Friday, April 13, 2007

MEMBANGUNG KESIAGAAN DARI ANCAMAN BENCANA

Republik bencana
Indonesia secara natural berada pada kawasan yang sangat rawan bencana. Jajaran gunung api yang dikenal dengan ring of fire membentang dari ujung Sumatra, Jawa, Bali – Nusa tenggara, Sulawesi dan kepulauan maluku. Tiga lempeng bumi melengkapi kawasan dengan penduduk 220.000.000 penduduk dari ancaman gempa dan tsunami. Saat musim penghujan, akibat dari salah urus dalam pengelolaan SDA yang seharusnya menjadi karunia menawarkan banjir, longsor dan banjir bandang. Saat kemarau disambut dengan kabakaran lahan. Ancaman bencana lain adalah gagal panen yang menyebabkan kelaparan dan gizi buruk. Konflik social dengan beragam sebab pun telah melengkapi bencana negeri ini selain wabah penyakit yang sampai saat ini masih belum tuntas dapat ditangani seperti demam berdarah dan flu burung.

Sangat layak jika negeri ini mendapat predikat sebagai negeri sejuta bencana atau Republik bencana. Lengkapnya ancaman baik yang bersumber dari alam atau akibat ulah manusia atau pun akibat dari perpaduan keduanya sudah seharusnya dijadikan dasar pemikiran utama dalam setiap langkah, terutama kebijakan pemerintah. Sejak mega bencana gempa dan tsunami meluluh lantakan sepanjang pesisir selatan sampai utara Aceh, 27 Desember 2004 dan di susul gempa 28 Maret 2005 yang merontokan kepulauan Nias dan Simeulue, negeri ini seharusnya membuka mata. Kerawanan bencana yang ada masih belum disikapi dengan berbagai sikap dan tindakan. Sangat tidak berimbang ancaman bencana yang ada dengan kapasitas warga Negara yang mayoritas menempati daerah-daerah rawan bencana untuk menghadapinya. Tidak hanya warga Negara, namun juga kebijakan, kelembagaan serta sumber daya pemerintah sendiri.

83 % wilayah Indonesia rawan bencana adalah realitas. Sejak Januari – Juli 2006 saja, telah terjadi 68 kejadian bencana yang cukup besar di Indonesia. 10.000 jiwa warga Negara lebih telah menjadi korban akibat ketidak siapan menghadapi ancaman bencana. Trilyunan rupiah musnah hanya dalam waktu 6 bulan saja. Dan ratusan trilyun harus disiapkan untuk merespon dan membangun kembali daerah-daerah yang terkena bencana.

Jika ditelisik lebih jauh, korban meninggal tidak hanya akibat dari kejadian bencana secara langsung, tapi tidak sedikit korban kembali jatuh akibat buruknya penanganan bencana. Misalnya yang terjadi di DI Yogyakarta dan Klaten, 64 jiwa meninggal akibat tetanus yang tidak tertangani. Belum lagi yang meninggal akibat bunuh diri akibat depresi, diare, ISPA atau sebab lain.
Riil, sejak kejadian gempa dan tsunami, 1,5 tahun yang lalu, pemerintah belum secara signifikan melakukan berbagai upaya mereduksi ancaman bencana. Mitigasi dan kesiapsiagaan yang seharusnya dilakukan hanya setengah hati. Pemerintah lebih memilih merespon atau melakukan tindakan setelah bencana terjadi. Banjir bandang di jember, Banjarnegara, Sumbawa, Bondowoso, Trenggalek, Sinjai adalah sekian kasus bagaimana pontesi terjadinya bencana diabaikan. Demikian juga bencana di DI Yogyakarta dan Klaten tidak lepas dari ketidak pedulian pelaksana mandat Negara atas perlindungan dan penyelamatan warga Negara dari ancaman bencana.

Mengorek sumber ancaman bencana
Sumber ancaman bisa saja bersumber dari alam seperti gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api. Namun banyaknya korban tidak lepas dari manusianya. Tata ruang misalnya yang sebenarnya diperuntukan untuk menata dalam memanfaatkan lahan/ruang yang ada. Jika risiko dan dampak menjadi bagian pertimbangan, tidak mungkin perkembangan kota Banda Aceh, Padang atau Nabire dipusatkan pada lokasi yang rawan bencana. Sekalipun ruang-ruang rawan bencana dimanfaatkan, akan dipersiapkan berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan, termasuk early warning system nya.

Bencana terjadi jika berpadunya ancaman/bahaya dengan kerentanan sebuah komunitas. Bencana adalah sebuah kejadian yang menyebabkan terjadinya korbann jiwa, harta benda dan terganggunnya system kehidupan yang akibat dari kejadian tersebut tidak mampu ditangani oleh komunitas sendiri.
Dari paparan tentang bencana, jelas bahwa sebuah kejadian baru disebut bencana jika kejadian tersebut menimbulkan korban jiwa, harta bendan dan menyebabkan terganggunya system kehidupan (social, ekonomi dan budaya) dimana komunitas yang terkena dampak tidak mampu menanganinya sendiri atau membutuhkan bantuan orang lain. Jika kejadian seperti letusan gunung api tidak menyebabkan korban jiwa karena komunitas memiliki kemampuan menghindar saat kejadian letusan, tidak menimbulkan korban harta benda warga serta system kehidupan komunitas tetap normal, maka letusan gunung api hanya sebuah fenomena alam saja. Bahkan, jika pemerintah kreatif, fenomena alam ini bisa dijadikan sebagai antraksi wisata yang tentu akan mendatangkan devisa.

Sumber risiko bencana utama adalah kemiskinan dan ketamakan. Karena kemiskinan yang membelenggu, menyebabkan miskin akses informasi, pengetahuan dan keterampilan. Karena kemiskinan (materi, pengetahuan dan skill) juga, banyak manusia menggali lubang sendiri dengan melakukan hal-hal yang menambah rentan. Karena alasan perut, manusia dapat melakukan usaha yang sangat berbahaya tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain. Karena miskin pengetahuan, pun akan melakukan hal yang sama.
“bumi akan mencukupi seluruh umat manusia di dunia ini, tapi tidak akan cukup untuk satu orang yang tamak dan serakah”, demikian kira-kira ungkapan bijak Mahatma Gandhi yang memperingatkan bahaya ketamakan yang akan menghancurkan system kehidupan di dunia. Jauh sebelum itu, Allah telah memperingatkan umat manusia melalui Al-Qur’an yang suci : “talah nyata kerusakan di darat dan lautan akibat dari ulah tangan manusia”. Sangat banyak peringatan-peringatan yang intinya mengembalikan kepada manusia sebagai sumber dari kerusakan yang berujung kepada bencana. Dan nyata-nyata akibat dari ketamakan tersebut adalah bencana Lumpur panas akibat ekplorasi PT LAPINDO BRANTAS. Yang menginginkan keuntungan yang berlibat-libat, menghabaikan standard operasional dalam pengeburan dengan kedalaman lebih dari 6.000 meter untuk mendapatkan Migas. Akibatnya dapat dilihat dengan mata kepala semua pihak kerugian yang tidak ternilai. Bahkan jika dihitung secara objektif, Negara pun tidak akan sanggup mengganti seluruh kerugian warga yang terkena dampak bencana.

Membangun Mitigasi dan kesiapsiagaan dari keluarga

Telah nyata, Negara telah gagal melindungi segenap tumbah darah dan bangsa ini yang menjadi mandat konstitusi. sejak enam bulan terakhir saja, telah terjadi 68 kejadian bencana dengan korban jiwa lebih dari 10.000 jiwa. Tidak ada upaya yang signifikan untuk mereduksi (memperkecil) risiko dan dampak bencana. Bahkan, pemerintah dan legislative telah terbukti mengabaikan mandat tersebut melalui kebijakan yang tidak berdasar. Penetapan 500 milyar dalam APBN tahun 2006 untuk kebutuhan emergency dengan pontensi ancaman 83 % kawasan rawan bencana adalah hal yang luar biasa bodoh.

Terbukti, dana tersebut terkuras habis hanya untuk menangani 6 bencana besar saja; Banjir bandang di Jember, Banjarnegara, dan Sinjai serta Gempa bumi Jogja. Sisanya harus menunggu APBN Perubahan yang baru akan dibahas bulan Agustus.
Kegagalan menjalankan mandat ini tidak boleh dianggap sepele dengan alasan kacangan. Bencana tidak bisa diprediksi, bencana adalah musibah atau bencana adalah takdir yang harus diterima sebagai ujian Tuhan. Bencana yang terjadi di Indonesia harus dilihat secara holistic serta berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mensikapi potensi tersebut. Pemetaan kawasan rawan bencana, disiminasi informasi potensi ancaman, fasilitasi warga untuk mitigasi dan kesiapsiagaan, membuat kebijakan-kebijakan penanganan bencana (dari mulai upaya mitigasi-kesiapsiagaan, contingency planning, anggaran Negara), evaluasi kebijakan yang berpotensi meningkatkan risiko bencana, evaluasi tata ruang dll adalah hal yang diabaikan sejak bencana besar gempa dan tsunami di Aceh. RUU Penanggulangan Bencana sampai saat ini tidak jelas, kapan dapat diselesaikan dan menjadi paying hokum penganan bencana di Indonesia. Bahkan sector pendidikan sama sekali tidak mengajarkan pengetahuan tentang kebencanaan.

Kondisi-kondisi luar biasa ini tentu akan menjadi terror bagi warga Negara. Terror yang akan mengganggu system kehidupan. Isu tsunami terbukti membuat kacau warga Jeneponto dan ramai-ramai mengungsi. Demikian juga di Lumajang dan di Kab. Bolaang Mongondow. Hal ini tidak lepas dari minimnya pengetahuan tentang kebencanaan, baik sumber bencana, tanda-tanda ancaman bencana maupun apa yang harus dilakukan saat ancaman itu datang. Yang dilakukan hanya response dengan menenangkan warga agar tidak panik. Sikap tersebut tentu tidak akan ada manfaatnya pada saat kepanikan telah terjadi. Sangat tragis tentunya ketika warga yang ingin mengungsi ternyata tidak tahu kemana harus menyelamatkan diri.

Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memulai transformasi tentang kebencanaan dari komunitas terkecil; KELUARGA. Mulailah menggali berbagai sumber pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai sumber ancaman bencana dan mentransformasikannya, baik melalui diskusi saat makan bersama, menonton acara TV atau sebagai penghantar tidur. Berikan pengetahuan tentang kebencanaan sedetil mungkin pada orang yang paling kita cintai. Apa saja sumber ancaman bencana yang ada di sekitar kita. Selain ancaman gempa bumi, ada juga banjir, wabah penyakit, terror, konflik social, kebakaran dll. Dari mana sumber itu berasal, apa tanda-tanda akan terjadinya bencana, bagaimana cara menyelamatkan diri sampai mulai menyiapkan atau mengamankan berbagai asset penting keluarga. Menempatkan surat-surat dan harta bergarga pada satu tempat yang aman. Juga mulai memetakan jalan-jalan kampung sebagai jalan evakuasi, tempat yang aman dari bencana sebagai post transit evakuasi.

Pada level yang lebih besar, mulai mengajak komunitas di lingkungan setempat untuk mulai memetakan berbagai potensi ancaman, kapasitas dan kerentanan bencana di lingkungannya/kampung. Apakah lingkungan tempat kita tinggal benar-benar bebas bencana. Jika tidak, apa yang harus dilakukan. Pemetaan kawasan rawan bencana dengan skala kecil dapat dilakukan dengan cara yang sederhana. Saat kita bertugas ronda, saat mengunjungi tetangga di waktu senggang, atau saat ada acara pertemuan. Peta tidak harus ilmiah seperti menggunakan peta topography, atau peta-peta canggih seperti quick bird atau peta satelit. Peta yang dibuat cukup tanpa skala. Yang penting adalah tergali semua informasi lingkungan setempat. Rumah-rumah yang masuk pada daerah rawan, warga yang paling rentan (manula, balita, bayi, wanita hamil atau warga yang mempunyai kemampuan berbeda/diffable), jalan-jalan untuk evakuasi, menyepakati tanda bahaya, posko atau menyiapkan tim siaga. Akan lebih baik jika pemetaan dilanjutkan dengan memetakan sumber daya yang dimiliki dan mulai merumuskan strategy menghadapi ancaman menjadi bencana. Misalnya menyiapkan logistik berupa makanan, tempat untuk air bersih, tikar, tenda maupun peralatan penyelamatan.

Mengundang orang/lembaga yang mempunyai kapasitas dalam penanganan bencana untuk berdiskisi dengan warga akan sangat baik sebagai bagian dari transformasi pengetahuan. Selain itu juga akan membangun sebuah hubungan untuk lebih jauh mendapatkan informasi. Misalnya mengundang BMG atau fakultas geologi, geografi untuk masalah gempa, banjir, angin ribut/badai atau mengundang LSM yang bergerak pada pengelolaan bencana.

Kemitraan ini akan sangat membantu saat kondisi emergency betul-betul terjadi. Kesiapan warga mengahandapi ancaman bencana berpadu dengan hubungan dengan pihak lain yang juga memiliki kapasitas untuk meringankan beban yang saat itu ditanggung warga. Tidak hanya pada saat kondisi emergency, tapi pada proses pemulihan dan pembangunan kembali akan lebih cepat dijalankan.
Harapannya, warga akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri.


terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

No comments: