Tuesday, May 15, 2007

ADAPTASI HIDUP PADA DAERAH RAWAN BENCANA siasat hidup atau bertahan hidup?


Toyib tanpa semangat membabat tanaman padinya. Bukan panen. Karena masih membutuhkan 1,5 bulan lagi padi tersebut dapat dipanen. Wajah kesal, kecewa dan entah apalagi tergambar pada wajah tegarnya. Bias hitam tubuhnya yang terpanggang matahari, menambah kesan kuatnya dia menghadapi sejuta ujian menjalani kehidupan. Tanaman2 padi itu, akan menjadi kado istimewa ternaknya.

Tangan kecil fatah, tangkas mengikuti sang ayah. Memangkas tanaman padi. Tangan terlalu kecil menggenggam gagang arit (semacam golok yang melengkung pada bagian ujungnya). Dikepala berkecemuk sejuta tanya. Kenapa harus dibabat. Bukankah belum saatnya tanaman2 diakhiri hidupnya. Bukankan padi2 masih sangat muda untuk jadi beras. Penjelasan singkat ayahnya tentang keharusan mengganti tanaman tidak mampu dicerna oleh belia usianya yang baru menginjak 7 tahun. Namun Fatah tidak berani bertanya lebih jauh. Jawaban sang ayah sudah bisa ditebak. "Anak kecil, ikut saja apa yang Bapak bilang", nanti kamu akan paham".

Tahun sebelumnya, Fatah masih terlalu kecil untuk berfikir. Fatah lebih suka bermain dengan anak2 tetangga yang sebaya. Tidak begitu perduli dengan apa yang dilakukan Ibu dan Ayahnya. Yang dia tahu, saat perut terasa lapar, nasi dan lauk pauk telah siap untuk disantap. Jika haus, ada minum yang tersedia diceret atau kendi. Sesekali, ketika ada penjual keliling, dengan sedikit rengekan, akan mendapatkan keberuntungan. Mendapatkan apa yang dia mau. Sekalipun ada bonus omelan dari sang bunda.

Fatah kecil semakin tak mengerti ketika sang ayah kembali mengolah lahan sawahnya. Dia duduk termenung, sambil sesekali pikirannya melayang pada indahnya lamunan. Menghayal menjadi dokter, tentara, atau guru. Sedikitpun tidak pernah terpikir untuk menjadi petani, seperti sang Ayah. Kegagahan tentara dengan seragamnya lengkap plus senjata api menghujam hasratnya kelelakiannya. Namun, kadang mimpinya sirna ketika menyaksikan dokter berkendaraan mewah sekejap mampir ke puskesmas kumuh dekat kampungnya.

"Lek... ambilkan Bapak minum". teriakan sang ayah membuyarkan lamunannya. "Iya Pak.." jawab Fatah singkat. Fatah kecil kembali pada dunia nyata. Kaki mungilnya membenam coklatnya lumpur. "Besok, kamu bantu ibu untuk mulai menam kangkung yo lek". Sebuah permintaan halus sang Ayah. Permintaan yang berarti perintah bagi sang anak. Menami lagi? apakah tanaman ini akan mengalami nasib yang sama dengan sang padi. dihabisi sebelum waktunya panen? sejenak Fatah bertanya dalam hati. Hanya dalam hati.. ya, cukup dalam hati saja. Rasa enggan mendapatkan jawaban tak memuaskan dari sang Ayah mengurungkan niat untuk mengetahui lebih jauh.

Fatah membutuhkan waktu untuk bisa mengerti, mengapa sang ayah menebas seluruh tanaman padi sebelum waktunya. Harus rela kehilangan modal; dari mulai benih, pupuk dan tenaga perawatan selama 2 bulan tanpa hasil. Modal dan tenaga yang dikeluarkan harus rela diserahkan kepada sang ternak. Namun, jika Ayahnya nekat mempertahankan tanaman padinya, keluarga ini sama sekali tidak akan mendapatkan apa2. Sebuah pilihan dalam sebuah drama kehidupan pada daerah rawan bencana banjir.

Toyib mulai menjelaskan dengan lembut kepada Fatah kecil ketika banjir mulai merendam seluruh areal sawahnya. Saat tolek fatah kembali diajak ayahnya untuk memetik daun dan batang kangkung. Dengan perahu kecil tanpa cadik dan layar. "Liat lek, kalau kita tidak mengganti tanaman. Kita tidak akan bisa makan apa2 dari sawah kita. Karena padi tidak akan mampu bertahan hidup jika terendam air lebih dari satu minggu".

Toyib dan banyak keluarga di Kebumen melakukan itu dengan sebuah keyakinan. Lokasi pertaniannya yang berada pada daerah cekungan dan menjadi tempat parkir limpahan 2 aliran sungai. Setiap tahun, saat musim hujan, daerahnya menjadi nampan raksasa air bak kopi susu. Paling sebentar, air coklat tua tersebut ngendon pada lahan pertanian selama 2 minggu. Waktu yang cukup untuk membunuh tanaman padi jenis unggulan. Padi yang sama sekali tidak diperuntukan terendam air dalam waktu yang lama. Padi yang diciptakan hanya menggenjot produktifitas dan memperpendek masa tanam serta "konon" tahan terhadap hama.

Tidak diketahui pasti, kapan adaptasi itu mulai dilakukan penduduk desa dan memilih tanaman kangkung sebagai alternatif tanaman. Tanaman yang mampu berproduksi pada saat air menenggelamkan seluruh areal persawahan. Bahkan sebagian rumah-rumah penduduk. Adaptasi lain adalah tersedianya perahu2 kecil sebagai sarana transportasi warga serta model rumah. Umumnya warga meninggikan pondasi rumah serta memiliki loteng untuk menyimpan barang2 berharga dari banjir.

Kesadaran atas ancaman banjir telah betul2 disadari warga desa. Mengamati fenomena alam pun telah menjadi pekerjaan rutin ketika musim pengujan tiba. Roda semakin digalakan. tanda2 bahaya telah disepakati jika sewaktu2 banjir kiriman dari daerah hulu datang. berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan terus dilakukan warga masyarakat. Memperkuat tanggul, menanami tanaman disepanjang DAS, atau membangun sistem kesiapsiagaan dan deteksi dini.
Justru yang masih monoton dan tidak siap adalah dari pemerintah itu sendiri. Organisasi yang diciptakan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah.

Pragmatisme selalu ditunjukan dalam penanggulangan banjir. Bahkan, ancaman bencana dijadikan sebagai project untuk mendapatkan hutang luar negari. Normalisasi sungai, pelurusan sungai, atau pembuatan tanggul beton. Sedangkan kekuatan2 yang telah tercipta ditingkat diabaikan. Kesiapsiagaan yang telah ada, tidak dijadikan sebagai starting point untuk dikembangkan. Mitigasi yang telah ada tidak didorong untuk terus dikembangkan menjadi sebuah sistem pengelolaan bencana berbasis masyarakat.

Banjir yang terjadi tidak bisa dilepaskan dengan wilayah hulu. menjadi sia-sia tentunya ketika persoalan banjir diwilayah tengah dan hilir yang diakibatkan wilayah hulu tidak disentuh sama sekali. Pola hubungan warga masyarakat hulu - hilir yang seharusnya dibangun justru dikotakan atas dasar administrasi kewenangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan pengkotakan kewenangan lain yang bersifat sektoral. Perhutani, PU, pertanian, bahkan pada sub dinas. belum lagi ketika persoalan menyangkut kewenangan pusat dan daerah.

Tapi, inilah realitas kehidupan pada Negara Republik Indonesia tercinta. Slogan "untuk kepentingan rakyat", cukup berhenti pada saat acara seremonial. Pada kenyataannya, kepentingan lah yang akan berbicara. sedangkan berbagai problem rakyat, rakyat lah yang harus menanggung beban. Bahkan, rakyat masih harus dipaksa mensubsidi negara.

Kondisi ini akan semakin tidak menentu ketika dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman. Musim hujan yang lebih besar volumenya, musim kering yang lebih panjang serta naiknya permukaan air laut. Mampukan Fatah kecil kembali mensiasatinya dengan kearifan lokalnya. atau, Fatah yang akan tumbuh menjadi dewasa dan menggantikan peran sang ayah collapse terlindas fenomena alam yang datang lebih cepat.

terlindungi & terselamatkan dari bencana.. adalah HAK DASAR MANUSIA

No comments: