Monday, April 23, 2007

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH ASIA PASIFIK
sebuah ringkasan laporan dari IPCC

Tulisan ini merupakan terjemahan singkat laporan IPCC - Intergivernmental Panel on Climate Change tentang dampak climate change. Diterjemahkan oleh Torry, manager pengkampanye tambang - energy WALHI Eksektutif Nasional. Sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh umat manusia. Ancaman bencana telah di depan mata akibat penghabaian yang dilakukan manusia paska revolusi industri. Pengabaian para pemimpin negara-negara maju atas produksi CO2 yang begitu tinggi. Pengabaian pemimpin dunia negara berkembang dan miskin yang mengekploitasi SDA untuk memebuhi pendapatan negaranya. Pengabaian kaum berduit yang tidak peduli pemakaian kendaran2 mewahnya, pola dan gaya hidupnya mengancam kehidupan seluruh mahluk di bumi


Pendahuluan

Pemanasan sistem klimat adalah hal yang nyata, dan terbukti dari sejumlah pengamatan atas meningkatnya suhu udara dan samudra, meluasnya salju dan es yang meleleh, dan naiknya tinggi muka air laut rata-rata.(IPCC WGI 2007).

Antara tahun 1850 dan 2005 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan kenaikan temperatur global 0.76 Cº. Sepanjang abad ke 20, benua Asia telah mencatat rekor kenaikan tertinggi 1 derajat C (IPCC WGI 2007). Karena emisi akan tetap berada di atmosfer dalam waktu lama, IPCC memprediksikan pemanasan 10 tahunan sebesar 0.2 derajat C hingga 2030, yang mengindikasikan kenaikan suhu rata-rata 0.6 derajat C (IPCC WGI 2007).

Pemodelan iklim mengindikasikan kenaikan suhu di wilayah Asia Pasifik (AP) berada pada orde 0.5-2 derajat C pada tahun 2030 dan 1 hinga 7 derajat C pada 2070. Suhu akan menghangat secara cepat di wilayah kering Pakistan utara, India, dan Cina barat. Hujan musim dingin diperkirakan akan menurun di Asia Selatan dan Tenggara, yang diduga akan meningkatkan kekeringan dari musim dingin muson. Wilayah ini Asia Pasifik akan mengalami akibat dari kenaikan muka air laut global sebesar 3-16 cm pada tahun 2030 dan 7-50 cm pada tahun 2070 yang bervariasi dengan tinggi muka air laut regional. Studi pemodelan lainnya mengindikasikan semakin intensifnya siklon tropik (Preston et al 2006).

Region Asia Pasifik adalah wilayah dengan keragaman budaya, ekologi, dan ekonomi tertinggi di dunia. Dampak perubahan iklim di Asia Pasifik menghasilkan akibat beragam pada berbagai negara. Hal ini bukan hanya perubahan iklim akan termanifestasi secara berbeda tetapi juga karena bervariasinya kapasitas negara-negara AP memitigasi gas rumah kaca, kapasitas mengurangi kerentanan, dan beradaptasi pada perubahan iklim.

Air
Perubahan iklim memiliki kemungkinan tinggi dalam merubah ketersediaan sumber air, yang didorong oleh menurunnya curah hujan dan limpasan di Asia Selatan dan Asia Tenggara dan meningkatnya limpasan di daerah lain, terutama di Pulau-pulau Pasifik. Ketersediaan air dan limpasan diperkirakan akan turun hingga 10-30 % pada ketinggian lintang rendah dan daerah tropika kering. (IPCC WGII 2007). Beberapa daerah aliran sungai akan diuntungkan akibat meningkatnya limpasan, namun tekanan karena air akan berdampak pada jutaan orang di seluruh wilayah AP dan biaya untuk menangani persoalan air akan meningkat. Musim penghujan diprediksikan akan berkurang sementara intensitas curah hujan maupun risiko banjir akan semakin tinggi. (Preston et al 2006).

Ketersediaan air tawar di Asia Tengah, Timur, Selatan, dan Tenggara terutama di DAS yang luas akan berkurang. Seiring dengan meningkatnya populasi dan permintaan karena semakin tingginya standar hidup, menurunnya ketersediaan air tawar akan berakibat tak terbendung pada miliaran orang pada tahun 2050
(IPCC WGII 2007). Melelehnya gletser (sungai es) di Himalaya akan meningkatkan banjir, runtuhnya bukit-bukit salju akibat ketidakstabilan lereng, berakibat pada sumber air dalam 2-3 dekade ke depan. Hal ini akan diikuti menurunnya aliran air karena gletser yang meleleh(IPCC WGII 2007).

Dalam jangka panjang, satu-satunya wilayah yang akan mengalami peningkatan curah hujan sampai 2070 adalah Kepulauan Pasifik di sebelah timur Melanesia (Papua Nugini) dan sebagian China tengah (Preston et al 2006). Perubahan iklim diproyeksikan akan mereduksi sumber air di pulau-pulau kecil misalnya kepulauan Karibia dan Pasifik. Penurunan ini akan terjadi hingga titik ketidakcukupan untuk memenuhi permintaan selama periode curah hujan yang rendah (IPCC WGII 2007).

Sebagai hasil dari menurunnya curah hujan dan meningkatnya penguapan, ketahanan air menjadi masalah yang akan terjadi secara intensif pada tahun 2030 di Australia Timur dan Selatan, Selandia Baru, Pulau Utara, dan wilayah-wilayah timur (IPCC WGII 2007).

Pangan
Studi menunjukkan perubahan iklim akan berakibat pada pertanian secara berbeda di wilayah AP. Pada lintang rendah, terutama daerah wilayah kering musiman dan tropik, produktifitas tanaman akan turun bahkan pada kenaikan suhu lokal yang rendah (1-2°C), yang akan meningkatkan risiko kelaparan (IPCC WGII 2007). Hasil panen dapat meningkat di Asia Timur dan Tenggara dan menurun di Asia Tengah dan Selatan pada pertengahan abad 21. Dengan mempertimbangkan pesatnya peningkatan populasi dan urbanisasi, risiko kelaparan diproyeksikan akan semakin tinggi di beberapa negara berkembang (IPCC WGII 2007).
Wilayah yang saat ini mengalami krisis air seperti Cina timur laut, dan wilayah rawan banjir delta Bangladesh dan Vietnam akan sangat mungkin mengalami degradasi lahan yang signifikan pada iklim yang berubah. (Preston et al
2006).

Perubahan-perubahan regional atas distribusi dan produksi spesies ikan tertentu akan terjadi akibat berlangsungnya pemanasan dan akibatnya bagi pertambakan dan perikanan akan tak terpulihkan. Terumbu karang adalah mahluk hidup yang rawan pada tekanan suhu dan memiliki kapasitas adaptasi yang rendah. Meningkatnya suhu permukaan laut 1 hingga 3°C diproyeksikan akan berakibat meningkatnya frekuensi pemutihan terumbu karang dan meluasnya kematian karang, kecuali jika karang mampu beradaptasi dan beraklimatisasi (IPCC WGII 2007).

Produksi pertanian dan hutan pada tahun 2030 diproyeksikan akan banyak menurun di selatan dan timur Australia dan sebagian timur Selandia Baru, akibat meningkatnya kekeringan dan kebakaran. Namun, di Selandia baru akan muncul keuntungan bagi wilayah barat dan selatan yang dekat sungai-sungai utama karena semakin panjangnya musim tanam, berkurangnya suhu dingin dan meningkatnya curah hujan. (IPCC WGII 2007).

United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) menduga bahwa perubahan iklim akan menghasilkan hilangnya produksi sereal sebesar 280 juta ton di 65 negara selatan. Di negara-negara selatan, perubahan iklim akan mereduksi produksi pertanian yang tergantung hujan sebesar 11% di tahun 2080 (CANA 2006). Ilmuwan-ilmuwan International Rice Research Institute (IRRI) di Manila menemukan bahwa setiap derajat kenaikan temperatur akan mengurangi 10 persen produksi beras (Peng et al 2004).

Kesehatan
Perubahan pola suhu dan curah hujan akan sangat mungkin memindahkan distribusi nyamuk demam berdarah dan malaria. Di tingkat lokal, risiko penyakit tertentu akan meningkat dan lainnya menurun, tetapi pada wilayah region AP, jutaan individu yang terpapar penyakit menular akan bertambah pada akhir abad 21. Meningkatnya temperatur akan mengurangi risiko kematian akibat suhu yang dingin, tetapi meningkatkan risiko kematian akibat suhu yang panas, sementara meningkatnya banjir dan intensitas siklon tropik akan meningkatkan jumlah orang yang terluka dan tewas (Preston et al 2006).

Kelainan dan kematian endemik yang berkaitan dengan penyakit-penyakit diare yang berasosiasi denngan banjir dan kekeringan akan meningkat di Asia Timur, Selatan, dan Tenggara karena perubahan siklus hidrologi akibat pemanasan global. Meingkatnya suhu pesisir akan memperluas besaran dan toksisitas kolera di Asia Selatan. (IPCC WGII 2007).

Perisitwa cuaca ekstrem dan naiknya muka air laut
Berdasarkan studi yang dilakukan perusahaan asuransi Swiss Re, 90% bencana yang diakibatkan oleh iklim akan terjadi di Asia. Ongkos yang harus dibayar adalah pertanggungan setengah juta orang tewas akibat peristiwa-peristiwa terkait cuaca sejak tahun 1970 (CANA 2006).

Meningkatnya curah hujan telah terpantau di sebelah timur Amerika Utara dan Amerika Selatan, Eropa Utara, Asia Tengah dan Selatan. Kekeringan terpantau di Sahel, Laut Tengah, selatan Afrika dan selatan Asia (IPCC WGI 2007). Sangat mungkin peristiwa-peristiwa cuaca panas ekstrem, gelombang panas, dan hujan lebat akan terus berlangsung dan semakin sering. Berdasarkan sederetan model, sangat mungkin siklon tropik di masa datang akan menjadi lebih intensif, dengan kecepatan angin puncak yang meluas dan hujan yang lebih lebat seiring dengan meningkatnya SSTs Tropik (IPCC WGI 2007).

Di Bangladesh, separuh populasi ngara tersebut tinggal di daerah dengan ketinggian kurang dari 5 m dari permukaan laut. Kota-kota raksasa Shanghai, Bangkok, Jakarta, Bombay dan Manila berdiri di wilayah pesisir rendah. Diperkirakan melelehnya sebagian selimut salju Greenland dan Antartika barat akan terjadi pada periode abad hingga millenium jika temperatur naik 1-4 derajat celcius (relatif terhadap suhu 1990-2000), menyebabkan kenaikan muka air laut 4-6 m atau lebih (IPCC WGII 2007). Melelehnya seluruh selimut salju Greenland dan Antartika Barat akan menghasilkan peningkatan tinggi muka air laut hingga 7 m dan 5 m (IPCC WGII 2007). Kombinasi badai dan naiknya gelombang pasang akan mengancam penduduk yang tinggal di wilayah rendah. Jutaan manusia diproyeksikan akan terkena banjir setiap tahun akibat kenaikan muka air laut tahun 2080-an. Wilayah-wilayah padat dan rendah serta tidak memiliki kapasitas adaptasi yang baik, dan yang telah berhadapan langsung dengan tantangan seperti badai tropis dan penurunan muka tanah lokal, berada dalam risiko. Jumlah manusia yang rentan terkena dampak, terbesar berada di delta-delta raksasa di Asia dan Afrika (IPCC WGII, 2007).

Gender

Perubahan iklim memiliki karakteristik gender : (i) perempuan akan terkena dampak berbeda, dan lebih buruk akibat perubahan iklim akibat peran sosial, diskriminasi dan kemiskinan, (ii) perempuan masih tidak terwakili kepentingannya dalam pengambilan-pengambilan keputusan terkait dengan perubahan iklim, emisi gas rumah kaca, dan adaptasi mitigasi, dan (iii) adanya bias gender dalam emisi karbon.. Perempuan harus diikut sertakan bukan hanya karena memiliki perspektif dan keahlian berbeda yang dapat disumbangkan (IUCN).

Perempuan di seluruh dunia secara umum memiliki tanggung jawab menyediakan energi rumah tangga, pangan, dan pelayanan kesehatan (IUCN). Perubahan iklim akan berakibat secara tidak proporsional pada kemampuan perempuan untuk memenuhi tanggung jawab domestik, strategi penghidupan, dan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan tunai. Perempuan juga merupakan bagian dari masyarakat miskin yang menawarkan sumber daya alternatif jika lingkungan rusak akibat perubahan iklim dan menurunkan kemampuan untuk pulih dari peristiwa-peristiwa ekstrem (IUCN).

Penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihoods)

Hilangnya pendapatan dari pertanian dan bertambahnya biaya pengelolaan sumber air, pesisir, dan penyakit serta risiko-risiko keseehatan akan menyeret aktifitas ekonomi, khususnya di negara-negara yang saat ini memiliki pertumbuhan stagnan. Lebih jauh lagi, bahkan dengan ekonomi regional yang bertumbuh, dampak lokal perubahan iklim seperti kolapsnya perikanan atau terbenamnya lahan pertanian, dapat memporakporandakan ekonomi lokal (Preston et al 2006).

