Panikkk.. semua serba sibuk. Kurang dari 24 jam hajatan rakyat yang dikelola WALHI akan berlangsung. Sebagian besar peserta telah dalam perjalanan menuju Ibu Kota Negara RI. Naik bus, kereta atau kapal laut. Sedangkan yang menggunakan jalur udara, besok pagi mereka baru berangkat.
Tanpa muka2 layu para volunteer yang bekerja keras menyiapkan pesta rakyat ini. Suara keras menggelegar, atau kadang tawa renyah mengiasi hari2 sekretarian panitia di kantor WALHI, Jl. Tegal parang utara 14, Mampang. Umpatan, atau sekedar menggerutu pun menjadi hiasan dari menit ke menit. Namun canda tawa bak menghapus setahun kemarau lewat satu jam hujan. Itulah kesukarelawanan.... bekerja untuk membangun sebuah mimpi.. rakyat harus berdaulat.
yang mengharukan, tidak hanya dari jakarta yang bergerombol secara sukarela, bersama2 menyiapkan pesta rakyat ini. Bandung dan bogor ikut merapat. Saat kegiatan, volunteer2 dari pun siap bergabung untuk mensukseskan kegiatan ini. paling tdk, lampung, jambi, jogja telah menyiapkan diri untuk itu.
Sungguh mengharukan dan membanggakan.
Yang menyedihkan justru pembuktian kalau Dept. Agama adalah institusi negara yang terkorup. Penggunaan asrama haji, sebagai sarana publik betul untuk kegiatan ini betul2 dimanfaatkan. Ruang pertemuan dengan kapasitas 1.500 orang hanya disediakan kursi 150 biji. jika mau nambah.. sewa. Lapangan parkir pun dihargai permeter. Belum lagi komitmen yang gak pernah bisa dipegang. siapa mampu membayar lebih, dialah yang akan terfasilitasi dengan baik. sungguh menyedihkan. sebuah institusi yang konon dibuat untuk mendekatkan diri kepada illahi, justru menjadi media yang menjauhkan dari sang maha pencipta.
Seberapa siap kita mampu mengelola even sebesar IPC?
Pertanyaan ini akan terjawab dari mulai 30 Juni - 3 Juli 2007. Even yang akan dihadiri 1.700 orang ini akan membuktikan, kemampuan WALHI dalam mengelola sebuah rapat akbar masyarakat sipil. even yang diharapkan akan mampu menghasilkan berbagai resolusi, deklarasi dan rencana aksi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana.
Satu tekad yang masih terus bertahan dan akan terus dipertahankan...
Mendorong kedaulatan rakyat tidak hanya sekedar jargon...
terimakasih kawan2 volunteer WALHI. Tidak akan pernah diragukan komitmen kalian untuk WALHI. Bukan.. bukan untuk WALHI, tapi untuk mimpi besar bersama...
Rakyat terlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana.....
Terlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana... adalah HAK DASAR MANUSIA.. lihat juga beberapa tulisan tentang pengelolaan risiko bencana di http://www.sofyan-eyanks.blogspot.com/
Friday, June 29, 2007
Monday, June 25, 2007
KETIDAK PEDULIAN & KERENTANAN BENCANA
"Yang mampu menyelesaikan masalah yang ada di Negeri ini adalah rakyat itu sendiri"..
Rakyat sendiri???? bisakah? bukankah pemerintah dibentuk untuk melayani warga negara. warga negara berarti ya rakyat itu sendiri. Lha kok malah rakyatnya yang harus menyelesaikan sendiri. Lalu fungsinya pemerintah apa? Bukankan mereka menerima segara fasilitas dari dan atas nama rakyat untuk menjalankan mandat itu.
Tapi kalau dipelototin dengan baik dan benar... itulah yang terjadi. tidak akan pernah terjadi sebuah perubahan kalau si rakyat tidak menginginkan perubahan tersebut. Gak akan pernah... dan gak pernah ada sejarah mencatat kalau perubahan itu datang dari sang pegawai negara.
Kekuasaan itu cenderung korup. atau lebih tepat... kekuasaan itu menghantarkan orang baik jadi jahat..
betulkah???
Indonesia, sebagai negara terkorup membuktikan itu. Logikanya, untuk menjadi seorang pegawai negara, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Paling enggak.. untuk penerimaan pegawai negara republik indonesia, secara terbuka dipatok antara Rp. 40 jeti. Tidak semua sih... ada beberapa gelintir yang memang menjadi pegawai negara tanpa harus menjual sawah, menjual ternak atau ngutang ke sanak saudara. tapi prosentase... kecccciiiilllllll.
Kondisi ini gak perlu pembuktian kan. karena memang udah bukan rahasia umum.
Jangankan untuk jadi pegawai negara, yang terjamin kehidupannya lewat pensiun. Untuk masuk sekolah SD, ngurus KTP, bahkan surat keterangan kehilangan dan kematian, kita perlu merogoh kocek. Untuk bekerja biar aman gak terganggu, pun dibutuhkan sogokan. uang keamanan bilangnya.
Korupsi dan Kerentanan Masyarakat
Sudah jelas, sangat erat kaitannya korupsi menciptakan kerentanan. Akibat korupsi yang telah mendarah daging, maka terjadi kerentanan warga negara. Apalagi tingkat kerawanan kawasan yang sangat tinggi di negeri ini. Bukan rahasia umum jika negari ini dilewati cincin api atau kerennya ring of fire. Adalah fakta juga kalau negari ini dihimpit tiga lempeng bumi aktif yan g saling menekan. So.. gempa dan tsunami serta erupsi gunungapi merupakan realitas akan dihadapi. topografi yang bergunung2 dengan jenis tanah yang beragam pula menyimpan ancaman lain. Ditambah dua musim yang mencengkram negari ini. Banjir, longsor, wabah pun menjadi keniscayaan.
Apa hubungannya dengan korupsi? Pengabaian dan ketidak pedulian atas potensi ancaman yang ada karena korupsi. Para pengambil kebijakan seharusnya tahu implikasi dari kebijakan yang dikeluarkannya. Namun kerena pelicin yang diterimanya, mengabaikan risiko dan dampak yang akan terjadi. Pemberian izin pemanfaatan hutan (HPH) misalnya. Apakah mereka yang diberi wewenang ngurus hutan buta tuli jika eksploitasi hutan dilakukan? Apalagi secara besar2an. Apakah mereka juga gak paham jika pembukaan hutan untuk perkebunan sawit akan menciptakan bencana?
Demikian juga dengan kebijakan lain. Tambang, tata ruang, kelautan atau air dan tanah. Tidak tahu, tidak peduli atau...????
Tidak ada yang tidak selesai dengan uang. Semakin berisiko maka semakin besar sogokan yang harus dikeluarkan. Sogokan akan bertambah jika dampak yang dihasilkan telah berbuah bencana. karena akan muncul pemeras2 lain dengan mulut penuh liur. penegak hukum. Industri media pun kadang ikut bermain jika gak tahan godaan. Preman2 pun akan ikut hajatan ketika tekanan semakin besar.
Wuihhhhh.... gak peduli, bencana yang tercipta telah menyengsarakan 10, 100, 1.000, 10.000 atau 1.000.000 bahkan lebih. Gak penting.. toh dia dan keluarganya gak kena. sekalipun kena... yang penting tidak terkena untuk dirinya sendiri. Bahkan bisa menciptakan keuntungan baru. Itulah wajah rakyat kita.
Ketidak pedulian atas kehidupan kolektif inilah yang menyebabkan negari ini terus terkungkung dalam derita. Tidak peduli atas nasib yang menimpa orang lain dan membiarkan mereka berjuang hidup sendiri. Ketika mereka yang tergusur, menderita dan sekarat melakukan protes, yang muncul justru cibiran. Bahkan umpatan karena membuat perjalanannya terganggu (macet boooo karena ada aksi demonstrasi).
Mengapa begitu sulit menghimpun kekuatan kolektif rakyat. Padahal.. secara kongrit, mereka pun bagian dari korban dari sistem, korban dari kebijakan dan korban perampasan hak. hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan kesehatan, hak mendapatkan air bersih, hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan hak mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari ancaman bencana.
Tidak merasa atau takut.. atau memang tidak peduli.. asalkan tidak menimpa dirinya sendiri.
Rakyat sendiri???? bisakah? bukankah pemerintah dibentuk untuk melayani warga negara. warga negara berarti ya rakyat itu sendiri. Lha kok malah rakyatnya yang harus menyelesaikan sendiri. Lalu fungsinya pemerintah apa? Bukankan mereka menerima segara fasilitas dari dan atas nama rakyat untuk menjalankan mandat itu.
Tapi kalau dipelototin dengan baik dan benar... itulah yang terjadi. tidak akan pernah terjadi sebuah perubahan kalau si rakyat tidak menginginkan perubahan tersebut. Gak akan pernah... dan gak pernah ada sejarah mencatat kalau perubahan itu datang dari sang pegawai negara.
Kekuasaan itu cenderung korup. atau lebih tepat... kekuasaan itu menghantarkan orang baik jadi jahat..
betulkah???
Indonesia, sebagai negara terkorup membuktikan itu. Logikanya, untuk menjadi seorang pegawai negara, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Paling enggak.. untuk penerimaan pegawai negara republik indonesia, secara terbuka dipatok antara Rp. 40 jeti. Tidak semua sih... ada beberapa gelintir yang memang menjadi pegawai negara tanpa harus menjual sawah, menjual ternak atau ngutang ke sanak saudara. tapi prosentase... kecccciiiilllllll.
Kondisi ini gak perlu pembuktian kan. karena memang udah bukan rahasia umum.
Jangankan untuk jadi pegawai negara, yang terjamin kehidupannya lewat pensiun. Untuk masuk sekolah SD, ngurus KTP, bahkan surat keterangan kehilangan dan kematian, kita perlu merogoh kocek. Untuk bekerja biar aman gak terganggu, pun dibutuhkan sogokan. uang keamanan bilangnya.
Korupsi dan Kerentanan Masyarakat
Sudah jelas, sangat erat kaitannya korupsi menciptakan kerentanan. Akibat korupsi yang telah mendarah daging, maka terjadi kerentanan warga negara. Apalagi tingkat kerawanan kawasan yang sangat tinggi di negeri ini. Bukan rahasia umum jika negari ini dilewati cincin api atau kerennya ring of fire. Adalah fakta juga kalau negari ini dihimpit tiga lempeng bumi aktif yan g saling menekan. So.. gempa dan tsunami serta erupsi gunungapi merupakan realitas akan dihadapi. topografi yang bergunung2 dengan jenis tanah yang beragam pula menyimpan ancaman lain. Ditambah dua musim yang mencengkram negari ini. Banjir, longsor, wabah pun menjadi keniscayaan.
Apa hubungannya dengan korupsi? Pengabaian dan ketidak pedulian atas potensi ancaman yang ada karena korupsi. Para pengambil kebijakan seharusnya tahu implikasi dari kebijakan yang dikeluarkannya. Namun kerena pelicin yang diterimanya, mengabaikan risiko dan dampak yang akan terjadi. Pemberian izin pemanfaatan hutan (HPH) misalnya. Apakah mereka yang diberi wewenang ngurus hutan buta tuli jika eksploitasi hutan dilakukan? Apalagi secara besar2an. Apakah mereka juga gak paham jika pembukaan hutan untuk perkebunan sawit akan menciptakan bencana?
Demikian juga dengan kebijakan lain. Tambang, tata ruang, kelautan atau air dan tanah. Tidak tahu, tidak peduli atau...????
Tidak ada yang tidak selesai dengan uang. Semakin berisiko maka semakin besar sogokan yang harus dikeluarkan. Sogokan akan bertambah jika dampak yang dihasilkan telah berbuah bencana. karena akan muncul pemeras2 lain dengan mulut penuh liur. penegak hukum. Industri media pun kadang ikut bermain jika gak tahan godaan. Preman2 pun akan ikut hajatan ketika tekanan semakin besar.
Wuihhhhh.... gak peduli, bencana yang tercipta telah menyengsarakan 10, 100, 1.000, 10.000 atau 1.000.000 bahkan lebih. Gak penting.. toh dia dan keluarganya gak kena. sekalipun kena... yang penting tidak terkena untuk dirinya sendiri. Bahkan bisa menciptakan keuntungan baru. Itulah wajah rakyat kita.
Ketidak pedulian atas kehidupan kolektif inilah yang menyebabkan negari ini terus terkungkung dalam derita. Tidak peduli atas nasib yang menimpa orang lain dan membiarkan mereka berjuang hidup sendiri. Ketika mereka yang tergusur, menderita dan sekarat melakukan protes, yang muncul justru cibiran. Bahkan umpatan karena membuat perjalanannya terganggu (macet boooo karena ada aksi demonstrasi).
Mengapa begitu sulit menghimpun kekuatan kolektif rakyat. Padahal.. secara kongrit, mereka pun bagian dari korban dari sistem, korban dari kebijakan dan korban perampasan hak. hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan kesehatan, hak mendapatkan air bersih, hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan hak mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari ancaman bencana.
Tidak merasa atau takut.. atau memang tidak peduli.. asalkan tidak menimpa dirinya sendiri.
Friday, June 22, 2007
BERJUANG YUUUUU.... BUT FOR WHAT?
"hidup adalah perjuangan.. perjuangan butuh pengorbanan. takut berkorban, jangan berjuang. takut berjuang.. jangan hidup".
begitu kira2 ungkapan spirit anak2 muda tahun 1980-an. Paling gak, ungkapan itu begitu populer dikalangan anak2 smu zamanku dulu. Begitu populer karena hampir ditulis ditiap buku pelajaran. entah nulisnya saat iseng, ngantuk menghadapi ocehan guru fisika, atau jengkel karena diputusin pacar. atau mungkin juga saat melawan rasa frustasi karena ditolak cintanya sama sang pujaan hati. whatever lah????
Berjuang... berjuang ayo berjuang...
Berjuang yang seperti apa? berjuang untuk apa?
Banyak orang sekarang mempertakan makna perjuangan. Berjuang untuk apa lek? Pikir dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain?
Jelas berbeda ketika sebelum taon '45, begitu telanjang makna dari perjuangan. Panggul senjata (sekalipun cuma banu runcing), atau menyiapkan logistik untuk para petempur (aku lebih suka menggunakan kata itu, karena para ibu yang menyediakan makanan, yang menyembunyikan para petempur dan alat2 perang juga pejuang kan???)
Makna tersebut tentu masih relevan kalau di Irak, Afganistan, atau Timur Tengah yang bergolak).
Sayup-sayup syair lagu darah juang mengalun. Semakin lama semakin jelas. Nyala semangat sekelompok orang jelas terlihat. Terik matahari diabaikan. Hujan pun tak menyurutkan mereka untuk membubarkan diri. Suara lentang penuh semangat pun merobek hiruk pikuk lalu lalang lalu lintas. "Hancurkan tirani, Gayang keangkuhan... Turunkan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat". "Perjuangan ini belum selesai kawan.. tak surut langkah sebelum cita2 terkabul".
Kata perjuangan atau berjuang kembali mengalun. Bertumburan dengan pertanyaan pasimistis, berjuang untuk apa? berjuang untuk kepentingan siapa? Berjuang atas ajakan siapa?
Sebagai anak muda idealis, pertanyaan pasimistis pasati langsung digasak.
Bagaimana gak, mereka betul2 tulus mengorbankan kepentingannya, keluarganya, lingkungannya... atau bahkan masa depannya. demi sebuah keyakinan. Perubahan hakiki. Perubahan yang gak cuma jargon. gak cuma celoteh merdu para elit yang saat ini menempati berbagai posisi dari perubahan sandiwara.. REFORMASI.
Tapi kadang, nyala api semangat yang membara terlalu polos. Bersih bak kain putih keluar dari pabrik textile. Kepolosan terbungkus gelora semangat dan kadang.. kesombongan. Hingga.. tanpa sadar, mereka kerap menjadi bulan2an si mulut manis kaki tangan para bromocorah politik. Rela mengorbankan semua yang mereka punya, untuk kepentingan sesaat sang aktor.
Guncangan bumi yang tiba2, gelombang pasang air laut masuk daratan, atau matrial perut bumi menenggelamkan ribuan rumah. Ratusan ton matrial atau air menghancurkan kampung.. meninggalkan kepedihan. Tanpa kabar.. tanpa isyarat. Bencana.. begitu tiba2 datang. kemiskinan pun tercipta sebagai dampak terdahsyat. Mereka pun harus berjuang untuk tetap bisa bertahan hidup.
Berjuang... mereka berjuang untuk dirinya sendiri. berjuang untuk keluarganya dan untuk komunitasnya. Jarang ada harapan mereka untuk dapat kembali pada kehidupan sebelumnya. Karena fakta.... mereka akan ditinggalkan setelah gegap gumpita respon darurat. Sementara... para bandit2 berpesta menikmati hak2 warga korban bencana. Langsung maupun tidak langsung. Ini adalah realitas bung.. not dream or illusion. You must ready if you want to live in republic of disaster.
tentu kita masih ingat, bagaimana dana bencana dialihkan untuk asuransi atau perubahan dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Dijadikan pundi2 para wakil rakyat melalui percaloan. Dialihkan untuk pembangunan gedung olah raga atau.... perjalanan dinas. Tentu kita pun masih ingat, bagaimana bencana dijadikan alat untuk mengajukan hutang baru. Membuka ruang untuk memasukan sampah2 tak berguna dengan alasan untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Kembali lagi.. kata berjuang berkumandang. Berjuang untuk siapa? berjuang untuk apa?
Masyarakat bahorok telah lebih dari 2 tahun melantunkan dana sedih. Warga Nabire mencibir atas ketidak jelasan masa depan yang ditawarkan negara. Warga Jogja pun harus puas menciptakan kehidupan bermartabat dengan 15 juta. Pangandaran, Sinjai, Pesisir selatan atau Sumatra Barat. Bahkan banyak warga yang hanya menelan ludah karena sang pembawa mandat gak peduli. Akh... cuma 3 orang yang mati.... busyet dah???
Lalu... apa yang secara hakiki diperjuangkan saat ini? Melawan pembawa mandat negara yang telah berkhianat? atau berjuang melawan apatisme dan egoisme? Untuk siapa?
Tentu untuk rakyat, untuk warga kebanyakan yang tertindas?
Lah... wong yang diperjuangkan (rakyat atau kaum marjinal) aja gak merasakan itu. Buktinya... mereka gak pernah punya keinginan untuk terlibat dalam perjuangan...
Lalu................ kita berjuang untuk siapa ya? atau jangan2, kita ini hanya berhalunisasi... bermimpi sebagai pejuang sejati pada waktu dan tempat yang salah
begitu kira2 ungkapan spirit anak2 muda tahun 1980-an. Paling gak, ungkapan itu begitu populer dikalangan anak2 smu zamanku dulu. Begitu populer karena hampir ditulis ditiap buku pelajaran. entah nulisnya saat iseng, ngantuk menghadapi ocehan guru fisika, atau jengkel karena diputusin pacar. atau mungkin juga saat melawan rasa frustasi karena ditolak cintanya sama sang pujaan hati. whatever lah????
Berjuang... berjuang ayo berjuang...
Berjuang yang seperti apa? berjuang untuk apa?
Banyak orang sekarang mempertakan makna perjuangan. Berjuang untuk apa lek? Pikir dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain?
Jelas berbeda ketika sebelum taon '45, begitu telanjang makna dari perjuangan. Panggul senjata (sekalipun cuma banu runcing), atau menyiapkan logistik untuk para petempur (aku lebih suka menggunakan kata itu, karena para ibu yang menyediakan makanan, yang menyembunyikan para petempur dan alat2 perang juga pejuang kan???)
Makna tersebut tentu masih relevan kalau di Irak, Afganistan, atau Timur Tengah yang bergolak).
Sayup-sayup syair lagu darah juang mengalun. Semakin lama semakin jelas. Nyala semangat sekelompok orang jelas terlihat. Terik matahari diabaikan. Hujan pun tak menyurutkan mereka untuk membubarkan diri. Suara lentang penuh semangat pun merobek hiruk pikuk lalu lalang lalu lintas. "Hancurkan tirani, Gayang keangkuhan... Turunkan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat". "Perjuangan ini belum selesai kawan.. tak surut langkah sebelum cita2 terkabul".
Kata perjuangan atau berjuang kembali mengalun. Bertumburan dengan pertanyaan pasimistis, berjuang untuk apa? berjuang untuk kepentingan siapa? Berjuang atas ajakan siapa?
Sebagai anak muda idealis, pertanyaan pasimistis pasati langsung digasak.
Bagaimana gak, mereka betul2 tulus mengorbankan kepentingannya, keluarganya, lingkungannya... atau bahkan masa depannya. demi sebuah keyakinan. Perubahan hakiki. Perubahan yang gak cuma jargon. gak cuma celoteh merdu para elit yang saat ini menempati berbagai posisi dari perubahan sandiwara.. REFORMASI.
Tapi kadang, nyala api semangat yang membara terlalu polos. Bersih bak kain putih keluar dari pabrik textile. Kepolosan terbungkus gelora semangat dan kadang.. kesombongan. Hingga.. tanpa sadar, mereka kerap menjadi bulan2an si mulut manis kaki tangan para bromocorah politik. Rela mengorbankan semua yang mereka punya, untuk kepentingan sesaat sang aktor.
Guncangan bumi yang tiba2, gelombang pasang air laut masuk daratan, atau matrial perut bumi menenggelamkan ribuan rumah. Ratusan ton matrial atau air menghancurkan kampung.. meninggalkan kepedihan. Tanpa kabar.. tanpa isyarat. Bencana.. begitu tiba2 datang. kemiskinan pun tercipta sebagai dampak terdahsyat. Mereka pun harus berjuang untuk tetap bisa bertahan hidup.
Berjuang... mereka berjuang untuk dirinya sendiri. berjuang untuk keluarganya dan untuk komunitasnya. Jarang ada harapan mereka untuk dapat kembali pada kehidupan sebelumnya. Karena fakta.... mereka akan ditinggalkan setelah gegap gumpita respon darurat. Sementara... para bandit2 berpesta menikmati hak2 warga korban bencana. Langsung maupun tidak langsung. Ini adalah realitas bung.. not dream or illusion. You must ready if you want to live in republic of disaster.
tentu kita masih ingat, bagaimana dana bencana dialihkan untuk asuransi atau perubahan dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Dijadikan pundi2 para wakil rakyat melalui percaloan. Dialihkan untuk pembangunan gedung olah raga atau.... perjalanan dinas. Tentu kita pun masih ingat, bagaimana bencana dijadikan alat untuk mengajukan hutang baru. Membuka ruang untuk memasukan sampah2 tak berguna dengan alasan untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Kembali lagi.. kata berjuang berkumandang. Berjuang untuk siapa? berjuang untuk apa?
Masyarakat bahorok telah lebih dari 2 tahun melantunkan dana sedih. Warga Nabire mencibir atas ketidak jelasan masa depan yang ditawarkan negara. Warga Jogja pun harus puas menciptakan kehidupan bermartabat dengan 15 juta. Pangandaran, Sinjai, Pesisir selatan atau Sumatra Barat. Bahkan banyak warga yang hanya menelan ludah karena sang pembawa mandat gak peduli. Akh... cuma 3 orang yang mati.... busyet dah???
Lalu... apa yang secara hakiki diperjuangkan saat ini? Melawan pembawa mandat negara yang telah berkhianat? atau berjuang melawan apatisme dan egoisme? Untuk siapa?
Tentu untuk rakyat, untuk warga kebanyakan yang tertindas?
Lah... wong yang diperjuangkan (rakyat atau kaum marjinal) aja gak merasakan itu. Buktinya... mereka gak pernah punya keinginan untuk terlibat dalam perjuangan...
Lalu................ kita berjuang untuk siapa ya? atau jangan2, kita ini hanya berhalunisasi... bermimpi sebagai pejuang sejati pada waktu dan tempat yang salah
Wednesday, June 20, 2007
COMMUNITY BASE DISASTER MANAGEMENT.. KERENN!!!
Community Base Disaster Management.. keren ya. Tentu sangat keren segala kata ketika dienggriskan. Kalau di endonesiakan seolah menurun kualitasnya. Itulah hebatnya kata2.. lebih hebat lagi si bahasa penjajah, bahasa kapitalis yang sekarang udah resmi se resmi2nya jadi bahasa internasional. Akan ketinggalan pesawat dalam kehidupan sekarang kalau gak bisa speak2 english. Contohnya gw sendiri.. he. he...
Seolah menjadi orang bodooooooohhhhh banget ketika berhadapan dengan sekelompok orang yang cas cis cus.. sekalipun bule nya cuma satu ekor. 10 ekor lainnya melayu.
Bagaimana dengan substansi itu sendiri. Pengelolaan bencana berbasis masyarakat. Sebuah upaya terpadu, terinternalisasi dalam kehidupan sehari2, secara sadar kritis mengurangi risiko dan dampak bencana. CBDRM memang jadi populer sejak tsunami menggempur Aceh-Nias. Beda banget dengan tahun 90-an, ketika gw mulai belajar sekaligus jalanin di lereng Merapi. Gak banyak bahan bacaan yang siap saji. Ada, eh... pake bahasa kapitalis pula. Jadi harap maklum... kalau bukunya lebih banyak dijadikan hiasan. Belajar dari pengalaman... trial and error ja'e.
Dulu orang berkerut jidatnya kalau mendengar CBDM (sebelumnya belom ada R = risk). Sekarang, wuihhhh... orang begitu antusias lho. Seolah, gengsi kalau dibilang gak tahu tentang CBDRM. kalaupun gak jelas juga, apakah beneran muka berbinar penuh semangat itu dibarengin sama pemahaman dan ketertarikan untuk pengembangan CBDRM. tapi gw sendiri, lebih suka make pengelolaan bencana oleh masyarakat ajah.
Pengelolaan bencana oleh masyarakat beda gak dengan pengelolaan bencana berbasis masyarakat om eyanks? He.. he.. itu yang kerap dilontarkan banyak orang
Bisa beda bisa enggak sih. Tergantung orangnya memahami berbasis itu apa. WALHI sendiri menggunakan oleh untuk menegaskan saja untuk menempatkan masyarakat sebagai subject utama. Dengan menggunakan "oleh", menurut WALHI gak bisa tergantikan. Gak ada justifikasi yang bisa dipake untuk menempatkan masyarakat sebagai simbol. Implikasinya tentu sangat berat. Baik dalam kontek implementasi maupun pembuktian. Tapi itu konsekwensi yang harus diambil ditengah maraknya pengrajin project yang menempatkan CBDRM sebagai issue garapannya.
Masyarakat sebagai perencana dan pelaku
Merencanakan adalah bagian penting dari sebuah aksi. Terlalu banyak orang mengabaikan perencanaan untuk sebuah kegiatan. Bahkan pada orang yang menempatkan perencanaan sangat penting sekalipun. Contohnya ya para aktifis NGELESM itu. Masa iya, mau mengajak demo untuk perubahan kebijakan, hanya didiskusikan 1 minggu, bahkan ada yang cuma dua hari. itu pun kagak intensip. cuma 2 kali rapat ajah. weleh.. weleh..
Sebuah perencanaan pun tidak lepas dari analisis situasi, kecenderungan isu, aktor2 yang berkepentingan atau bahasa kerennya stake holders, kepasitas diri selain kebutuhan2 kenapa sebuah kegiatan dibutuhkan. Selain item2 tersebut, posisi masyarakat lah yang sangat penting. Tidak hanya keterlibatan, tapi masyarakat yang betul2 sebagai pelaku.
Susah lho melibatkan masyarakat sepenuhnya. Bisa dibayangkan, untuk satu desa aja (apalagi kalau di Jawa), bisa ribuan orang. Gimana caranya bisa melibatkan semua? Disinilah letak kecerdasan dan keterbukaan serta kepercayaan dibutuhkan. Kecerdasan artinya harus mempu berfikir, media apa, methode, atau materi apa yang bisa dipake. Juga peluang2 yang paling mungkin digunakan, resources yang dapat dimobilisasi dll. Keterbukaan adalah membuka diri terhadap input dari manapun. Keterbukaan pun harus bersifat aktif. Bukan gaya SBY atau para pejabat negeri ini yang hanya menggunakan "Open House". Kepercayaan, adalah percaya pada proses, percaya dengan individu dan kelompok atau organisasi yang ada.
Struktur dan sistem sosial serta administrasi di negari ini sudah sangat memadai. masalah hanya pada konsistensi dan mungkin tidak maksimal dikelola. Ditingkat yang paling kecil ada RT (rukun tangga), naik ke Rukum Warga, Dusun (jika di pedesaan), ada juga istilah jorong, gampong dll. Naik lagi ada kelurahan atau kantor desa sampai ke kabupaten.
Untuk bisa mensosialisasikan atau mengundang warga untuk sebuah rencana kerja atau akan membuat rencana, jika memanfaatkan struktur tersebut, sebesar apapun agenda yang akan dibuat dapat dilakukan. Gak ada dana...??? itu alasan banyak pemda ketika ngomong tentang keterlibatan masyarakat secara masif. makanya, jangan heran, kalau mereka cuma ambil satu dua ekor warga, dan dijustifiasi udah melibatkan warga. Nah.. apakah ornop yang protes mulu dengan gaya pemerintah juga akan melakukan hal yang sama????
Apakah seluruh warga harus ikut? Yang terpenting dari proses tersebut, warga harus tahu bahwa keterlibatan mereka penting. Implikasi jika gak terlibat juga tahu. dan apa pula implikasi ke depan buat kehidupan mereka. Kalau itu udah disampaikan dan pahami, kalau warga tetep gak mau ikut, itu adalah hak warga juga untuk tidak berpartisipasi. dan yang lebih penting adalah, woro2 tentang undangan atau sosialisai nilai penting (strategis) untuk sebuah pembahasan harus betul2 sampai dan dipahami warga. Pilihan ada di warga, ikut atau tidak ikut.
Masyarakat sebagai penentu kebijakan
Rakyat adalah pemegang mandat tertinggi. Melalui sistem kenegaraan Republik Disaster ini diterjemahkan dengan perwakilan. Ya.. DPR dan DPRD itu. sebelumnya, keterwakilan ditentukan oleh 3 Parpol resmi Negara. Rakyat cuma dikasih kesempatan nyoblos partai.
Sekarang rakyat udah milih langsung calon, tapi ternyata intervensi partai masih tetep menentukan, kalau gak masuk kuota. Presiden, gubernur ampe bupati pun sekarang dah dipilih langsung. Jadi, ya.. mau apalagi... menjadi sah kalau mereka memutuskan atas nama rakyat. contohnya pemerintah, ya dengan memutuskan mendukung resolusi PBB untuk kasih sangsi ke Iran. Kalau DPR mah lebih banyak lagi.. sekalipun keputusan2nya jauh dari kepentingan rakyat. Contohnya ya minta laptop ditengah banyaknya kejadian bencana.
Mengembalikan fungsi dan peran, rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat gak gampang. harus dimulai dari tingkat yang paling bawah. Tingkat dusun, atau RT. Setelah keputusan dibuat, gak serta merta selesai, perlu pengawasan atas keputusan tersebut. jagnan sampe diselewengkan untuk kepentingan yang lain.
Pada tataran ringan, ya dalam penyusunan rencana ditingkat kelompok atau dusun lah. Mempuat perencanaan program pengelolaan bencana oleh masyarakat. Yo kita coba, selain mengurangi risiko bencana yang menjadi fokus utama, juga mereduksi dominasi para elit atau tokoh dalam mengambil kebijakan. dari mulai rencana, sampe monitoringnya
he.. he.. kok gak nyambung ya dengan judul di atas. bodo akh... ambil aja manfaatnya kalau ada.. kalau gak, ya gak usah dianggap apa2.
Seolah menjadi orang bodooooooohhhhh banget ketika berhadapan dengan sekelompok orang yang cas cis cus.. sekalipun bule nya cuma satu ekor. 10 ekor lainnya melayu.
Bagaimana dengan substansi itu sendiri. Pengelolaan bencana berbasis masyarakat. Sebuah upaya terpadu, terinternalisasi dalam kehidupan sehari2, secara sadar kritis mengurangi risiko dan dampak bencana. CBDRM memang jadi populer sejak tsunami menggempur Aceh-Nias. Beda banget dengan tahun 90-an, ketika gw mulai belajar sekaligus jalanin di lereng Merapi. Gak banyak bahan bacaan yang siap saji. Ada, eh... pake bahasa kapitalis pula. Jadi harap maklum... kalau bukunya lebih banyak dijadikan hiasan. Belajar dari pengalaman... trial and error ja'e.
Dulu orang berkerut jidatnya kalau mendengar CBDM (sebelumnya belom ada R = risk). Sekarang, wuihhhh... orang begitu antusias lho. Seolah, gengsi kalau dibilang gak tahu tentang CBDRM. kalaupun gak jelas juga, apakah beneran muka berbinar penuh semangat itu dibarengin sama pemahaman dan ketertarikan untuk pengembangan CBDRM. tapi gw sendiri, lebih suka make pengelolaan bencana oleh masyarakat ajah.
Pengelolaan bencana oleh masyarakat beda gak dengan pengelolaan bencana berbasis masyarakat om eyanks? He.. he.. itu yang kerap dilontarkan banyak orang
Bisa beda bisa enggak sih. Tergantung orangnya memahami berbasis itu apa. WALHI sendiri menggunakan oleh untuk menegaskan saja untuk menempatkan masyarakat sebagai subject utama. Dengan menggunakan "oleh", menurut WALHI gak bisa tergantikan. Gak ada justifikasi yang bisa dipake untuk menempatkan masyarakat sebagai simbol. Implikasinya tentu sangat berat. Baik dalam kontek implementasi maupun pembuktian. Tapi itu konsekwensi yang harus diambil ditengah maraknya pengrajin project yang menempatkan CBDRM sebagai issue garapannya.
Masyarakat sebagai perencana dan pelaku
Merencanakan adalah bagian penting dari sebuah aksi. Terlalu banyak orang mengabaikan perencanaan untuk sebuah kegiatan. Bahkan pada orang yang menempatkan perencanaan sangat penting sekalipun. Contohnya ya para aktifis NGELESM itu. Masa iya, mau mengajak demo untuk perubahan kebijakan, hanya didiskusikan 1 minggu, bahkan ada yang cuma dua hari. itu pun kagak intensip. cuma 2 kali rapat ajah. weleh.. weleh..
Sebuah perencanaan pun tidak lepas dari analisis situasi, kecenderungan isu, aktor2 yang berkepentingan atau bahasa kerennya stake holders, kepasitas diri selain kebutuhan2 kenapa sebuah kegiatan dibutuhkan. Selain item2 tersebut, posisi masyarakat lah yang sangat penting. Tidak hanya keterlibatan, tapi masyarakat yang betul2 sebagai pelaku.
Susah lho melibatkan masyarakat sepenuhnya. Bisa dibayangkan, untuk satu desa aja (apalagi kalau di Jawa), bisa ribuan orang. Gimana caranya bisa melibatkan semua? Disinilah letak kecerdasan dan keterbukaan serta kepercayaan dibutuhkan. Kecerdasan artinya harus mempu berfikir, media apa, methode, atau materi apa yang bisa dipake. Juga peluang2 yang paling mungkin digunakan, resources yang dapat dimobilisasi dll. Keterbukaan adalah membuka diri terhadap input dari manapun. Keterbukaan pun harus bersifat aktif. Bukan gaya SBY atau para pejabat negeri ini yang hanya menggunakan "Open House". Kepercayaan, adalah percaya pada proses, percaya dengan individu dan kelompok atau organisasi yang ada.
Struktur dan sistem sosial serta administrasi di negari ini sudah sangat memadai. masalah hanya pada konsistensi dan mungkin tidak maksimal dikelola. Ditingkat yang paling kecil ada RT (rukun tangga), naik ke Rukum Warga, Dusun (jika di pedesaan), ada juga istilah jorong, gampong dll. Naik lagi ada kelurahan atau kantor desa sampai ke kabupaten.
Untuk bisa mensosialisasikan atau mengundang warga untuk sebuah rencana kerja atau akan membuat rencana, jika memanfaatkan struktur tersebut, sebesar apapun agenda yang akan dibuat dapat dilakukan. Gak ada dana...??? itu alasan banyak pemda ketika ngomong tentang keterlibatan masyarakat secara masif. makanya, jangan heran, kalau mereka cuma ambil satu dua ekor warga, dan dijustifiasi udah melibatkan warga. Nah.. apakah ornop yang protes mulu dengan gaya pemerintah juga akan melakukan hal yang sama????
Apakah seluruh warga harus ikut? Yang terpenting dari proses tersebut, warga harus tahu bahwa keterlibatan mereka penting. Implikasi jika gak terlibat juga tahu. dan apa pula implikasi ke depan buat kehidupan mereka. Kalau itu udah disampaikan dan pahami, kalau warga tetep gak mau ikut, itu adalah hak warga juga untuk tidak berpartisipasi. dan yang lebih penting adalah, woro2 tentang undangan atau sosialisai nilai penting (strategis) untuk sebuah pembahasan harus betul2 sampai dan dipahami warga. Pilihan ada di warga, ikut atau tidak ikut.
Masyarakat sebagai penentu kebijakan
Rakyat adalah pemegang mandat tertinggi. Melalui sistem kenegaraan Republik Disaster ini diterjemahkan dengan perwakilan. Ya.. DPR dan DPRD itu. sebelumnya, keterwakilan ditentukan oleh 3 Parpol resmi Negara. Rakyat cuma dikasih kesempatan nyoblos partai.
Sekarang rakyat udah milih langsung calon, tapi ternyata intervensi partai masih tetep menentukan, kalau gak masuk kuota. Presiden, gubernur ampe bupati pun sekarang dah dipilih langsung. Jadi, ya.. mau apalagi... menjadi sah kalau mereka memutuskan atas nama rakyat. contohnya pemerintah, ya dengan memutuskan mendukung resolusi PBB untuk kasih sangsi ke Iran. Kalau DPR mah lebih banyak lagi.. sekalipun keputusan2nya jauh dari kepentingan rakyat. Contohnya ya minta laptop ditengah banyaknya kejadian bencana.
Mengembalikan fungsi dan peran, rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat gak gampang. harus dimulai dari tingkat yang paling bawah. Tingkat dusun, atau RT. Setelah keputusan dibuat, gak serta merta selesai, perlu pengawasan atas keputusan tersebut. jagnan sampe diselewengkan untuk kepentingan yang lain.
Pada tataran ringan, ya dalam penyusunan rencana ditingkat kelompok atau dusun lah. Mempuat perencanaan program pengelolaan bencana oleh masyarakat. Yo kita coba, selain mengurangi risiko bencana yang menjadi fokus utama, juga mereduksi dominasi para elit atau tokoh dalam mengambil kebijakan. dari mulai rencana, sampe monitoringnya
he.. he.. kok gak nyambung ya dengan judul di atas. bodo akh... ambil aja manfaatnya kalau ada.. kalau gak, ya gak usah dianggap apa2.
Indonesia People Conference
Membangun Kekuatan Kolektif Masyarakat untuk Mereduksi Risiko dan Dampak Bencana Ekologis
Negara Indonesia memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Jajaran gunung api - pacific ring of fire, memunculkan ancaman erupsi gunungapi. Tiga lempeng bumi yang terus bergerak memunculkan ancaman gempa dan tsunami. Kawasan tropis pun berisiko terhadap acaman banjir, longsor, wabah penyakit. Tidak ditempatkannya potensi ancaman bencana dalam segala sektor, menjadikan 83 % kawasan Indonesia menjadi rawan bencana. Kondisi ini semakin diperburuk dengan belum dijadikannya ancaman sebagai pengetahuan dan kemampuan yang harus dimiliki rakyatnya. Akibatnya, 98 % dari 220 juta warga tidak siap menghadapi ancaman bencana. Potensi ancaman semakin bertambah dengan dampak pemanasan global yang telah nyata dirasakan banyak negara.
Hasil-hasil pembangunan dapat hilang dalam hitungan detik. Penderitaan warga terkena bencana pun cenderung berkepanjangan kerena pendekatan hanya difokuskan pada saat kejadian bencana. Paska bencana, cenderung terlupakan. Terlupakan oleh adanya bencana lain yang juga mengorbankan jiwa dan harta.
Paska bencana gempa dan tsunami di Aceh – Nias, DPR mengajukan usul RUU Penanggulangan Bencana. RUU PB telah disahkan tanggal 29 Maret 2007. Terlepas kekurangan yang ada, Indonesia telah memiliki payung hukum pengelolaan bencana. Penanggulangan yang tidak hanya dititik tekankan saat terjadinya bencana. Persoalan kelembagaan yang tidak efektif karena bersifat ad hock telah dijawab melalui Badan Nasional/Daerah Penanggulangan Bencana. Badan yang berperan aktif sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.
Tindakan progresif lain dalam pengelolaan bencana di Indonesia adalah disahkannya Rencana Strategis Nasional (RAN) Pengurangan Risiko Bencana (PRB) oleh BAPPENAS – BAKORNAS PBP. Sekalipun tidak mempunyai kekuatan hukum, strategi ini menjadi acuan dalam pembangunan nasional. Beberapa daerah seperti Yogjakarta, Aceh dan Jawa Tengah saat ini dalam proses penyusunan RAD PRB sebagai turunan RAN PRB.
Sisi lain, kebijakan PSDA masih cenderung ekstraktif. Ekstraksi PSDA akan semakin memburuk karena restorasi SDA tidak dilakukan secara maksimal dan serius. Kondisi ini semakin kontras dengan dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Pada beberapa daerah yang tidak pernah terkena amukan angin ribut, saat ini terkena. Demikian juga dengan kenaikan air laut menenggelamkan pemukiman dan wilayah pesisir. Kacaunya system alamini pula menyebabkan terjadinya gagal tanam dan gagal panen.
Latar Belakang
Banjir besar di Aceh, menutup tahun 2006. 96 orang tewas dan memaksa 110.000 warga mengungsi dan merelakan aset-aset kehidupannya rusak atau bahkan musnah. Awal Februari, Jakarta, Ibu Kota Negara RI lumpuh. 57 orang tewas. 422.300 jiwa mengungsi di tempat-tempat tidak layak. Berdesakan, bercampur antara bayi, anak-anak serta laki-laki dan perempuan pada ruang sempit. Bahkan di tempat-tempat terbuka.
Bencana di Indonesia adalah keniscayaan. Secara alamiah, Kawasan Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatra, Jawa, Bali-Nustra, Sulawesi dan Maluku. Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah, iklim tropis serta lahan gambut.
Kondisi ini semakin diperparah dengan diabaikannya dan tidak dipedulikannya ancaman dalam seluruh aspek kenegaraan. Ketidaksiapan menyebabkan ancaman dengan mudah berubah menjadi bencana. Gempa dan tsunami di Aceh-Nias serta gempa bumi di Jogjakarta adalah contoh kongkrit. Sekalipun pemicu bencana adalah alam, namun tidak ditempatkannya potensi ancaman oleh manusia menyebabkan dampak bencana menjadi lebih besar. Kondisi seperti ini merata di seluruh wilayah Indonesia.
Ketidaksiapan (kerentanan) atas risiko dan dampak bencana merupakan kunci atas terjadinya bencana. Kondisi ini menentukan banyaknya korban jiwa, harta maupun rusaknya lingkungan. Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta dan jaminan menjalani kehidupan bermartabat paska bencana. Hal yang terpenting dan masih terabaikan adalah : penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi dan warga terkena dampak bencana menjadi lebih baik, lebih kuat dan lebih siap menghadapi ancaman dan dampak bencana berikutnya.
WALHI mencatat, selama 2006 telah terjadi 135 kejadian bencana ekologis. Lebih dari 7.000 jiwa meninggal dan lebih dari 10 juta warga terpaksa menjadi pengungsi. Tingginya intensitas bencana menyebabkan Negara harus merubah anggaran negara (APBN) tahun 2006 dari Rp 500 milyar menjadi Rp 2,9 triliyun pada APBN Perubahan tahun 2007 untuk penanganan bencana di Indonesia. Kondisi ini menunjukan, daam penyusunan anggaran negara, potensi ancaman dan kerentanan warga belum dijadikan dasar. Demikian juga berbagai upaya integral pengurangan risiko dan dampak bencana.
Hal yang positif adalah telah disahkannya RUU PB dan RUU Tata ruang menjadi kebijakan resmi Negara. Terlepas kekurangan yang ada, masih dibutuhkan perangkat perundangan lain untuk mengimplementasikannya, baik berupa peraturan pemerintah atau Keputusan Presiden. UU memandatkan pemerintah untuk membuatnya perangkat operesional tersebut dalam waktu 6 bulan sejak diundangkan. Itidakat positif lain adalah telah ditetapkannya Rencana Aksi Nasional Pengurangan risiko bencana (RAN PRB).
Kebijakan lain terkait pengurangan risiko bencana adalah yang masih proses pembahasan adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam, pesisir dan keluatan serta pulau-pulau kecil, Migas, Ilegal logging, persampahan, dan Ibu Kota Negara. Rancangan Undang-undang ini perlu mendapatkan pengawalan maksimal sehingga dapat secara sinergis mampu meredam risiko bencana.
Sisi lain, terdapat kebijakan yang cenderung dan potensial meningkatkan risiko bencana. Perpres 36/2004, Perpu No 1/2001 tentang pertambangan dikawasan lindung, UU Investasi, Maupun kebijakan-kebijakan ekstraktif. Kontradiksi kebijakan dapat melahirkan benturan kepentingan. Pendekatan kekuasaan cenderung mengalahkan berbagai pertimbangan ilmiah maupun sosial kultur. Kondisi ini akan terus belanjut jika masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai warga negara. Perubahan iklim (climate change) adalah realias. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam “Climate change impact, adaptation and vulnerablity” menunjukan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Krisis air dan pangan, kesehatan, badai, kekeringan, banjir-longsor adalah hal telah mulai dirasakan dampaknya.
Indonesia tidak lepas dari dampak pemanasan global. Akibat naiknya air laut, diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Banjir-longsor serta badai akan semakin parah. Perubahan iklim pun akan menurunkan produktifitas pangan. Perubahan suhu dan curah hujan memungkinkan pemindahan distribusi nyamuk malaria dan demam berdarah. Penyakit lain yang akan mengancam sampai pada kematian adalah diare dan kolera.
WALHI sebagai organisasi masyarakat sipil melihat, persoalan-persoalan di atas perlu direspon dan disikapi secara serius. Ancaman bagi kehidupan dan keberlanjutannya merupakan hal terpenting untuk segera diterjemahkan dengan berbagai tindakan nyata. Kerja kolektif seluruh unsur, khususnya ditingkat masyarakat akan menentukan kehidupannya itu sendiri. Kehidupan yang bermartabat. Sebagaimana mandat berdirinya Negara Republik Indonesia : “Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah..” termasuk dari seluruh ancaman bencana.
Tujuan
1. Menghimpun pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencana ekologis berbasis hak
2. Mengkonsolidasikan kekuatan rakyat sebagai kekuatan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mengurangi risiko dan dampak bencana
3. Merumuskan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai potensi ancaman bencana.
4. Melakukan tekanan politik untuk mengubah arah kebijakan/ pola pembangunan
Hasil yang diharapkan
1. Terhimpunnya pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencana ekologis berbasis hak
2. Terkonsolidasinya kekuatan rakyat sebagai kekuatan kontrol dan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mereduksi risiko bencana.
3. Adanya rumusan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas kondisi ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai pontensi ancaman bencana
4. Adanya agenda kolektif – implemantatif untuk menjalankan resolusi-resolusi yang terumuskan
Jenis Kegiatan
Bentuk kegiatan adalah :
1. Seminar/stadium general dan lokakarya:
2. Dialog
3. Workshop perumusan
4. Public campaign
5. Civil society declaration on disaster risk reduction.
1. Pra kegiatan
a. Pengelolaan dan disiminasi data - informasi
b. fokus group diskusi di tingkat wilayah
c. musyarakat wilayah
2. Konferensi Rakyat Indonesia
a. Seminar/stadium general : Mensinergiskan gerakan sosial, kebijakan dan rencana aksi pengurangan risiko bencana dalam system kehidupan dan kenegaraan berbasis hak.
b. Lokakarya : a) pengurangan risiko bencana dan b) management bencana
c. Dialog tematik : Perubahan iklim, ancaman bencana dan tantangan adaptasi.
d. Workshop perumusan “civil society declaration on disaster risk reduction”
e. Hight level policy dialog and Public hearing
f. Campaign public : a) press briefing, b) pameran dan c) dialog tematik dan pentas budaya
g. Civil society declaration on ecological disaster risk reduction
3. Paska kegiatan – keberlanjutan project
a. pengelolaan dan disiminasi data - informasi
b. high level policy dialog ditingkat wi- layah
c. Public hearing ditingkat wilayah
d. Kampanye dan pengorganisasian publik ditingkat nasional dan wilayah
e. Policy monitoring
Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan ini bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta telp. 021. 80883155, dari tanggal 30 Juni - 4 Juli 2007. Peserta telah sampai ke lokasi kegiatan maksimal 30 Juni 2007.
Peserta Kegiatan
Peserta Konferensi Rakyat Indonesia untuk pengurangan risiko bencana ekologis direncanakan dapat dihadiri 1.165 orang perwakilan dari 150 Kabupaten di 26 propinsi di Indonesia.
Dampak
Posisi tawar rakyat dengan pemangku kepentingan semakin kuat sehingga upaya reduksi risiko bencana tidak lagi didominasi oleh pemerintah, akademisi atau kelompok lain dengan mengatasnamakan Rakyat. Reduksi resiko bencana akan lebih melibatkan masyarakat berdasarkan kekuatan kolektif dan sumberdaya lokal.
Proses pembahasan penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan reduksi bencana (RUU Pengalolaan Sumberdaya alam) maupun kebijakan yang berpotensi meningkatkan kerentanan (RUU Minerba) semakin termonitor dan menjadi persoalan publik. Proses ini juga akan berdampak pada penterjemahan ditingkat daerah dalam berbagai upaya pengurangan risiko bencana, seperti penyusunan RAD PRB sebagai terjemahan dari RAN PRB,
Raperda penaggulangan Bencana, anggaran belanja daerah dll. Dan Terlibatnya warga masyarakat dalam agenda mengurangi risiko bencana secara masif.
Memberi kontribusi bagi terwujudnya proses demokratisasi dan akselarasi pengelolaan Sumber Daya alam yang berkeadilan, berkedaulatan rakyat dan berkelanjutan.
Indikator
Dari sisi kuantitas, indikator akan dilihat dari kehadiran jumlah peserta. Kegiatan akan berhasil jika dihadiri 75 % dari target peserta. Kegiatan pun akan dikatakan berhasil jika sesuai dengan waktu, agenda sesuai dengan yang direncanakan serta dan pendanaan tidak melebihi 15 % kelebihan anggaran.
Sedangkan dari sisi kualitas, indikator keberhasilan dalam dilihat dari :
• Keberagaman gender; ada keseimbangan antara jumlah peserta laki-laki dan perempuan serta dari sisi usia.
• Keberagaman perwakilan ; peserta mewakili seluruh wilayah sebagai target group kegiatan
• Keluaran hasil ; hasil-hasil kegiatan sesuai dengan capaian yang direncanakan; rencana aksi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana dan deklarasi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana serta perumusan rekomendasi isu sektoral
•Untuk publikasi dan mejadi awal gerapan massa;
kegiatan di liput selama : 2 minggu sebelum dan 2
minggu sesudah kegiatan :
•Delapan Televisi Nasional, 10 Radio nasional dan internasional, 12 Koran/Majalah Nasional dan 8 Koran lokal
Informasi lebih lanjut “Indonesia People Conference” :
Hubungi hotline
WALHI Eksekutif Nasional
Jl. Tegal Parang Utara No 14 Jakarta 12790
Telp : 021.794 1672, 7919 3363
Fax : 021.794 1673
www.walhi.or.id
email : info@walhi.or.id
Kontak person : Andi Armansyah (0815 1066 5310), Riza Damanik
(0818 77 3515), Syahrul Sagala (0813 8667 2188), Sofyan (0811 18 3760)
Eksekutif Daerah WALHI di masing-masing propinsi.
Negara Indonesia memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Jajaran gunung api - pacific ring of fire, memunculkan ancaman erupsi gunungapi. Tiga lempeng bumi yang terus bergerak memunculkan ancaman gempa dan tsunami. Kawasan tropis pun berisiko terhadap acaman banjir, longsor, wabah penyakit. Tidak ditempatkannya potensi ancaman bencana dalam segala sektor, menjadikan 83 % kawasan Indonesia menjadi rawan bencana. Kondisi ini semakin diperburuk dengan belum dijadikannya ancaman sebagai pengetahuan dan kemampuan yang harus dimiliki rakyatnya. Akibatnya, 98 % dari 220 juta warga tidak siap menghadapi ancaman bencana. Potensi ancaman semakin bertambah dengan dampak pemanasan global yang telah nyata dirasakan banyak negara.
Hasil-hasil pembangunan dapat hilang dalam hitungan detik. Penderitaan warga terkena bencana pun cenderung berkepanjangan kerena pendekatan hanya difokuskan pada saat kejadian bencana. Paska bencana, cenderung terlupakan. Terlupakan oleh adanya bencana lain yang juga mengorbankan jiwa dan harta.
Paska bencana gempa dan tsunami di Aceh – Nias, DPR mengajukan usul RUU Penanggulangan Bencana. RUU PB telah disahkan tanggal 29 Maret 2007. Terlepas kekurangan yang ada, Indonesia telah memiliki payung hukum pengelolaan bencana. Penanggulangan yang tidak hanya dititik tekankan saat terjadinya bencana. Persoalan kelembagaan yang tidak efektif karena bersifat ad hock telah dijawab melalui Badan Nasional/Daerah Penanggulangan Bencana. Badan yang berperan aktif sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.
Tindakan progresif lain dalam pengelolaan bencana di Indonesia adalah disahkannya Rencana Strategis Nasional (RAN) Pengurangan Risiko Bencana (PRB) oleh BAPPENAS – BAKORNAS PBP. Sekalipun tidak mempunyai kekuatan hukum, strategi ini menjadi acuan dalam pembangunan nasional. Beberapa daerah seperti Yogjakarta, Aceh dan Jawa Tengah saat ini dalam proses penyusunan RAD PRB sebagai turunan RAN PRB.
Sisi lain, kebijakan PSDA masih cenderung ekstraktif. Ekstraksi PSDA akan semakin memburuk karena restorasi SDA tidak dilakukan secara maksimal dan serius. Kondisi ini semakin kontras dengan dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Pada beberapa daerah yang tidak pernah terkena amukan angin ribut, saat ini terkena. Demikian juga dengan kenaikan air laut menenggelamkan pemukiman dan wilayah pesisir. Kacaunya system alamini pula menyebabkan terjadinya gagal tanam dan gagal panen.
Latar Belakang
Banjir besar di Aceh, menutup tahun 2006. 96 orang tewas dan memaksa 110.000 warga mengungsi dan merelakan aset-aset kehidupannya rusak atau bahkan musnah. Awal Februari, Jakarta, Ibu Kota Negara RI lumpuh. 57 orang tewas. 422.300 jiwa mengungsi di tempat-tempat tidak layak. Berdesakan, bercampur antara bayi, anak-anak serta laki-laki dan perempuan pada ruang sempit. Bahkan di tempat-tempat terbuka.
Bencana di Indonesia adalah keniscayaan. Secara alamiah, Kawasan Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatra, Jawa, Bali-Nustra, Sulawesi dan Maluku. Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah, iklim tropis serta lahan gambut.
Kondisi ini semakin diperparah dengan diabaikannya dan tidak dipedulikannya ancaman dalam seluruh aspek kenegaraan. Ketidaksiapan menyebabkan ancaman dengan mudah berubah menjadi bencana. Gempa dan tsunami di Aceh-Nias serta gempa bumi di Jogjakarta adalah contoh kongkrit. Sekalipun pemicu bencana adalah alam, namun tidak ditempatkannya potensi ancaman oleh manusia menyebabkan dampak bencana menjadi lebih besar. Kondisi seperti ini merata di seluruh wilayah Indonesia.
Ketidaksiapan (kerentanan) atas risiko dan dampak bencana merupakan kunci atas terjadinya bencana. Kondisi ini menentukan banyaknya korban jiwa, harta maupun rusaknya lingkungan. Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta dan jaminan menjalani kehidupan bermartabat paska bencana. Hal yang terpenting dan masih terabaikan adalah : penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi dan warga terkena dampak bencana menjadi lebih baik, lebih kuat dan lebih siap menghadapi ancaman dan dampak bencana berikutnya.
WALHI mencatat, selama 2006 telah terjadi 135 kejadian bencana ekologis. Lebih dari 7.000 jiwa meninggal dan lebih dari 10 juta warga terpaksa menjadi pengungsi. Tingginya intensitas bencana menyebabkan Negara harus merubah anggaran negara (APBN) tahun 2006 dari Rp 500 milyar menjadi Rp 2,9 triliyun pada APBN Perubahan tahun 2007 untuk penanganan bencana di Indonesia. Kondisi ini menunjukan, daam penyusunan anggaran negara, potensi ancaman dan kerentanan warga belum dijadikan dasar. Demikian juga berbagai upaya integral pengurangan risiko dan dampak bencana.
Hal yang positif adalah telah disahkannya RUU PB dan RUU Tata ruang menjadi kebijakan resmi Negara. Terlepas kekurangan yang ada, masih dibutuhkan perangkat perundangan lain untuk mengimplementasikannya, baik berupa peraturan pemerintah atau Keputusan Presiden. UU memandatkan pemerintah untuk membuatnya perangkat operesional tersebut dalam waktu 6 bulan sejak diundangkan. Itidakat positif lain adalah telah ditetapkannya Rencana Aksi Nasional Pengurangan risiko bencana (RAN PRB).
Kebijakan lain terkait pengurangan risiko bencana adalah yang masih proses pembahasan adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam, pesisir dan keluatan serta pulau-pulau kecil, Migas, Ilegal logging, persampahan, dan Ibu Kota Negara. Rancangan Undang-undang ini perlu mendapatkan pengawalan maksimal sehingga dapat secara sinergis mampu meredam risiko bencana.
Sisi lain, terdapat kebijakan yang cenderung dan potensial meningkatkan risiko bencana. Perpres 36/2004, Perpu No 1/2001 tentang pertambangan dikawasan lindung, UU Investasi, Maupun kebijakan-kebijakan ekstraktif. Kontradiksi kebijakan dapat melahirkan benturan kepentingan. Pendekatan kekuasaan cenderung mengalahkan berbagai pertimbangan ilmiah maupun sosial kultur. Kondisi ini akan terus belanjut jika masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai warga negara. Perubahan iklim (climate change) adalah realias. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam “Climate change impact, adaptation and vulnerablity” menunjukan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Krisis air dan pangan, kesehatan, badai, kekeringan, banjir-longsor adalah hal telah mulai dirasakan dampaknya.
Indonesia tidak lepas dari dampak pemanasan global. Akibat naiknya air laut, diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Banjir-longsor serta badai akan semakin parah. Perubahan iklim pun akan menurunkan produktifitas pangan. Perubahan suhu dan curah hujan memungkinkan pemindahan distribusi nyamuk malaria dan demam berdarah. Penyakit lain yang akan mengancam sampai pada kematian adalah diare dan kolera.
WALHI sebagai organisasi masyarakat sipil melihat, persoalan-persoalan di atas perlu direspon dan disikapi secara serius. Ancaman bagi kehidupan dan keberlanjutannya merupakan hal terpenting untuk segera diterjemahkan dengan berbagai tindakan nyata. Kerja kolektif seluruh unsur, khususnya ditingkat masyarakat akan menentukan kehidupannya itu sendiri. Kehidupan yang bermartabat. Sebagaimana mandat berdirinya Negara Republik Indonesia : “Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah..” termasuk dari seluruh ancaman bencana.
Tujuan
1. Menghimpun pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencana ekologis berbasis hak
2. Mengkonsolidasikan kekuatan rakyat sebagai kekuatan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mengurangi risiko dan dampak bencana
3. Merumuskan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai potensi ancaman bencana.
4. Melakukan tekanan politik untuk mengubah arah kebijakan/ pola pembangunan
Hasil yang diharapkan
1. Terhimpunnya pengetahuan kolektif masyarakat sipil untuk pengurangan risiko dan dampak bencana ekologis berbasis hak
2. Terkonsolidasinya kekuatan rakyat sebagai kekuatan kontrol dan penekan untuk memastikan berjalannya berbagai upaya mereduksi risiko bencana.
3. Adanya rumusan resolusi-resolusi progresif sebagai respon atas kondisi ketidakpastian keberlangsungan kehidupan yang bermartabat dari berbagai pontensi ancaman bencana
4. Adanya agenda kolektif – implemantatif untuk menjalankan resolusi-resolusi yang terumuskan
Jenis Kegiatan
Bentuk kegiatan adalah :
1. Seminar/stadium general dan lokakarya:
2. Dialog
3. Workshop perumusan
4. Public campaign
5. Civil society declaration on disaster risk reduction.
1. Pra kegiatan
a. Pengelolaan dan disiminasi data - informasi
b. fokus group diskusi di tingkat wilayah
c. musyarakat wilayah
2. Konferensi Rakyat Indonesia
a. Seminar/stadium general : Mensinergiskan gerakan sosial, kebijakan dan rencana aksi pengurangan risiko bencana dalam system kehidupan dan kenegaraan berbasis hak.
b. Lokakarya : a) pengurangan risiko bencana dan b) management bencana
c. Dialog tematik : Perubahan iklim, ancaman bencana dan tantangan adaptasi.
d. Workshop perumusan “civil society declaration on disaster risk reduction”
e. Hight level policy dialog and Public hearing
f. Campaign public : a) press briefing, b) pameran dan c) dialog tematik dan pentas budaya
g. Civil society declaration on ecological disaster risk reduction
3. Paska kegiatan – keberlanjutan project
a. pengelolaan dan disiminasi data - informasi
b. high level policy dialog ditingkat wi- layah
c. Public hearing ditingkat wilayah
d. Kampanye dan pengorganisasian publik ditingkat nasional dan wilayah
e. Policy monitoring
Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan ini bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta telp. 021. 80883155, dari tanggal 30 Juni - 4 Juli 2007. Peserta telah sampai ke lokasi kegiatan maksimal 30 Juni 2007.
Peserta Kegiatan
Peserta Konferensi Rakyat Indonesia untuk pengurangan risiko bencana ekologis direncanakan dapat dihadiri 1.165 orang perwakilan dari 150 Kabupaten di 26 propinsi di Indonesia.
Dampak
Posisi tawar rakyat dengan pemangku kepentingan semakin kuat sehingga upaya reduksi risiko bencana tidak lagi didominasi oleh pemerintah, akademisi atau kelompok lain dengan mengatasnamakan Rakyat. Reduksi resiko bencana akan lebih melibatkan masyarakat berdasarkan kekuatan kolektif dan sumberdaya lokal.
Proses pembahasan penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan reduksi bencana (RUU Pengalolaan Sumberdaya alam) maupun kebijakan yang berpotensi meningkatkan kerentanan (RUU Minerba) semakin termonitor dan menjadi persoalan publik. Proses ini juga akan berdampak pada penterjemahan ditingkat daerah dalam berbagai upaya pengurangan risiko bencana, seperti penyusunan RAD PRB sebagai terjemahan dari RAN PRB,
Raperda penaggulangan Bencana, anggaran belanja daerah dll. Dan Terlibatnya warga masyarakat dalam agenda mengurangi risiko bencana secara masif.
Memberi kontribusi bagi terwujudnya proses demokratisasi dan akselarasi pengelolaan Sumber Daya alam yang berkeadilan, berkedaulatan rakyat dan berkelanjutan.
Indikator
Dari sisi kuantitas, indikator akan dilihat dari kehadiran jumlah peserta. Kegiatan akan berhasil jika dihadiri 75 % dari target peserta. Kegiatan pun akan dikatakan berhasil jika sesuai dengan waktu, agenda sesuai dengan yang direncanakan serta dan pendanaan tidak melebihi 15 % kelebihan anggaran.
Sedangkan dari sisi kualitas, indikator keberhasilan dalam dilihat dari :
• Keberagaman gender; ada keseimbangan antara jumlah peserta laki-laki dan perempuan serta dari sisi usia.
• Keberagaman perwakilan ; peserta mewakili seluruh wilayah sebagai target group kegiatan
• Keluaran hasil ; hasil-hasil kegiatan sesuai dengan capaian yang direncanakan; rencana aksi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana dan deklarasi masyarakat sipil untuk pengurangan risiko bencana serta perumusan rekomendasi isu sektoral
•Untuk publikasi dan mejadi awal gerapan massa;
kegiatan di liput selama : 2 minggu sebelum dan 2
minggu sesudah kegiatan :
•Delapan Televisi Nasional, 10 Radio nasional dan internasional, 12 Koran/Majalah Nasional dan 8 Koran lokal
Informasi lebih lanjut “Indonesia People Conference” :
Hubungi hotline
WALHI Eksekutif Nasional
Jl. Tegal Parang Utara No 14 Jakarta 12790
Telp : 021.794 1672, 7919 3363
Fax : 021.794 1673
www.walhi.or.id
email : info@walhi.or.id
Kontak person : Andi Armansyah (0815 1066 5310), Riza Damanik
(0818 77 3515), Syahrul Sagala (0813 8667 2188), Sofyan (0811 18 3760)
Eksekutif Daerah WALHI di masing-masing propinsi.
Wednesday, June 13, 2007
Menjelang Indonesia People Conference
14 hari lagi kawan... 30 Juni - 03 Juli 2007, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta..
WALHI bersama 1200 warga negari sejuta bencana.. akan mencoba membongkar mitos, hidup bertabat dapat terwujud. Sinergis antar warga dapat dilakukan dalam satu tekad dan tujuan. cukup sudah, 200 ribu warga Aceh menjadi korban gempa dan tsunami. 7000 warga Jogja dan klaten jadi korban gempa. 700 warga pesisir jawa tergulung tsunami. Dan ribuan lainnya tertimbun tanah longsor, tersapu banjir bandang, terendam banjir atau peluru2 nyasar. cukup juga korban sia2 akibat wabah tak tertangani...
Reduksi bencana ekologis sekarang.... Mari bersama dan bersatu.. untuk satu tuntutan, hak atas perlindungan dan keselamatan dari berbagai ancaman bencana
Semua manusia di dunia, pasti sudah mengenal Indonesia. Negara dengan segudang julukan.. dari yang indah, sampe yang busuk. Dari Negara terkorup sampe nominator guiness book of record untuk perusakan hutan. Untuk urusan korban dan penanganannya, Indonesia juga mendapatkan angka merah. Pada musim asap, Indonesia pun melesat menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar. Weleh.. weleh.. welehhhhhh.... hebat tho???
Indonesia menempati rengking 10 besar.
Itulah Negeri yang zaman baheula disebut dengan zamrud katulistiwa. Negeri yang diincar para penjajah dari berbagai daratan untuk ditaklukan. Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa membuat liur para pengeruk untung tak tertampung jika hanya ditampung 10 biji ember. Tak heren, kalau para pedagang dan negara2 eropa rela mengeluarkan investasi besar. termasuk menginvestatikan nyawa para serdadu. Kekayaan alam yang luar biasa tentu dengan perhitungan cermat akan menutup biaya investasi yang dikeluarkan. Modal serebu, dapat sepuluh juta.
Paska tsunami rata menyapu pemukiman sepanjang pesisir selatan, barat sampai utara tanah rencong, semua mata tertuju ke Indonesia. Sebelumnya, orang lebih mengenal Bali dibanding Indonesia sebagai Negara. Setelah 26 Desember 2004, satu lagi daerah terkenal di Indonesia go public. Nangroe Aceh Darusalam. Daerah paling ujung Negeri yang dimerdekakan tahun 1945 ini menjadi sangat terkenal. Negeri yang seharusnya telah terkenal karena didera kemelut bersenjata. Negeri yang seharusnya menjadi perhatian dunia karena pelanggaran HAM. Negeri yang juga menghasilkan gas alas terbesar. Tapi nyatanya, terkenalnya aceh karena 200 ribu jiwa meninggal secara berjamaah digulung gelombang salah jalur. tsunami.
Ketika Aceh collapse karena bencana, semua orang mungkin sedikit maklum. Dampak yang luar biasa karena Aceh memang dalam dekapan ketidak amanan. Gak main2, 30 puluh tahun konflik bersenjata menghimpit Aceh. Maklum ketika tidak sempat informasi dan pengetahuan tentang risiko gempa dan tsunami sampai ke warga masyarakat. Tidak pula banyak kesempatan dapat dilakukan untuk membangun kesiapsiagaan, membangun pola adaptasi dll. mensikapi ancaman bencana. Permakluman pun berlanjut ketika kacau balaunya penanganan bencana. Semua negara tidak akan sanggup menangani bencana sebesar Aceh-Nias. Termasuk Amrik si super power. Apalagi Aceh masih dalam masa konflik. Maklum.. dan harap maklum...
Tapi, apakah masih maklum ketika bencana merobek ketentraman warga di Pulau Jawa. Negeri yang selama ini menjadi pusat segala pusat di Indonesia. 27 Mei 2006 Gempa mengoyak kehidupan warga Bantul, Gunungkidul, Sleman, Kulonprogo, Kodya sampe Klaten. Tsunami kembali menggulung pesisir pangandaran yang sebelumnya dianggap aman damai oleh sang Bupati. Ibu Kota pun direndam pelarian air dari wilayah sekitarnya. dan terakhir, banjir pasang secara merata kembali memporak porandakan desa2 sepanjang pesisir Jawa. dan Penanganan pun sami mawon. tetap gagap, tetep kacau balau.
68 % bencana yang terjadi akibat dari kerusakan lingkungan. Bahkan kalau kita mau jujur, berbicara dengan hati nurani, dampak bencana yang luar biasa tidak lepas dari manusia itu sendiri. Gempa bisa terjadi akibat tumbukan lempeng bumi. erupsi bisa jadi karena Gunungapi batuk karena terserang flu. Atau puting beliung karena angin yang gak punya mata. Tapi, kerusakan sebagai dampak kan karena manusia mengabaikan potensi ancaman itu sendiri. Bangunan tidak disiapkan untuk menyambut goyangan bumi dengan SR atau MMI tertentu. Bikin rumah gak liat2 dulu jalur awan panas. Tata ruang dibuat lebih atas dasar potensial pengembangan kawasan. Akibatnya, ada gula ada semut.. Pusat2 ekonomi secara otomatis akan menjadi pusat pertumbuhan penduduk.
Celaka lagi, warga yang tinggal pada kawasan rawan, tidak disiapkan pula informasi, pengetahuan dan kemampuannya untuk memahami dan menghadapi ancaman bencana. Bahkan, ancaman bencana yang disampaikan segelintir orang dianggap fitnah, gosip, provokator dll. SEhingga gak perlu didengar, kalau perlu dicari dan gantung karena dianggap menghambat investasi dan meresahkan warga. Kalau tertangkap dan terbukti, bisa jadi si penabar gosip kena pasal teroris, sparatis atau bahkan makar. karena telah mengganggu stabilitas negara.
Negeri ini kaya akan ancaman, itu harus disadar dan diakui dengan lapang dada. Lalu, bagaimana mensikapinya setelah kesadaran tersebut muncul. Ya, tentu harus mulai dilakukan berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. sehingga risiko dan dampak bisa direduksi. itu idealnya kan. sehingga semua kebijakan, sistem, prilaku dll searah. disaster risk reduction for safety and protect of citizen. because.. it's a basic right of human.
tapi, ketika pemerintahnya sebagai pengemban mandat negara ndableg, gak peduli, gak urus, what can you do hai... Indonesia people????? menyerahkan hukuman pada Tuhan, diakherat sana. Mendoakan para PNS dan pejabat negara cepet mati karena gak menjalankan tanggungjawabnya tapi selalu menuntut haknya, atau cukup ndumel aja???
tidak pernah ada kebaikan dari pemegang kekuasaan tanpa tekanan. "Lah piye, untuk jadi pejabat atau untuk jadi PNS aja perlu modal je". "Wis tho lek, untuk jadi anggota legislatif, perlu berapa jut-jut atau bahkan milyar?", untuk jadi Bupati, gubernur, berapa duit. atau untuk diterima jadi serdadu, guru, PNS, berapa jut-jut". dan itu bukan rahasia umum kan? semua orang tahu itu. karena tetangga dan saudara2 kita adalah sebagai pelaku juga. atau bahkan kita sempet ditawari ketika iseng2 atau serius melamar jadi PNS kan?
Lawan!!!! angkat tangan kiri (tapi jangan tinggi2), teriak dan maju. dobrak semua penghalang. rakyat bersatu tak bisa dikalahkan! begitu kira2 yel2 para peoples tergusur saat unjuk ketidak setujuan atau ketidak puasan. Kaum tergusur, orang2 kalah, manusia2 tersingkir mencoba turun ke jalan. Membangun semangat diantara keputus asaan. Putus asa, karena wakil rakyat yang mereka pilih lebih suka main mata dengan para pebisnis dan birokrat. juga para pedagang hukum. Setelah investasi kembali, apalagi kalau bukan mulai menumpuk harta. Dan tidak sedikit pula para pelopor garakan2 rakjat menjadi bisu tuli ketika jabatan lekat dipundaknya. Menjadi sami mawon dengan mereka2 yang dimaki2 sekarang.
Kembalikan lagi dikembalikan sama Tuhan.. tunggu waktu pembalasan tiba, dimana pengadilan Tuhan gak bisa lagi disuap. gak bisa dijual belikan seperti hukum dinegeri ini. Atau kita lebih memilih, napsi-napsi (apatis, skeptis). yang penting guwe kenyang, guwe bisa idup, sabodo nyaho dengan orang lain. Mau bersikap ketika ada imbalan. Mau nyoblos kalau dpt sempako atau amplop. Urusan setelah itu, yang dicoblos mau korup, bodo amit deh...
Waddduuuuhhhh... itulah yang terjadi di Negeri ini. paling gak, kecenderungan itu sudah muncul. PUTUS ASAKAH WARGA NGERA REPULIK INDONESIA ini karena perubahan tak kunjung datang? Semua orang tidak lagi dpt dipercaya. Semua orang gak lagi malu bermuka dua. Pamer harta dari hasil korupsi. duuuuuuhhhhh.... pakde.. piye tho
Kesadaran kritis harus dibangun. kesadaran atas dirinya, posisi dan perannya. Sebagai rakyat sang pemegang kedaulatan tertinggi. Kesadaran kolektif yang mampu bergerak atas dasar pengetahuan, kemampuan dan keyakinan. Negari yang sakit ini harus disembuhkan. Kalau perlu amputasi, amputasi. Jika perlu cangkok jantung, lakukan. Bahkan kalau perlu baju baru, ya harus berani untuk mengganti baju.
Ya, status quo harus dihancurkan. Jargon2 indah para aktor yang sedang menikmati kekuasaan atau percikan dari kekuasaan harus dikerangkeng. Kemerdekaan hakiki harus diwujudkan. Kemerdekaan yang betul2 merdeka. merdeka dari korupsi, merdeka dari penggusuran, merdeka dari kemunafikan dan merdeka dari rasa takut. Merdeka juga dari ancaman Bencana.
14 hari lagi.... WALHI akan mencoba membangkitkan kesadaran kritis warga negara atas kemerdekaan tersebut. Membangunkan keraguan atas fungsi dan peran sebagai rakyat. Memunahkan virus2 apatisme para penikmat duniawi. Kembali menyatukan kekuatan..
Disaster Risk Reduction By Your Hands...
WALHI bersama 1200 warga negari sejuta bencana.. akan mencoba membongkar mitos, hidup bertabat dapat terwujud. Sinergis antar warga dapat dilakukan dalam satu tekad dan tujuan. cukup sudah, 200 ribu warga Aceh menjadi korban gempa dan tsunami. 7000 warga Jogja dan klaten jadi korban gempa. 700 warga pesisir jawa tergulung tsunami. Dan ribuan lainnya tertimbun tanah longsor, tersapu banjir bandang, terendam banjir atau peluru2 nyasar. cukup juga korban sia2 akibat wabah tak tertangani...
Reduksi bencana ekologis sekarang.... Mari bersama dan bersatu.. untuk satu tuntutan, hak atas perlindungan dan keselamatan dari berbagai ancaman bencana
Semua manusia di dunia, pasti sudah mengenal Indonesia. Negara dengan segudang julukan.. dari yang indah, sampe yang busuk. Dari Negara terkorup sampe nominator guiness book of record untuk perusakan hutan. Untuk urusan korban dan penanganannya, Indonesia juga mendapatkan angka merah. Pada musim asap, Indonesia pun melesat menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar. Weleh.. weleh.. welehhhhhh.... hebat tho???
Indonesia menempati rengking 10 besar.
Itulah Negeri yang zaman baheula disebut dengan zamrud katulistiwa. Negeri yang diincar para penjajah dari berbagai daratan untuk ditaklukan. Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa membuat liur para pengeruk untung tak tertampung jika hanya ditampung 10 biji ember. Tak heren, kalau para pedagang dan negara2 eropa rela mengeluarkan investasi besar. termasuk menginvestatikan nyawa para serdadu. Kekayaan alam yang luar biasa tentu dengan perhitungan cermat akan menutup biaya investasi yang dikeluarkan. Modal serebu, dapat sepuluh juta.
Paska tsunami rata menyapu pemukiman sepanjang pesisir selatan, barat sampai utara tanah rencong, semua mata tertuju ke Indonesia. Sebelumnya, orang lebih mengenal Bali dibanding Indonesia sebagai Negara. Setelah 26 Desember 2004, satu lagi daerah terkenal di Indonesia go public. Nangroe Aceh Darusalam. Daerah paling ujung Negeri yang dimerdekakan tahun 1945 ini menjadi sangat terkenal. Negeri yang seharusnya telah terkenal karena didera kemelut bersenjata. Negeri yang seharusnya menjadi perhatian dunia karena pelanggaran HAM. Negeri yang juga menghasilkan gas alas terbesar. Tapi nyatanya, terkenalnya aceh karena 200 ribu jiwa meninggal secara berjamaah digulung gelombang salah jalur. tsunami.
Ketika Aceh collapse karena bencana, semua orang mungkin sedikit maklum. Dampak yang luar biasa karena Aceh memang dalam dekapan ketidak amanan. Gak main2, 30 puluh tahun konflik bersenjata menghimpit Aceh. Maklum ketika tidak sempat informasi dan pengetahuan tentang risiko gempa dan tsunami sampai ke warga masyarakat. Tidak pula banyak kesempatan dapat dilakukan untuk membangun kesiapsiagaan, membangun pola adaptasi dll. mensikapi ancaman bencana. Permakluman pun berlanjut ketika kacau balaunya penanganan bencana. Semua negara tidak akan sanggup menangani bencana sebesar Aceh-Nias. Termasuk Amrik si super power. Apalagi Aceh masih dalam masa konflik. Maklum.. dan harap maklum...
Tapi, apakah masih maklum ketika bencana merobek ketentraman warga di Pulau Jawa. Negeri yang selama ini menjadi pusat segala pusat di Indonesia. 27 Mei 2006 Gempa mengoyak kehidupan warga Bantul, Gunungkidul, Sleman, Kulonprogo, Kodya sampe Klaten. Tsunami kembali menggulung pesisir pangandaran yang sebelumnya dianggap aman damai oleh sang Bupati. Ibu Kota pun direndam pelarian air dari wilayah sekitarnya. dan terakhir, banjir pasang secara merata kembali memporak porandakan desa2 sepanjang pesisir Jawa. dan Penanganan pun sami mawon. tetap gagap, tetep kacau balau.
68 % bencana yang terjadi akibat dari kerusakan lingkungan. Bahkan kalau kita mau jujur, berbicara dengan hati nurani, dampak bencana yang luar biasa tidak lepas dari manusia itu sendiri. Gempa bisa terjadi akibat tumbukan lempeng bumi. erupsi bisa jadi karena Gunungapi batuk karena terserang flu. Atau puting beliung karena angin yang gak punya mata. Tapi, kerusakan sebagai dampak kan karena manusia mengabaikan potensi ancaman itu sendiri. Bangunan tidak disiapkan untuk menyambut goyangan bumi dengan SR atau MMI tertentu. Bikin rumah gak liat2 dulu jalur awan panas. Tata ruang dibuat lebih atas dasar potensial pengembangan kawasan. Akibatnya, ada gula ada semut.. Pusat2 ekonomi secara otomatis akan menjadi pusat pertumbuhan penduduk.
Celaka lagi, warga yang tinggal pada kawasan rawan, tidak disiapkan pula informasi, pengetahuan dan kemampuannya untuk memahami dan menghadapi ancaman bencana. Bahkan, ancaman bencana yang disampaikan segelintir orang dianggap fitnah, gosip, provokator dll. SEhingga gak perlu didengar, kalau perlu dicari dan gantung karena dianggap menghambat investasi dan meresahkan warga. Kalau tertangkap dan terbukti, bisa jadi si penabar gosip kena pasal teroris, sparatis atau bahkan makar. karena telah mengganggu stabilitas negara.
Negeri ini kaya akan ancaman, itu harus disadar dan diakui dengan lapang dada. Lalu, bagaimana mensikapinya setelah kesadaran tersebut muncul. Ya, tentu harus mulai dilakukan berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. sehingga risiko dan dampak bisa direduksi. itu idealnya kan. sehingga semua kebijakan, sistem, prilaku dll searah. disaster risk reduction for safety and protect of citizen. because.. it's a basic right of human.
tapi, ketika pemerintahnya sebagai pengemban mandat negara ndableg, gak peduli, gak urus, what can you do hai... Indonesia people????? menyerahkan hukuman pada Tuhan, diakherat sana. Mendoakan para PNS dan pejabat negara cepet mati karena gak menjalankan tanggungjawabnya tapi selalu menuntut haknya, atau cukup ndumel aja???
tidak pernah ada kebaikan dari pemegang kekuasaan tanpa tekanan. "Lah piye, untuk jadi pejabat atau untuk jadi PNS aja perlu modal je". "Wis tho lek, untuk jadi anggota legislatif, perlu berapa jut-jut atau bahkan milyar?", untuk jadi Bupati, gubernur, berapa duit. atau untuk diterima jadi serdadu, guru, PNS, berapa jut-jut". dan itu bukan rahasia umum kan? semua orang tahu itu. karena tetangga dan saudara2 kita adalah sebagai pelaku juga. atau bahkan kita sempet ditawari ketika iseng2 atau serius melamar jadi PNS kan?
Lawan!!!! angkat tangan kiri (tapi jangan tinggi2), teriak dan maju. dobrak semua penghalang. rakyat bersatu tak bisa dikalahkan! begitu kira2 yel2 para peoples tergusur saat unjuk ketidak setujuan atau ketidak puasan. Kaum tergusur, orang2 kalah, manusia2 tersingkir mencoba turun ke jalan. Membangun semangat diantara keputus asaan. Putus asa, karena wakil rakyat yang mereka pilih lebih suka main mata dengan para pebisnis dan birokrat. juga para pedagang hukum. Setelah investasi kembali, apalagi kalau bukan mulai menumpuk harta. Dan tidak sedikit pula para pelopor garakan2 rakjat menjadi bisu tuli ketika jabatan lekat dipundaknya. Menjadi sami mawon dengan mereka2 yang dimaki2 sekarang.
Kembalikan lagi dikembalikan sama Tuhan.. tunggu waktu pembalasan tiba, dimana pengadilan Tuhan gak bisa lagi disuap. gak bisa dijual belikan seperti hukum dinegeri ini. Atau kita lebih memilih, napsi-napsi (apatis, skeptis). yang penting guwe kenyang, guwe bisa idup, sabodo nyaho dengan orang lain. Mau bersikap ketika ada imbalan. Mau nyoblos kalau dpt sempako atau amplop. Urusan setelah itu, yang dicoblos mau korup, bodo amit deh...
Waddduuuuhhhh... itulah yang terjadi di Negeri ini. paling gak, kecenderungan itu sudah muncul. PUTUS ASAKAH WARGA NGERA REPULIK INDONESIA ini karena perubahan tak kunjung datang? Semua orang tidak lagi dpt dipercaya. Semua orang gak lagi malu bermuka dua. Pamer harta dari hasil korupsi. duuuuuuhhhhh.... pakde.. piye tho
Kesadaran kritis harus dibangun. kesadaran atas dirinya, posisi dan perannya. Sebagai rakyat sang pemegang kedaulatan tertinggi. Kesadaran kolektif yang mampu bergerak atas dasar pengetahuan, kemampuan dan keyakinan. Negari yang sakit ini harus disembuhkan. Kalau perlu amputasi, amputasi. Jika perlu cangkok jantung, lakukan. Bahkan kalau perlu baju baru, ya harus berani untuk mengganti baju.
Ya, status quo harus dihancurkan. Jargon2 indah para aktor yang sedang menikmati kekuasaan atau percikan dari kekuasaan harus dikerangkeng. Kemerdekaan hakiki harus diwujudkan. Kemerdekaan yang betul2 merdeka. merdeka dari korupsi, merdeka dari penggusuran, merdeka dari kemunafikan dan merdeka dari rasa takut. Merdeka juga dari ancaman Bencana.
14 hari lagi.... WALHI akan mencoba membangkitkan kesadaran kritis warga negara atas kemerdekaan tersebut. Membangunkan keraguan atas fungsi dan peran sebagai rakyat. Memunahkan virus2 apatisme para penikmat duniawi. Kembali menyatukan kekuatan..
Disaster Risk Reduction By Your Hands...
Friday, June 08, 2007
PANIK LAGI..
Pedih rasanya ketika membaca berita hari ini.. "Isu gempa dan tsunami bikin resah, sekolah minta diliburkan", begitu Pos Kota memberi judul untuk isu ancaman bencana di Bandung Selatan. Sementara Tempo menurukan berita yang sama, tapi di daerah lain, NTT. Dan isu demi isu bak teror.. Akan ada gempa besar dan akan diikuti oleh tsunami di Pangandaran.. begitu terus. Hal yang dahsyat pun terjadi. Alarm tanda early warning system tiba2 merobek langit serambi mekah, sehari setelah hari lingkungan hidup se-dunia.
it's the real baby in the republic of disaster. real of panic, not issues. Ini benar2 gila. Sinting, gelo alian kentir. Teror yang mencengkram warga seolah tek berkesudahan. traumatik akibat mengalami kejadian bencana atau pobi karena membaca atau menonton berita kejadian2 bencana diseantero jagat bumi yang konon zamrud katulistiwa ini. What are you doing hey pengemban amanat rakyat??????????????
Harus diakui, sejak gempa dan tsunami memporakporandakan sepanjang pesisir barat-utara bumi rencong dan nias, bencana telah menjadi teror. Gempa susulan, banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, wabah seolah menjadi menu harian. Belum selesai masa emergency response pada kejadian bencana, muncul bencana ditempat lain. Jika dikalkulasi, hampir setiap hari sepanjang 2006, Negeri ini tidak pernah absen dari bencana. 364 kejadian bencana. Lebih dari 10 ribu jiwa meregang nyawa. 4 juta jiwa pun berstatus sebagai pengungsi pada tahun 2006. Sungguh layak disebut sebagai tahun bencana.
Hak atas Informasi
Besarnya potensi ancaman bencana serta tingginya kerentanan warga, menjadikan bencana sebuah keniscayaan. Mengurangi kerentanan adalah tindakan bijak sebagai upaya reduksi risiko bencana. Salah satunya adalah memberikan informasi kebencanaan sebagai hak mutlak warga.
Panik, cemas, was2 dan kawan2nya adalah bentuk ketidak siapan warga terhadap ancaman bencana. Hal yang paling mendasar dari itu adalah tidak sampainya informasi dasar tenteng kebencanaan. Sehingga, tidak ada juga upaya lain untuk mengurangi kerencanan, baik melalui upaya mitigasi maupun kesiapsiagaan. Sekalipun ada upaya mitigasi struktural oleh pemerintah, ketidak tahuan atas upaya mitigasi menjauhkan fungsi mitigasi itu sendiri. Bahkan ketidak tahuan tersebut kerap memicu tindakan2 yang semakin meningkatkan kerentanan.
Hak yang lain dari warga negara adalah terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman. Jika 2 hak itu saja, maka tidak ada alasan bagi pemerintah sebagai "pesuruh" rakyat untuk tidak melakukan tindakan kongkrit. tindakan yang mengarah pada penyelamatan seluruh aset2 kehidupan manusia. Human/jiwa, financial, environment/natural, socioculture and fisik. Tidak ada alasan lagi, bahwa semua informasi tidak dapat dilakukan karena tidak ada anggaran. Atau menguatkan masyarakat menghadapi ancaman karena belum dianggarkan.
Hal yang paling mendasar adalah, bagaimana menghargai informasi itu sendiri. Sungguh tidak dapat dihitung, berapa banyak ilmu dan pengetahuan serta keterampilan di bumi Indonesia. Perguruan tinggi, pusat-pusat penelitian, dan gedung2 pemerintahan. Sumberdaya tersebut tidak lah kurang untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mensikapi ancaman bencana yang ada. Bahkan jika disadari betul, potensi ancaman yang ada, tidak perlu anggaran khusus untuk pengelolaan bencana. Ini karena semua pembangunan, kebijakan, pendidikan dll terintegrasi dalam rangka mengurangi kerentanan.
Mari belajar.. memahami ancaman
Indah nian, kata orang Jambi ketika sekolah2, dari mulai TK, SD sampai perguruan tinggi menggali informasi dan menyampaikannya kepada siswa dan mahasiwa tentang ancaman yang ada di daerahnya. Erupsi gunungapi, gempa, tsunami, banjir, longsor, kebakaran lahan dll. Dari pengetahuan tersebut, akan muncul berbagai ide, gagasan dll sebagai bagian dari pengetahuan untuk mensikapinya. Mereduksi dan melakukan pola adaptasi. Tidak akan pernah ada kebingungan warga ketika tiba2 terjadi gonjangan bumi. Tidak juga terjadi kepanikan ketika gunungapi tiba2 aktif. Tidak juga terjadi penumpukan jalan2 raya akibat bunyi alarm peringatan dini. Bahkan tereduksi kepanikan susulan warga akibat mencari anggota keluarganya yang terpisah.
Ini semua karena berbagai informasi telah terserap dan menjadi bagian dari hidup. Tahu kemana harus berlindung ketika ancaman datang. Paham bagaimana menuju tempat sementara pengungsian dengan jalan yang paling aman. Apa saja yang harus diselamatkan dari aset-aset kehidupannya.
Pemerintah sendiri, tidak akan panik, bingung dan dihina2 karena tidak siap atau bahkan ketidaktersediaan kebutuhan dasar warga yang terpaksa mengungsi.
Indah... sungguh indah.. Damai... sungguh damai negeri ini. Sekalipun negeri ini 83 % wilayahnya rawan bencana. namun Jika warganya 98 % siap dan mempunyai kemampuan.. pemerintahnya siap dan punya kapasitas, ancaman hanya lah ancaman. Namun, bencana tidak akan pernah terjadi. Gempa, tsunami, letusan gunungapi, banjir, longsor dll.. hanya lah fenomena alam. sama halnya dengan hari yang selalu berubah.. dari pagi menjadi siang dan sore serta malam. sebuah siklus alam yang memang pasti akan terjadi.
Bencana... no way
it's the real baby in the republic of disaster. real of panic, not issues. Ini benar2 gila. Sinting, gelo alian kentir. Teror yang mencengkram warga seolah tek berkesudahan. traumatik akibat mengalami kejadian bencana atau pobi karena membaca atau menonton berita kejadian2 bencana diseantero jagat bumi yang konon zamrud katulistiwa ini. What are you doing hey pengemban amanat rakyat??????????????
Harus diakui, sejak gempa dan tsunami memporakporandakan sepanjang pesisir barat-utara bumi rencong dan nias, bencana telah menjadi teror. Gempa susulan, banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, wabah seolah menjadi menu harian. Belum selesai masa emergency response pada kejadian bencana, muncul bencana ditempat lain. Jika dikalkulasi, hampir setiap hari sepanjang 2006, Negeri ini tidak pernah absen dari bencana. 364 kejadian bencana. Lebih dari 10 ribu jiwa meregang nyawa. 4 juta jiwa pun berstatus sebagai pengungsi pada tahun 2006. Sungguh layak disebut sebagai tahun bencana.
Hak atas Informasi
Besarnya potensi ancaman bencana serta tingginya kerentanan warga, menjadikan bencana sebuah keniscayaan. Mengurangi kerentanan adalah tindakan bijak sebagai upaya reduksi risiko bencana. Salah satunya adalah memberikan informasi kebencanaan sebagai hak mutlak warga.
Panik, cemas, was2 dan kawan2nya adalah bentuk ketidak siapan warga terhadap ancaman bencana. Hal yang paling mendasar dari itu adalah tidak sampainya informasi dasar tenteng kebencanaan. Sehingga, tidak ada juga upaya lain untuk mengurangi kerencanan, baik melalui upaya mitigasi maupun kesiapsiagaan. Sekalipun ada upaya mitigasi struktural oleh pemerintah, ketidak tahuan atas upaya mitigasi menjauhkan fungsi mitigasi itu sendiri. Bahkan ketidak tahuan tersebut kerap memicu tindakan2 yang semakin meningkatkan kerentanan.
Hak yang lain dari warga negara adalah terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman. Jika 2 hak itu saja, maka tidak ada alasan bagi pemerintah sebagai "pesuruh" rakyat untuk tidak melakukan tindakan kongkrit. tindakan yang mengarah pada penyelamatan seluruh aset2 kehidupan manusia. Human/jiwa, financial, environment/natural, socioculture and fisik. Tidak ada alasan lagi, bahwa semua informasi tidak dapat dilakukan karena tidak ada anggaran. Atau menguatkan masyarakat menghadapi ancaman karena belum dianggarkan.
Hal yang paling mendasar adalah, bagaimana menghargai informasi itu sendiri. Sungguh tidak dapat dihitung, berapa banyak ilmu dan pengetahuan serta keterampilan di bumi Indonesia. Perguruan tinggi, pusat-pusat penelitian, dan gedung2 pemerintahan. Sumberdaya tersebut tidak lah kurang untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mensikapi ancaman bencana yang ada. Bahkan jika disadari betul, potensi ancaman yang ada, tidak perlu anggaran khusus untuk pengelolaan bencana. Ini karena semua pembangunan, kebijakan, pendidikan dll terintegrasi dalam rangka mengurangi kerentanan.
Mari belajar.. memahami ancaman
Indah nian, kata orang Jambi ketika sekolah2, dari mulai TK, SD sampai perguruan tinggi menggali informasi dan menyampaikannya kepada siswa dan mahasiwa tentang ancaman yang ada di daerahnya. Erupsi gunungapi, gempa, tsunami, banjir, longsor, kebakaran lahan dll. Dari pengetahuan tersebut, akan muncul berbagai ide, gagasan dll sebagai bagian dari pengetahuan untuk mensikapinya. Mereduksi dan melakukan pola adaptasi. Tidak akan pernah ada kebingungan warga ketika tiba2 terjadi gonjangan bumi. Tidak juga terjadi kepanikan ketika gunungapi tiba2 aktif. Tidak juga terjadi penumpukan jalan2 raya akibat bunyi alarm peringatan dini. Bahkan tereduksi kepanikan susulan warga akibat mencari anggota keluarganya yang terpisah.
Ini semua karena berbagai informasi telah terserap dan menjadi bagian dari hidup. Tahu kemana harus berlindung ketika ancaman datang. Paham bagaimana menuju tempat sementara pengungsian dengan jalan yang paling aman. Apa saja yang harus diselamatkan dari aset-aset kehidupannya.
Pemerintah sendiri, tidak akan panik, bingung dan dihina2 karena tidak siap atau bahkan ketidaktersediaan kebutuhan dasar warga yang terpaksa mengungsi.
Indah... sungguh indah.. Damai... sungguh damai negeri ini. Sekalipun negeri ini 83 % wilayahnya rawan bencana. namun Jika warganya 98 % siap dan mempunyai kemampuan.. pemerintahnya siap dan punya kapasitas, ancaman hanya lah ancaman. Namun, bencana tidak akan pernah terjadi. Gempa, tsunami, letusan gunungapi, banjir, longsor dll.. hanya lah fenomena alam. sama halnya dengan hari yang selalu berubah.. dari pagi menjadi siang dan sore serta malam. sebuah siklus alam yang memang pasti akan terjadi.
Bencana... no way
Subscribe to:
Posts (Atom)