengan inisiatif luar biasa sekelompok aktifis lingkungan Aceh sebagai bentuk
menyelamatkan hutan secara nyata. HUTAN WAKAF. Menjadi menarik ketika kata
Wakaf digunakan yang umum digunakan untuk kegiatan keagamaan. Wakaf untuk tempat
ibadah, pamakaman, panti asuhan atau lahan pertanian - dimana hasilnya
untuk kegiatan-kegiatan keagamaan.
Jarang kita mendengar - wakaf untuk kebutuhan lain.
Wakaf untuk pembangunan jalan, rumah fakir miskin dll. Sekalipun di wilayah
perkotaan, telah muncul banyak inisiatif Wakaf dalam bentuk produktif. Wakaf
untuk tempat usaha misalnya atau perkantoran.
4 Februari 2008, Pemerintah SBY mengeluarkan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar kegiatan kehutanan, WALHI menggugat regulasi yang menempatkan hutan lindung dan produksi yang dihargai sangat murah. Bisa dibayangkan, PP tersebut khususnya memberikan keleluasaan izin bagi 14 perusahaan tambang untuk melakukan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan tambangnya, infrastruktur dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun. Harga itu sangat lebih murah (bahkan) dengan harga sebuah pisang goring yang biasa dijual. Dalam skema PP tersebut maka bisa diperkirakan sekitar 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia bakal hancur lebur. Tentu saja bisa dipastikan dalam waktu ke depan Indonesia akan semakin parah mengalami bencana ekologis yang lebih dahsyat yang pasti akan menyengsarakan masyarakat kita akibat diberlakukannya PP itu (SiaranPers WALHI, 2008).
Saat itu, terkumpul dana sebesar Rp. 1.614.000 dan
diserahkan kepada Dept Keuangan, Kabag Pengelolaan Opini, Agung Adhianto.
Beberapa hari kemudian - dana yang tersebut dikembalikan ke WALHI karena belum
ada mekanisme yang mengatur tentang peruntukan sewa hutan.
Terlepas dari besaran dana yang terkumpul saat itu, secara
substansi menjadi menarik untuk dicermati terkait keterlibatan masyarakat
terhadap pelestarian hutan. WALHI saat itu percaya, jika mekanisme yang telah
ada, dana yang akan terkumpul untuk menyelamatkan hutan sebagai pengganti dana
yang akan diperoleh dari 14 perusahaan tambang akan terlampau dalam waktu
singkat. Keyakinan tersebut tentu tidak berlebihan mengingat daya rusak
pertambangan yang masif. Tidak pernah ada contoh kasus pertambangan tidak
merusak. Baik pada proses eksplorasi maupun eksploitasi. Dan yang pasti, tidak
pernah ada contoh kasus reklamasi paska tambang dilakukan dengan benar.
Hutan Wakaf sebagai
alternatif
Tidak pernah berkurang inisiatif upaya masyarakat dalam
menyelematkan hutan. Tidak hanya yang disokong proyek2 berdana gendut dibawah
NGO's Internasional atau nasional dengan donor raksasa - tapi justru
bertebaran dengan inisiatif berbasis komitmen. Meraka terus bergerilya diantara
gagahnya para pekerja NGO's dengan segudang fasilitas. Ya, mereka kadang
tidak pernah dianggap layak untuk menjalankan sebuah proyek karena tidak
memenuhi kriteria penerima dana hibah. Kualitas proposal, kelembagaan yang
dinilai tidak mampu atau SDM yang tidak bergelar akademik. Mereka berhenti?
tidak, mereka terus bergerak dan membangun kesadaran serta meyakinkan
banyak pihak - jika mereka memiliki kemampuan untuk membangun mimpi.
Hutan Wakaf, begitu luar biasa gagasan tersebut terlahir.
Saat banyak aktifitas lebih memilih mencari dana hibah melalui dokumen
proposal, saat banyak aktifias mulai frustasi dan memilih melamar menjadi staff
lembaga-lembaga yang menawarkan gaji dan fasilitas - mereka membuka
donasi publik. Memproduksi marchandise yang keuntungannya untuk membiayai mimpi
membangun hutan wakaf. gerakan ini pun menjual produk kopi gayo, dimana 25 %
keuntungannya untuk membiayai gerakan hutan wakaf. Saat ini telah terkumpul
dana sebesar Rp. 12.358.632,90 per 3 juni 2016.
Perjalanan masih panjang. Tentu.. sebagai gerakan, perjalan
tidak akan pernah akan berhenti. Namun, dukungan publik harus lebih real. tidak
cukup rasanya mendukung gerakan ini dengan memijit "like and share"
pada media sosial. Membeli produk adalah bagian minimum mendukung
gerakan ini.
Mendonasikan untuk mempercepat perwujudan hutan wakaf, tentu akan jauh lebih
bernilai.
Wakaf atau Waqf (arab - waqafa) berarti
menahan; berhenti; berdiam di tempat atau tetap berdiri. Wakaf menurut
fiqh adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang
memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb, 2002:414). Wakaf dapat juga berarti
menyerahkan susatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seserang atau nadzir
(penjaga wakaf), baik berupa perorangan ataupun badan pengelola dengan
ketentuan hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan
syariat Islam (M. Zein 2005:425)
Wakaf bertujuan tawarrub kepada Allah SWT untuk
mendapatkan kebaikan dan ridha-Nya. Mewakafkan lebih utama karena sifatnya
kekal dan manfaatnya lebih besar. Pahala wakaf akan terus mengalir kepada wakif
meskipun dia telah meninggal. Tujuan wakaf berdasarkan hadist Ibnu Umar ra
dapat dipahami untuk mencari ridha Allah SWT dan untuk kepentingan masyarakat.
terdapat rukun (syarat) dan tata cara berwakaf. Berdasarkan UU No 41/2004
pasal 6; ketentuan atau unsur wakaf diantaranya adalah; 1) wakif; 2) nadzir; 3)
harta benda wakaf; 4) ikrar wakaf; 5) peruntukan harta benda wakaf; dan 6)
jangka waktu wakaf.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana disyariatkan tentu tidak
dapat diabaikan begitu saja saat gerakan Hutan Wakaf telah dideklarasikan.
Wakaf baru dapat dikatakan sah apabila tidakan atau perbuatan yang menunjukan
pada wakaf dan adanya ikrar atau ucapan yang mengarah pada wakaf.
Hutan Wakaf yang mulai diinisiasi di Aceh, wajib didukung
dan dorong. Sehingga dapat menjadi model dan pembelajaran bagi wilayah lain.
Menjadi menarik pada negara yang dengan jumlah muslim terbesar di dunia -
seharusnya mewujudkan hutan wakaf tidak lah sulit. Dengan 87,18% atau
207.176.162 jiwa (BPS, 2010) jika masing-masing mendonasikan Rp. 1.000 (seribu
rupiah) saja, maka akan terkumpul Rp. 207 milyar. Jika kita merujuk pada PP No
2/2008 dimana harga sewa hutan untuk pertambangan adalah sebesar Rp. 300 untuk
hutan lindung dan 120 untuk hutan produksi; maka dana tersebut telah mampu
menyewa hutan untuk tidak ditambang seluas 690.587.206.66 ha hutan lindung.
Upsh... ini tentu melebihi dari luas hutan di Indonesia. Data terakhir dari
Kemenhut tahun 2012 tersisa 130 juta ha. Hutan alam saat itu seluas
4.730.704,04 ha; hutan konservasi seluar 20 juta ha dan hutan lindung seluas
32,43 ha. sisanya adalah hutan produksi seluas 77,83 juta ha.
Apakah besaran dari donasi Rp. 1.000 itu hanya sebuah mimpi?
atau kita bicara realitis - berapa kemampuan kita mengumpulkan donasi
untuk membangun Hutan Wakaf? berapa lama kita bisa mewujudkan mimpi tersebut?
dan dengan cara apa kita bisa mendapatkan target kita?
semoga ini tidak sekeddar mimpi..... semoga Allah SWT
meridloi kita semua.. aamiin.
Info lebih lengkap tentang Hutan Wakaf bisa kontak :
Akmal Senja : https://www.facebook.com/akmal.senja?fref=nf
website
: http://www.hutan-tersisa.org/2013/12/merchandise.html
No comments:
Post a Comment