Wednesday, September 12, 2007

Mengenang Tragedi Wedus Gembel

http://www.suarapembaruan.com/News/2004/11/28/Nusantar/nus01.htm
SUARA PEMBARUAN DAILY


Seandainya Turgo Punya Puskesmas

Sepuluh tahun yang lalu, Gunung Merapi menunjukkan amarahnya. Tak kepalang tanggung, 43 orang warga Dusun Turgo tewas dan puluhan menderita cacat fisik.

Siang itu, sekitar pukul 11.30 WIB, tepatnya Selasa Kliwon, November 1994, tiba-tiba langit menjadi gelap. Butiran pasir panas dan debu berterbangan di udara. Asap hitam menggulung-gulung disertai hawa panas, menerjang apa saja yang ada di depannya.

Rencana Sudirjo untuk menikahkan anaknya Wantini dengan Marijo kacau balau. Puluhan tetangga termasuk Sudirjo sekeluarga, tak tertolong. Semuanya hangus, legam, bahkan tak tersisa. Jasat-jasat gosong hampir=20
tak terkenali.

Sabtu (20/11/2004) siang, di halaman rumah Dukuh Turgo Fx Suwaji mulai tampak kesibukan yang luar biasa. Kesibukan itu ternyata merupakan rangkaian acara mengenang 10 tahun bencana wedus gembel (awan panas).

Secara bergantian, warga Turgo Purwobinangun Pakem bersama Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan berbagai LSM, hingga Senin (22/11) menggelar acara doa dari berbagai agama untuk mendoakan arwah=20
korban Merapi.

Sabtu giliran penduduk yang beragama Muslim, menggelar tahlilan. Minggu, umat beragama Nasrani bersatu dalam Perayaan Ekaristi dan Misa Arwah dipimpin Romo Y Suyatno Hadiatmojo Pr.

Dari bantuan dan pengumpulan dana FPUB yang dipimpin KH A Muhaimin dan segenap LSM yang concern pada lingkungan hidup, diselenggarakanlah pasar murah dan pengobatan massal. Sedang Senin, dengan swadaya, masyarakat menanam 2.000 batang pohon di sekeliling dusun mereka
Ratusan masyarakat tetangga dusun, seperti Pakem, Turi, Tritis, bahkan Yogyakarta datang ke Dusun Turgo yang jaraknya kurang lebih 50 km dari Yogya.

Fx Suwaji yang menuturkan kembali kejadian sepuluh tahun yang lalu itu, mengatakan, kebanyakan warga RT 06 yang menjadi korban wedus gembel. Satu tahun, mereka harus hidup di lokasi relokasi Sudimoro Dusun Turgoadi.
Saat ini, katanya, 140 KK warga memilih kembali ke rumahnya dan 102 KK tetap tinggal di relokasi.

"Sebagian besar rumah-rumah yang rusak sudah diperbaiki dan ditinggali lagi. Tapi masih ada juga rumah yang sampai saat ini dibiarkan begitu saja kondisinya. Misalnya rumah milik Hadi Suwanto yang berada di utara makam Kyai Syech Kubro," ucapnya.

Suwaji yang terngiang-ngiang kejadian menyebutkan, selain menelan korban jiwa harta benda penduduk pun musnah. Lahan tanaman tertutup abu.

Hingga setahun lahan itu harus dibersihkan untuk bisa ditanam kembali. "Semua penduduk di sini merupakan penduduk asli. Tanah semua bersertifikat. Semua turun-temurun. Jadi banyak warga yang tidak kapok untuk kembali, meski kami sadar, sewaktu-waktu bencana serupa akan mengancam," katanya.

Paling tidak, kata dia, masyarakat jadi lebih mengenal watak Merapi dan bimbingan dari Dinas Vulkanologi dan Bencana Gunung Merapi, cukup membantu masyarakat. "Setidaknya kami belajar membaca watak Merapi," katanya.

Upacara seperti ini, lanjutnya, tidak hanya untuk mengenang musibah, tetapi sebagai wujud peringatan dan kewaspadaan.
Suwaji mengatakan, sebagian warga sudah membangun bunker perlindungan, tetapi karena biayanya cukup tinggi, antara Rp 3 sampai Rp 5 juta, hanya sedikit warga yang sanggup membangunnya. "Ada satu bunker umum, tetapi hanya mampu menampung 30-an orang dewasa," ujarnya.

Sepuluh tahun sudah bencana itu berlalu, namun kondisi alam tak bisa pulih secara alami. Air kini menjadi permasalahan utamanya.
"Kondisi ini makin parah dengan terbakarnya hutan tahun 2001 lalu. Entah terbakar atau dibakar. Setahu saya, api bermula dari bawah. Kalau kebakaran alami atau kena lahar, arahnya pasti dari atas," kata Suwaji.
Sadar akan sebab yang ditimbulkan oleh hutan yang gundul, Suwaji bersama warganya berswadaya melakukan penghijauan di hutan yang gundul. Sekitar 2.000 bibit gayam dan jenis lainnya ditanam.

Mengingat lereng Merapi tak lagi menyisakan air, pertumbuhan tanaman itu sangat lambat. Kemudian pada tahun 2003, mereka menerima bibit tanaman dari proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL).
"Bersamaan dengan peringatan dasa warsa ini, kami berniat membangun bak penampungan air di dekat sumber air di Alas Candi, untuk dialirkan ke Turgo, tetapi sampai saat ini, dananya belum cukup dan FPUB bersedia membantu mencari tambahan dananya," kata Suwaji.

Mengetuk Hati

Suwaji lalu menyampaikan, dalam peringatan ini mereka ingin mengetuk hati hadirin untuk turut membantu mengatasi berbagai permasalahan warga, khususnya masalah air, dengan mengumpulkan infaq dan kolekte yang akan digabung untuk keperluan itu.

Satu hal yang cukup membuat Suwaji berfikir, sekian tahun, dusun itu masih minim fasilitas. Tak ada Puskesmas permanen, listrik pun diupayakan warga sendiri dengan mengadakan tiang listrik secara mandiri.

Bahkan jalan menuju sungai Boyong mereka bangun dengan dana pribadi. "Jalan itu juga jadi nafkah bagi Dusun Turgo karena menghubungkan dusun dengan Sungai Boyong yang menjadi pusat penambangan pasir warga, dan akan sangat baik bila di sini dibangun Puskesmas karena pelayanan kesehatan yang paling dekat berjarak 10 km dari sini," kata Suwaji.

Kepala dusun itu memaparkan, setiap truk yang masuk untuk mengambil pasir, ditarik retribusi Rp 200.000/ tahun. "Semuanya masuk ke kas dusun dan hanya ini yang bisa membiayai pembangunan dusun," katanya.

Setahun yang lalu, kata Suwarji, pemerintah mengeluarkan kebijakan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Namun karena sosialisasi yang minim, tumbuh sikap pro-kontra.

"Sekarang, SK-nya sudah keluar, tetapi kami tidak jelas apa yang dimaksud TNGM itu. Setahu warga, nanti hutan itu tidak bisa lagi dimasuki penduduk. Tapi apa benar demikian, saya juga tidak jelas," katanya.

PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI
-----------------------------------------
Last modified: 25/11/04=20

Sejarah, Evolusi, dan Letusan Merapi

Oleh Sari Bahagiarti Kusumayudha
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/22/Fokus/2601459.htm)

Saat ini Merapi sedang giat, setelah lebih dari lima tahun lelap. Kita pun gelisah, khawatir ia meletus dan menimbulkan prahara. Gunung yang satu ini memang atraktif karena tidak pernah tidur nyenyak.

aktu istirahat biasanya 3-5 tahun, lalu giat lagi. Bahkan, kadang-kadang hanya dua tahun saja seperti terjadi pada tahun 1994-1998, atau 1980-1984. Sifat letusannya spesifik, disebut tipe Merapi.

Dulu, 1.000 tahun yang lalu (1006 Masehi), Merapi dikabarkan pernah meledak dahsyat, oleh Van Bemmelen (1949). Akibat dari letusan ini, sebagian puncak runtuh, melorot, dan longsor ke arah barat daya, tertahan oleh Perbukitan Menoreh, kemudian membentuk gundukan-gundukan bukit yang dikenal sebagai Gendol Hills.

Hipotesis letusan dahsyat Merapi 1.000 tahun silam ini ditentang oleh banyak ahli. Namun, pada kenyataannya hingga kini tak seorang pun mampu menyebut angka tahun secara pasti kapan letusan besar masa lampau itu terjadi.

Benarkah pernah ada letusan besar Merapi? Di dusun-dusun Kadisoka, Kedulan, dan Sambisari (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta) terdapat candi-candi kuno peninggalan masa Dinasti Sanjaya Mataram Hindu, yang ketika diketemukan terkubur oleh endapan lahar dan abu vulkanik setebal 6-8 meter.

Di tempat-tempat tersebut dapat dijumpai lapisan endapan abu vulkanik yang ketebalannya 20-60 sentimeter. Sementara itu, di daerah Borobudur tebal lapisan abu dan pasir vulkanik mencapai 200 sentimeter. Letusan kecil tidak mungkin menghasilkan lapisan abu setebal itu.

Aktivitas Merapi pada abad ke-9-11 disinyalir menjadi salah satu pendorong berpindahnya pusat kebudayaan Mataram ke Jawa Timur. Letusan-letusan Merapi masa lalu juga pernah menguruk danau yang dahulu mengitari Candi Borobudur. Konon, semula candi Buddha tersebut dibangun di tengah danau dan digambarkan bak ceplok bunga teratai di tengah kolam.

Merapi mengalami evolusi dalam masa hidupnya. Tipe letusannya berubah-ubah. Pada awalnya magma Merapi encer, bersifat basa, dan mobilitas cukup tinggi. Ketika itu tipe letusannya efusif, tidak meledak, hanya melerkan lava dalam volume besar.

Kemudian sifat magma berangsur-angsur berubah menjadi lebih kental, lebih asam, dan mobilitasnya merendah. Tipe erupsinya berselang-seling antara efusif dan eksplosif (meledak).

Pada perkembangan terakhir, magma Merapi menjadi sangat kental, tekanan gas rendah, dan pergerakannya sangat lamban. Karena kentalnya, maka ketika mencapai permukaan, magma akan mengonggok di sekitar mulut kawah membentuk kubah lava (Kusumayudha, 1988, Newhall & Bronto, 1995, Camus et al, 2000).

Gundukan kubah lava sewaktu-waktu dapat gugur oleh desakan dari dalam. Guguran itu menghasilkan aliran piroklastik yang dikenal sebagai awan panas atau wedus gembel (karena penampilannya bergulung-gulung berwarna kelabu kelam, bergerak cepat, seperti sekawanan domba menuruni lereng). Erupsi seperti ini yang disebut sebagai tipe Merapi.

Gunung Bibi di lereng timur Merapi merupakan endapan lava hasil kegiatan Merapi paling primitif (Proto Merapi). Sementara itu, Gunung Turgo dan Gunung Plawangan di Kaliurang merupakan produk Merapi berikutnya (Merapi Tua).

Berbeda dengan Merapi Tua dan Merapi Primitif yang menghasilkan endapan lava sangat tebal, Merapi yang lebih muda memproduksi endapan lava yang tipis-tipis, lahar hujan, dan piroklastik fraksi halus (tuf atau abu vulkanik). Letusan Merapi Musakini (2.000 tahun) pada umumnya ke arah barat, barat daya, dan selatan. Sebelumnya, letusan Merapi diduga ke segala arah.

Sejarah letusan

Sudah tidak terhitung berapa kali Merapi meletus, baik besar maupun kecil. Letusan-letusan Merapi yang membawa korban jiwa, yang tercatat dalam buku data dasar Gunungapi Indonesia (1979), antara lain terjadi pada tahun 1672, menghasilkan awan panas dan banjir lahar hujan yang menelan 300 jiwa manusia.

Diduga tipe letusan ketika itu adalah Plinian. Tahun 1930-1931 Merapi meletus dengan tipe Plinian, menghasilkan aliran lava, piroklastika, dan lahar hujan, dengan korban 1.369 orang meninggal. Tahun 1954, kegiatan Merapi menghasilkan awan panas, hujan abu dan lapili, korban 64 orang meninggal.

Pada tahun 1961, terjadi aliran lava, awan panas, hujan abu, dan bahaya sekunder berupa banjir lahar hujan, enam orang meninggal sebagai korban. Pada saat itu Magelang dan sekitarnya sempat remang-remang dibalut abu dan debu vulkanik.

Pada tahun 1969, terjadi letusan cukup besar, ada awan panas letusan, guguran kubah lava, hujan abu, dan bom gunung api, korban manusia tiga orang. Letusan tahun 1972-1973 termasuk tipe volkano, menghasilkan semburan asap hitam setinggi tiga kilometer di atas puncak, hujan pasir dan kerikil di Pos Babadan, guguran awan pijar ke Kali Batang sejauh tiga kilometer.

Pada hari Selasa, 22 November 1994, sekitar pukul 10.00 selama lebih kurang dua jam Merapi mengeluarkan wedus gembel-nya ke arah Kali Boyong, menelan 67 korban manusia. Februari 2001, Merapi giat lagi.

Seperti biasanya, aktivitas kali ini berupa guguran kubah lava membentuk awan panas. Arah guguran pada waktu itu ke selatan-barat daya. Kepulan wedus gembel-nya terlihat dari Kecamatan Depok yang berjarak 25 kilometer dari puncak.

Sekarang Merapi beraksi lagi. Inikah jawaban atas hipotesis 1.000 tahun letusan dahsyatnya yang dipertentangkan itu?

Dr Ir Sari Bahagiarti Kusumayudha MSc Ketua Penyelenggara Volcano International Gathering 2006; Dekan Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Tuesday, September 04, 2007

Tidur dengan Mangan

Oleh Siti Maemunah;
- Koordinator Nasional jaringan Advokasi Tambang
- Majlis Pertimbangan Organisasi Kappala Indonesia

Terkantuk-kantuk saya membaca laporan empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Nusa Tenggara Timur tentang PT Arumbai Mangan Bekti di Manggarai. Tapi sontak kantuk itu pergi, begitu mata saya meniti sederet kata, “Usaha penambangan mangan sudah cukup lama dilakukan dan relatif memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah setempat.”

Saya termangu memandangi laporan yang dibuat pada Agustus 2005 lalu ini. Sambil teringat dokumen lain yang berisi pengaduan warga Sirise, Luwuk, dan Lingko Lolok tentang perusahaan itu. Surat pengaduan enam halaman itu,
dikirim Solidaritas Perempuan Peduli Kekerasan (SOPPAN) di Ruteng – Manggarai ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jakarta.

Dalam surat itu warga Sirise dan lingko Lolok mengeluhkan soal pembongkaran lahan dan penggalian yang telah merusak tanah adat mereka, menebarkan debu, dan mengalirkan limbah yang akhirnya mencemari sumber-sumber air. Apakah
surat itu dikirimkan juga kepada keempat anggota dewan itu? Apakah keempat anggota dewan itu pernah mengunjungi warga di sana dan berdialog secara santai dengan mereka?

Laporan dan surat itu, membawa saya kembali mengunjungi Sirise.

***

Setiba di Ruteng – ibu kota Manggarai, dengan mobil sewaan kami meluncur ke Sirise. Jumlah kami empat orang, saya bersama tiga kawan dari SOPPAN dan PIKUL, berangkat atas undangan warga, khususnya empat perempuan - Margareta
Nelly, Ruth, Melti Yoyanti dan Maria Mene, yang Januari lalu datang melaporkan masalahnya kepada SOPPAN.

Sirise merupakan kampung kecil di tengah Manggarai yang lima tahun lalu sempat saya kunjungi, juga untuk melihat dampak pertambangan PT Arumbai kepada warga dan lingkungan.

Perjalanan ke Sirise menelan waktu tiga jam. Supir kami berkali-kali melambatkan mobil jika jalanan terhalang longsoran tanah. Di beberapa tempat, alat-alat berat sibuk membereskan tumpukan tanah itu. Terkadang, kami terpaksa berhenti sedikit lama, menunggu giliran melintas karena berbagi jalan dengan mobil lainnya. Ada sekitar tiga puluh kali gangguan
longsor itu menghambat kami.

Memasuki Sirise batu-batu kasar menyambut roda. Di sepanjang pinggiran jalan tetumbuhan terlihat kusam, senasib dengan rumah-rumah yang ada. Tak banyak, hanya 48 rumah. Sebagian besar masih berdinding bambu, sebagian lagi tak berdaun jendela. Masih seperti lima tahun yang lalu.

***
Sepuluh tahun sudah PT AMB beroperasi di sini. Mereka mendirikan pabrik tak jauh dari perkampungan, paling-paling berkisar 50-an meter.

Di awal perusahaan masuk, setiap warga berharap-harap sejahtera. Mereka memimpikan, berbagai kendaraan ramai melintas, anak-anak bisa bersekolah lebih baik, sehingga mutu hidup meningkat, kesejahteraan meningkat. Kesejahteraan yang bersumber dari mangan.

Batu Mangan berwarna hitam. Bijih-bijih mangan ditambang dengan cara pertambangan terbuka (open pit), dengan melakukan peledakan, pengeboran, pengangkutan hingga pemilahan bijih mangan, sebelum di kapalkan ke luar negeri.

Menambang mangan memang menguntungkan, tapi tidak untuk mereka, penduduk lokal yang mendiami Sirise. Setelah bertahun-tahun perusahaan itu bekerja, ternyata hidup mereka semakin tak nyaman. “Sumur sumber air bersih kami ikut tercemar. Saat hujan, dari tempat eksploitasi di puncak gunung, sampah mangan terbawa banjir lalu masuk ke sumur,” ungkap Maria Mene. Sampah mangan yang ia maksudkan berupa batuan dan tanah yang bercampur bijih mangan. Oleh perusahaan batuan ini dibuang dan ditumpuk begitu saja.

Sambungnya, “Bukan cuma di musim hujan. Waktu kemarau, setiap mesin pengolah berbunyi, sejak jam 8 pagi hingga 4 sore, debu-debu mangan beterbangan lalu menempeli semuanya, air sumur, perabotan, baju, meja makan, piring, makanan, pokoknya semua kena debu itu. Bahkan kami pun tidur diselimuti mangan.”
“Anak-anak jadi tidak bebas bermain di luar. Badan mereka jadi kotor, hitam, jika bermain tanpa baju.” tambahnya.

Lain lagi cerita Pak Martinus Eban. Setiap kali berangkat ke sekolah di Luwuk, anaknya akan melintasi pusat pengolahan mangan. Akibat itu, baju sekolahnya kotor terkena debu mangan. Pernah suatu saat di sekolah, sang anak dimarahi dan dipukul oleh gurunya. “Saya tidak terima,” kata Pak Eban, geram.

“Seperti itulah hidup kami sekarang. Tidur dengan mangan, makan dengan mangan, muntah juga dengan mangan” Ibu Ruth menimpali, ia sudah 9 tahun bekerja di PT Arumbai.

****

Dari kampung Sirise, kalau kita berjalan kaki sebentar menuju timur menaiki bukit maka akan menemui kampung lain. Orang-orang menyebutnya lingko Lolok, masuk desa Satar Teu. Di kampung inilah penggalian dilakukan untuk mendapatkan bijih mangan. Orang-orang lingko Lolok selama ini hidup dengan adat mereka mengolah hasil hutan dan berladang di lingko. Lingko merupakan tanah milik adat, milik bersama, sehingga tidak mudah orang untuk memilikinya kecuali melalui prosedur adat. Dan sejak penggalian bijih mangan, pelan tapi pasti mereka kehilangan akses menikmati hasil hutan dan
berladang. Perusahaan memanfaatkan aturan adat untuk menguasi lingko mereka.

Setelah setahun PT Arumbai beroperasi, warga lingko Lolok sempat menuliskan surat keluhan kepada pemerintah setempat. Mereka mendesak pemerintah segera menghentikan penambangan. Juga menuntut perusahaan menimbun lubang dan menanam kembali pohon di bekas lokasi galian. Hasilnya?

Nihil. Bahkan tanpa bersepakat dulu, di tahun 1997 perusahaan menggali lingko Lolok, dan terus menggali hingga tahun 2002. PT Arumbai menamai lokasi itu blok Satarnani I dan Satarnani II. Penggalian dilakukan juga di kawasan Bohorwani dan Golowiwit. Setelah warga dan para tetua adat protes, barulah terjadi musyawarah. Akhirnya, dalam pertemuan adat, perusahaan diputuskan bersalah dan harus membayar denda adat.

Melalui denda adat, mereka diharuskan menyediakan jenset untuk penerangan, membangun rumah gendang yaitu rumah adat, membuat jalan dari mata air ke rumah adat, menyediakan bahan untuk upacara syukur padi, yang biasanya dilakukan dua kali setahunnya.

Sayangnya denda adat yang tak seberapa untuk ukuran PT Arumbai, tak pernah dibayar lunas. Rumah gendang baru dibangun dan jenset baru disediakan setelah warga berdemo ke DPRD Manggarai. Yang lainnya? Tak tahu lagi warga, bagaimana harus menuntutnya.

Itu belum termasuk sawah-sawah yang rusak tertimbun batu dan tanah sampah mangan, yang ganti ruginya tak kunjung dibayar perusahaan. Sawah-sawah juga kesulitan air, karena sungai kecil yang mengairinya telah mati kekeringan. Hutan di hulunya sudah gundul, juga karena tingkah perusahaan.

Denda adat tak membantu. Puncak gunung di kawasan lingko Lolok yang dulu hijau, berubah gundul, gersang, berdebu. Juga berlubang. Waktu hujan mengguyur, lubang-lubang itu menjadi danau sepi tanpa kehidupan. Padahal daerah puncak itu merupakan kawasan larangan, semacam kawasan suci yang terlarang untuk sembarang kegiatan, yang karena itu mereka bisa terus memperoleh air.

Dari gunung, “celaka” itu terus menggulir ke perkampungan di bawahnya. Waktu musim hujan, sawah dan kebun penduduk penuh genangan lumpur hitam. Lumpur itu tadinya sampah mangan yang ditimbun yang kemudian meluncur mengikuti air hujan. Komplit sudah kerusakan di sana, dari hutan, sungai, sumur, juga sawah, juga ladang.

“Dulunya, sebelum perusahaan datang, tiap keluarga di lingko menghasilkan sekitar 30 karung padi ladang, dan bisa 3000 ikat jagung. Sekarang, 10 karung padi saja syukur, kalau jagung malah bisa kosong” geram Remigius Jameon, mewakili kegeraman warga lainnya.

***
Bukan dengan warga saja PT Arumbai memiliki masalah, karyawannya sendiri merasa menderita bekerja di situ. Enam tahun lalu, dua ratusan buruhnya mogok kerja menuntut alat kerja yang lebih sehat dan aman seperti masker, helm, kaos tangan dan sepatu kerja. Juga mereka meminta kenaikan gaji dan uang makan.

''Kami disuruh membeli masker sendiri. Mana kami mampu! Sesekali ada dokter yang datang memeriksa, tetapi bila sakit kita urus sendiri,'' ujar seorang pekerja tetap. Setiap bulan gaji yang ia bawa pulang sebesar 200 ribu rupiah. Jumlah yang terlalu kecil. Buruh harian di situ juga mendapatkan upah yang minim betul, hanya sembilan ribu rupiah per harinya. Semua uang
yang mereka terima setiap bulan dari perusahaan, manalah cukup menutupi kebutuhan hidup, belum lagi biaya menjaga kesehatan atau berobat jika sakit.

Sewaktu mendengarkan keluhan Nelly, salah seorang warga yang bekerja di perusahaan yang juga menjadi koordinator buruh perempuan, soal bagaimana perusahaan menghargai keringat mereka, sulit menampik untuk membenarkan mereka mogok bekerja.
“Sepuluh tahun saya bekerja di PT. Arumbai, hanya pas membiayai makan-minum, tidak cukup untuk tabungan, apalagi membangun rumah yang baik.”
Rumahnya di seberang kali, atap dan dindingnya masih dari Sante atau Bambu.

"Masyarakat gantung periuk nasi di perusahaan. Dulu kami bisa hidup sehat dan panjang. Tetapi sejak perusahaan datang, sudah tidak bisa lagi."

Ada juga Melti yang baru dua tahun bekerja di PT AMB. Menurut Melti, buruh perempuan bekerja dengan fasilitas sangat minim dan beresiko. “Kami mendapat satu masker setiap tanggal 10, pembagian berikutnya tanggal 20. Begitu setiap bulannya. Artinya satu masker harus dipakai dalam 10 hari”, ujar Melti. Padahal setiap hari mereka memilah batuan mangan, yang tentunya akan menghirup debunya.

Mereka sendiri sebenarnya telah berkali-kali mengeluhkan hal itu dan menyampaikannya kepada perusahaan. Tapi perusahaan tidak menanggapinya, bahkan terkesan menghindar untuk membicarakannya.

Negosiasi selama empat jam mengakhiri aksi mogok itu. Sebulan waktu yang diberikan pada perusahaan untuk menjawab tuntutan tersebut. Tak semuanya dipenuhi, termasuk perubahan status buruh harian lepas menjadi tetap.
“Sejak itu, gaji kami naik,”

Tahun kemaren mereka bisa mendapatkan gaji hingga 22 ribu rupiah per hari, ada tambahan Rp 6.600 per jam jika lembur.

***

Hari Sabtu, biasanya buruh diliburkan. Di hari itu dinamit-dinamit dipasang, lalu diledakkan sehingga memecahkan batuan mangan. Suara ledakan yang berasal dari bukit dan gunung itu terus bersambung dari pagi sampai sore. Suara itu beserta guncangannya bisa dirasa oleh mereka yang tinggal di Reo, yang jaraknya 6 kilometer dari lokasi tambang. Kadang jika dibutuhkan, peledakan dilakukan pada hari kerja, senin dan rabu.

Ledakan biasanya disertai semburan debu. Setelah diledakkan, batuan dipindahkan ke atas truk-truk raksasa yang sanggup menggendong 15 ton batu mangan. Sewaktu truk melintasi jalan, getaran yang keras terasa, sambil meninggalkan debu-debu yang beterbangan.

Dari puncak gunung, batu mangan diangkut truk menuju Sirise. Di sana bebatuan itu akan diproses lagi. Turun dari truk, batuan dibor agar ukurannya lebih kecil. Lantas diletakkan di atas eskavator, alat ini mirip meja panjang yang berjalan. Disinilah buruh perempuan berdiri di kanan dan kiri eskavator, mengambil dan membuang batu gamping dan batu lainnya, memisahkannya dari bijih mangan. Pemisahan dilakukan hingga dua kali. Lalu, bijih mangan beraneka ukuran itu diangkut ke pelabuhan Sirise, ditimbun disana, sesuai ukuran yang sama, hingga jumlahnya mencukupi untuk diangkut tongkang ke luar negeri.

Debu-debu hitam yang berterbangan sejak penggalian, pengangkutan, hingga pemisahan bijih mangan inilah yang diprotes warga.

****
Sekitar 90% unsur mangan dunia digunakan untuk peleburan logam (metalurgi), proses produksi besi-baja. Sedang 10 persen sisanya antara lain untuk produksi baterai kering, keramik, gelas, dan kimia.

Dalam tubuh kita sendiri secara alami menggunakan mangan untuk metabolisme. Ion-ion mangan baik agar glukosa, atau zat gula, di dalam tubuh bisa bekerja. Tentu saja, ada batas tertentu yang bisa diterima tubuh kita sehingga mangan tetap bermanfaat. Jika berlebih banyak, ia sanggup merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker pada manusia, hewan dan tumbuhanmelalui rantai makanan (food chain).

Sementara di Sirise, warga disana sudah terlalu berlebihan mengonsumsi mangan karena kegiatan penambangan. Mangan itu masuk melalui udara yang mereka hirup, air yang mereka minum hingga nasi yang mereka makan.

Dalam suratnya kepada Komnas Perempuan, mereka melaporkan gangguan kesehatan yang baru mereka rasakan setelah tambang beroperasi. Mulai batuk pilek, susah tidur, gangguan sesak napas ringan hingga berat, batuk berdarah, dada bagian kiri sakit, diare berlendir dan berdarah - warga menyebutnya “keluar WC darah”. Bahkan ada balita yang mulai menderita tumor di kemaluannya.

Salah satunya, Tadeus Nasor, 55 tahun, yang mengeluarkan darah setiap kali ia batuk atau buang air besar. Nasor bekerja di PT Arumbai sejak tahun 1995 hingga sekarang. Ia sempat dirawat di RSUD Ruteng, sebelum dokter menyarankan berobat ke Kupang atau Denpasar. Sayang, Nasor dan keluarga terpaksa tak mengindahkan saran itu, tak cukup uang.

Penyakit yang sama juga diderita Inhol Jahudin. Di malam hari, mereka menjadi sulit tidur dengan nafas terasa sesak. Dan penyakit ini bukan saja menyerang laki-laki, perempuan pun tak luput. Rosalita Mita, 38 th, mengaku tersiksa dengan batuk kering, bagian dadanya terasa sakit, sesak nafas dan susah tidur di malam hari. Tetangganya, Ibu Maria - juga menderita serupa.

Tak ketinggalan pula anak-anak. Laweriana Yormika yang berumur 10 tahun, siswa kelas 3 Sekolah Dasar Luwuk, menderita sakit dada dan sesak nafas di malam hari. Noviana Adi juga begitu, menderita batuk keluar dahak bercampur darah dan sesak nafas, tiga tahun ia lebih tua dari Yormika. Dan terasa semakin miris rasanya sewaktu melihat Tian, lengkapnya ia bernama Kristiani Tian, umurnya baru 3 tahun 4 bulan, tetapi sudah menderita sesak nafas yang akut, dan tumor di kemaluannya.

“Meski sejak lama ada pertambangan di sini, manfaatnya tak ada. Warga tidak pernah mendapat pengobatan gratis. Jangankan Puskesmas, Puskesmas pembantu pun tak ada. Untuk berobat kami harus datang ke Reo atau Dampek, 12 km dari kampung ini,” kata Maria Mene.

Selain tujuh orang di atas, saat ini terdapat sebelas warga lainnya yang melaporkan masalah gangguan kesehatan serupa. Dan bisa dipastikan ini semacam puncak gunung dalam lautan, bagian terbesarnya masih belum terlihat.

“Kami pernah mengeluh tentang kami punya kehidupan untuk masa depan, tapi pihak perusahan tidak pernah menjawab keluhan kami. Menurut pihak perusahan itu bukan urusan mereka, tapi itu urusan pemerintah karena perusahan sudah bayar semuanya kepada pemerintah,” tambah Maria.

****

Dalam satu kali pengangkutan mangan keluar negeri, pemda Manggarai mendapatkan pemasukan Rp. 66,4 juta. Untuk jumlah tersebut, mereka rela mati-matian membela perusahaan.

Di media lokal - bulan Februari lalu, Kadis Pertambangan dan Energi Pemda Manggarai - Ir. Ngkeros Maksimus menyatakan “PT Arumbai selalu berusaha memenuhi dan memperhatikan kebutuhan warga. Misalnya dengan memberi dua unit jenset, menggali dua sumur, membuka jalan, mendirikan rumah gendang, kapela serta bantuan pukat untuk nelayan. Pihak perusahan selalu berusaha memenuhi kebutuhan warga.“ Disana, warga menyebut gereja kecil dengan nama
kapela.

Pernyataan Ngkeros dibantah warga. “Kami tak pernah mendapat jenset, tak ada listrik di kampung kami, apalagi dibangunkan kapela. Kami harus pergi ke Reo untuk beribadah. Ada 6 keluarga menggunakan jenset milik pribadi
untuk listrik, sisanya menggunakan pelita minyak. Sumur sudah ada sebelum PT Arumbai masuk. Bantuan pukat memang ada. Tapi terpaksa kami terima karena ladang kami tak bisa ditanami, banyak warga yang beralih menjadi nelayan,” bantah Nelly.

Soal jalan, menurut warga PT Arumbai hanya merapikan jalan tanah berbatu kasar, selebar ukuran truk perusahaan. Sebenarnya PT Arumbai jyang paling banyak menggunakan jalan itu menjadi jalan utama perusahaan dari lokasi penggalian menuju tempat pengolahan. Tak begitu banyak warga yang menggunakan jalan ini, tak ada kendaraan umum yang rutin melintas, sementara sedikit sekali yang memiliki kendaraan pribadi. Jangan berharap nyaman berjalan kaki dijalan ini, setiap kali ada truk melintas selalu menyisakan debu.

Air bersih? Sirise dan lingko Lolok telah bercerita tentang sumber air mereka yang tercemar mangan. Sementara di kampung tetangga – Luwuk, perempuan harus antri beberapa jam membawa jerigen dan timba, untuk bisa menampungi air yang mengalir pelan dari sebuah pipa. Tidak ada bak penampung air di situ. Mereka yang tidak sabar biasanya memilih bergegas ke mata air, dan untuk itu habislah beberapa jam waktu mereka.

Soal Pendidikan? Sekolah Dasar I Luwuk. Satu-satunya sekolah yang terdekat, 60 anak berasal dari Sirise dan Luwuk belajar di situ. Empat orang tenaga pengajar SD Luwuk dibayar melalui dana BOS. Sekolah ini dibangun pemerintah tahun 1982, tujuh tahun kemudian direhablitasi. Tambahan ruangan baru dibangun berturut-turut dari tahun 2002 dan 2007. Semuanya dana ditanggung pemerintah.

Tak ada rupiah dari perusahaan untuk memperbaiki bangunan sekolah itu. Tak ada sedikitpun bantuan untuk hadirnya buku-buku bermutu. Tak sedikitpun bantuan bagi guru-guru di sana untuk maju. PT Arumbai? Ya, secuilpun mereka
tak pernah berniat ingin mencerdaskan anak-anak di sana, kecuali satu, menambang mangan.

Semakin sulit saya menemukan bukti jika pertambangan membawa kesejahteraan bagi orang-orang lokal, seperti yang dilaporkan anggota DPD NTT ini. Apa yang diperbuat perusahaan tambang persis politisi, menebar janji di awal, lalu mengingkarinya saat berkuasa.

Pertambangan membuka isolasi suatu wilayah sambil membawa peradaban baru yang lebih baik. Berbagai fasilitas publik akan dibangun, sekolah, air bersih, puskesmas bahkan perumahan, dan tempat hiburan. Begitu lagu lama yang selalu disampaikan pelaku pertambangan, diikuti koor ,“amin,” dari pemerintah dan kadang cerdik pandai kampus.

Kenyataan di kampung Sirise, lingko Lolok dan Luwuk - membuktikan
sebaliknya. Dan banyak di tempat lain juga begitu. (JM)

SELAMAT TINGGAL, BANDENG PRESTO, SEKAMAT DATANG BAYI-BAYI RADIO AKTIF

Dampak rutin dan akumulatif akibat pengoperasian PLTN
di Semenanjung Muria yang nyaris terlupakan

Oleh : George Junus Aditjondro[1]

tulisan ini karya besar George J Aditjondro. Sangat penting untuk diketahui bersama. Untuk itulah, tulisan beliau saya tempatkan di Blog ini. Makasih banyak Bang George..
Tulisan ini dibuat dan disajikan dalam Dialog & Mubahatsah 'Alim Ulama se-Jawa Tengah mengenai PLTN Muria menurut perspektif Fiqih, diselenggarakan PCNU Jepara-Kudus dalam rangka Harlah NU Ke-81 di Jepara, hari Sabtu, 1 September 2007.


SYUKUR ALHAMDULLILAH, saya ucapkan atas undangan PC NU Jepara, untuk ikut meramaikan acara Dialog dan Mubahatsah Alim Ulama se Jawa Tengah di Jepara. Dengan demikian, saya bisa bersilaturahmi dengan para Nahdliyin se Jawa Tengah, khususnya dari kawasan Jepara, Kudus, Pati dan Rembang, lengkapnya dari seluruh Semenanjung Muria, yang mendapat kehormatan dari para penguasa di Jakarta untuk menjadi tapak PLTN pertama yang mau dibangun oleh orang-orang pintar dari Jakarta.

Saya bersyukur, karena dengan demikian dapat kembali memperkuat gerakan anti-PLTN yang dicetuskan oleh WALHI di tahun 1980, 27 tahun lalu. Saya bersyukur, karena dengan menghadiri acara di pantai barat Semenanjung Muria ini, saya dapat menggenapi pelebaran sayap gerakan ini di Muria, yang saya mulai bersama kawan saya, M. Nasihin Hasan, sekarang Ketua Lakpesdam NU Nasional, yang waktu itu selain menjadi Direktur LP3M, juga menjadi Ketua Presidium WALHI, di mana saya menjadi Wakilnya. Kami berdua memulai gerakan penyadaran masyarakat di kampung orangtua Mas Nasihin Hasan di Rembang, di pantai timur Semenanjung Muria.

Mari kita kembali ke orang-orang pintar dari Jakarta, yang mau membangun PLTN ini. Mereka memang pintar, karena tahu seluk beluk membangkitkan tenaga listrik dari turbin yang digerakkan oleh uap dari air yang direbus oleh panas yang timbul akibat terurainya proton dan elektron dari atom-atom uranium di isotop sekecil isi potlot di reaktor nuklir. Sayangnya, orang-orang pintar ini tidak memikirkan akibat perbuatan mereka, khususnya dampak rutin dan dampak akumulatif yang harus ditanggung oleh penduduk di sekitar Semenanjung Muria (lihat Aditjondro 2003). Karena dalam forum ini akan ada sepuluh orang pembicara yang pintar-pintar, termasuk Menteri Negara Riset dan Teknologi, yang menjadi pembicara kunci, maka sebagai pembicara yang nyaris juru kunci, saya akan fokuskan pada salah satu dampak rutin dan salah satu dampak akumulatif pembangunan dan pengoperasian PLTN ini.

Saya memberanikan diri untuk bicara di forum alim ulama yang terhormat ini, bukan karena saya orang pintar di bidang nuklir, tapi juga bukan orang yang kemintar. Saya cuma mau bicara di sini, sebagai orang yang pernah meninjau dampak pembangunan PLTN di Semenanjung Bataan, Filipina, dan di Teluk Veracruz di Mexico. Kita perlu belajar dari pengalaman tragis bangsa Filipina, yang harus membayar hutang pembelian reaktor nuklir sebanyak 2,3 milyar dollar kepada maskapai Westinghouse di AS, walaupun tidak sampai menghasilkan satu Watt listrik buat rakyat Filipina, setelah pemerintah Corazon Aquino, menghentikan pembangunan reaktor nuklir itu, yang dibeli oleh Ferdinand Marcos, untuk keuntungan kroninya, Hermano Disini (Eurodad 2007).

DAMPAK RUTIN: POLUSI AIR PANAS.
TENTU saja, yang pertama kali dan seterusnya paling menderita dampak pembangunan sebuah reaktor nuklir, adalah para nelayan di sekeliling Semenanjung Muria. Sebab pada saat tapak nuklir seluas belasan, mungkin puluhan hektar, diratakan untuk pembangunan reaktor nuklir, menara pendinginnya, dan semua bangunan pelengkapnya, termasuk gardu listriknya, ke mana larinya tanah hasil perataan perbukitan di Desa Balong? Tentu saja ke laut, sebab laut, bagi banyak orang, memang keranjang sampah terbesar ciptaan Tuhan buat orang-orang malas yang tidak menghargai kebersihan. Nah, lumpur ribuan ton itu akan menghancurkan karang-karang di tepi pantai, tempat bersembunyi ikan-ikan yang juga harus bobo di malam hari.

Ikan-ikan yang selamat dari perataan tanah buat kompleks PLTN itu, menghadapi ancaman berikutnya: polusi air panas. Setiap pembangkit listrik yang menggunakan tenaga uap untuk menggerakkan turbin yang satu sumbu dengan generator listrik, selalu memerlukan menara pendingin uap panas itu. Kalau tidak, pembangkit tenaga listrik itu bisa meledak saking panasnya. Untuk itu, selain melalui menara pendingin, yang prinsip kerjanya sama seperti reaktor dalam mobil, uap yang telah berubah bentuk menjadi air panas perlu dikembalikan ke alam. Makanya, PLTU dan PLTN, selalu dibangun dekat sungai atau di tepi laut, supaya berjuta-juta liter air panas itu bisa dibuang ke sungai atau laut. Dari situlah timbul apa yang disebut polusi air panas (Aditjondro 2003: 221-223).

Nah, air panas yang merupakan produk sampingan PLTU dan PLTN, yang terlalu banyak untuk mendirikan pemandian air panas di Balong, terlalu banyak juga buat nener-nener di perairan sekeliling Semenanjung Muria, yang dicari oleh petani tambak di sekeliling Muria untuk menghasilkan ikan bandengnya. Bandeng yang selanjutnya dilego ke Juana untuk dijadikan bandeng presto.

Makanya, yang secara rutin akan menderita kerugian ekonomis dari pengoperasian PLTN Muria adalah para nelayan pengumpul nener bandeng, para petani tambak, para produsen bandeng presto, dan akhirnya, toko-toko bandeng presto di sepanjang Jalan Pandanaran, di kota Semarang. Itulah sebabnya, mengapa saya katakan: Selamat Tinggal, Bandeng Presto! di judul makalah saya.

DAMPAK AKUMULATIF: BAYI-BAYI RADIO-AKTIF.
WAKTU reaktor nuklir di Chernobyl, waktu itu masih termasuk Uni Soviet, meledak, karena macetnya sistem pendinginan reaktor itu, bukan cuma orang di Uni Soviet yang terkena dampak radio-aktifnya, tapi juga orang-orang di Jerman (saya lupa, Timur atau Barat). Soalnya, debu radio-aktif yang dibawa angin di udara, akhirnya jatuh ke rumput-rumput hijau di Jerman. Rumput hijau dimakan oleh sapi perah, dan susu sapi itu diminum oleh manusia. Bagaimana akibatnya kalau manusia terlalu banyak minum susu yang radio-aktif, tanya saja pada pak Iwan Kurniawan dan pak Budi Widianarko, ahli fisika nuklir dan biologi lingkungan yang satu panel dengan saya.

Semenanjung Muria, sependek pengetahuan saya, tidak terkenal sebagai daerah sapi perah. Itu harus ke Boyolali, dekat Salatiga, di mana saya sering minum susu sapi segar sebelum saya terpaksa hijrah ke Australia. Tapi radio-aktifitas dari PLTN Muria, bisa juga mempengaruhi kesehatan penduduk di sini, walaupun tidak melalui susu sapi. Sebab bayi-bayi di sini, masih banyak yang minum air susu ibu (ASI), kan? Walaupun kadang-kadang harus berebutan dengan bapaknya.

Nah, kalau tanaman dan hewan di sekeliling PLTN Muria tercemar radio-aktivitas, maka secara akumulatif, lewat susu ibu, bayi-bayi di Semenanjung Muria akan mendapatkan dosis radio-aktivitas yang melewati ambang batas. Boleh jadi, bayi dan balita di Semenanjung Muria akan menjadi semakin hiper-aktif, sebab coklat saja sudah dapat membuat bayi dan balita hiper-aktif, apalagi radio-aktivitas bocoran dari reaktor nuklir. Mudah-mudahan saja, BATAN akan menciptakan lapangan kerja khusus bagi bayi-bayi radio-aktif dari Muria, sebagai perwujudan dari tanggungjawab sosial mereka.

TITIKRAMA ORDE BARU
MENYADARI hal-hal di atas ini, serta berbagai pertimbangan lain yang sudah diungkapkan oleh pembicara-pembicara lain sebelum dan sesudah saya, dapatlah kita fahami penolakan masyarakat Semenanjung Muria, khususnya lagi di Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, terhadap pembangunan PLTN ini. Makanya, mengherankan sikap Polres Jepara, yang memanggil Setyawan Sumedi, Koordinator Persatuan Masyarakat Balong (PMB), pasca demo besar-besaran menolak rencana PLTN Muria di desa itu (Suara Merdeka, 7 Agustus 2007).

Semestinya BATAN lah, atau Menteri Ristek sekalian, yang dipanggil ke Mabes Polri, untuk menjelaskan mengapa pemerintah tetap mau ngotot membangun PLTN itu, gagasan peninggalan Menteri Ristek BJ Habibie yang kini dihidup-hidupkan kembali. Ataukah ini menunjukkan, bahwa rezim Orde Baru tidak pernah mati, tapi hanya bermetamorfosa, bertitikrama, menjadi rezim baru yang tetap mau mewujudkan impian-impian lama?

Titikrama Orde Baru ini dapat dilihat dari siapa yang sudah menyatakan minat untuk membangun PLTN Muria ini, kapan pernyataan itu dibuat, dan pada kesempatan apa. Maskapai penghasil migas swasta terbesar di Indonesia, Medco, telah menyatakan minatnya untuk membangun PLTN Muria. Saat kunjungan tiga hari Presiden SBY ke Seoul, Korea Selatan, akhir Juli lalu, Medco Energi Internasional dan Korea Hydro and Nuclear Power Co Ltd menandatangani perjanjian awal untuk pembangunan reaktor tenaga nuklir, dengan kontrak senilai 8,5 milyar dollar AS (sekitar Rp 78,5 trilyun). Kontrak itu ditandatangani di hadapan Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro di Seoul, hari Rabu, 25 Juli lalu. Seolah-olah sudah diangkat menjadi jurubicara Medco, Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa batas waktu pembangunannya sudah ditetapkan pada tahun 2016, dan reaktornya dijadualkan akan mulai beroperasi pada tahun 2017 (Suara Merdeka, 26 Juli 2007).

Model-model menandatangani kontrak dengan perusahaan asing, di saat-saat mendampingi Kepala Negara dalam muhibahnya ke luar negeri, memang merupakan salah satu modus operandi bisnis yang dekat dengan kalangan Istana. Memang, Medco dibangun oleh Arifin Panigoro di masa-masa jaya Soeharto, antara lain dengan merangkul besan Soeharto, Eddi Kowara Atmawinata, mertua Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut (Aditjondro 2006: 26, 288, 364-5, 405, 411-2, 443-4, 451).

Pasca Soeharto, Arifin mula-mula mendekat ke Amien Rais, lalu setelah kelihatan bahwa kans Amien Rais untuk menjadi Presiden pengganti Habibie sangat kecil, ia mendekat ke Megawati Soekarnoputri dengan masuk ke PDI-P, dan perhitungannya kali ini tepat. Setelah popularitas Megawati merosot, ia keluar dari PDI-P, dan bersama Laksamana Sukardi, mendirikan partai baru. Boleh jadi, ia sekarang sedang mendekat ke SBY, sambil melihat-lihat, apakah SBY akan berhasil merebut masa jabatan kepresidenan yang kedua, atau tidak.

Medco Energi Internasional yang sudah teken kontrak dengan maskapai Korea di atas untuk membangun PLTN di Muria, memang sedang melakukan diversifikasi dari pertambangan migas, ke proyek-proyek energi yang lain. Di Batam, Medco memiliki dua perusahaan pembangkit tenaga listrik, yakni PT Mitra Energi Batam yang mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Panaran I Batam yang sejak 2004 membangkitkan 2 x 27,75 MW, dengan nilai investasi US$ 30 juta; dan PT Dalle Energy Batam yang membangun PLTG Panaran II Batam dengan kapasitas 2 x 27,75 MW pula (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007: 31).

Itu belum semua. Medco juga pemilik 5% saham PT Energy Sengkang yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Sengkang di Sulawesi Selatan yang berkapasitas 135 MW. Baru-baru ini, Medco telah ditunjuk untuk mengoperasikan dan memelihara PLTU Tanjung Jati B dengan kapasitas 2 x 660 MW. Kemudian, bersama Ormat International Inc. dari AS dan Itochu Corp. dari Jepang, Medco juga telah menyatakan minatnya untuk membangun Pembangkit Tenaga Listrik Panasbumi di Sarulla, Sumatera Utara, dengan kapasitas 330 MW (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007, hal. 31-32).

Makanya, dari sudut logika bisnis, PT Medco Energi Internasional Tbk yang telah menjual 19,97 % sahamnya kepada Mitsubishi Corporation dari Jepang (Kompas, 27 Agustus 2007), masuk akallah bahwa perusahaan yang dipimpin oleh Hilmi Panigoro, adik kandung Arifin Panigoro, kini berusaha masuk ke pembangkitan listrik tenaga nuklir. Iming-imingnya kepada calon konsumennya, adalah bahwa harga listriknya bisa US$ 3 sen per kWh, lebih rendah dari pada harga listrik yang dihasilkan oleh PLTU atau PLTGU. Namun diakui oleh Hilmi Panigoro, bahwa “mendapat dukungan dari masyarakat adalah tantangan utama yang harus kita hadapi” (Warta Ekonomi, 20 Agustus 2007: 32).

TOLAK PLTN!!!
DARI uraian di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa rencana pembangunan PLTN, bukanlah karena krisis tenaga listrik yang sering didengung-dengungkan, sebab dengan berbagai pembangkit yang ada terutama PLTA, PLTU, dan PLTGU ­ kebutuhan listrik untuk industri dan rumah tangga di Jawa sudah dapat terpenuhi. PLTU dan PLTGU, juga tidak akan menambah ketergantungan kita pada bahan baku dari luar negeri, sebab batubara dan gas kita berlimpah. Sedangkan untuk keperluan PLTN, kita harus mengimpor uranium dari Australia, untuk dijadikan isotop yang ‘dibakar’ di dalam reaktor PLTN, yang menimbulkan permasalahan baru lagi, yakni pengamanan limbah nuklirnya.

Jadi sebenarnya, pembangunan PLTN lebih merupakan ambisi kaum pengusaha yang dekat ke Istana, atau mendekat ke Istana, dengan menawarkan iming-iming dukungan buat Pemilu dan Pilpres 2009. Sementara dampaknya, begitu banyak, dan sangat sulit dikendalikan. Karena itu, mengutip kata penyair Wijih Tukul, menghadapi rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria ini: Lawan!

Yogyakarta, 31 September 2007.

Kepustakaan:
Aditjondro, George Junus (2003). Korban-korban pembangunan: Tilikan terhadap beberapa kasus perusakan lingkungan di tanah air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagian II: Dilema Seputar Pembangunan PLTN, hal. 105 s/d 272.
--------------- (2006). Korupsi kepresidenan: Reproduksi oligarki berkaki tiga: Istana, tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: LkiS.
Eurodad (2007). Skeletons in the cupboard: Illegitimate debt claims of the G7. Brusssels: Eurodad.