Wednesday, May 02, 2007

Demam Berdarah, Ketiduran Luar Biasa!

Dr. Marius Widjajarta:

artikel ini diambil dari Kompas on line.

Jakarta, KCM
Dalam beberapa hari terakhir keluhan masyarakat yang masuk ke Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) berkaitan merebaknya penyakit demam berdarah dengue (DBD) cukup banyak. Dalam empat hari saja lebih dari 25 pengaduan masuk.
Berikut ini wawancara dengan Dr. Marius Widjajarta, Ketua YPKKI.
Apa yang dikeluhkan masyarakat?

Banyak sekali laporan ke YPKKI menyangkut wacana perkataan gratis dari pejabat. Mulai dari pejabat tertinggi sampai yang bawah. Mereka yang tadinya nggak punya duit berbondong-bondong ke rumah sakit terutama rumah sakit pemerintah. Nah, di rumah sakit timbul berbagai kendala karena ketidakjelasan wacana gratis tadi. Mengapa saya sebut wacana? Karena ternyata dalam beberapa hal tidak gratis. Masyarakat harus membayar biaya administrasi, untuk beli obat, beli infus. Tidak jelas benar bagaimana caranya mendapatkan pengobatan yang benar-benar gratis.

Dalam kunjungan bersama Presiden ke RS Persahatan, Senin (1/3), Menteri Kesehatan kembali menegaskan penderita DBD yang tak mampu dibebaskan dari biaya perawatan, tanpa membutuhkan surat keterangan.
Perkataan gratis itu jangan terlalu diumbarlah. Supaya ada implementasi yang jelas sesuai UU Perlindungan Konsumen no 8 tahun 1999, bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas. Birokrasinya jangan terlalu panjang. Kalau birokrasinya berbelit-belit masyarakat miskin lebih banyak meninggal daripada yang hidup. Bukan tidak mungkin pula mereka dibebani biaya-biaya administrasi. Masyarakat ini sudah ngap-ngapan, ekonomi lagi terpepet. Saya bicara ini tidak ada hubungannya dengan politik. Saya bukan orang politik.
Pernyataan gratis itu sekadar angin surga?

Benar, itu masih merupakan angin surga. Kalau memang tidak melaksanakan janganlah memberikan angin surga bagi orang miskin. Angin surga bagi orang miskin itu kasihan. Nanti sakitnya dua kali.
Seluruh rumah sakit di Jakarta kan sudah dikumpulkan dan diberitahu oleh pemerintah.
Ya, mereka memang diharuskan menerima pasien orang miskin. Gratis. Tapi implementasinya, kita nggak tahu. Sering pejabat-pejabat itu cuma ngomong gratisnya doang. Seharusnya diinformasikan pula kalau ke rumah sakit itu apa saja yang harus dibeli. Apa yang gratis. Jadi mereka bisa berpikir, seandainya uangnya kurang mencari kemana lagi. Jangan sudah sampai di rumah sakit, tapi ternyata omong doang.

Bisa jadi ada kekhawatiran klaim yang diajukan rumah sakit tidak dibayar pemerintah
Kan ada persatuannya. Perhimpunan Rumahsakit Seluruh Indonesia (PERSI). Mereka bisa ramai-ramai menagih janji pemerintah, katanya mau dibayar, katanya mau diganti, mana uangnya? Kan ada jalurnya, apalagi semua rumah sakit sudah dikumpulkan oleh pemerintah. Kita sekarang menagih janji, kenyataan. Bukan hanya ngomomg-ngomong doang. Ngomong mah gampang, saja juga bisa. Malah ada yang bertanya pada saya: Apakah sebaiknya Menteri Kesehatan mundur?

Jawaban Anda?
Masalah mundur atau tidak, saya nggak mau berpolitik. Yang penting tanggung jawab. Kalau toh saya bilang mundur, belum tentu mau mundur. Jadi sebaiknya, bertanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan. Kalau perlu diusut ke pengadilan, silakan. Kalau masalah turun enggaknya itu terserah ibu presiden. 
 
Peraturan perundangan mana yang dilanggar?

Kan ada Undang-Undang Wabah.
Kasus DBD ini sudah bisa dikategorikan wabah?
Pemerintah baru menyebut kondisi kejadian luar biasa (KLB) nasional. Kalau dinyatakan KLB, UU Wabah jadi tidak berlaku. Tapi kalau DBD digolongkan wabah, pejabatnya bisa diancam hukuman, karena kealpaannya. Mereka bisa dikurung 6 bulan plus denda 500.000 rupiah. Untuk menentukan wabah atau bukan harus ada data epidemiologinya. Apabila di bulan sama, tempat yang sama, pada tahun berbeda korbannya sudah lebih dari dua kali lipat, menurut saya sudah wabah.

Tapi, interpretasi masing-masing orang kan bisa berbeda
Ya karena PP-nya tidak jelas. Akibatnya, bisa timbul multi interpretasi. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah harus tegas. Kalau melihat jumlah penderita DB yang dirawat sudah dua kali lipat dalam bulan yang sama, ini sudah bisa disebut wabah. Kalau pemerintah bilang ini kondisi Kejadian Luar Biasa nasional, saya menyebutnya Keterlambatan Luar Biasa atau Ketiduran Luar Biasa.

Bagaimana tahapan yang benar dalam menangani demam berdarah?
Dalam kaidah ilmu kesehatan, agar mencapai program yang berhasil harus ada tindakan preventif promotif, terakhir baru kuratif. Pemerintah berpikir preventif-promotif ini tidak menguntungkan, yang dilakukan lebih banyak ke kuratif. Beli-beli alat dan banyak membangun sarana. Padahal preventif-promotif dalam ilmu kesehatan masyarakat harus dilaksanakan. Sekitar bulan September-Desember tindakan pencegahan demam berdarah seharusnya sudah dilakukan seperti warning, kemudian analisa warning. Saat ini Departemen Kesehatan cenderung beli alat-alat pengadaan rumah sakit, yang sifatnya kuratif. Kalau mereka mengikuti kaidah ilmu kesehatan masyarakat seharusnya ada tindakan preventif promotif. Ini tidak dilaksanakan. Apakah hal seperti ini bisa dibenarkan?

Menurut Anda, Depkes yang paling bertanggungjawab?
Iya, pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini Depkes. Demam berdarah kan penyakit yang sudah tahunan lamanya. Ini siklus tahunan. Demam berdarah pertama di Indonesia tahun 1968, di Surabaya dan Jakarta. Dari tahun 1968-2004 itu kan sudah 36 tahun, kalau manusia itu sudah dewasa tua. Harusnya penanganannya sudah canggih, ini kok malah mundur. Tindakan preventif promotif tak dilaksanakan, kan antik. Bagimana dengan cita-cita Indonesia Sehat 2010. Apakah benar tahun 2010 kesehatan sebagai investasi. Investasinya siapa, rakyatnya? atau oknumnya?
Sebagian pihak mengatakan sudahlah jangan tunjuk kesalahan orang lain wong tidak akan mengubah keadaan.

Saya tidak menunjuk kesalahan orang lain. Tapi, seharusnya dengan berbesar hati sikap bertanggungjawab ini harus dibudayakan. Kalau nunjuk-nunjuk kesalahan orang memang nggak betul. Tidak usah dipolitikkan. Tapi yang seharusnya bertanggungjawab melaksanakan program pemberantasan penyakit demam berdarah itu siapa? Harusnya kan ada program preventif promotif antara September-Desember, mengapa itu tidak dilaksanakan? Nah, sikap bertanggungjawab inilah yang harus dibudayakan. Bukan mau tunjuk menunjuk, sebab menunjuk kesalahan orang lain memang gampang. Yang jelas, sikap mau bertanggungjawab dalam masyarakat Indonesia masih lemah. Apakah kalau sudah ada musibah begini kita harus minta pertanggungjawaban rumput yang bergoyang...? (ZRP)

terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA

No comments: