Pengkajian Risiko Bencana (KRB) diposisikan sangat penting dalam manajemen risiko bencana atau disaster risk manajement (DRM). Dengan memahami risiko bencana, berbagai upaya yang dilakukan dalam kontek mengurangi risiko menjadi tepat sasaran dan berdasarkan skala prioritas yang ada. Fungsi KRB juga diidentikan dengan ciri dari paradigma pengurangan risiko bencana (PRB).
R = H*V/C menjadi rumusan populer dalam metode KRB. Rumusan yang menggambarkan pola hubungan antar variabel dalam membentuk risiko. Bukan semata-mata rumusan matematis. sekalipun saat ini, selain kajian risiko partisipatif (komunitas) - pendekatan matematis lebih mendominasi dalam menentukan kelas, untuk menentukan hazard, kerentanan maupun risiko.
Terlepas perdebatan aktualisasi rumusan dalam KRB, hal menarik untuk dicermati dalam menempatkan lingkungan sebagai bagian bagian dari komponen kerentanan. Menjadi menarik karena penempatan lingkungan sebagai bagian yang menentukan kerentanan maupun risiko bencana memiliki fungsi lain, selain sebagai bagian yang terpapar. Fungsi ekologis misalnya - lingkungan mampu meredam besaran ancaman. Baik melalui proses alamiah maupun pada saat terjadinya tragedi atau kejadian ancaman. Kasus tsunami Aceh yang menjadi bencana internasional misalnya - membuktikan kehadiran tanaman mangrove mampu meredam energi tsunami sehingga kerusakan menjadi lebih minimalis dibandingkan wilayah terbuka. Kasus-kasus banjir, banjir bandang, angin puting peliung atau angin kencang atau kekeringan juga membuktikan fungsi ekologis menentukan besaran bencana yang terjadi.
Pada dasarnya, tidak hanya pada aspek lingkungan, pada aspek lain pun menunjukan dua sisi dari masing-masing komponen maupun indikator yang digunakan dalam menentukan kelas kerentanan. Seperti pada aspek sosial - dimana populasi menjadi salah satu indikator. Jumlah populasi yang besar (padat) pada wilayah terpapar tidak serta merta menunjukan tingkat kerentanan tinggi. Jika populasi tersebut memiliki pengetahuan maupun skill atau sumberdaya lain dalam menghadapi ancaman - maka besaran populasi dapat menunjukan ketidak rentanan. Demikian juga pada aspek ekonomi - dimana penduduk pada wilayah terpapar memiliki alternatif mata pencaharian atau mata pencaharian yang adaptif dengan ancaman yang ada, memiliki tabungan, asuransi, memiliki akses terhadap lembaga keuangan dll - maka ekonomi yang terpapar ancaman tidak serta merta menurukan tingkat kerentanan.
Gambaran di atas, paling tidak dapat memafhumi, atas beragamnya rumusan RISIKO yang berkembang. R = H/V misalnya - dimana V (vulnerable/kerentanan) dengan menjabarkan pada aspek negatif dan positif. Negatif dimaknai sebagai rentanan dan positif dimaknai tidak rentan atau berkapasitas.
Pada komponen lingkungan berdasarkan Perka BNPB No 2/2012 ditempatkan sebagai aset terpapar. Sama halnya dengan komponen lain seperti sosial (budaya), ekonomi maupun infrastruktur. Metode kajian yang lebih didominasi pendekatan kuantitatif - mengurangi fungsi indikator dari masing-masing komponen dalam mereduksi ancaman yang ada. Artinya, komponen lebih diposisikan sebagai benda mati yang bersifat statis. Pada kontek realitas, lingkungan memiliki fungsi ekologis dalam reduksi risiko maupun dalam merespon ancaman itu sendiri. Lingkungan sendiri juga memiliki beragam fungsi lain seperti sebagai pusat keragaman hayati maupun fungsi penting lainnya.
Fungsi Ekologis dalam Ancaman Bencana
Contoh kasus populer adalah fungsi mangrove. Secara ekologis, mampu meredam energi banjir pasang surut (rob) maupun energi gelombang tsunami. Kontek ini tentu dapat menjadi pertimbangan dalam menilai besaran ancaman bencana yang ada. Demikian juga dengan tutupan lahan dengan fungsi sebagai daerah tangkapan air atau menstabilkan daya erosi yang berimplikasi pada sendimentasi pada bantaran sungai. Tutupan lahan dengan jenis tanaman tertetu pada alur awan panas pada beberapa kasus erupsi gunungapi, juga mampu meredam pergerakan awan panas. sehingga dampak yang ditimbulkan menjadi lebih kecil.
Contoh kasus populer adalah fungsi mangrove. Secara ekologis, mampu meredam energi banjir pasang surut (rob) maupun energi gelombang tsunami. Kontek ini tentu dapat menjadi pertimbangan dalam menilai besaran ancaman bencana yang ada. Demikian juga dengan tutupan lahan dengan fungsi sebagai daerah tangkapan air atau menstabilkan daya erosi yang berimplikasi pada sendimentasi pada bantaran sungai. Tutupan lahan dengan jenis tanaman tertetu pada alur awan panas pada beberapa kasus erupsi gunungapi, juga mampu meredam pergerakan awan panas. sehingga dampak yang ditimbulkan menjadi lebih kecil.
Fungsi ekologis dalam kontek analisis (pengkajian) ancaman bencana menjadi penting untuk dalami sebagai bagian dalam mempertimbangkan kelas ancaman bencana. Kontek ini tentu tidak lepas dari upaya yang perlu dilakukan dalam mitigasi bencana. Menjadi pertanyaan - bagaimana komponen lingkungan yang memiliki pengaruh dalam variabel ancaman bencana ditempatkan. Apakah cukup dengan komponen dampak dan probabilitas mewakili fungsi ekologis dalam kontek analisis?
Jika melihat penjabaran dari indikator-indikator ancaman bencana; dari sisi dampak - fungsi ekologis masih belum terakomodir dengan baik. Komponen Dampak dilihat besaran kerugian yang ditimbulkan oleh ancaman bencana. Sedangkan probabilitas dilihat dari sisi kemungkinan terjadinya bencana. Kondisi ini bisa dilihat dari sisi sejarah kejadian serta melihat kecenderungan yang terjadi dimasa yang akan datang.
Jika melihat aspek kecenderungan terjadinya (probabilitas), fungsi ekologis menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Bagaimana sejarah kejadian bencana dikaitkan dengan sejarah degradasi fungsi lingkungan yang ada. Seperti tutupan lahan, jenis tanaman, kondisi DAS, perubahan curah hujan, atau alih fungsi lahan.
Pemanfaatan peta SNI yang telah ada sebagaimana diatur dalam Perka BNPB No 2/2012 cukup menarik untuk dicermati. Peta hanya salah satu media dalam proses pengkajian. Apalagi jika kita kembali pada prinsip rumus KRB yang menempatkannya sebagai pola hubungan, bukan matematis. Dan hal yang menjadi spesifik dalam KRB adalah, Peta merupakan visualisasi dari hasil kajian. Bukan sebaliknya. Ini memberikan pemahaman, peta tidak berdiri sendiri dan sangat mungkin berubah (pembuatan peta dengan GIS) berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan. Kondisi ini memberikan gambaran, penggunaan peta SNI tidak serta merta langsung dapat digunakan. Tapi hanya menjadi salah satu rujukan utama yang selanjutnya dipadukan dengan berbagai informasi sesuai dengan komponen dalam menentukan hazard, seperti dampak, probalitas maupun fungsi ekologis. Dan data - informasi ini lah yang akan menjadi bagian penting untuk selanjutnya dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan upaya pengelolaan risiko bencana - khususnya pada upaya mitigasi bencana.
Aspek Lingkungan dalam Komponen Kerentanan
Pada komponen kerentanan - lingkungan merupakan bagian dari komponen yang menentukan tingkat kerentanan. Pemaknaan lingkungan saat ini sebagai bagian dari aset yang terpapar dengan pengertian - jika terjadi bencana, maka lingkungan akan rusak, hancur atau hilang. untuk itulah, indikator yang digunakan adalah hutan konservasi; hutan lindung, hutan alam; hutan mangrove, semak belukar dan rawa. Indikator tiap ancaman berbeda. Namun hal yang menjadi menarik untuk dibuka ruang dialog adalah fungsi ekologis yang terganggu, rusak, atau hilang akibat dari bencana. Pada kasus kebakaran hutan yang masif - tentu kita bisa khawatir akan hilang atau punahnya keragaman hayati yang ada. Demikian juga dengan dampak bencana teknologi, tsunami atau longsor. Sisi yang lain, akibat terganggunya ekologis - juga akan memunculkan dampak-dampak lain berupa risiko; baik dari aspek hazard maupun kerentanan.
Penempatan lingkungan jika ditempatkan sebagai aset terpapar - dan akan terganggu, rusak atau hilang dapat saja diterapkan sebagaimana penetapkan aspek sosial budaya (didalamnya termasuk aspek manusia), ekonomi dan infrastruktur. Dengan asumsi - fungsi ekologis telah dipertimbangkan dalam variabel ancaman bencana. Untuk penerapannya, yang perlu dipertimbangkan adalah nilai dari lingkungan itu sendiri, termasuk fungsinya. Kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Cagar Biosfir, Taman Hutan Raya atau Hutan Lindung memiliki nilai ekologis lebih tinggi karena adanya fungsi khusus. Sama halnya bentang alam karst atau kawasan lindung; sepandan sungai, sepandan laut atau sekitar mata air. Terganggunya atau rusak atau bahkan sampai hilang/hancur memiliki kerugian yang tidak sedikit. Bahkan mungkin sangat sulit dihitung dengan nilai uang atau materi. sehingga perlu upaya lebih serius dalam perlindungan kawasan-kawasan ini dari dampak bencana. Dan pola penghitungan aspek ekologis ini sudah cukup populer dikalangan praktisi maupun akademisi lingkungan.
Tantangan ke Depan
Pengkajian risiko pada aspek lingkungan menjadi tantangan besar untuk kembali dilihat dan perkaya. Tantangan ini tentu sangat terbuka untuk berbagai pihak untuk berkontribusi dalam menyempurnakan KRB yang saat ini telah berjalan. Akan menjadi lebih strategis ketika dituangkan dalam analisis risiko bencana sebagaimana dimandatkan UU No 24/2007 dan PP No 21/2008 bagi pembangunan yang berpotensi memunculkan risiko bencana. Tantangan ini pada dasarnya telah dibuka sejak awal - karena prinsip KRB sendiri salah satunya dengan melibatkan multi disiplin ilmu. dan para pakar ekologi harusnya meresa tertantang untuk menyusun indikator untuk diterapkan dalam KRB.
Jika melihat aspek kecenderungan terjadinya (probabilitas), fungsi ekologis menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Bagaimana sejarah kejadian bencana dikaitkan dengan sejarah degradasi fungsi lingkungan yang ada. Seperti tutupan lahan, jenis tanaman, kondisi DAS, perubahan curah hujan, atau alih fungsi lahan.
Pemanfaatan peta SNI yang telah ada sebagaimana diatur dalam Perka BNPB No 2/2012 cukup menarik untuk dicermati. Peta hanya salah satu media dalam proses pengkajian. Apalagi jika kita kembali pada prinsip rumus KRB yang menempatkannya sebagai pola hubungan, bukan matematis. Dan hal yang menjadi spesifik dalam KRB adalah, Peta merupakan visualisasi dari hasil kajian. Bukan sebaliknya. Ini memberikan pemahaman, peta tidak berdiri sendiri dan sangat mungkin berubah (pembuatan peta dengan GIS) berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan. Kondisi ini memberikan gambaran, penggunaan peta SNI tidak serta merta langsung dapat digunakan. Tapi hanya menjadi salah satu rujukan utama yang selanjutnya dipadukan dengan berbagai informasi sesuai dengan komponen dalam menentukan hazard, seperti dampak, probalitas maupun fungsi ekologis. Dan data - informasi ini lah yang akan menjadi bagian penting untuk selanjutnya dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan upaya pengelolaan risiko bencana - khususnya pada upaya mitigasi bencana.
Aspek Lingkungan dalam Komponen Kerentanan
Pada komponen kerentanan - lingkungan merupakan bagian dari komponen yang menentukan tingkat kerentanan. Pemaknaan lingkungan saat ini sebagai bagian dari aset yang terpapar dengan pengertian - jika terjadi bencana, maka lingkungan akan rusak, hancur atau hilang. untuk itulah, indikator yang digunakan adalah hutan konservasi; hutan lindung, hutan alam; hutan mangrove, semak belukar dan rawa. Indikator tiap ancaman berbeda. Namun hal yang menjadi menarik untuk dibuka ruang dialog adalah fungsi ekologis yang terganggu, rusak, atau hilang akibat dari bencana. Pada kasus kebakaran hutan yang masif - tentu kita bisa khawatir akan hilang atau punahnya keragaman hayati yang ada. Demikian juga dengan dampak bencana teknologi, tsunami atau longsor. Sisi yang lain, akibat terganggunya ekologis - juga akan memunculkan dampak-dampak lain berupa risiko; baik dari aspek hazard maupun kerentanan.
Penempatan lingkungan jika ditempatkan sebagai aset terpapar - dan akan terganggu, rusak atau hilang dapat saja diterapkan sebagaimana penetapkan aspek sosial budaya (didalamnya termasuk aspek manusia), ekonomi dan infrastruktur. Dengan asumsi - fungsi ekologis telah dipertimbangkan dalam variabel ancaman bencana. Untuk penerapannya, yang perlu dipertimbangkan adalah nilai dari lingkungan itu sendiri, termasuk fungsinya. Kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Cagar Biosfir, Taman Hutan Raya atau Hutan Lindung memiliki nilai ekologis lebih tinggi karena adanya fungsi khusus. Sama halnya bentang alam karst atau kawasan lindung; sepandan sungai, sepandan laut atau sekitar mata air. Terganggunya atau rusak atau bahkan sampai hilang/hancur memiliki kerugian yang tidak sedikit. Bahkan mungkin sangat sulit dihitung dengan nilai uang atau materi. sehingga perlu upaya lebih serius dalam perlindungan kawasan-kawasan ini dari dampak bencana. Dan pola penghitungan aspek ekologis ini sudah cukup populer dikalangan praktisi maupun akademisi lingkungan.
Tantangan ke Depan
Pengkajian risiko pada aspek lingkungan menjadi tantangan besar untuk kembali dilihat dan perkaya. Tantangan ini tentu sangat terbuka untuk berbagai pihak untuk berkontribusi dalam menyempurnakan KRB yang saat ini telah berjalan. Akan menjadi lebih strategis ketika dituangkan dalam analisis risiko bencana sebagaimana dimandatkan UU No 24/2007 dan PP No 21/2008 bagi pembangunan yang berpotensi memunculkan risiko bencana. Tantangan ini pada dasarnya telah dibuka sejak awal - karena prinsip KRB sendiri salah satunya dengan melibatkan multi disiplin ilmu. dan para pakar ekologi harusnya meresa tertantang untuk menyusun indikator untuk diterapkan dalam KRB.
No comments:
Post a Comment