Thursday, April 26, 2007


PERUBAHAN IKLIM, ANCAMAN BENCANA DAN TANTANGAN DAYA LENTING

12.000 desa terancam hilang akibat naiknya air laut. 80 % disepanjang pesisir jawa. Produksi pangan akan menurun. artinya kelaparan dan gizi buruk akan mengancam. Banjir, longsor dan kekeringan akan meningkat. Intensitas badai pun akan tinggi. Wabah demam berdarah, malaria dan kolera tidak hanya pada kawasan endimik, tapi akan menyebar ke wilayah2 yang mungkin saat ini aman. Dan krisis air bersih akan mengancam daerah-daerah kering dan perkotaan. Itulah ancaman pemanasan global-perubahan iklim. Sebagian besar ancaman tersebut telah nyata dirasakan. Beberapa desa nyata telah hilang akibat abrasi pantai. Air bersih mulai langka. dan Banjir-longsor menjadi menu harian selama musim hujan.

Rela atau pun tidak, itu adalah kenyataan yang saat ini dihadapi manusia di dunia. akibat dari borosnya pola hidup paska revolusi industri, penghabur2an CO2, deforestasi, reklamasi pantai dan segenap kelakuan destructive, saatnya alam menunjukan kekuasaannya. Es di kutub utara mulai mencair. hujan asam, dan pencemaran dimana2.

Sesungguhnya, 169 negara telah membuat komintmen bersama untuk melakukan usaha luar biasa mengurangi efek rumah kaca, 10 tahun yang lalu. lebih tahu tentang protokol kyoto, buka http://en.wikipedia.org/wiki/Kyoto_Protocol dan http://unfccc.int/essential_background/convention/items/2627.php.
Namun sayang, penyumbang terbesar efek rumah kaca, menolak untuk menandatangani protokol tersebut. Penolakan ini diikuti para sekutunya. Praktis, protokol ini pun tidak lagi mempunyai taring. karena si pembangkang adalah sang polisi dunia, amerika serikat.













Adalah Sayung, sebuah dusun yang masuk Kabupaten Demak. Dusun tersebut saat ini telah hilang akibat abrasi. Makan warga pada tahun 1998 masih tersisa karena berada ditanah yang tinggi, saat ini pun telah tenggelam. Berbagai upaya masyarakat menyelamatkan dusun dengan membuat tanggul dan menanam mangrove sia-sia. satu persatu warga masyarakat mengungsi. ketika tidak ada lagi harapan untuk kembali, warga pun memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Saat ini, hanya ada satu KK yang masih bertahan. satu2nya transportasi menuju ke desa sebelah adalah perahu kecil. tak ada lagi listrik,sekolah, pasar atau jalan. semua telah ditelah abrasi.

Sayung adalah salah satu contoh riil, bagaimana abrasi laut menjadi ancaman mengerikan bagi kehidupan komunitas. Bencana yang datang secara perlahan namun pasti. Dan celakanya, proses ini tidak masuk dalam katagori bencana. Kondisi ini dianggap sebagai proses alamiah. dan warga masyarakat harus menanggung sendiri dampak tersebut. Akan ada 12 ribu desa seperti Sayung. dan Akan ada ribuan atau bahkan jutaan jiwa yang tergusur dari tanah kelahirannya. tergusur tanpa difasilitasi negara atau negara-negara penyumbang efek rumah kaca.

Banjir jakarta 2007 yang menenggelamkan 3/4 wilayahnya tidak lepas dari dampak perubahan iklim. gagal panen atau menurunnya produksi pangan, wabah yang menyelimuti hampir seluruh daerah di Indonesia serta munculnya penyakit baru adalah sebuah kenyataan. Pemenasan global akibat efek rumah kaca telah menjadi ancaman nyata keberlanjutan kehidupan. WHO melaporkan, 130 juta jiwa terancam kelaparan saat ini, 80 % diantaranya berada di Asia, termasuk Indonesia.

Informasi ancaman harus segera dikumandangkan. Adaptasi hidup harus segera dilakukan. dan Perubahan gaya hidup dan pola pendekatan pembangunan harus segera dirubah. Bencana luar biasa akan terjadi secara perlahan terjadi. bencana yang dianggap bukan bencana.
Para pengambil kebijakan mau tidak mau harus merubah pandangan. tidak lagi menggunakan pembangunan berkelanjutan sebagai mainstreaming, tapi.. sustainable societies. but, not only sustanable, but.. must to be society dignity.


terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Wednesday, April 25, 2007

ENTAH...

Pernahkah anda menghitung, berapa persen dalam satu majalah atau surat kabar berita positif yang anda dapatkan? lalu sisanya, apakah berupa berita negatif. Pernah kah hitungan itu dilakukan secara terus menerus selama satu minggu atau satu bulan? Adakah perbedaanya. Pada hari apa, prosentase berita positif itu mengalami kenaikan?

Jika anda tidak ingin pusing, jangan membaca koran, majalah atau televisi pada acara berita. karena tanpa sadar, otak secara spontan akan bekerja keras. dan mulut kita pun tidak akan mampu mengontrol untuk mengumpat...

Mungkin itu juga yang terjadi dengan masyarakat nun jauh disana. yang akses komunikasi dan informasi sangat terbatas. Mereka hanya berhadapan dengan dinamika hidup yang ada didepan mata. Mendapatkan makan, air bersih, atau kayu bakar. Tetangga pun akan dengan senang hati membantu ketika salah satu komunitas mengalami kesulitan. Hidup serasa damai dalam sebuah kekeluargaan. damai karena tidak mendapatkan tambahan beban pikiran dari kelakukan orang lain yang tidak masuk diakal. Mungkin, itu juga yang menyebabkan orang nun jauh disana lebih panjang usianya, lebih sehat, lebih bergairah hidupnya. Mungkin... may be yes.. may be no.. kata Iklan LA sich...

Tapi jika itu dilakukan, maka kita akan kuper. gak tahu perkembangan..
Tidak tahu perkembangan, berarti, hidup kita pun mungkin terasa tak berarti. Bayangkan, sebuah petaka bisa muncul hanya karena 4 - 10 orang ingin mendapatkan kekayaan secara instan. dan mengorbankan ratusan ribu atau bahkan mungkin juta..
Lihatlah kasus langkanya infus akibat dari intervensi segelintir orang yang dipinjami kekuasaan. Akibatnya, warga yang dirawat di rumah sakit akibat bencana banjir, akibat demam berdarah, atau penyakit lain "berteriak". Sedangkan sang dirjen, anggota DPR RI, sang direktur sanbe ha.. ha.. hi.. hi... dirumah mewahnya. mungkin juga sedang menikmati wine, makanan mewah atau pelesir ke luar negeri.

Entah... kok bisa ya. Sampe hati mereka mengorbankan ribuan atau jutaan orang dengan alasan DEMI KEPENTINGAN RAKYAT??????


terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
KITA MAMPU....

Bangga dan haru.. ketika membaca majalah tempo edisi 09/XIIIIII/23-29 April 2007 tentang SANGKURIANG, PENGAWAS TSUNAMI.
Kondisi ini sebetulnya biasa2 aja. Karena pada dasarnya, memang manusia2 Indonesia tidak berbeda kemampuannya dengan manusia bangsa lain. Menjadi terharu dan bangga, ketika masih ada kesempatan untuk bisa mengekspresikan keilmuan dan keahliannya membuat karya. apalagi karya untuk kemanusiaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa.. Menggungguli karya2 yang sudah ada.

BPPT perlu mendapatkan reward dari seluruh anak bangsa ini. tidak hanya masyarakat pesisir yang memang akan mendapatkan manfaat dari penciptaan alat pendeteksi tsunami. Sangkuriang, sang legenda pun melekat pada alat yang dikerjakan hanya dalam waktu 4 bulan. mampu mendeteksi dikedalaman 2.050 meter. Melebihi alat2 dari luar yang konon belum mampu mendeteksi kedalaman 2.000 m.

Persoalan yang menghadang ke depan adalah tentang pengelolaan dan perawatannya. Juga kepentingan politik yang kerap menghambat kemajuan bangsa ini. Diakui, beberapa kasus terjadi berkaitan dengan alat deteksi tsunami. dari mulai yang konyol sampe yang bikin gemes. bagaimana tidak, alat pendeteksi tsunami bisa diangkat TNI AL karena dikira bom. dicuri perompak, dibawa ke daratan untuk bikin gawang sepak bola...

Pengamanan dan perawatan menjadi titik kunci agar alat tersebut dapat tetap berfungsi. Memberi pemahaman kepada masyarakat menjadi sangat penting. tidak hanya pada bagaimana alat tersebut berfungsi, juga tentang urgensinya alat itu dibekerja untuk menyelamatkan ratusan ribu masyarakat pesisir. Jadi, kebanggaan itu masih belum berakhir dengan hasil penciptaan.

Hal lain yang penting juga untuk disiapkan adalah perawatan alat. sudah menjadi rahasia umum kalau biaya perawatan kadang seret. Seretnya biaya perawatan karena banyak pengambil kebijakan tidak lagi menganggap penting alat tersebut setelah terpasang. Juga karena "KORUPSI". Politik anggaran kerap diwarnai dengan korupsi. kalau kurang pelicinnya, jangan harap bisa lolos.. setelah lolos di anggaran negara, korupsi pun masih ngikut... terus sampe implementasi. Bisa jadi, dari anggaran diposkan, sampe prakteknya tinggal 50 % saja atau bahkan 0 %.

Gak cuma itu, masalah lain apa lagi kalau bukan kultur gak disiplin dan sok birokratis. Bisa jadi, ketika peringatan tsunami sudah terdeteksi yang dikirim setiap menit (dalam kondisi tidak normal), petugas merasa takut untuk memberi peringatan kepada warga masyarakat. Hal lainnya, gempa gak gak bisa diprediksi lagi. kok bisa disebutkan kondisi genting dan normal????? bukankan itu hanya ada diteori????