Kurang lebih 20-30 % tanaman dan spesies hewan diperkirakan akan terancam punuh jika suhu meninkgat 1.5-2.5ºC (IPCC WGII 2007). Sepanjang abad ini jumlah karbon yang dilepas oleh ekosistem teresterial akan memuncak sebelum pertengahan abad dan kemudian melemah atau berbalik, memperkuat perubahan iklim dan menghancurkan sumber daya hutan bagi komunitas lokal.

Hak atas pembangunan
Perubahan iklim akan berdampak pada sebagian besar masyarakat rentan di dunia seiring dengan lemahnya kapasitas masyarakat rentan beradaptasi. Komunitas rentan umumnya amat tergantung pada ekosistem yang sensitif untuk bertahan hidup dan berpenghidupan, dan memiliki kapasitas amat kecil karena mereka bukanlah emiter gas rumah kaca.

Perubahan iklim tidak terjadi pada ruang hampa: wilayah-wilayah rentan menghadapi banyak tekanan yang berdampak pada keterpaparan dan sensititifas wilayah sesuai dengan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim. Tekanan-tekanan ini memunculkan berbagai faktor seperti bahaya iklim, kemiskinan, dan ketidaksetaraan akes pada sumber daya, rawan pangan, tren globalisasi ekonomi, konflik, dan insiden penyakit seperti HIV/AIDS (IPCC WGII 2007).

Infrastruktur dan perumahan amat rentan terhadap perubahan iklim karena banyaknya penduduk yang tinggal di wilayah-wilayah marjinal. Menurut New Economics Foundation dan Bangadesh Centre for Advance Studies, lebih dari 60% populasi di Asia akan hidup di wilayah urban pada tahun 2015. Bank Dunia memperkirakan 25-40% penduduk perkotaan di negara berkembang hidup di wilayah-wilayah kumuh dengan akses yang minim atau bahkan tanpa akses terhadap air bersih, sanitasi, atau penanganan sampah. Meningkatnya suhu global, kota-kota dengan keterbatasan sanitasi, dan tekanan pada sistem air dan persampahan akan menjadi hotspot penyakit diare dan pencernaan (NEF and BCASFoundation).

Bentuk ekstrem adapatasi perubahan iklim adalah migrasi. Perkiraan jumlah jiwa yang menjadi pengungsi iklim akan berkisar antara 150 juta pada tahun 2050 menjadi 1 milyar orang pada tahun 2100 (FoE Australia 2005). Penduduk di wilayah dataran rendah Pulau-pulau Pasifik diperkirakan terpaksa pindah ke wilayah yang lebih tinggi untuk mencari jaminan atas pangan dan air, mempertahankan penghidupan. Perubahan iklim yang tidak dimitgasi dalam jangka panjang akan melampaui kapasitas alam dan sistem manusia untuk beradapatasi (IPCC WGII 2007). Hal ini berarti mitigasi terus menerus adalah agenda proritas global yang penting dan adaptasi pada komunitas-komunitas rentan adalah hal esensial untuk menjamin hak asasi manusia dan hak atas pembangunan.

Reference:
Preston, B. Suppiah, R. Macadam, I. and Bathols, J. (2006) Climate Change in the Asia/Pacific Region. CSIRO Marine and Atmospheric Research.

IPCC Working Group I (2007) The Physical Science Basis: Summary for Policymakers.

IPCC Working Group II (2007) Climate change Impacts Vulnerability and Adaptation: Summary for
Policymakers.

Friends of the Earth Australia (2005) A Citizens Guide to Climate Refugees.

New Economics Foundation and Bangaldesh Centre for Advance Studies (2002). The End of Development:

Global Warming, Disasters and the Great Reversal of Human Progress. New Economics Foundation CANA (2006) Social Impacts of Climate Change: Climate Change Impacts in Asia www.cana.net.au/socialimpacts/global/asia.html
Peng, S. Huang, J. Sheehy, J. Laza, R. Visperas, R. Zhong, X. Centeno, G. Khush,G. and Cassman K. (2004)

Rice yields decline with higher night temperature from global warming. Proceedings of the National Academy of Science. www.pnas.org/cgi/content/full/101/27/9971

IUCN (date unknown) Gender Aspects to Climate Change. A combined project of ENERGIA International Network on Gender and Sustainable Energy, LIFE/Women in Europe for a Common Future (LIFE/WECF), IUCN-The World Conservation Union, and the Women’s Environment and Development Organization (WEDO)



terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

No comments: