MAHLUK YANG ANEH....
98 % dari 220 juta warga republik Indonesia tidak siap menghadapi ancaman bencana. Percaya? secara statistik pasti, pasti sulit untuk dibuktikan. Karena menghitung secara tepat, repot juga. Sekalipun penduduk Indonesia 60 % berada di Jawa yang konon aksesnya cukup gampang (dibandingkan di luar pulau Jawa, Papua misalnya), namun realitasnya cukup merepotkan juga. Gunungkidul saja, satu dari 349 Kabupaten di Indonesia memiliki desa2 yang sulit untuk di jangkau. Memerlukan komitmen yang tinggi untuk bisa sampai ke satu desa. Atau perkampungan Baduy di Propinsi Banten yang harus jalan kaki berjam2.
Namun, jumlah tersebut menjadi make sense ketika kita bertanya pada diri sendiri, kepada tetangga, teman, anak, orang tua atau orang yang baru kita kenal. sekalipun yang ditanya adalah orang yang cukup getol menjadi volunteer kemanusiaan. siap menghadapi ancaman gempa dan tsunami, tapi belum tentu siap menghadapi banjir, longsor, erupsi gunungapi atau wabah penyakit. siap berarti mempunyai kemampuan untuk mengurangi risiko yang akan terjadi ketika bahaya betul-betul datang.
tidak sedikit relawan yang gagah berani datang pada lokasi bencana tidak punya kemampuan berenang. Atau punya pengetahuan tentang mengantisipasi kemungkinan terjadinya wabah. disentri, campak, ISPA, demam berdarah, malaria atau flue burung. saking semangatnya melakukan evakuasi mayat atau penyintas, relawan lupa akan keselamatan dirinya sendiri. hal yang sederhana adalah makan sesuai dengan kebutuhan tubuh atau kebersihan diri. Itu adalah cermain kita bersama, bagaimana kesiapan warga negara atas ancaman bencana.
Ya harap maklum mas dan mbak. La wong kita emang sejak bayi ceprot gak pernah dikasih pengetahuan tentang kebencanaan. apa saja ancaman yang ada disekitar kita, dan bagaimana harus mensikapinya. Kita selalu dijejali, setiap ada kejadian yang disebut bencana harus diterima dengan iklas dan lapang dada. karena diposisikan sebagai ujian Tuhan, sebagai takdir sebagai manusia yang tidak berdaya. Yang bisa dilakukan setiap manusia selain tabah bagi yang menerima (sekalipun ibu, bapak, adik, kakak, tante dll) menjadi korban bencana, adalah membantu. Kalau ada beras, ya kasih beras. kalau ada ikan, baju layak pake dll, ya disumbangin. sehingga tidak aneh, kalau terjadi bencana di suatu lokasi, perempatan jalan jadi tempat kampanye kepedulian terhadap kemanusiaan. selain spanduk dan bendera, juga banyak none/abang yang menyorongkan kerdus bekas mie instan or minuman mineral pada pengguna jalan.
341 kejadian bencana terjadi sepanjang 2006. well, itu baru yang terpantau oleh Media Nasional. Dari angka itu aja, artinya negeri ini hampir tiap hari disatroni bencana. kalau udah gini, apa masih bertanya lagi kalau negeri ini emang republik of disasters? Negeri yang takdirnya emang rentan. Gak disikapinya kondisi ini, baik dalam pengembangan wilayah (penataan ruang) sampe pendidikan plus sistem kehidupan menjadikan negeri ini bak arena pembantaian. Sebuah liang kubur yang siap kapan saja diperuntukan bagi si naas.
Negara dibentuk untuk bisa melindungi rakyatnya. Salah satu kompensasinya adalah, sang rakyat harus menyetor pajak. dan tentu saja harus ikut aturan main agar perlindungan dari negara dapat berjalan. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan persiden sampe peraturan daerah. Lebih sempit, ada peraturan desa, rukun warga dan rukun tangga. Aturan2 tersebut wajib diikuti agar perlindungan dan ketertiban dalam kehidupan bernegara berjalan.
Tapi aneh bin ajaib untuk negeri tercinta, Indonesia. Sekalipun tsunami yang mengantarkan 200 ribu jiwa, disusul 2 kali banjir bandang dan gempa susulan di Aceh dan Sumut menjadi peringatan, tapi tak bergeming. Kesibukan dan pengakuan ketidak siapan hanya bertahan 3 hari saja sejak kejadian bencana. kembali diungkapkan ketika ada diskusi terbuka atau pertanyaan wartawan atas berbagai kejadian bencana. Namun, gak ada perubahan juga. RUU PB saat awal inisiasi akan digeber dalam waktu 6 bulan, eh.. jadinya molor sampe 2 tahun. BRR yang dibentuk melalui UU konon akan menjamin pembangunan kembali jadi oke. Nyatanya, complain datang bertubi2. tuntutan untuk di bubarkan tidak hanya 100 kali terjadi.
Mahluk yang aneh.. eh, negara yang aneh. Lalu buat apa negara ini terus dipertahankan ya. kenapa 220 juta (dikurangi warga yang mati berjamaah akibat bencana) tetep loyal. Padahal, untuk bikin KTP saja, yang itu juga bagian dari eksistensi Negeri ini harus rela antri, menunggu bahkan harus keluar harta. Untuk mendapatkan kerja, apalagi jadi PNS, harus menjual aset-aset kehidupan; tanah, ternak atau hutang. Untuk sekolah yang sedikit berkualitas, harus bayar muahal...
Bener-bener.... Mahluk yang aneh.. eh.. Negeri yang Aneh.....
terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
No comments:
Post a Comment