Sisi lain, bangsa yang sudah terjerat budaya korup ini akan menutup mata. Karya anak bangsa yang luar biasa ini akan diabaikan begitu saja ketika ada tawaran barang dari Negara tetangga. Biar harganya mahal, kalau kasih bonusnya juga gede, pasti dibeli. Alasan bisa dibuat macam2. Dari yang logis, sampe yang sama sekali gak masuk akal. Alat produk Norwegia seharga 4,5 M bisa jadi dibeli Indonesia, kalau pun tidak mampu mendeteksi kedalaman 500 M.

jerman dengan baik hati telah memberi hadiah alat pendeteksi tsunami atau BUOY. Dengan kemampuan kita menciptakan alat yang lebih canggih, apakah biaya perawatan buoy jerman itu juga harus menggunakan orang dan alat yang didatangkan dari Jerman????
Jika ya, akan lebih baik kalau alat tersebut dikembalikan ke Jerman. Dan Indonesia jauh lebih bermartabat menggunakan karya anak bangsa sendiri. Juga lebih ngirit tentunya.. karena biaya perawatan menjadi jauh lebih murah dan efisien.
______________________________________________________
cuplikan berita tempo...
Si Sangkuriang juga andal. Ia mampu menerima data yang dipancarkan OBU dari kedalaman 2.050 meter di Selat Sunda. Sedangkan alat pendeteksi tsunami buatan Jerman dan Norwegia, hingga sejauh ini, gagal menerima sinyal dari OBU.
Tahun lalu, pemerintah Jerman menyumbangkan alat ini. Buoy tersebut diletakkan di perairan dekat Pulau Siberut, perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Di saat yang sama, pemerintah Malaysia membeli buoy dari Norwegia untuk dipasang di perairan sebelah utara Pulau Sabang.
Hasilnya? Buoy buatan Jerman be-lum mampu berkomunikasi dengan OBU yang diletakkan pada kedalaman 2.000 meter. Buoy buatan Norwegia pun tak mampu berkontak dengan OBU di kedalaman 500 meter. Keunggulan dan kelemahan alat buatan luar negeri ini menjadi dasar pembuatan Sangkuriang

_____________________________________________________

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Monday, April 23, 2007

APA YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA TERJADI BENCANA...

bencana membuat pilu. bencana menyisakan rasa duka..
ketidak siapan menyebabkan risiko dan dampak bencana menjadi besar..
lalu, apa yang harus dilakukan ketika bencana menghampiri kehidupan kita..


pertama, tentu kita harus tahu jenis bencananya. Banjir, longsor, angin puting beliung, gempa, letusan gunungapi, kegagalan teknologi, asap, atau konflik sosial. karena masing2 bencana punya karakter terendiri. karena memiliki karakter, tentu apa yang harus dilakukan pun bisa beda2. Namun hal umum pasti akan dihadapi. Misalnya memastikan seluruh keluarga selamat, terluka atau menjadi korban. ini penting karena menyangkut proses ke depan. juga akan mempengaruhi psikologis kita. Ketidak tenangan akibat salah satu keluarga terpisah dan tidak tahu keberadaannya akan membuat seseorang tidak mampu berpikir jernih. rasa cemas akan menutup rasionalitas. emosi dengan mudah memuncak, kadang tanpa sebab yang jelas.

Mencari keluarga
Untuk memastikan keluarga, mempunyai persiapan tentu akan lebih baik. namun jika tidak, beberapa hal yang bisa dilakukan adalah dengan mendatangi tempat berkumpul, tempat pelayanan kesehatan atau posko pengungsian. siapkan data detil keluarga yang sedang dicari. dari mulai postur tubuh, pakaian yang dikenakan sampai ciri-ciri khusus. ini agar mudah orang lain membayangkan dan segera dapat memberitahu dengan benar jika mempunyai informasi.

sebelum menanyakan pada tempat2 pelayanan seperti puskesmas, rumah sakit, posko pengungsian dll, pastikan siapa yang bertanggung jawab mengurus masalah pengungsi. misalnya koordinator posko pengungsian, koordinator medis atau mungkin ada divisi khusus tentang missing person. cari informasi juga lembaga/organisasi yang khusus menangani missing person dalam penanganan bencana. Karena kita tidak mungkin terus menerus berkeliling tanpa ada kepastian, kemana mencari keluarga kita yang terpisah.
selain itu, mengurusi keluarga yang jelas2 selamat tentu membutuhkan perhatian maksimal.

Tempat pengungsian dan pemenuhan kebutuhan dasar
Banyak warga terkena dampak bencana mengungsi ke tempat saudara2nya. tidak sedikit juga yang menggunakan gedung sekolah, rumah ibadah, kantor atau tanah kosong sebagai tempat mengungsi. Hal yang pertama harus dilakukan, pastikan tempat tersebut aman dari ancaman bencana susulan atau ancaman bencana lain. pastikan juga fasilitas yang ada dan perkirakan fasilitas yang dibutuhkan. misalnya MCK, ruang untuk tidur dan menyimpan barang pribadi, dapur, tempat sampah, drainase dll.

Untuk memenuhi kebutuhan, perlu didiskusikan tentang pengelola/pengurus posko pengungsian. Ini penting untuk memperjelas tugas dan tanggung jawab. Lalu detilkan berbagai kebutuhan tersebut dan kemana harus mendapatkannya. akan muncul organisasi kemanusiaan yang akan melakukan response. juga lembaga pemerintah seperti satlak, satkorlak atau instansi pemerintah. Untuk itu perlu disiapkan data-data pengungsi sedetil mungkin.

Data dasar pengungsi dan kebutuhan
pengelola posko perlu menyiapkan data yang dengan cepat orang lain tahu jumlah dan kebutuhan pengunsi. Paling tidak, pengelola posko perlu melakukan pendataan seluruh pengungsi yang berada dibawah koordinasinya.
data diri pengungsi paling tidak memuat :
Jumlah pengungsi, jenis kelamin, jumlah berdasarkan umur (orang tua, anak-anak, balita), Jumlah perempuan hamil dan menyusui, asal pengungsi (jika pengungsi tidak dalam satu kominitas), serta data pengungsi yang memiliki kemampuan berbeda (difable), memiliki penyakit khusus dll.

Kebutuhan-kebutuhan pengungsi perlu dilist secara cermat dengan didasarkan atas kebutuhan dan kecukupan selama berapa hari. berapa stok yang tersedia.
kebutuhan meliputi :
1. pangan : jenis makanan yang dibutuhkan didasarkan atas kecukupan gizi
2. air bersih : kecukupan air berdasarkan standard minimum (7,5 - 15 lt untuk 1 jiwa). juga tempat air seperti ember, gayung, tempat penyimpan air yang terturup.
3. sanitasi : meliputi MCK, drainase, tempat sampah. idealnya, setiap 1 lubang wc untuk 20 orang. jika WC yang ada tidak mencukupi, perlu dimasukan sebagai priotiras kebutuhan. karena dampak dari ketidaktersediaan WC, akan menyebabkan pengungsi buang kotoran sembarangan tempat. dan ini akan menimbulkan acaman baru. demikian juga dengan tempat sampah dan drainase.
4. shelter/tempat penampungan sementara : dari ruang yang tersedia, perlu dilihat kembali kecukupan, privasi serta keamanan. bercampurnya bayi, balita dan orang tua akan berdampak buruk, karena terjadi percepatan penularan penyakit. demikian juga ketersediaan alat tidur dll.

5. Pelayanan kesehatan Indentifikasi dari para pengungsi yang mempunyai kemampuan untuk melayani kesehatan. bidan, asisten dokter atau mungkin dokter. jika tidak, prioritaskan ada tenaga kesehatan dalam posko. karena obat2an yang tersedia kemungkinan akan jadi racun pembunuh ketika tidak ada tenaga mendis yang memberikan pengarahan penggunaan obat

BAGAIMANA MENDAPATKAN KEBUTUHAN DASAR
Untuk memenuhi seluruh kebutuhan sesuai dengan standard minimum, perlu sistem kerja yang didistribusikan secara adil ditangan pengungsi itu sendiri. sistem pengelolaan sederhana perlu disiapkan. misalnya struktur, mekanisme disktribusi bantuan yang masuk, prioritas, pembagian kerja, pengelola data dll.

setelah siap sistem ditingkat internal, list kebutuhan yang harus dipenuhi dan kemana harus mendapatkannya. cari tahu organisasi2 yang bekerja untuk kemanusiaan, alamat, nomor kontak, kontak person, maupun mekanisme yang berlaku pada lembaga tersebut. dengan data yang lengkap, organisasi kemanusiaan ataupun instansi pemerintah akan dengan mudah membaca dan mendistribusikan batuan.
Informasi juga harus dilengkapi dengan transportasi yang bisa dipakai.

Untuk mendapatkan bantuan, bentuk tim pencari bantuan dan tim pengelola bantuan. Dengan menunjukan peran aktif warga dalam menangani bencana, akan memberikan response positif dari banyak pihak.

PERSIAPAN MASA PEMULIHAN DAN PEMBANGUNAN KEMBALI
jangan terlena dengan kondisi emergency dan relief. warga dibawah koordinasi ketua posko/tokoh masyarakat perlu segera menyusun rencana pemilihan. apa yang harus dilakukan untuk masa pemulihan paska bencana. perlu diskusi intensip dengan melibatkan seluruh unsur pengungsi. Anak2 pun perlu diajak bicara berkaitan dengan kepentingannya. misalnya pendidikan, kebutuhan untuk bermain atau pemilihan psikologis.
demikian juga kelompok perempuan dan kelompok rentan. sehingga pemilihan yang dilakukan bertul2 akan menjadi persiapan pembangunan kembali yang lebih baik











terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH ASIA PASIFIK
sebuah ringkasan laporan dari IPCC

Tulisan ini merupakan terjemahan singkat laporan IPCC - Intergivernmental Panel on Climate Change tentang dampak climate change. Diterjemahkan oleh Torry, manager pengkampanye tambang - energy WALHI Eksektutif Nasional. Sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh umat manusia. Ancaman bencana telah di depan mata akibat penghabaian yang dilakukan manusia paska revolusi industri. Pengabaian para pemimpin negara-negara maju atas produksi CO2 yang begitu tinggi. Pengabaian pemimpin dunia negara berkembang dan miskin yang mengekploitasi SDA untuk memebuhi pendapatan negaranya. Pengabaian kaum berduit yang tidak peduli pemakaian kendaran2 mewahnya, pola dan gaya hidupnya mengancam kehidupan seluruh mahluk di bumi


Pendahuluan

Pemanasan sistem klimat adalah hal yang nyata, dan terbukti dari sejumlah pengamatan atas meningkatnya suhu udara dan samudra, meluasnya salju dan es yang meleleh, dan naiknya tinggi muka air laut rata-rata.(IPCC WGI 2007).

Antara tahun 1850 dan 2005 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan kenaikan temperatur global 0.76 CÂș. Sepanjang abad ke 20, benua Asia telah mencatat rekor kenaikan tertinggi 1 derajat C (IPCC WGI 2007). Karena emisi akan tetap berada di atmosfer dalam waktu lama, IPCC memprediksikan pemanasan 10 tahunan sebesar 0.2 derajat C hingga 2030, yang mengindikasikan kenaikan suhu rata-rata 0.6 derajat C (IPCC WGI 2007).

Pemodelan iklim mengindikasikan kenaikan suhu di wilayah Asia Pasifik (AP) berada pada orde 0.5-2 derajat C pada tahun 2030 dan 1 hinga 7 derajat C pada 2070. Suhu akan menghangat secara cepat di wilayah kering Pakistan utara, India, dan Cina barat. Hujan musim dingin diperkirakan akan menurun di Asia Selatan dan Tenggara, yang diduga akan meningkatkan kekeringan dari musim dingin muson. Wilayah ini Asia Pasifik akan mengalami akibat dari kenaikan muka air laut global sebesar 3-16 cm pada tahun 2030 dan 7-50 cm pada tahun 2070 yang bervariasi dengan tinggi muka air laut regional. Studi pemodelan lainnya mengindikasikan semakin intensifnya siklon tropik (Preston et al 2006).

Region Asia Pasifik adalah wilayah dengan keragaman budaya, ekologi, dan ekonomi tertinggi di dunia. Dampak perubahan iklim di Asia Pasifik menghasilkan akibat beragam pada berbagai negara. Hal ini bukan hanya perubahan iklim akan termanifestasi secara berbeda tetapi juga karena bervariasinya kapasitas negara-negara AP memitigasi gas rumah kaca, kapasitas mengurangi kerentanan, dan beradaptasi pada perubahan iklim.

Air
Perubahan iklim memiliki kemungkinan tinggi dalam merubah ketersediaan sumber air, yang didorong oleh menurunnya curah hujan dan limpasan di Asia Selatan dan Asia Tenggara dan meningkatnya limpasan di daerah lain, terutama di Pulau-pulau Pasifik. Ketersediaan air dan limpasan diperkirakan akan turun hingga 10-30 % pada ketinggian lintang rendah dan daerah tropika kering. (IPCC WGII 2007). Beberapa daerah aliran sungai akan diuntungkan akibat meningkatnya limpasan, namun tekanan karena air akan berdampak pada jutaan orang di seluruh wilayah AP dan biaya untuk menangani persoalan air akan meningkat. Musim penghujan diprediksikan akan berkurang sementara intensitas curah hujan maupun risiko banjir akan semakin tinggi. (Preston et al 2006).

Ketersediaan air tawar di Asia Tengah, Timur, Selatan, dan Tenggara terutama di DAS yang luas akan berkurang. Seiring dengan meningkatnya populasi dan permintaan karena semakin tingginya standar hidup, menurunnya ketersediaan air tawar akan berakibat tak terbendung pada miliaran orang pada tahun 2050
(IPCC WGII 2007). Melelehnya gletser (sungai es) di Himalaya akan meningkatkan banjir, runtuhnya bukit-bukit salju akibat ketidakstabilan lereng, berakibat pada sumber air dalam 2-3 dekade ke depan. Hal ini akan diikuti menurunnya aliran air karena gletser yang meleleh(IPCC WGII 2007).

Dalam jangka panjang, satu-satunya wilayah yang akan mengalami peningkatan curah hujan sampai 2070 adalah Kepulauan Pasifik di sebelah timur Melanesia (Papua Nugini) dan sebagian China tengah (Preston et al 2006). Perubahan iklim diproyeksikan akan mereduksi sumber air di pulau-pulau kecil misalnya kepulauan Karibia dan Pasifik. Penurunan ini akan terjadi hingga titik ketidakcukupan untuk memenuhi permintaan selama periode curah hujan yang rendah (IPCC WGII 2007).

Sebagai hasil dari menurunnya curah hujan dan meningkatnya penguapan, ketahanan air menjadi masalah yang akan terjadi secara intensif pada tahun 2030 di Australia Timur dan Selatan, Selandia Baru, Pulau Utara, dan wilayah-wilayah timur (IPCC WGII 2007).

Pangan
Studi menunjukkan perubahan iklim akan berakibat pada pertanian secara berbeda di wilayah AP. Pada lintang rendah, terutama daerah wilayah kering musiman dan tropik, produktifitas tanaman akan turun bahkan pada kenaikan suhu lokal yang rendah (1-2°C), yang akan meningkatkan risiko kelaparan (IPCC WGII 2007). Hasil panen dapat meningkat di Asia Timur dan Tenggara dan menurun di Asia Tengah dan Selatan pada pertengahan abad 21. Dengan mempertimbangkan pesatnya peningkatan populasi dan urbanisasi, risiko kelaparan diproyeksikan akan semakin tinggi di beberapa negara berkembang (IPCC WGII 2007).
Wilayah yang saat ini mengalami krisis air seperti Cina timur laut, dan wilayah rawan banjir delta Bangladesh dan Vietnam akan sangat mungkin mengalami degradasi lahan yang signifikan pada iklim yang berubah. (Preston et al
2006).

Perubahan-perubahan regional atas distribusi dan produksi spesies ikan tertentu akan terjadi akibat berlangsungnya pemanasan dan akibatnya bagi pertambakan dan perikanan akan tak terpulihkan. Terumbu karang adalah mahluk hidup yang rawan pada tekanan suhu dan memiliki kapasitas adaptasi yang rendah. Meningkatnya suhu permukaan laut 1 hingga 3°C diproyeksikan akan berakibat meningkatnya frekuensi pemutihan terumbu karang dan meluasnya kematian karang, kecuali jika karang mampu beradaptasi dan beraklimatisasi (IPCC WGII 2007).

Produksi pertanian dan hutan pada tahun 2030 diproyeksikan akan banyak menurun di selatan dan timur Australia dan sebagian timur Selandia Baru, akibat meningkatnya kekeringan dan kebakaran. Namun, di Selandia baru akan muncul keuntungan bagi wilayah barat dan selatan yang dekat sungai-sungai utama karena semakin panjangnya musim tanam, berkurangnya suhu dingin dan meningkatnya curah hujan. (IPCC WGII 2007).

United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) menduga bahwa perubahan iklim akan menghasilkan hilangnya produksi sereal sebesar 280 juta ton di 65 negara selatan. Di negara-negara selatan, perubahan iklim akan mereduksi produksi pertanian yang tergantung hujan sebesar 11% di tahun 2080 (CANA 2006). Ilmuwan-ilmuwan International Rice Research Institute (IRRI) di Manila menemukan bahwa setiap derajat kenaikan temperatur akan mengurangi 10 persen produksi beras (Peng et al 2004).

Kesehatan
Perubahan pola suhu dan curah hujan akan sangat mungkin memindahkan distribusi nyamuk demam berdarah dan malaria. Di tingkat lokal, risiko penyakit tertentu akan meningkat dan lainnya menurun, tetapi pada wilayah region AP, jutaan individu yang terpapar penyakit menular akan bertambah pada akhir abad 21. Meningkatnya temperatur akan mengurangi risiko kematian akibat suhu yang dingin, tetapi meningkatkan risiko kematian akibat suhu yang panas, sementara meningkatnya banjir dan intensitas siklon tropik akan meningkatkan jumlah orang yang terluka dan tewas (Preston et al 2006).

Kelainan dan kematian endemik yang berkaitan dengan penyakit-penyakit diare yang berasosiasi denngan banjir dan kekeringan akan meningkat di Asia Timur, Selatan, dan Tenggara karena perubahan siklus hidrologi akibat pemanasan global. Meingkatnya suhu pesisir akan memperluas besaran dan toksisitas kolera di Asia Selatan. (IPCC WGII 2007).

Perisitwa cuaca ekstrem dan naiknya muka air laut
Berdasarkan studi yang dilakukan perusahaan asuransi Swiss Re, 90% bencana yang diakibatkan oleh iklim akan terjadi di Asia. Ongkos yang harus dibayar adalah pertanggungan setengah juta orang tewas akibat peristiwa-peristiwa terkait cuaca sejak tahun 1970 (CANA 2006).

Meningkatnya curah hujan telah terpantau di sebelah timur Amerika Utara dan Amerika Selatan, Eropa Utara, Asia Tengah dan Selatan. Kekeringan terpantau di Sahel, Laut Tengah, selatan Afrika dan selatan Asia (IPCC WGI 2007). Sangat mungkin peristiwa-peristiwa cuaca panas ekstrem, gelombang panas, dan hujan lebat akan terus berlangsung dan semakin sering. Berdasarkan sederetan model, sangat mungkin siklon tropik di masa datang akan menjadi lebih intensif, dengan kecepatan angin puncak yang meluas dan hujan yang lebih lebat seiring dengan meningkatnya SSTs Tropik (IPCC WGI 2007).

Di Bangladesh, separuh populasi ngara tersebut tinggal di daerah dengan ketinggian kurang dari 5 m dari permukaan laut. Kota-kota raksasa Shanghai, Bangkok, Jakarta, Bombay dan Manila berdiri di wilayah pesisir rendah. Diperkirakan melelehnya sebagian selimut salju Greenland dan Antartika barat akan terjadi pada periode abad hingga millenium jika temperatur naik 1-4 derajat celcius (relatif terhadap suhu 1990-2000), menyebabkan kenaikan muka air laut 4-6 m atau lebih (IPCC WGII 2007). Melelehnya seluruh selimut salju Greenland dan Antartika Barat akan menghasilkan peningkatan tinggi muka air laut hingga 7 m dan 5 m (IPCC WGII 2007). Kombinasi badai dan naiknya gelombang pasang akan mengancam penduduk yang tinggal di wilayah rendah. Jutaan manusia diproyeksikan akan terkena banjir setiap tahun akibat kenaikan muka air laut tahun 2080-an. Wilayah-wilayah padat dan rendah serta tidak memiliki kapasitas adaptasi yang baik, dan yang telah berhadapan langsung dengan tantangan seperti badai tropis dan penurunan muka tanah lokal, berada dalam risiko. Jumlah manusia yang rentan terkena dampak, terbesar berada di delta-delta raksasa di Asia dan Afrika (IPCC WGII, 2007).

Gender

Perubahan iklim memiliki karakteristik gender : (i) perempuan akan terkena dampak berbeda, dan lebih buruk akibat perubahan iklim akibat peran sosial, diskriminasi dan kemiskinan, (ii) perempuan masih tidak terwakili kepentingannya dalam pengambilan-pengambilan keputusan terkait dengan perubahan iklim, emisi gas rumah kaca, dan adaptasi mitigasi, dan (iii) adanya bias gender dalam emisi karbon.. Perempuan harus diikut sertakan bukan hanya karena memiliki perspektif dan keahlian berbeda yang dapat disumbangkan (IUCN).

Perempuan di seluruh dunia secara umum memiliki tanggung jawab menyediakan energi rumah tangga, pangan, dan pelayanan kesehatan (IUCN). Perubahan iklim akan berakibat secara tidak proporsional pada kemampuan perempuan untuk memenuhi tanggung jawab domestik, strategi penghidupan, dan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan tunai. Perempuan juga merupakan bagian dari masyarakat miskin yang menawarkan sumber daya alternatif jika lingkungan rusak akibat perubahan iklim dan menurunkan kemampuan untuk pulih dari peristiwa-peristiwa ekstrem (IUCN).

Penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihoods)

Hilangnya pendapatan dari pertanian dan bertambahnya biaya pengelolaan sumber air, pesisir, dan penyakit serta risiko-risiko keseehatan akan menyeret aktifitas ekonomi, khususnya di negara-negara yang saat ini memiliki pertumbuhan stagnan. Lebih jauh lagi, bahkan dengan ekonomi regional yang bertumbuh, dampak lokal perubahan iklim seperti kolapsnya perikanan atau terbenamnya lahan pertanian, dapat memporakporandakan ekonomi lokal (Preston et al 2006).

Kurang lebih 20-30 % tanaman dan spesies hewan diperkirakan akan terancam punuh jika suhu meninkgat 1.5-2.5ÂșC (IPCC WGII 2007). Sepanjang abad ini jumlah karbon yang dilepas oleh ekosistem teresterial akan memuncak sebelum pertengahan abad dan kemudian melemah atau berbalik, memperkuat perubahan iklim dan menghancurkan sumber daya hutan bagi komunitas lokal.

Hak atas pembangunan
Perubahan iklim akan berdampak pada sebagian besar masyarakat rentan di dunia seiring dengan lemahnya kapasitas masyarakat rentan beradaptasi. Komunitas rentan umumnya amat tergantung pada ekosistem yang sensitif untuk bertahan hidup dan berpenghidupan, dan memiliki kapasitas amat kecil karena mereka bukanlah emiter gas rumah kaca.

Perubahan iklim tidak terjadi pada ruang hampa: wilayah-wilayah rentan menghadapi banyak tekanan yang berdampak pada keterpaparan dan sensititifas wilayah sesuai dengan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim. Tekanan-tekanan ini memunculkan berbagai faktor seperti bahaya iklim, kemiskinan, dan ketidaksetaraan akes pada sumber daya, rawan pangan, tren globalisasi ekonomi, konflik, dan insiden penyakit seperti HIV/AIDS (IPCC WGII 2007).

Infrastruktur dan perumahan amat rentan terhadap perubahan iklim karena banyaknya penduduk yang tinggal di wilayah-wilayah marjinal. Menurut New Economics Foundation dan Bangadesh Centre for Advance Studies, lebih dari 60% populasi di Asia akan hidup di wilayah urban pada tahun 2015. Bank Dunia memperkirakan 25-40% penduduk perkotaan di negara berkembang hidup di wilayah-wilayah kumuh dengan akses yang minim atau bahkan tanpa akses terhadap air bersih, sanitasi, atau penanganan sampah. Meningkatnya suhu global, kota-kota dengan keterbatasan sanitasi, dan tekanan pada sistem air dan persampahan akan menjadi hotspot penyakit diare dan pencernaan (NEF and BCASFoundation).

Bentuk ekstrem adapatasi perubahan iklim adalah migrasi. Perkiraan jumlah jiwa yang menjadi pengungsi iklim akan berkisar antara 150 juta pada tahun 2050 menjadi 1 milyar orang pada tahun 2100 (FoE Australia 2005). Penduduk di wilayah dataran rendah Pulau-pulau Pasifik diperkirakan terpaksa pindah ke wilayah yang lebih tinggi untuk mencari jaminan atas pangan dan air, mempertahankan penghidupan. Perubahan iklim yang tidak dimitgasi dalam jangka panjang akan melampaui kapasitas alam dan sistem manusia untuk beradapatasi (IPCC WGII 2007). Hal ini berarti mitigasi terus menerus adalah agenda proritas global yang penting dan adaptasi pada komunitas-komunitas rentan adalah hal esensial untuk menjamin hak asasi manusia dan hak atas pembangunan.

Reference:
Preston, B. Suppiah, R. Macadam, I. and Bathols, J. (2006) Climate Change in the Asia/Pacific Region. CSIRO Marine and Atmospheric Research.

IPCC Working Group I (2007) The Physical Science Basis: Summary for Policymakers.

IPCC Working Group II (2007) Climate change Impacts Vulnerability and Adaptation: Summary for
Policymakers.

Friends of the Earth Australia (2005) A Citizens Guide to Climate Refugees.

New Economics Foundation and Bangaldesh Centre for Advance Studies (2002). The End of Development:

Global Warming, Disasters and the Great Reversal of Human Progress. New Economics Foundation CANA (2006) Social Impacts of Climate Change: Climate Change Impacts in Asia www.cana.net.au/socialimpacts/global/asia.html
Peng, S. Huang, J. Sheehy, J. Laza, R. Visperas, R. Zhong, X. Centeno, G. Khush,G. and Cassman K. (2004)

Rice yields decline with higher night temperature from global warming. Proceedings of the National Academy of Science. www.pnas.org/cgi/content/full/101/27/9971

IUCN (date unknown) Gender Aspects to Climate Change. A combined project of ENERGIA International Network on Gender and Sustainable Energy, LIFE/Women in Europe for a Common Future (LIFE/WECF), IUCN-The World Conservation Union, and the Women’s Environment and Development Organization (WEDO)



terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Sunday, April 22, 2007

MENDAPATKAN TEMPAT YANG AMAN ADALAH HAK..

"Bapak "harus" pindah. Ini perintah dari bapak bupati". "Semua penduduk "harus" mengungi!", Harus... harus dan harus...
tidak bisakan kata "harus" tersebut berubah menjadi, "bagaimana sebaiknya", atau.. bagaimana solusi terbaik menurut bapak ibu sekalian". sehingga pilihan tersebut tetap pada warga masyarakat. tentu dengan diimbangi informasi yang memadai dan berimbang. selanjutnya, pilihan terbaik bisa didiskusikan beserta risiko2 yang dihadapi.

Kata "harus" ketika terjadi ancaman bencana, atau ketika ada proyek memindahkan orang selalu muncul tanpa ada pilihan. Terakhir, opini tentang keharusan muncul ketika Merapi menunjukan kegagahannya. HB X pun sempet emosi ketika sang abdi dalem menunjukan sikap pembangkannya yang dipublikan secara gamblang oleh media.
sesuatu yang biasa namun menjadi luas biasa ketika dibenturkan dengan ketokohan sesorang. biasa, karena keduanya mempunyai keyakinan dari sisi pandangan yang berbeda. ketika pemaksaan mulai muncul, perlawanan pun mengiringi. terjadilah polemik tersebut.

Namun siapa sangka, satu hari sang juru kunci mengingatkan agar waspada ancaman dari selatan, Sabtu subuh, 27 Mei 2006 tanpa isyarat... bumi berguncang keras. 5,6 SR versi BMG dan 6,2 versi amrik. 205,057 rumah rontok. 4711 jiwa tewas. (dampak gempa hanya di jogjakarta - sumber pemda DIY dari rumah roboh, rusak berat dan sedang).
Gempa seketika mengalihkan opini polemik "keharusan" untuk mengungsi akibat ancaman awan panas Merapi yang sedang polah.

mendapatkan tempat yang aman, terlindungi dari berbagai ancaman adalah hak setiap manusia. hak setiap warga negara yang dijamin dalam konstitusi. sekalipun pada negeri yang 83 % daerahnya rawan bencana. Nah.. karena emang mayoritas daerahnyan rawan bencana.. tentu menjadi tidak bijak ketika kata "harus" pindah di terapkan. mau pindah kemana??? bebas dari erupsi gunungappi, disambut dengan gempa.. atau tsunami, atau wabah. bisa juga konflik sosial, kebakaran hutan, badai, banjir atau longsor.

Hal yang bijak, tentu menyipakan seluruh anak negeri ini lebih siap menghadapi ancaman bencana. Mempunyai kemampuan untuk mereduksi risiko bencana. Dapat beradaptasi dengan wilayahnya yang menawarkan ancaman. gampangnya.. berkawan dengan ancaman bencana.
Untuk sampai kesitu, tentunya perlu berbagai upaya sistematis dan keserisan tinggi. tidak lah cukup komitmen, apalagi seuntai kata2 penghibur diri karena adanya tekanan publik saat ini.

Memetakan kawasan-kawasan rawan bencana plus komunitasnya. Memfasilitasi kelompok2 masyarakat yang tinggal dikawasan rawan bencana untuk lebih siap. men-design pembangunan sesuai dengan jenis ancaman, termasuk pendidikan. sehingga, ketika ancaman datang, tidak lagi menjadi bencana. karena masyarakat telah siap. tidak akan ada keterganggunan sistem sosial, apalagi kerugian harta dan jiwa. sehingga apapun bahaya yang ada; gempa bumi, banjir, longsor, erupsi gunung api dll hanyalah menjadi fenomena alam saja. tidak lagi menjadi bencana. tidak lagi menguras anggaran negara yang lebih afdol diperuntukan untuk pelayanan dan fasilitas publik. bukan untuk meresponse kejadian bencana (emergency response - relief), pemilihan serta pembangunan kembali (rehalitasi dan rekonstruksi).

Indah nian Negara, ketika semua pihak saling mengisi ruang-ruang kosong.
Kita tidak membutuhkan pemimpinan anti kritik. pemimpin penumbar janji. pemimpin yang menebar pesona. Kita butuh pemimpin yang menjamin warganya bebas dari rasa takut. terlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana. Memberikan jalan dan jaminan untuk kehidupan yang bermartabat.



terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
NEGERI AJAIB.. Indonesia Namanya

Selein kaya raya dengan jenis dan kejadian bencana, Negeri ini pun kaya keajaiban. Bagaimana tidak, berbagai upaya mencerdaskan bangsa, memberi kesadaran atau hal-hal positif yang dilakukan oleh rakyatnya (tanpa pamrih…) pun akan mengahadapi berbagai rintangan. Upaya masyarakat membuat cerdas bangsa ini akan disuguhkan serangkaian birokrasi berbelit. Padahal, negeri ini gak mampu menyediakan pendidikan buat rakyatnya. Menyediakan perlindungan dan keselamatan dari berbagai ancaman bencana jauh dari mampu. Bahkan memenuhi kebutuhan dasar warga yang terkena bencana pun jauuuuh dari bisa. Tapi lagi-lagi… berbagai upaya masyarakat untuk membantu kerja-kerja pemerintah tidak mendapatkan porsi dukungan yang memadai.

Berbagai penyebab bencana ekologis telah menjadi wacana publik. Namun apa akar persoalan dan bagaimana mengatasinya, tidak banyak warga di Republik Bencana ini tahu dan paham. Hutan gundul, tanah labih, lahan terbakar (baik oleh perusahan atau warga masyarakat) atau alih fungsi lahan. Mengapa penyebab-penyabab itu bisa muncul? Padahal, anak TK pun tahu sebab-sebab itu. Apakah tidak ada solusi ces pleng untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan berbagai ancaman bencana ekologis tersebut.

mmmm… agaknya mustahil jika tidak diketahui. Bukankan berjuta lulusan kehutanan berkumpul disana. Dari mulai warga tak bersekolah sampai yang bergelar melebih panjang namanya. Apalagi, mandat mereka jelas, sehingga rakyat memberikannya reward berupa gaji, tunjangan dan berbagai fasilitas lebih. Petani, buruh, nelayan atau mahasiswa tidak akan pernah mendapatkan segenap fasilitas tsb jika tidak alih profesi menjadi PNS. Atau paling gak, konsultan lah. Gaji dan berbagai fasilitas serta pelayanan2 tersebut tentu mempunyai maksud mulia; untuk mencurahkan segenap kemampuan dan SD yang dimiliki agar hutan tidak rusak sehingga menyebabkan ancaman bencana.

Lalu kenapa hutan tetap rusak? Lebih dari 2 juta hektar pertahun hutan kita rusak. Tanya kenapa? Korupsi adalah biang dari kerusakan itu. Lainnya, tumpang tindih kebijakan (sekirat 400 kebijakan sector ini saling overlapping) dan gap yang besar antara ketersediaan. Apakah itu tidak menjadi fakta para buruh kehutanan yang digaji uang rakyat. Rakyat yang juga telah menjadi korban akibat banjir, longsor atau kebakaran hutan.

Rakyat mensubsidi, rakyat yang bergerak dan rakyat yang jadi korban
Rakyat mensubsidi negara, itu sudah pasti. Negara, selain butuh pengakuan dari rakyat, juga butuh financial untuk menjalankan segenap program dan kegiatannya. Termasuk memberi gaji, fasilitas oporesional plus senjata untuk pertahan. Pajak adalah salah satu cara negara memaksa rakyat untuk mengakui pengakuan sekaligus memaksa menarik upeti dari rakyat. Rakyat juga mensubsidi dengan cara lain. Mengadakan pendidikan, penyadaran publik, memberikan berbagai masukan penting sampai kritikan tajam. Rakyat juga tanpa pamrih mensubsidi kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi ketika bencana terjadi.

Sayang, berbagai subsidi tersebut kadang tidak pernah diakui oleh Negara. Bahkan, berbagai inisiatif tersebut kerap dihalangi dengan berbagai system birokrasi. Mengganggu ketertiban lah, menjaga jangan sampai ada yang dirugikan, atau.. bahkan dijadikan ATM (untuk pasang spanduk, harus bayar demi keamanan).

Inilah negari ajaib. Mau mensubsidi Negara pun harus mensubsidi yang lain. Menang Negara Aneh, ketika ribuan orang, jutaan orang terancam banjir bandang, banjir atau longsor. Ketika ratusan juga orang terancam akibat perubahan iklim.. masih muncul segudang biroktasi yang menghambat upaya kreatif warga untuk saling mengingatkan.

Mau dibawa kemana negari ini????
terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
Pembunuhan Massal, Jika Negara Tak Dukung Rumah Tahan Gempa

Ditulis Oleh: Bambang MBK http://www.mediacenter-ajiyogya.com/index.php?option=com_content&task=view&id=220&Itemid=37


Selasa, 17 April 2007
SLEMAN – Negara wajib memberikan bantuan pembangunan rumah kepada warga korban gempa di Yogyakarta. Jika bantuan pembangunan rumah sebesar Rp 15 juta tidak cukup untuk membuat rumah tahan gempa, seharusnya negara membuka peluang lain seperti memberi bantuan lunak tanpa bunga sehingga warga korban gempa dapat membuat rumah yang
benar-benar tahan gempa.

“Seharusnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi menghasilkan rumah yang lebih bagus tetapi jika tidak mampu itu bukan proses rehablitasi dan rekonstruksi,” ujar Sofyan, manager program Disaster Management dari Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup. Sofyan menyatakan hal ini saat menjadi pembicara dalam diskusi multi pihak yang diadakan Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum (LABH) di gedung H. Agus Salim, UPN Yogyakarta, Sabtu (14/4).

Lebih lanjut Sofyan mengingatkan jika rumah milik penduduk yang dibangun saat ini tidak tahan gempa atau kualitasnya buruk maka jika ada gempa sedikit saja ada kemungkinan akan menjadi ‘kuburan massal’ bagi pemiliknya. “Kasarnya, jika negara melakukan pembiaran maka itu adalah suatu pembunuhan massal,” tambah Sofyan lagi.

Sejak dari awal, banyak pihak mengatakan jika dana Rp 15 juta tidak cukup untuk membuat sebuah rumah tahan gempa. Apalagi harga material juga melonjak tinggi. Fact Finding yang dilakukan LABH juga menunjukkan jika dana sebesar itu jelas tidak cukup untuk membangun rumah dengan konstruksi tahan gempa.

Akibatnya, banyak masyarakat yang harus menjual aset kekayaannya (ternak) atau bahkan terpaksa berhutang. Menurut Sofyan, menjual aset untuk membuat rumah agar menjadi tahan gempa juga bukan suatu solusi yang bagus. Hal ini justru akan membuat masyarakat terperosok dalam jurang kemiskinan.

Selain itu, Sofyan juga mengingatkan akan pentingnya mitigasi bencana dan standar penanganan terhadap pengungsi. Hal ini perlu dilakukan karena Indonesia adalah wilayah yang rawan bencana. “Jika dibuat statistik hampir setiap hari ada bencana di Indonesia,” ujar Sofyan.

Terhadap pengungsi, Sofyan menegaskan negara atau pemerintah wajib memberikan bantuan dan bahkan perlindungan.

Selanjutnya Sofyan juga mengatakan perlunya dibuat suatu pemetaan wilayah bencana, termasuk di dalamnya adalah industri dan luasan masyarakatnya yang kemungkinan akan terkena dampak polusinya. “Penting untuk dibuat pemetaan, mana saja yang potensial terjadi bencana, di mana tempat pengungsiannya dan apa saja sumber daya yang dapat dimobilisasikan,” urai Sofyan.

Menyinggung soal penanganan bencana gempa di Yogyakarta, Sofyan menyayangkan sikap pemerintah Kabupaten Bantul yang pada hari pertama (saat kejadian gempa terjadi) justru melakukan rapat tertutup. Padahal saat itu, menurut Sofyan, NGO Oxfam GB sudah siap dengan 2000 lembar terpal. Namun gerakan dari NGO ini juga terhambat karena tidak dapat berkoordinasi dengan pemerintah.

“Pada hari kedua, kembali pemerintah Bantul membuat rapat tertutup. Padahal kami sudah siap berada dibawah koordinasi satkorlak dan satlak,” ujar Sofyan. Karena sikap pemerintah Bantul yang tertutup itu, akhirnya NGO-NGO yang mau menolong korban gempa berjalan sendiri-sendiri. “Ini perlu menjadi catatan,” tandas Sofyan lagi.

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Saturday, April 21, 2007

Beberapa tulisan tentang pengelolaan bencana dapat dilihat di http://www.sofyan-eyanks.blogspot.com/
kerena sebelumnya, saya mencoba memuntahkan apa yang ada dikepala tentang pengelolaan bencana disana

salam hangat

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Friday, April 13, 2007

MEMBANGUNG KESIAGAAN DARI ANCAMAN BENCANA

Republik bencana
Indonesia secara natural berada pada kawasan yang sangat rawan bencana. Jajaran gunung api yang dikenal dengan ring of fire membentang dari ujung Sumatra, Jawa, Bali – Nusa tenggara, Sulawesi dan kepulauan maluku. Tiga lempeng bumi melengkapi kawasan dengan penduduk 220.000.000 penduduk dari ancaman gempa dan tsunami. Saat musim penghujan, akibat dari salah urus dalam pengelolaan SDA yang seharusnya menjadi karunia menawarkan banjir, longsor dan banjir bandang. Saat kemarau disambut dengan kabakaran lahan. Ancaman bencana lain adalah gagal panen yang menyebabkan kelaparan dan gizi buruk. Konflik social dengan beragam sebab pun telah melengkapi bencana negeri ini selain wabah penyakit yang sampai saat ini masih belum tuntas dapat ditangani seperti demam berdarah dan flu burung.

Sangat layak jika negeri ini mendapat predikat sebagai negeri sejuta bencana atau Republik bencana. Lengkapnya ancaman baik yang bersumber dari alam atau akibat ulah manusia atau pun akibat dari perpaduan keduanya sudah seharusnya dijadikan dasar pemikiran utama dalam setiap langkah, terutama kebijakan pemerintah. Sejak mega bencana gempa dan tsunami meluluh lantakan sepanjang pesisir selatan sampai utara Aceh, 27 Desember 2004 dan di susul gempa 28 Maret 2005 yang merontokan kepulauan Nias dan Simeulue, negeri ini seharusnya membuka mata. Kerawanan bencana yang ada masih belum disikapi dengan berbagai sikap dan tindakan. Sangat tidak berimbang ancaman bencana yang ada dengan kapasitas warga Negara yang mayoritas menempati daerah-daerah rawan bencana untuk menghadapinya. Tidak hanya warga Negara, namun juga kebijakan, kelembagaan serta sumber daya pemerintah sendiri.

83 % wilayah Indonesia rawan bencana adalah realitas. Sejak Januari – Juli 2006 saja, telah terjadi 68 kejadian bencana yang cukup besar di Indonesia. 10.000 jiwa warga Negara lebih telah menjadi korban akibat ketidak siapan menghadapi ancaman bencana. Trilyunan rupiah musnah hanya dalam waktu 6 bulan saja. Dan ratusan trilyun harus disiapkan untuk merespon dan membangun kembali daerah-daerah yang terkena bencana.

Jika ditelisik lebih jauh, korban meninggal tidak hanya akibat dari kejadian bencana secara langsung, tapi tidak sedikit korban kembali jatuh akibat buruknya penanganan bencana. Misalnya yang terjadi di DI Yogyakarta dan Klaten, 64 jiwa meninggal akibat tetanus yang tidak tertangani. Belum lagi yang meninggal akibat bunuh diri akibat depresi, diare, ISPA atau sebab lain.
Riil, sejak kejadian gempa dan tsunami, 1,5 tahun yang lalu, pemerintah belum secara signifikan melakukan berbagai upaya mereduksi ancaman bencana. Mitigasi dan kesiapsiagaan yang seharusnya dilakukan hanya setengah hati. Pemerintah lebih memilih merespon atau melakukan tindakan setelah bencana terjadi. Banjir bandang di jember, Banjarnegara, Sumbawa, Bondowoso, Trenggalek, Sinjai adalah sekian kasus bagaimana pontesi terjadinya bencana diabaikan. Demikian juga bencana di DI Yogyakarta dan Klaten tidak lepas dari ketidak pedulian pelaksana mandat Negara atas perlindungan dan penyelamatan warga Negara dari ancaman bencana.

