Cukup lama ternyata saya melupakan blog ini nganggur...
terakhir posting Oktober 2010. artinya, udah hampir delapan bulan blog ini tidak ter-up date. waktu yang cukup untuk menyiapkan seorang manusia untuk melihat dunia nyata sejak sang ibu dibuahi sang ayah..
Selama delapan bulan, tidak sedikit hal2 yang menarik yang bisa ditulis untuk menjadi bahan renungan, khususnya buat saya sendiri. karena lewat tulisan, kapan pun kita bisa membuka, membaca dan kembali merasakan apa yang kita pikirkan saat itu. bahkan beberapa kasus yang dialami saya sendiri, tulisan2 lama berpotensi untuk dikembangkan dan menghasilkan gagasan kreatif yang luar biasa. atau paling tidak, tersenyum simpul karena hipotesis saat itu terbukti pada saat ini.
Gonjang ganjing Merapi salah satunya. paska erupsi besar tidak lama dengan posting saya terakhir, muncul kebijakan untuk memindahkan penduduk yang masuk kawasan rawan bencana ke tempat yang lebih aman. bersamaan dengan itu, ada kebijakan lain yang akan menjadikan eks perkampungan yang akan ditinggalkan relokasi menjadi bagian perluasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Dari tulisan yang sempat saya tulis saat itu, dimana gonjang ganjing terjadi pada proses penetapan kawasan Merapi menjadi taman nasional. Saya yang saat itu menjadi kepala suku WALHI DIY melakukan upaya-upaya penolakan atas proses maupun sistem TN sebagai pilihan untuk sistem kelola kawasan Merapi. agak aneh padangan umum; kok bisa, WALHI sebagai organisasi lingkungan hidup menolak sebuah kawasan menjadi TN? Bukannya seharusnya WALHI mendukung penuh kebijakan tersebut??? dimana TN dianggap sebagai kelas tertinggi atau paling bergengsi untuk kawasan konservasi.
Salah satu alasan penolakan saat itu selain persoalan proses yang tidak pertisipatif dan menabrak kebijakan yang lebih tinggi, tim ahli yang di pimpin UGM dan dimotori BKSDA DIY juga banyak melakukan manipulasi proses. Dan yang pasti, tidak satupun contoh kasus sukses TN mampu mensejahterakan rakyat pinggiran hutan. sebaliknya, terlalu banyak pelanggaran HAM dengan alasan konservasi.
Yang juga saat itu menjadi wacana adalah, perluasan wilayah TN dengan alasan daerah rawan bencana. dengan alasan membahayakan keselamatan jiwa, maka sah kiranya wilayah-wilayah yang dianggap rawan bencana dijadikan sebagai kawasan terlarang untuk dihuni. dan ini merupakan pengulangan sejarah tentunya paska erupsi Merapi tahun 1994. dimana dusun Turgo sempat dihilangkan sebagai kawasan administratif Kabupaten Sleman. dan alasan untuk perluasan TN tentu sedikit menguntungkan bagi pemerintah maupun pemda dari serangan publik.
Nampaknya, ini juga akan mengembalikan memori dari tulisan kecil saya terhadap pasal 32 UU No 24/2007. Saat itu saya sempet membuat tulisan kecil dan menjadikan isu kampanye dalam mengkritisi draft RUU PB. ada implikasi besar jika pasal tersebut menjadi bagian dari UU. karena kebijakan ini sangat berpotensi terhadap pelanggaran HAM oleh negara, khususnya hak ekosob.
Bagaimana tidak, memindahkan komunitas tentu tidak hanya memindahkan orangnya dan menyiapkan tempat tinggal. sementara, hal lain dipikirkan berikutnya. bagaimana dengan mata pencahariannya, fasilitas publik; fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dll, maupun sistem sosial yang sebelumnya telah terbentuk. belum lagi interaksi dengan lingkungan baru yang bisa jadi memunculkan pesoalan baru.
pasal ini juga sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Indonesia sebagai negeri yang subur atas praktek KKN, akan memanfaatkan kawasan-kawasan potensial untuk dikuasai setelah sebelumnya dikosongkan. Dengan alasan rawan bencana, praktek relokasi yang dibenarkan oleh UU ini akan berjalan mulus.
dan itu sangat mungkin terjadi... bukankan Negeri ini juga 84% wilayahnya merupakan rawan bencana???????
Relokasi Pilihan Terakhir
Para praktisi maupun ahli manajemen risiko bencana sepakat, atau paling tidak umumnya berpendapat, relokasi bukan lah barang haram. tapi relokasi juga harus dilakukan secara hati2. atau gampangnya, relokasi adalah pilihan terakhir. relokasi juga idealnya dilakukan atas kesepakatan bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Pada beberapa kasus, relokasi merupakan jalan satu-satunya. misalnya wilayah yang terkena longsor atau abrasi. atau wilayah yang sangat terancam. pilihan satu2nya karena wilayah tersebut memang tidak bisa lagi dijadikan tempat tinggal yang layak.
Namun pada kasus itu pun, proses dialog harus tetap dilakukan secara benar. dan penyiapan tempat baru tidak lebih buruk kondisinya dengan lokasi yang dikosongkan dalam artian menyeluruh. karena kebutuhan untuk hidup tidak hanya rumah sebagai tempat tinggal, tapi juga mata pencaharian (pekerjaa) maupun fasilitas-fasilitas publik sebagaimana telah dijanjikan oleh negara seperti fasilitas pendidikan, kesehatan maupun lainnya.
Menjadi pertanyaan dan tentu harus mampu dijawab adalah; apakah relokasi yang disiapkan buat warga merapi merupakan pilihan terakhir?
apakah tempat baru lebih baik dari tempat yang saat ini mereka tinggal. tentu tidak hanya dilihat dari sisi ancaman erupsi dari merapi, tapi juga dari unsur yang lain?
Lebih jauh, untuk menghindari friksi atau penolakan2 publik yang akhirnya membutuhkan energy dan sumberdaya lebih banyak, akan lebih baik dari pengalaman2 melakukan relokasi, pemerintah dan para praktisi dengan melibatkan masyarakat secara luas menyusun sebuah indikator yang jelas dalam mengoperasionaliasikan kebijakan relokasi.
seperti; 1) wilayah hunian tidak layak (apa indikator hunian atau wilayah rawan bencana disebut tidak layak), 2) bla... bla... bla.....
djakarta, 23 April 2011