Mengorek sumber ancaman bencana
Sumber ancaman bisa saja bersumber dari alam seperti gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api. Namun banyaknya korban tidak lepas dari manusianya. Tata ruang misalnya yang sebenarnya diperuntukan untuk menata dalam memanfaatkan lahan/ruang yang ada. Jika risiko dan dampak menjadi bagian pertimbangan, tidak mungkin perkembangan kota Banda Aceh, Padang atau Nabire dipusatkan pada lokasi yang rawan bencana. Sekalipun ruang-ruang rawan bencana dimanfaatkan, akan dipersiapkan berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan, termasuk early warning system nya.

Bencana terjadi jika berpadunya ancaman/bahaya dengan kerentanan sebuah komunitas. Bencana adalah sebuah kejadian yang menyebabkan terjadinya korbann jiwa, harta benda dan terganggunnya system kehidupan yang akibat dari kejadian tersebut tidak mampu ditangani oleh komunitas sendiri.
Dari paparan tentang bencana, jelas bahwa sebuah kejadian baru disebut bencana jika kejadian tersebut menimbulkan korban jiwa, harta bendan dan menyebabkan terganggunya system kehidupan (social, ekonomi dan budaya) dimana komunitas yang terkena dampak tidak mampu menanganinya sendiri atau membutuhkan bantuan orang lain. Jika kejadian seperti letusan gunung api tidak menyebabkan korban jiwa karena komunitas memiliki kemampuan menghindar saat kejadian letusan, tidak menimbulkan korban harta benda warga serta system kehidupan komunitas tetap normal, maka letusan gunung api hanya sebuah fenomena alam saja. Bahkan, jika pemerintah kreatif, fenomena alam ini bisa dijadikan sebagai antraksi wisata yang tentu akan mendatangkan devisa.

Sumber risiko bencana utama adalah kemiskinan dan ketamakan. Karena kemiskinan yang membelenggu, menyebabkan miskin akses informasi, pengetahuan dan keterampilan. Karena kemiskinan (materi, pengetahuan dan skill) juga, banyak manusia menggali lubang sendiri dengan melakukan hal-hal yang menambah rentan. Karena alasan perut, manusia dapat melakukan usaha yang sangat berbahaya tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain. Karena miskin pengetahuan, pun akan melakukan hal yang sama.
“bumi akan mencukupi seluruh umat manusia di dunia ini, tapi tidak akan cukup untuk satu orang yang tamak dan serakah”, demikian kira-kira ungkapan bijak Mahatma Gandhi yang memperingatkan bahaya ketamakan yang akan menghancurkan system kehidupan di dunia. Jauh sebelum itu, Allah telah memperingatkan umat manusia melalui Al-Qur’an yang suci : “talah nyata kerusakan di darat dan lautan akibat dari ulah tangan manusia”. Sangat banyak peringatan-peringatan yang intinya mengembalikan kepada manusia sebagai sumber dari kerusakan yang berujung kepada bencana. Dan nyata-nyata akibat dari ketamakan tersebut adalah bencana Lumpur panas akibat ekplorasi PT LAPINDO BRANTAS. Yang menginginkan keuntungan yang berlibat-libat, menghabaikan standard operasional dalam pengeburan dengan kedalaman lebih dari 6.000 meter untuk mendapatkan Migas. Akibatnya dapat dilihat dengan mata kepala semua pihak kerugian yang tidak ternilai. Bahkan jika dihitung secara objektif, Negara pun tidak akan sanggup mengganti seluruh kerugian warga yang terkena dampak bencana.

Membangun Mitigasi dan kesiapsiagaan dari keluarga

Telah nyata, Negara telah gagal melindungi segenap tumbah darah dan bangsa ini yang menjadi mandat konstitusi. sejak enam bulan terakhir saja, telah terjadi 68 kejadian bencana dengan korban jiwa lebih dari 10.000 jiwa. Tidak ada upaya yang signifikan untuk mereduksi (memperkecil) risiko dan dampak bencana. Bahkan, pemerintah dan legislative telah terbukti mengabaikan mandat tersebut melalui kebijakan yang tidak berdasar. Penetapan 500 milyar dalam APBN tahun 2006 untuk kebutuhan emergency dengan pontensi ancaman 83 % kawasan rawan bencana adalah hal yang luar biasa bodoh.

Terbukti, dana tersebut terkuras habis hanya untuk menangani 6 bencana besar saja; Banjir bandang di Jember, Banjarnegara, dan Sinjai serta Gempa bumi Jogja. Sisanya harus menunggu APBN Perubahan yang baru akan dibahas bulan Agustus.
Kegagalan menjalankan mandat ini tidak boleh dianggap sepele dengan alasan kacangan. Bencana tidak bisa diprediksi, bencana adalah musibah atau bencana adalah takdir yang harus diterima sebagai ujian Tuhan. Bencana yang terjadi di Indonesia harus dilihat secara holistic serta berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mensikapi potensi tersebut. Pemetaan kawasan rawan bencana, disiminasi informasi potensi ancaman, fasilitasi warga untuk mitigasi dan kesiapsiagaan, membuat kebijakan-kebijakan penanganan bencana (dari mulai upaya mitigasi-kesiapsiagaan, contingency planning, anggaran Negara), evaluasi kebijakan yang berpotensi meningkatkan risiko bencana, evaluasi tata ruang dll adalah hal yang diabaikan sejak bencana besar gempa dan tsunami di Aceh. RUU Penanggulangan Bencana sampai saat ini tidak jelas, kapan dapat diselesaikan dan menjadi paying hokum penganan bencana di Indonesia. Bahkan sector pendidikan sama sekali tidak mengajarkan pengetahuan tentang kebencanaan.

Kondisi-kondisi luar biasa ini tentu akan menjadi terror bagi warga Negara. Terror yang akan mengganggu system kehidupan. Isu tsunami terbukti membuat kacau warga Jeneponto dan ramai-ramai mengungsi. Demikian juga di Lumajang dan di Kab. Bolaang Mongondow. Hal ini tidak lepas dari minimnya pengetahuan tentang kebencanaan, baik sumber bencana, tanda-tanda ancaman bencana maupun apa yang harus dilakukan saat ancaman itu datang. Yang dilakukan hanya response dengan menenangkan warga agar tidak panik. Sikap tersebut tentu tidak akan ada manfaatnya pada saat kepanikan telah terjadi. Sangat tragis tentunya ketika warga yang ingin mengungsi ternyata tidak tahu kemana harus menyelamatkan diri.

Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memulai transformasi tentang kebencanaan dari komunitas terkecil; KELUARGA. Mulailah menggali berbagai sumber pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai sumber ancaman bencana dan mentransformasikannya, baik melalui diskusi saat makan bersama, menonton acara TV atau sebagai penghantar tidur. Berikan pengetahuan tentang kebencanaan sedetil mungkin pada orang yang paling kita cintai. Apa saja sumber ancaman bencana yang ada di sekitar kita. Selain ancaman gempa bumi, ada juga banjir, wabah penyakit, terror, konflik social, kebakaran dll. Dari mana sumber itu berasal, apa tanda-tanda akan terjadinya bencana, bagaimana cara menyelamatkan diri sampai mulai menyiapkan atau mengamankan berbagai asset penting keluarga. Menempatkan surat-surat dan harta bergarga pada satu tempat yang aman. Juga mulai memetakan jalan-jalan kampung sebagai jalan evakuasi, tempat yang aman dari bencana sebagai post transit evakuasi.

Pada level yang lebih besar, mulai mengajak komunitas di lingkungan setempat untuk mulai memetakan berbagai potensi ancaman, kapasitas dan kerentanan bencana di lingkungannya/kampung. Apakah lingkungan tempat kita tinggal benar-benar bebas bencana. Jika tidak, apa yang harus dilakukan. Pemetaan kawasan rawan bencana dengan skala kecil dapat dilakukan dengan cara yang sederhana. Saat kita bertugas ronda, saat mengunjungi tetangga di waktu senggang, atau saat ada acara pertemuan. Peta tidak harus ilmiah seperti menggunakan peta topography, atau peta-peta canggih seperti quick bird atau peta satelit. Peta yang dibuat cukup tanpa skala. Yang penting adalah tergali semua informasi lingkungan setempat. Rumah-rumah yang masuk pada daerah rawan, warga yang paling rentan (manula, balita, bayi, wanita hamil atau warga yang mempunyai kemampuan berbeda/diffable), jalan-jalan untuk evakuasi, menyepakati tanda bahaya, posko atau menyiapkan tim siaga. Akan lebih baik jika pemetaan dilanjutkan dengan memetakan sumber daya yang dimiliki dan mulai merumuskan strategy menghadapi ancaman menjadi bencana. Misalnya menyiapkan logistik berupa makanan, tempat untuk air bersih, tikar, tenda maupun peralatan penyelamatan.

Mengundang orang/lembaga yang mempunyai kapasitas dalam penanganan bencana untuk berdiskisi dengan warga akan sangat baik sebagai bagian dari transformasi pengetahuan. Selain itu juga akan membangun sebuah hubungan untuk lebih jauh mendapatkan informasi. Misalnya mengundang BMG atau fakultas geologi, geografi untuk masalah gempa, banjir, angin ribut/badai atau mengundang LSM yang bergerak pada pengelolaan bencana.

Kemitraan ini akan sangat membantu saat kondisi emergency betul-betul terjadi. Kesiapan warga mengahandapi ancaman bencana berpadu dengan hubungan dengan pihak lain yang juga memiliki kapasitas untuk meringankan beban yang saat itu ditanggung warga. Tidak hanya pada saat kondisi emergency, tapi pada proses pemulihan dan pembangunan kembali akan lebih cepat dijalankan.
Harapannya, warga akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri.


terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Tuesday, April 10, 2007

BENCANA EKOLOGIS DAN KEBERLANJUTAN INDONESIA

Bencana adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia (Sphere Project, 2000).

Pengantar
Indonesia adalah negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana, baik yang berasal dari alam maupun yangterjadi akibat perbuatan manusia . Dalam kurun waktu lima tahun, 1998-2004 terjadi 1150 kali bencana, dengan korban jiwa 9900 orang serta kerugian sebesar Rp 5922 miliar. Tiga bencana utama adalah banjir (402 kali, korban 1144 jiwa, kerugian 647,04 miliar Rp), kebakaran (193 kali, korban 44 jiwa, kerugian 137,25 miliar Rp) dan tanah longsor (294 kali, korban 747 jiwa, kerugian 21,44 miliar Rp)-Bakornas PBP 2005.

Menarik, karena tiga bencana tersebut adalah bencana akibat perbuatan manusia. Kartodihardjo dan Jhamtani menyebut hal ini sebagai bencana pembangunan, yang didefinisikan sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Tulisan ini karenanya ingin menyoroti bencana dari yang timbul akibat ulah dan kelalaian manusia terhadap lingkungan dan aset alam dan tidak membahas bencana murni karena gejala alam seperti tsunami dan gempa bumi.

Salah Urus Berujung Bencana

Bencana seperti banjir, kekeringan dan longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam, yang terjadi secara akumulatif dan terus-menerus.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani , bencana banjir mencakup 32,96% dari jumlah kejadian bencana, sementara tanah longsor merupakan 25,04% dari total kejadian bencana. Bahkan, di pesisir Jawa3, pada kurun waktu 1996 hingga 1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hampir 3 kali lipatnya (2.823 desa) hingga akhir tahun 2003, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa)- (Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, 2006).

Selain banjir, kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan , meski secara geografis dan alamiah Indoensia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO). Misalnya, walau kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa (Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004, Jakarta, KLH). Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.
Dampak dari bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk.
Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut.

Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya permintaan secara signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan air layak konsumsi. Keterbatasan tersebut berasal dari menurunnya kualitas air (yang disebabkan oleh pencemaran, intrusi dan kerusakan pada sumber air) serta kuantitas air (akibat privatisasi, komodifikasi air serta ineffisiensi distribusi). Di Jakarta misalnya, warga yang terhubungkan dengan jaringan Perusahaan Air Minum (PAM) berjumlah kurang dari 51 persen dari jumlah keseluruhan warga . Akibatnya, sebagian besar warga mengambil air tanah (sumur, atau pompa) dan juga membeli air minum kemasan atau penjual air keliling. Padahal, sekitar 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan kondisi tidak layak sebagai air minum yang diperbolehkan. Akibatnya air berubah esensinya dari kebutuhan dasar menjadi komoditi. (Pada tahun 2004, DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk sebesar 8.792.000 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,8% serta memiliki 2.322.178 KK. (BPS, 2003). Pemantauan terhadap 48 sumur dilakukan di Jakarta pada tahun 2004. Hasil pemantauan menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik. Wilayah yang memiliki kualitas air paling buruk adalah Jakarta Utara karena wilayah ini umumnya digunakan untuk kawasan industri dan pemukiman padat, sedangkan wilayah dengan kualitas air masih cukup baik adalah Jakarta Selatan (www.bplh.jakarta.go.id). Hasil pemantauan juga menunjukkan 15 persen sumur melebihi baku mutu untuk parameter besi (Fe) dan 27 persen melebihi baku mutu untuk parameter Mangan (Mn).dan 46 persen melebihi baku mutu untuk parameter detergen (MBAS).
70% penduduk di Pulau Jawa, tinggal dan hidup di wilayah pesisir Jawa
)

Situasi serupa juga terjadi dengan pangan. Hilangnya kedaulatan rakyat pada pangan berujung pada kasus kelaparan dan gizi buruk. Di NTT, ada 13 ribu lebih balita kurang gizi, sebanyak 36 diantaranya meningggal dunia. Kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara (UNDP, 2004).

Laut Indonesia yang begitu luas, dipastikan mampu menjadi penyumbang terbesar perikanan laut di dunia, dengan menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 (Burke, et all, 2002). Ironinya, di tingkat nasional, konsumsi ikan hanya berkisar 19 kg/kapita/tahun, lebih rendah dari Vietnam maupun Malaysia yang tingkat konsumsinya mencapai 33 kg/kapita/tahun. Nelayan merupakan golongan masyarakat termiskin di Indonesia dan makin terpinggirkan dari waktu ke waktu.

Revolusi hijau telah menghilangkan 75% dari 12.000 varietas padi lokal dan melahirkan ketergantungan baru pada pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan-perusahaan asing. Keragaman hayati lokal dan ketahanan pangan rontok. Negara kita menjadi pengimpor beras murni sejak pertengahan 90an. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas, yang berujung pada malapetaka pangan di berbagai tempat.

Kedaulatan energi pun dipertaruhkan. Perusahaan-perusahaan lintas negara (Transnational Corporations atau TNC’s) telah menyedot 75% cadangan minyak kita hingga hari ini. Sementara 58% total produksi gas bumi dan 70% batubara pertahun terus di ekspor. Sementara itu, 90% kebutuhan energi rakyat Indonesia dibuat bergantung kepada BBM dan 45% rumah tangga belum dapat mengakses listrik. Tak pernah ada strategi nyata untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Yang justru dilakukan adalah dorongan untuk mengkonsumsi terus menerus yang menguntungkan segelintir orang.

Sementara itu pilihan atas energi murah, mudah diakses, dan bersih telah menjadi pilihan yang amat langka. Saat ini ketika negara takluk pada diktasi pasar bebas, rakyat yang sudah sedemikian tergantung dipaksa untuk membeli energi dengan harga pasar dunia. Kenaikan harga BBM, menurut sejumlah penelitian meningkatkan kemiskinan hingga 11 %. Total rakyat miskin di Indonesia setelah lonjakan kenaikan BBM menjadi 41%.

Kenaikan harga barang-barang konsumsi, daya beli yang rendah, tidak tersedianya lapangan pekerjaan bukan saja meningkatkan jumlah penduduk miskin. Di sisi yang lain banyak liputan media menunjukkan perubahan pola konsumsi terutama perempuan dan anak-anak. Rakyat terpaksa bersiasat mengurangi asupan gizi demi membeli minyak tanah.

Kemudian, berkurangnya lapangan pekerjaan ditambah naiknya harga barang yang dipicu mendorong rakyat ikut serta merusak lingkungan demi sesuap nasi. Maraknya keterlibatan rakyat dalam pertambangan illegal yang merusak lingkungan di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Papua adalah fakta gagalnya negara menjamin penghidupan warganya.

Dari fenomena diatas, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi dan pola iklim. Untuk krisis air misalnya, Jawa-Bali diprediksi akan segera mengalami krisis. Namun fenomena ini tidak dijadikan pelajaran oleh daerah lain, seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi yang sudah semakin sering mengalami krisis air. Pada musim kemarau kita selalu kekurangan air dan pada musim hujan kita kebanjiran, ini mengindikasikan bahwa semua infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.

Bencana Ekologis

Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat.

Saat ini keberlanjutan Indonesia berada dititik kritis karena bencana ekologis yang terjadi secara akumulatif dan simultan di berbagai tempat, tanpa ada upaya yang signifikan untuk mengurangi kerentanan dan kerawanan masyarakat terhadap dampak bencana ekologis.

Tanda-Tanda Bencana Ekologis
Pertanda bencana ekologis justru ada didepan mata dimana masyarakat sebagai stakeholder utama dan lingkungan hidup berada pada kondisi:

1. Ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup
Pada banyak tempat, komunitas masyarakat sampai pada ketiadaan pilihan untuk bertahan hidup. Komunitas Melayu yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian di sepanjangan Daerah Aliran Sungai Siak harus merubah mata pencahariannya ketika puluhan perusahaan konsesi kehutanan menyerobot alih lahan-lahan masyarakat. Masyarakat kemudian beralih menjadi nelayan sungai. Berdirinya industri pengolahan disepanjang Sungai Siak ditambah kegagalan pemerintah dalam mengatur buangan limbah membuat sungai tercemar sehingga hasil tangkapan menurun drastis. Ketiadaan pilihan tersebut pada akhirnya membuat sebagian besar masyarakat melayu yang berada disepanjang Sungai Siak bermigrasi ke daerah lain sebagai buruh pekerja sedangkan sebagian kecilnya tetap bertahan sambil mengharapkan bantuan dari sanak saudara yang bekerja ke Malaysia, juga sebagai buruh.

2. Gagalnya fungsi ekosistem
Kegagalan fungsi pemerintah mematuhi deregulasinya menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem. Banyak perkebunan-perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan maupun industri tambang yang menyerobot wilayah masyarakat yang selama ini telah menciptakan simbiosis mutualisme dengan ekosistem sekitarnya, memasuki daerah tangkapan air, memotong home range spesies yang dilindungi,dll. Industri-industri tersebut kemudian menjadi parasit bagi ekosistem sekaligus memperlemah ekosistem yang ada. Pada satu titik, kegagalan ekosistem tersebut kemudian harus dibayar dengan sejumlah bencana banjir, longsor, hama baru, malaria, konflik satwa dengan manusia, dll.

3. Ketersingkiran
Kebijakan negara yang tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal membuat
ratusan komunitas harus menyingkir dari tanahnya sendiri ketika industri-industri berskala besar dukungan pemerintah mengambil alih tanah-tanah mereka. Hingga hari ini, konflik-konflik kepemilikan lahan masih terus berlangsung tanpa satupun memberikan indikasi yang positif terhadap hak-hak masyarakat terhadap kepemilikannya.


4.Kemiskinan
Disebutkan bahwa pembangunan industri-industri berskala besar tersebut ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat. Fakta yang ditemui malah justru bertolak belakang dengan jargon tersebut. Menarik bila dilihat bahwa justru kantong kemiskinan terbanyak malah jutsru paling banyakdi daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam.Di Sumatera, 64 persen masyarakat miskin malah justru berada di sekitar konsesi-konsesi perkebunan dan kehutanan. Di kawasan industrinya sendiri banyak ditemukan para buruh yang dipaksa untuk bekerja 18 jam sehari dengan bayaran yang hanya bisa memenuhi kebutuhannya sampai dengan akhir bulan. Penyakit kurang gizi adalah satu hal yang lumrah dan bisa disaksikan dimana-mana.

5. Kematian
Pada akhirnya kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan ketidakmampuannya menjamin fungsi-fungsi ekologis telah menciptakan sejumlah tragedi yang mengambil korban nyawa. Dalam tujuh tahun terakhir hampir tujuhratus orang meninggal dunia dengan sia-sia akibat bencana banjir dan longsor yang disebabkan kegagalan fungsi ekosistem. Ribuan lainnya harus mengulang kehidupannya dari awal.

PRA-SYARAT untuk menyelamatkan INDONESIA dari bencana ekologis
Untuk menahan dan mengurangi laju bencana ekologis yang lebih luas maka diperlukan beberapa pra-syarat, sebagai berikut:
1. Reorientasi visi pembangunan dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi masyarakat berkelanjutan (sustainable societies)
2. Mengedepankan pendekatan bioregion dan meninggalkan paradigma sektoral dalam pengelolaan aset alam dan wilayah.
3. Menyelesaikan konflik agraria dan sumberdaya alam, diikuti dengan reforma agraria sejati
4. Mengembangkan partisipasi sejati rakyat dalam pembangunan dengan indikator organisasi rakyat yang kuat, kritis dan mandiri
5. Membangun resiliensi dan resistensi rakyat terhadap privatisasi dan komodifikasi sumber kehidupan
6. Mengakui kearifan lokal pengurusan sumber-sumber kehidupan dan mendudukkan kembali peran negara sebagai penjamin hak konstitusional warganegara


Paper ini merupakan konsep dasar WALHI tentang bencana ekologis
bagaimana problem solving yang ditawarkan WALHI... akan disampaikan dalam tulisan berikutnya..

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

Wednesday, April 04, 2007


BANYAK JALAN MENUJU MESJID, KATANYA...
mereduksi risiko bencana..

"Penting banget itu.."
"itu dasar untuk bisa berbuat.."
"..dari situ, berbagai upaya pengurangan risiko dapat dilakukan".

trus..
"Kami sudah membuat petanya sejak tahun 90-an".
"Instansi kami sudah sangat detil memotret kondisi kerawanan".
"Kami sudah memprogramkan pemetaan tahun ini".

tapi...
"Kami tidak pernah tahu kalau dareah kami rawan bencana
"Susah banget mengakses peta-peta rawan bencana yang ada
"ada, tapi masih terlalu general tuh".


Ya.. paling enggak, kita bisa liat, beberapa Dept. Negara Republik Indonesia telah memajang peta-peta rawan bencana dalam web site-nya. Sebagaian bisa di down load, tapi lebih banyak yang cukup untuk diliat dan gak jelas. tapi yang pasti, untuk membuat peta-peta tersebut, uang rakyat telah dikeluarkan dengan tujuan yang sangat mulia. Bagian dari meruduksi risiko bencana. tapi, sudahkan tujuan mulia tersebut telah tercapai? apakah data2 yang sungguh dibutuhkan 220 juta jiwa penduduk republik Indonesia tercinta telah sampai.

Yang pasti, di negeri ini, sebuah pemicu (ancaman).. apakah itu murni dari alam atau akibat campur tangan manusia bisa berubah seketika menjadi bencana. gempa, tsunami, erupsi gunungapi, banjir atau longsor. bisa juga wabah, kebakaran hutan, atau konflik sosial. kegagalan tekonologi juga tentunya. sungguh ini diluar nalar, ketika berbagai upaya reduksi "katanya" telah dilakukan. diantaranya adalah peta-peta rawan bencana.


tanya kenapa?

apakah karena republik bencana ini belum punya UU Pengelolaan bencana? sebagaimana selalu disebutkan banyak pihak, termasuk Ornop penggemar kebijakan?
bisa iya juga.. tapi lebih banyak tidaknya kayanya sih. karena dasar reduksi bencana, telah secara gamblang ada di konstitusi negera yang dibuat 61 tahun yang lalu. saat negeri ini dengan gagah berani menyatakan kemerdekaan.

Beberapa kebiajakan pun telah nyenggol2 juga tentang pengelolaan bencana, terutama upaya preventif dan mitigasi. secara teknis pun, sekalipun baru setingkat kepres dan sk menteri telah ada juga. lalu masalahnya dimana.
Lah.. emang kita kan paling hobby bikin Undang-undang. apapun masalahnya, pasti diselesaikan dengan membuat undang2. Perkara bisa dijalanin atau enggak, urusan nanti. Yang penting, ya bikin dulu Undang-undangnya yang katanya sebagai dasar hukum itu. Mungkin ini juga makna sesungguhnya Indonesia sebagai negara hukum. Negara yang hobbi bikin hukum dan negara yang paling sering tidak menggunakan hukum atau negara yang paling suka ngakalin hukum.

Metain kawasan rawan bencana, apa susahnya?
pada tataran mikro dan terbatas, mungkin tidak sulit. tapi ketika sudah mulai mengkaitkan dengan disiplin lain, bisa njelimet juga. apalagi kalau sudah sampe ke persoalan teknis. misalnya struktur tanah, jalur air, curah hujan dll.
banyak jalan menuju roma", itu kata orang bijak. artinya, pasti akan ada jalan, sekalipun jalannya mungkin penuh batu tajam, terjal mendaki atau penuh kubangan lumpur. ada niat dan upaya, pasti rintangan yang "njelimet" akan bisa dilewati juga.

caranya????
Ya lewat berjaringan. tidak kurang manusia2 indonesia yang baik dan tidak sombong, sekalipun tidak rajin menabung. artinya, masih cukup lah ketersediaan orang yang memiliki kapasitas untuk bisa membantu berbagai persoalan yang dihadapi untuk kepentingan barsama. kepentingan rakyat bahasa kerennya.
Dengan kemampuan yang dimiliki umumnya kalangan akademisi, persoalan teknis akan mampu diselesaikan. dan orang kampus, umumnya juga punya kawan2 lain, bisa dari birokrasi, bisa juga dari kalangan ornop atau masyarakat lain yang mungkin pernah mengalami atau sedang melakukan kegiatan yang sama. sampai sini, klop sudah.. jalan menuju roma semakin mudah bukan.

dalam skala kecil, pemetaan risiko bencana bisa dimulai dari hal yang terkecil. Mulai membuka lembaran lama (sejarah) tentang kejadian bencana. apa saja dan kapan kejadian bencana pernah terjadi. bagaimana kondisinya, berapa banyak korban dan apa yang dilakukan warga sebelum, saat dan sesudah kejadian bencana. apa pula sumber/sebab terjadinya bencana. dari informasi dasar tersebut, bisa dikembangkan kebanyak hal. informasi bisa dengan bertanya kepada orang2 tua yang masih ada. yakinlah, mereka dengan senang hati akan menceritakan kejadian2 tersebut secara lengkap.

dari tahun terakhir, bisa ditarik kesimpulan awal, apa yang perlu diketahui berikutnya. kecenderungan kejadian, luasan daerah yang terkena dampak bencana, kesiapan warga atau????
Lalu ancaman bencana apalagi yang mungkin terjadi? mungkinkah gempa bumi, tsunami, wabah, konflik sosial atau lumpur panas? informasi lanjutan bisa dicari dari banyak sumber. kalau sekarang, tinggal masuk ke situs pencari kaya google bisa langsung tersedia deh. sekalipun masih harus milah2 lagi mana yang dimaksud. dan itu bagian dari jalan menuju roma bukan?

Tanggung Jawab Negara jangan dilupakan

sekalipun masyarakat mampu mereduksi risiko bencana secara mandiri, secara swadaya yang dikatagorikan dalam COMMUNITY BASE DISASTER RISK MANAGEMENT, peran negara tetap harus ada. Pemerintah sebagai pemegang mandat negeri ini tetap harus menjadi penanggung jawab utama dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darah..
Untuk itu, tekanan harus tetap dilakukan agar menjalankan mandatnya. Memfasilitasi berbagai upaya masyarakat atau menyiapkan berbagai kebutuhan yang telah disusun oleh masyarakat. Jangan sampe, tanggung jawab bersama dalam pengelolaan bencana diposisikan sama. jelas beda dong. lah, mereka kita bayar lewat pajak, lewat atas nama rakyat itu untuk melayani rakyat kok. untuk melindungi dan menyelamatkan warganya dari ancaman bencana.

kalau mereka gak menjalankan amanat, ya kita gugat. bikin mereka tidak nyaman dalam menikmati segenap fasilitas rakyat tanpa peduli rakyatnya. jangan sampe mereka tidur nyenyak sebelum mereka betul2 menjalankan mandatnya.


terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
UU PB UNTUK MENJAMIN KESELAMATAN WARGA NEGARA?

Setiap bencana terjadi, dimanapun.. yang ada adalah kegagapan dalam menangani kejadian bencana. "Jangan dulu bicara tentang sebab, tapi tangani dulu korban yang saat ini menderita". Itulah komentar para pemegang mandat pemerintahan. Kata begitu mulia itu begitu meyakinkan, seolah keluar dari mahluk tanpa setitik noda. Sebuah kata seolah telah berbuat banyak dalam upaya mereduksi risiko bencana.

UU Penanggulangan Bencana baru beberapa hari disahkan. Pengesahan yang terus terunda dengan banyak dalih. target 27 Maret 2007 terlewati, tapi beruntung tidak sampe masuk di bulan April 2007. Menteri PU pun berkomentar :

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam sambutannya mengatakan proses pembahasan RUU Penanggulangan Bencana yang dimulai sejak Mei 2005 berjalan cukup alot, namun semuanya dapat diselesaikan karena dilandasi kesamaan tekad, pandangan serta rasa tanggung jawab mengenai perlunya landasan hukum dalam bentuk UU.

Lebih lanjut Djoko Kirmanto menjelaskan, sebelum disahkan menjadi UU, Pemerintah dan DPR telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan telah melibatkan pihak-pihak terkait seperti DPD, Bakornas, PMI, serta masukan dari berbagai organisasi sosial lainnya.


Begitukah proses sesungguhnya dari pembahasan RUU PB? entahlah. kita terlalu sulit percaya lagi dengan para pemegang mandat negara ini. terlalu banyak kebohongan yang telah mereka keluarkan.

Hal yang pasti, sekalipun beberapa instansi telah membuat peta rawan bencana, tapi tidak pernah dievaluasi, apakah pekerjaan yang menggunakan dana rakyat itu sampai ke publik. apakah peta itu juga dijadikan dasar kebijakan sehingga tidak menambah tingkat kerentanan. Kerena kenyataanya adalah;
setiap terjadi bencana, banyak korban lebih dikarenakan mereka tidak pernah tahu jika daerahnya rawan bencana. tidak pernah ada informasi apa yang barus mereka lakukan.
Jika kembali pada kekekacauan dalam penanganan bencana, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran.
1) sistem penanganan, institusi dan SDM yang tidak siap
2) anggaran tidak didasarkan atas kebutuhan
3) tidak pernah ada perencanaan
4) kegiatan penanganan bencana hanya pada emergency response

ini jelas menunjukan, Pemerintah sebagai pemegang mandat negara masih belum menempatkan perlindungan dan keselamatan sebagai prioritas utama. Lalu, apakah UU PB dengan 58 pasal ini mampu menempatkan hak hakiki manusia sebagai prioritas utama untuk dijakankan Negara. Sehingga kebanggaan "bekerja keras" selama 2 tahun dalam penyusunan ada hasilnya. Bukan seperti UU Agraria yang hanya diundangkan tanpa mampu diterapkan. Juga UU LH yang begitu agung diusung untuk segera diundangkan.

Yang perlu dicermati dalam UU PB adalah pasal 32
1) dalam penanggulangan bencana, pemerintah dapat :
a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman dan atau
b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai dengan peraturan perundang-undangan

2) setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau dikurangi sebagaimana dimaksud pasal 1) huruf b berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini kalau digabungkan dengan Pepres 36? atau, ketika dibergabung dengan kepentingan individu/golongan yang memegang kekuasaan? atau sang penguasa yang gila kehormatan. dan ini bukan hal aneh terjadi di Indonesia. semua bisa terjadi. sedangkan hukum tidak bisa dijadikan andalan lagi..

Ini adalah salah satu bentuk kehawatiran. mungkin berlebihan. tapi tidak ada salahnya sebagai tidakan preventive. agar kita waspada..





terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA