Tuesday, February 17, 2009

MAINSTREAMING DISASTER RISK REDUCTION INTO SPATIAL PLANNING

Keren buangettttt judulnya. lebih tepatnya.. Mengerikan. Udah pake engris... topiknya juga sangar. Hanya expert ruar biasa yang sanggup "sepertinya" yang bisa nyusun topik ini.. apakah ini berarti tulisan sederhana ini sebagai media proklamasi "sang penulis" sebagai expert??? tent tidak... karena sebagai "anak kemarin sore", hobbinya kan caper alias cari perhatian... gitu lah kira2 salah satu niat tersembunyi dari tulisan ini. mudah2an, jadi renungan kita bersama untuk penyusunan tata ruang di mana pun dan kapan pun.

Penataan ruang adalah sebuah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (ps 1 (5) UU No 26/2007). Gunanya menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. begitu penting fungsi penataan ruang, tidak salah kalau banyak para "orang pinter" mempelajarinya dengan sungguh2. Ini tidak lepas dari peluang yang diberikan tujuan dan fungsi dari tata ruang.


Buat orang yang separo otaknya berisi materi, tata ruang adalah peluang bisnis yang menggiurkan. tidak hanya peluang untuk terlibat menyusun, tapi juga peluang-peluang lain dalam pemanfaatan ruang itu sendiri. misalnya menjadi spekulan tanah, investasi dll. Buat si penyusun tata ruang, kewajiban daerah untuk menyusun tata ruang adalah peluang bisnis sambilan yang menjanjikan. karena tidak kurang dari setengah milyar akan dikelola sebagai imbal jasa dalam penyusunan tata ruang per kabupaten/propinsi.

Tata Ruang dan Ancaman Bencana
Jauh sebelum tsunami menyapu sepanjang pantai barat - utara negari serambi mekah, daerah rawan bencana telah menjadi perhatian dalam penataan ruang. Daerah-daerah rawan bencana seperti longsor, banjir atau erupsi gunung api ditetapkan sebagai daerah pengembangan terbatas. atau bahkan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Penetapan kawasan ini semakin kuat dengan kejadian bencana yang lebih mendapatkan pertatian setelah akhir Desember 2004. bagaimana tidak, lebih dari 300 ribu jiwa menjadi korban ganasnya gelombang tsunami yang sebelumnya diguncang oleh gempa berkekuatan besar, 8,9 SR. tiga bulan berikutnya, kembali gemba menggoyang yang merontokan Nias dan kepulauan Simeulue.

Karena perhatian menjadi lebih atas kejadian bencana, seolah negeri ini tak kunjung berhanti menghadapi kejadian bencana. kejadian-kejadian tersebut seolah mengantri menunggu giliran. dari mulai banjir bandang, banjir genangan, angin puting beliang, erupsi gunung api, maupun yang telah menjadi teror sebagian warga negeri ini; gempa dan tsunami. Belum lagi wabah dan mal nutrisi alias kelaparan. Konflik sosialpun menyeruang diantara bencana yang picu olah Alam. dan Bencana akibat gagalnya teknologi skala besar, melengkapi kejadian-kejadian bencana menjadi sepurna.

dari kejadian-kejadian, entah dipicu oleh kejadian alam atau manusia, tata ruang menempati posisi strategis. kesalahan menyusun atau menterjemahkan dokumen/kebijakan tata ruang berakibat sangat fatal. investasi bertahun2 musnah dalam hitungan detik atau menit. anggaran negara tersedot luar biasa sebagai respon atas kejadian bencana. belum lagi kerusakan atau kehilangan aset milik warga dan pihak swasta. begitu besar kerugian yang diderta akibat dari kejadian bencana...
lalu dimana letak pembelajarannya? apakah telah menjadi lesson learn bagi semua pihak. buat pemerintah, rakyat, swasta. lebih spesifik lagi, apakah juga telah menjadi pelajaran berharga bagi pihak-pihak penyusun tata ruang?

Tata ruang dan proses penyusunan
Pemda berkewajiban memiliki tata ruang merupakan sebuah kewajiban dari daerah untuk

Telah menjadi rahasia umum, penyusunan tata ruang selalu diwarnai polemik. dari mulai ketidak transparan dalam proses penyusunannya, tidak partisipatif, atau yang lebih menjijikan... cukup copy paste dari yang telah ada. celakanya... kerap ditemukan, copy paste yang "jorok". Nama daerah di propinsi/kabupaten lain muncul pada daerah yang sedang disusun tata ruangnya. ajaibnya.. konsultan penyusun tata ruang merasa "aman damai" tanpa ada rasa salah sedikitpun.

Tidak transparannya penyusunan tata ruang lebih disebabkan alasan waktu dan biaya. banyaknya masukan atau kritikan, tentu akan menambah waktu yang berimplikasi pada biaya. Menutup akses proses penyusunan adalah jalan yang dipilih kebanyakan konsultan selama proses penyusunan. Jangan aneh, jika warga yang berminat atas proses penyusunan tata ruang kesulitan mengakses telah sejauh mana proses penyusunan, apalagi dokumentnya. Konsultasi publik yang menjadi bagian proses pun kerap di persempit maknanya lewat keterwakilan.

Alasan pembenar para konsultan adalah; mereka di kotrak oleh Pemda. sehingga tanggung jawabnya tentu hanya sama Pemda. sebagaimana layaknya sebuah bisnis tentunya. dan mereka akan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah, terserah pemerintah mau apakan hasil mereka. termasuk tidak terpakai...

Mereka lupa, diluar urusan bisnis, mereka sedang menentukan masa depan hidup dan kehidupan jutaan warga negara.
Konsultan tata ruang yang umumnya para akademisi dengan sederet gelar, pun lupa, ada yang mengikat mereka melalui tri darma perguruan tinggi. juga sumpah jabatan dll.
Namun, otak matrialistis telah menutup aturan maen dan tanggung jawab sebagai warga negara, sebagai manusia dan sebagai hamba dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Penataan ruang diselanggarakan dengan memberhatikan ; kondisi fisik negara kesatuan RI yang rentan terhadap bencana.. (ps 6 (1) point a). Menjadi menarik, perspektif bencana menjadi pertimbangan atas pembuatan undang-undang ini. artinya, saat penyusunan, telah disadari tingginya tingkat kerentanan benacana di negeri kepulauan ini.

Namun sayangnya.. ancaman bencana yang dimaksud hanya dibatasi pada bencana alam. tidak untuk bencana non alam. Padahal.. pemicu bencana non alam atau penggabungan antara alam dan non alam sebagai pemicu bencana.. tidak kalau besar. Bahkan kalau mau jujur, kejadian bencana akibat dari non alam jauh lebih besar.

Kembali ke proses penyusunan tata ruang, kerentanan bencana agaknya belum ditempatkan sebagai pertimbangan khusus. dari beberapa tata ruang yang ada, penanggulangan bencana yang juga dimandatkan dalam UU No 24/2007 hanya "diselipkan" sekedar memenuhi kewajiban. Jika pemerhati PRB tidak ikut terlibat atau kurang jeli, bisa dipastikan... rencana tata ruang sebuah wilayah akan melenggang mulus menjadi kebijakan.

Terlewatkannya PRB dalam RTRW, tentu tidak lepas dari kapasias sang penyusun dalam memahami PRB. selain faktor "malas" memeras otak atawa sekedar berdiskusi dengan para penggiat PRB. Hampir tidak pernah ada kabar, penggiat PRB yang saya kenal bercerita diajak diskusi dengan para konsultan RTRW. Cerita yang ada, ketika mereka ingin melibatkan diri pun, mereka kesulitan. sekalipun mereka berkawan karena satu kampus...

PRB dalam Rencana Tata Ruang
Harus diakui, belum cukup mainstreaming PRB dalam UU penataan ruang. PRB dalam UU No 26/07 baru ditempatkan sebagai ancaman dari alam. UU tersebut juga terlalu gegabah dengan menyatakan "cukup jelas" dalam penjelasan pasal. Kondisi berimplikasi pada pasal turunan, juga pelaksanaan penyusunan RTRW dilapangan.

Aceh, Jogja dan Sumatra Barat serta Papua adalah contoh tragis. wilayahnya yang telah diporak porandakan oleh bencana, ternyata tidak menunjukan "penyesalan" salah urus wilayah. Rencana Tata ruang tentu salah satu biang atas bahaya yang terjadi berubah menjadi bencana maha dahsyat. tidak terpetakannya kawasan rawan bencana secara spesifik, menyebabkan pemanfaatan ruang tidak disesuaikan dengan kondisi ancaman. tidak ada upaya maksimal sebagai bentuk reduksi risiko bencana. sampai terjadinya kejadian luar biasa dengan mengorbankan jiwa, harta, mata pencaharian, fasilitas publik maupun lingkungan.

kejadian bencana yang luar biasa, seharusnya menempatkan pemerintah daerah menjadi belajar. apa yang mereka abaikan, telah menyebabkan malapetaka. pengembangan kawasan pada kawasan rawan bencana (kota) secara otomatis mendorong pertumbuhan ekonomi. tidak dilakukan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Bahkan informasi jika kawasannya rawan bencana pun tidak terdengar. Jika ditengok lebih jauh... dalam tata ruang yang ada, yang dibuat para cerdik pandai perguruan tinggi nan terkenal, tidak menyebutkan kawasan pesisir barat - utara aceh sebagai kawasan rawan bencana gempa dan tsunami. pada sepanjang bantul-klaten merupakan kawasan rawan gempa. juga wilayah padang..

RTRW sebagai acuan dasar arah pembangunan dan peruntukan ruang juga menjadi dasar keluarnya perijinan, termasuk ijin mendirikan bangunan (IMB). ketika dalam tata ruang tidak memasukan kerentanan yang ada, maka tidak ada halangan instansi pemda memberikan ijin pada siapaun. tidak ada catatan khusus.. karena daerahnya dianggap aman. Lebih celaka lagi, yang dilakukan Pemda Bantul. Kawasan rawan bencana yang ditetapkan sebagai kawasan lindung, dirubah menjadi kawasan industri. kawasan lindung yang melekat pada kawasan rentan bencana dihilangkan melalui amandemen Perda. kelambanan investastor mengisi tawaran Pemda Bantul, sedikit menyelamatkan investasi ketika gempa berkekuatan 5,9 sr memporak porandakan bantul, termasuk kecamatan piyungan yang telah berubah status menjadi kawasan industri (kawasan strategis Kabupaten).

Saat ini, akibat dari terjadinya bencana besar, UU mengamanatkan untuk menyusun ulang rencana tata ruang.
"Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala
besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan
batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun" (ps 20 ayat 5. Pasal serupa berulang berlaku di tingkat Provinsi dan Kabupaten.

Karena ada pemicu, apakah RTRW yang disusun ulang telah menempatkan ancaman bencana sebagai ruh dari tata ruang yang dibuat? apakah konsultan yang mendapatkan mandat penyusunan, dengan kesadaran tinggi pun menempatkan mandat tersebut diatas mandat administrasi dan ekonomi? apakah juga tidak ada pesanan khusus dari Pemda, untuk tetap ngotot menjual aset-aset alam demi PAD?

Kajadian bencana skala besar seharusnya ditempatkan sebagai satu refleksi atas kejadian-kejadian bencana lainnya. besar atau kecil sebuah kejadian bencana, tetap merupakan bencana. yang menyengsarakan warga negara, merusak lingkungan dan tentu akan menguras anggaran negara. selain gempa dan tsunami di aceh, telah nyata terjadi kejadian banjir bandang, lognsor, wabah, kegagalan teknologi, konflik satwa. Bahkan kejadian banjir tahun 2007 di aceh tengah, aceh utara, sigli, pidie dan lhoksuemawe menyebabkan ratusan ribu warga negara mengungsi. artinya, bencana banjir tersebut masuk katagori sangat besar.

Ancaman bencana lain selain gempa dan tsunami tentu harus menjadi perhatian dalam penyusunan RTRW. Namun apa yang terjadi. dari draft yang disusun melalui BRR (tentu ada konsultan dari perusahaan yang orangnya diambil dari perguran tinggi) sangat dangkal. Bahkan pada proses pembangunan kembali di tapak bencana gempa dan tsunami sendiri. RTRW sebagai media pengurangan risiko bencana sama sekali tidak muncul. Bencana hanya dipahami sebuah kejadian alam yang merusak dan membunuh.

Tidak berbeda dengan daerah lain. Jogjakarta sebagai kota pelajar pun melakukan hal yang sama. gempa, tsunami, eruspi gunungapi, banjir, longsor maupun angin ribut serta wabah tidak ditempatkan sebagai ancaman bencana yang harus diminimalisasi risiko melalui rencana tata ruang.

Dari proses penyusunan RTRW, khususnya pada kawasan yang telah mengalami dahsyatnya bencana hampir semuanya dilakukan secara tertutup. Publik dihadapkan setelah dokument RTRW selesai dan mulai dibahas di DPRD. Bisa ditebak... pembahasan ditingkat legislatif lebih mementingkan posisi formal. Bisa jadi.. sang legislatif sendiri tidak mempunyai cukup kapasitas membaca dan menganalisis dok. RTRW yang diajukan eksekutif. Mau tanya.. malu... dikasih masukan sok tahu. apalagi jika di tingkat legislatif sendiri punya kepentingan terhadap pengembangan kawasan.

Keterbukaan, sebuah alternatif
Di era terbuka seperti saat ini, menjadi keharusan semua proses yang Berhubungan dengan kepentingan publik dilakukan secara terbuka. termasuk dalam proses penyusunan dan pengesahan RTRW. siapa konsultan yang ditunjuk pemda, berapa nilainya, kapan waktu dan berapa lama, maupun metode, serta mekanisme komunikasi bisa diketahui publik. proses terbuka seperti ini, jika dilihat dari sisi posisif, justru akan memudahkan konsultan dalam proses penyusunan. karena input dari masyarakat secara langsung dapat diterima, tanpa harus menunggu jalur formal, seperti konsultasi publik atau interview.

Tim konsultan, bisa juga diambil dari berbagai ahli dibawah koordinasi pemda. bukan dilelang kepada perusahaan jasa konsultan. tim penyusun tata ruang, bekerja aas dasar surat keputusan kapala daerah. rekrutment dibuat terbuka dengan persyaratan yang jelas. Untuk memenuhi kebutuhan, tim harus terdiri dari beberapa ahli, termasuk didalamnya adalah ahli pengurangan risiko bencana.

Dengan sistem informasi yang canggih, bukan halangan proses penyusunann yang dilakukan bisa terus disampaikan kepada publik, baik melalui web site maupun melalui media lainnya. Publik yang dapat memberikan masukan, bahkan berkonsultasi dengan tim penyusun melalui media yang disediakan.

Media-media pertemuan ditingkat masyarakat yang telah ada, dapat dijadikan media sosialisasi atau media interaksi tim penyusunan tata ruang langsung dengan publik. selain biaya yang dikeluarkan menjadi hemat, juga akan mendekatkan diri dengan masyrakat.

Sebisa mungkin, RTRW yang disusun bersifat aplikatif. tidak lagi menunggu parturan pelaksana.

Monday, February 16, 2009

DISASTER MAINSTREAMING DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA

Semilir hembusan angin, berpadu dengan hijau kebiruan laut... begitu tenang. Tak terlihat gulungan ombak yang menakutkan. Beningnya air laut menampakkan pesona terumbu karang nan indah di dalamnya. tentu dengan berbagai ragam keindahan tentunya. selain manfaat yang luar biasa dari kehadiran terumbu karang secara alamiah.. Salah satunya penahan gelombang, termasuk tsunami

Pulau Weh atau lebih dikenal dengan Sabang, hanya salah satu dari ribuan tempat yang memiliki keindahan pantai di Negeri kepulauan ini. Masih ada Bunaken, Raja Ampat, Nusa Ceningan, Karimunjawa, Ujung kulon dll. Dengan luas 121 Km2, pulau Weh memiliki cerita panjang dibalik alamnya nan memikat. Jauh sebelum perang dunia ke dua, pulau sabang telah menjadi tempat penting dunia. Secara alamiah, pulau Sabang telah membentuk palabuhan yang sempurna. tak salah ketika pemerintahan Hindia Belanda mengembangkannya sejak tahun 1881. Pada tahun 1895, Sabang pun menjadi pelabuhan bebas, yang dikenal dengan vrij haven, dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij. Sabang pun mengalami masa suram, ketika sekutu membombardir wilayah tersebut karena dikuasi Jepang, tahun 1942.

Kemurahan alam tersebut pada pengembangan ekonomi pun dilengkapi pesona lain. Pantai yang menawan dengan terumbu karang yang indah. tidak cukup dengan itu, Pulau Weh ini masih mempunyai danau yang dikenal dengan anek laot. Kesempurnaan pulau weh bak cipratan surga. tinggalah.. bagaimana mengelola anugrah luar biasa ini dapat memakmurkan 26.505 jiwa rakyatnya (bps 2003).

Keindahan membuat hanyut.. terlena.. bahkan lupa daratan. tak peduli keindahan itu berbentuk apa.. termasuk keindahan alam. keindahan yang disediakan alam, menjadikan manusia hanyut dan terlena. Dapat melupakan problem atau hanya sekedar menyegarkan pikiran. dengan alasan itulah, pariwisata dibuat. dicipta untuk membuat manusia dapat melupakan rutinitas yang membelenggu pikiran dan fisiknya.

Adalah kenyataan, keindahan alam yang selanjutnya dikembangkan menjadi tempat2 wisata, kerap berdampingan dengan ancaman bencana. Segarnya alam pegunungan dan hutan, bersanding dengan ancaman erupsi gunungapi, banjir bandang atau longsor. Ini hampir merata pada objek2 wisata yang berkemang di negeri ini. Gunung Merapi, Slamet, Bromo, Semeru, Bahorok, Pacet adalah sebagian contoh kawasan tersebut. demikian juga kawasan pariwisata pantai nan mempesona. gempa dan tsunami pun menempel pada kawasan tersebut.

Selain bersumber dari alam, bencana pun bisa datang dari manusianya. salah urus dan salah kebijakan bahkan lebih mendominasi kejadian bencana 10 tahun terakhir. Banjir dan longsor, tidak lagi bisa dianggap sebagai bencana alam. bencana yang dipicu murni akibat fenomena alam saja. hilangnya atau tidak berimbangnya daya dukung, daerah tangkapan air, alih fungsi lahan atau pengembangan pemukiman pada wilayah banjir lebih besar porsinya dibandingkan curah hujan. pada curah hujan itu sendiri, pun dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang penyebabnya adalah akibat manusia.

WISATA ALAM DAN TANTANGAN KE DEPAN
Bali begitu mendunia. Keindahan alam pulau dewata bak menyihir para pelancong untuk sekedar singgah atau berlama2 menikmati pulau seluas 5.808,8 Km2. Diantara sejuta keindahan yang ditawarkan, Bali pun termasuk jalur ring of fire, cicin api yang berpotensi terhadap gempa dan letusan gunungapi. Bali pun menjadi bagian wilayah yang terancam perjalanan lempeng aktif indo-australia, sehingga rentan terhadap kejadian gempa dan tsunami. Laut terbuka yang pada wilayah selatan, menyebabkan Bali pun rentan menghadapi badai dan gelombang pasang.

Kondisi ini sangat disadari paska kejadian gempa dan tsunami di Aceh, akhir Desember 2004. Hampir semua wilayah rentan tsunami kembali dipetakan. berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi risiko bencana tersebut. tidak hanya bali, tapi juga Padang dan wilayah barat pulau sumatra, sepanjang selatan Jawa, sulawesi sampai papua.

Tingginnya tingkat kerentanan, tentu menjadi tangan yang berat bagi pengambangan pariwisata. Telah menjadi pelajaran, bagaimana Pukat dan daerah wisata di Thailand menerima dampak akibat bencana tsumani. Juga daerah wisata di Kamboja, Indonesia; Aceh, Pangandaran, Kebumen, Cilacap, maupun Parangtritis. Wilayah yang menawarkan kenyamanan, justru menjadi mimpi buruk. tidak adanya early warning system, jalur evakuasi atau arahan2 untuk penyelamatan, menyebabkan korban bergelimpangan. demikian juga dengan bangunan2 yang tidak menyesuaikan sebagai bagian dari mitigation and preparedness.

Selain bencana yang dipicu alam, pengambangan pariwisata pun dapat terusik oleh ancaman lain. Konflik dan keamanan (termasuk terorisme) dan wabah dapat membuat sektor pariwisata tiarap. Segala keindahan alam dan kelengkapan struktur dan infrasuktur tak berarti apa2. Larangan kunjungan negara2 maju sebagai bentuk tanggung jawab negara melindungi warganya semakin memojokan selain informasi yang saat ini tidak lagi mengenal batas jarak dan waktu. saat ini kejadian, detik berikutnya informasi tersebut dapat diakses oleh seluruh orang di dunia.

Menjadi keharusan bagi setiap wilayah yang mengembangkan pariwisata menyiapkan upaya maksimal perlindungan dan penyelamatan bagi wisatawan. perlindungan terhadap tamu2 daerah kunjungan wisata, secara otomatis seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan upaya melindungi dan menyelamatkan warga negaranya sendiri. Komunitas yang menjalani hidup dan kehidupannya di wilayah tersebut. segenap upaya tersebut meliputi upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Mitigasi non struktural maupun struktural harus menjadi bagian dari upaya pengembangan pariwisata.

Peta bahaya dan risiko, jalur evakuasi, tempat-tempat evakuasi, peringatan2 ancaman bencana maupun sistem peringatan dini adalah hal mutlak yang harus ada. demikian juga buku2 saku atau practice tools tentang; apa, bahaya, risiko dan dampak serta apa yang harus dilakukan menjadi bagian yang harus dipahami setiap orang yang berkunjung ke wilauah tersebut.

pusat informasi pariwisata, hotel, restoran, souvenir shops, maupun kantor2 pemerintahan harus menjadi bagian dari upaya reduksi risiko bencana. menyediakan informasi lengkap atas upaya PRB. dengan kemasan yang cantik dan bahasa yang menarik, informasi penting ini tidak lagi menjadi teror. tapi menjadi bagian pembelajaran plus yang diterima wisatawan atas PRB. karena selain bahaya atau ancaman yang disampaikan, berbagai fasilitas penyelamatan atau upaya penyelamatan pun melengkapi informasi yang disampaikan. termasuk komunitas tanggap bencana atau komunitas yang mengembangkan pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat.

Ancaman tersembunyi
Disadari, pariwisata adalah sektor yang sangat rentan gangguan. sedikit saja isu negatif dapat mempengaruhi kunjungan wisata. Gosip terjadinya gangguan keamanan, secara cepat akan menyebabkan negara-negara maju akan membuat larangan atau peringatan kapada warganya. Demikian juga dengan wabah. Flu burung dan demam berdarah misalnya, secara cepat menyebabkan kunjungan wisata merosot tajam.

Selain yang bersifat terbuka, kerentanan pariwisata pun terjadi akibat pengalaman buruk. Perlakuan yang tidak mengenakan, tidak rasional dll akan menyebar dengan cepat. mempengaruhi agenda kunjungan wisata. Banyak kasus atas perlakukan atau suasana tidak nyaman terjadi tanpa terduga. penipuan, pencurian, perampokan, pelecehan sexual bahkan pemerkosaan.

Mulai tumbuhnya kepedulian lingkungan pada warga negara maju, pun akan mempengaruhi nilai dari kawasan pariwisata. Kerusakan lingkungan yang terjadi menuju tempat wisata berpengaruh besar untuk pengembangan wisata ke depan. Kondisi ini yang kerap tidak disadari Pemda atau pemerintah dalam pengembangan pariwisata secara general. Mereka masih menganggap, pengembangan pariwisata hanya ditentukan oleh promosi dan kelengkapan akomodasi-struktur dan infrastruktur serta jaringan transportasi.


Militer; keteribatan dalam Pariwisata dan PRB
Kehadiran militer maupun kepolisian pada sebuah wilayah kerap mengusik pikiran. ada yang senang, karena wilayahnya akan aman dari gangguan ketertiban, ada juga yang sinis karena akan memunculkan masalah baru. Bahkan ada juga yang secara terang2an menolak kehadirannya. Banyaknya persoalan atas kehadiran militer yang disandarkan atas kepentingan, menjadi alasan banyak pihak mengkritisi kehadiran militer, apalagi dalam jumlah diluar batas normal. ada apa dengan kehadian mereka?

TNI bagian dari rakyat, manuggal abri/tni dengan rakyat atau bakti TNI belum mampu menutup banyaknya keterlibatan oknum TNI dalam berbagai masalah. Illegal logging, penyelundupan atau perdagangan satwa langka dilindungi, backing kegiatan illegal (perjudian, prostitusi), atau sekedar menjadi kaki tangan pengusaha adalah diantara kerja2 TNI di luar tugas pokok, mengamankan negara.

Hal yang membuat blunder adalah, korsa TNI-Polri yang begitu tinggi. loyalitas institusi yang berlebihan, kerap menutup mata kesalahan2 yang dilakukan para oknum. Para komandan, kerap mati2an membela berbagai kesalahan yang dilakukan para anggotanya. dilain sisi, sikap ini merupakan bagian dari upaya menyelamatkan diri dari tanggung jawabnya sebagai pimpinan. dan ini terjadi secara terstruktur, sampai ke tingkat yang paling atas.

Tidak atau lemahnya penegakan hukum dikalangan TNI-POLRI, menyebabkan kelakuan menyimpang anggota TNI-POLRI terus berlanjut. tidak ada efek jera karena hukuman bahkan sistem akan mem-back up nya, sekalipun mereka melakukan kesalahan terhadap rakyat atau warga negara lain.

Menghadapi tingginya ancaman bencana yang begitu komplek serta upaya meningkatkan pendapatan negara dari sektor wisata, ada banyak peran TNI-POLRI, tanpa melepaskan mandat utamanya.. membela dan mengamankan NKRI.

bersambung.....

Thursday, February 05, 2009

TRAINER OR FACILITATOR???

Udara begitu panas. sinar matari bak berencana membakar isi bumi. Namun, diruangan berpendingin... panasnya suhu dari matahari tak sampai menyentuh kulit 35 orang yang berkumpul disana. sebaliknya, rasa sejuk menyelimuti ruangan. rasa nyaman yang diciptakan salah satu ruang hotel diharapkan membantu konsentrasi manusia-manusia yang sedang belajar menjadi seorang fasilitator...

"Menjadi fasilitator itu gampang... asalkan ada kemauan; belajar, sabar, berpihak kepada kepentingan masyarakat... dll, semua bisa melakukannya". Begitu kira2 dari trainer yang enggan di sebut seorang trainer. alasannya simple... "sejujurnya.. saya belum mampu jadi trainer. tapi kalau jadi fasilitator, gak ada masalah..".

Mengapa banyak orang lebih suka disebut fasilitator di bandingkan seorang trainer? Bener gak sih jadi fasilitator itu lebih gampang dari pada jadi trainer?
Ini dah lama membuat aku tergelitik... benarkah? apakah manusia2 yang telah merasa mampu menjadi fasilitator bener telah memahami posisinya, perannya.. tentu lengkap kemampuannya sebagai seorang fasilitator...

Ini sebenernya bagian dari perjalanan hidup.. sejak awal tahun 90'an. Pertama-tama, bangga menjadi instruktur diklat pencinta alam.. setelah sebelumnya selalu jadi peserta diklat kegiatan petualangan. dari mulai belajar survival di gunung gede, latgab SAR di gunung Cireme, trus masuk organisasi pencinta alam "MAPALASKA". Mengenang masa lalu... wissshhhhh... buangga gak ketulungan ketika dipercaya jadi seorang instruktur materi survival. selain emang pengetahuan dan ketrampilan hidup dialam bebas dah lama aku pahami, juga pernah prektek juga gara2 nyasar 21 hari di Ujung Kulon.

Kebanggaan masih terbayang, ketika pertama juga punya kesempatan sebagai narasumber materi lingkungan hidup, diluar komunitas aktifis. juga saat berkesempatan menjadi trainer untuk training PRA... Ya.. masih lekat deh rasa bangga itu. setelah sebelumnya... cuma jadi peserta ajah.. jadi peserta seminar, peserta workshop, peserta pelatihan, peserta kurus dll.

Tapi ketika mencoba mengingat2... kapan pertama kali jadi fasilitator??? rasanya kok sulit.. kapan awalnya.. dan mungkin berakhir sampe kapan juga...

Berawal dari racun tikus...
berita tentang sebuah pelatihan yang "memikat" menjadi pembicaraan di WALHI eknas. Ya, saat itu... aku masih bekerja di WALHI as manajer management risiko bencana. Pelatihan menjadi fasilitator handal. Dani Munggoro "sang racun tikus" itu. mencoba mengenalkan pola vibrant facilitator dengan kendaraan Inspirit Inc.

Mencoba mengingat2... ya.. ya.. pernah dulu waktu di WALHI Jogja mendapatkan undangan mengikuti training ini di Bali. but.. so sorry... muahhhaallllllll boooo.... Waktu itu, gileeee... di jogja yang namanya training gak pernah harus pake bayar. yang ada... malah kita dpt ganti uang transport. dan kalau beruntung.. dapat pula perdiem. kalau menggunakan sedikit akal culas... bisa dpt bonus. naek bus or kereta, pake tiket pesawat... mmmm... lumayan thoooo....?????

Ya.. ya... beruntung juga sih.. karena nyari dana untuk program Aceh lagi gampang2nya... WALHI pun dpt dukungan dari HIVOS untuk ngadain 3 kali putaran training "vibrant facilitator"; dua kali di Aceh dan sekali di Medan. pesertanya, tentu anggota walhi aceh dan sumut plus mitranya Hivos.

Dari racun tikus itu lah... peserta semua menjadi paham.... ada beda yang sangat signifikan antara trainer/pelatih, fasilitator dan narasumber. Namanya trainer, tentu peran dan posisinya melatih dari proses pelatihan. dalam sebuah pelatihan, bisa jadi ada narasumber. fungsinya.. menjadi orang yang memberitahu atau sekedar share pengetahuan dll berkaitan dengan sebuah topik. Namanya juga narasumber, sooo pasti.. dia harus expert dibidangnya. Lalu... fasilitator sendiri? fasilitator adalah orang yang bertugas membuat mudah sebuah proses pertemuan, dialog, diskusi, dll. fasilitate sendiri konon berasal dari bahasa yunani, fasil.. yang artinya memudahkan..

Beberapa hal penting dari fasilitator adalah.. konten netral. artinya menghilangkan subyektifitasnya. apalagi mengarahkan pertemuan sesuai dengan kemauannya dia.. mmmm.... dan yang penting.... seorang fasilitator harus mampu merubah suasana negatif (bosan, jenuh, suntuk, ngantuk dll) menjadi suasana penuh suka cita. mempu merubah pikiran peserta yang pasif menjadi inovatif..
sebuah tantangan berat... (kalau gak dibilang... susah juga yaaa??????)

Trainer atau pelatih adalah untuk mengajarkan sesuatu agar orang tersebut bisa, punya pengetahuan dan kemampuan singkatnya. Pelatih atau trainer boleh dibilang sama dengan guru.. yang mengajarkan sesuatu agar si peserta paham dan tahu.. fasilitator... gak harus. karena yang dikejar adalah hasil dari pertemuan tersebut. entah itu berupa kesepakatan.. kesepahaman.. or.. sebuah konsep.

training of trainer vs training for facilitator...
dari banyak kasus yang ditemui, sepertinya "judul" fasilitator lebih familier dibandingkan trainer. lebih berwibawa menggunakan nama fasilitator dibanding trainer. kondisi ini kerap menjebak... tanpa memahami substansinya. atau kadang juga, tujuan yang hendak dicapai.. ya gak jelas juga. Maunya apa?????

Kami ingin mencetak seorang fasilitator lapang yang handal. yang mampu memfasilitasi dan mengorganisir masyarakat lokal untuk mereduksi risiko bencana. untuk itu... kami akan mengadakan TOF (Training of Facilitator). kami Belum butuh mencetak trainer...
Ini salah satu percontohan saja, bagaimana ketidak jelasan output dan objective menyebabkan kerancuan sebuah proses pelatihan. karena yang ada dilapangan, gak cuma masyarakat lokal, tapi bisa juga organisasi, atau hanya berupa komunitas saja.

Karena yang akan dicetak adalah seorang yang mempunyai kemampuan mengorganisir masyarakat serta mampu memfasilitasi berbagai pertemuan.. dipilihkan paket instant. materi dasar tentang DRR + community organizing + teknik fasilitasi. waktunya... bisa dibuat didasarkan atas pesanan juga. Tentu beserta bumbu pembenar.. misalnya.. peserta diasumsikan dah tahu tantang DRR, punya pengalaman mengorganisir masyarakat plus pernah juga memfasilitasi berbagai kegiatan. faktanya benar atau tidak, gak penting juga... karena, yang penting.. ada pembenar, jika training tersebut cukup dilakukan 5 atau 7 hari, dengan masa belajar efektif 6 jam.

Agak diabaikannya latar belakang peserta, bisa jadi pelatihan tersita untuk materi dasar itu sendiri. sisanya.. ya dibagi dua.. CO dan teknik fasilitasi. Beberapa pensiasatan keran juga dilakukan. misalnya... dengan memberikan materi yang akan diberikan kepada calon peserta, atau dibuat semodel pre test.

Hal yang menarik adalah, selain proses training itu sendiri yang kadang gak nyambung.. jauh dari output (karena out put juga kadang gak jelas juga...), adalah posisi si pemberi materi. Berperan sebagai apa? fasilitator or pelatih???? sekalipun gak begitu penting penyebutan itu dibanding hasil dari porses itu sendiri, tapi menjadi penting ketika digali lebih dalam... seberapa siap dia memerankan diri sebagai trainer atawa facilitator?

Lah.. kalau yang ngasih training aja gak dong posisinya... gimana dia mau mencetak para peserta pelatihannya tho....???? jadi.. penting-penting gak penting dongggg...???

Pola Instant... bikin ruwet
Pola instant, memang saat ini gak cuma milik mie instant kaya supermie, indomie dan yang sejenisnya. dari jenis makanan instant sendiri, sekarang dah macem2. sampe2, makanan tradisional pun dikemas dalam pola instant.. tiwul instant... by indofood.

dalam kehidupan sehari-hari, pola instant betul2 menjadi racun dan telah merubah sosial kultur. sebelumnya, untuk mengundang warga dalam pertemuan dilakukan dengan cara mendatangi warga satu persatu. dalam pertemuan tersebut, terjadi interaksi sosial. sekarang.. cukup kirim sms. demikian juga pada pola pertanian. Sebelumnya, pupuk harus dibikin sendiri, demikian juga pestisida dan benih. Lah sekarang.. mohon pangapunten... mending beli aja di toko, tinggal lep... kata dedy mizwar sih. sehingga, menjadi masalah bessssaaarrrrr, ketika terjadi kelangkaan pupuk, benih atau pesitisida. bukan ditempatkan sebagai peluang untuk kembali pada pertanian selaras alam.

Pola instant.. juga terjadi pada proses capacity building for community empowering. sekedar beromantisme... untuk mempelajari PRA, dasar2nya dibutuhkan waktu tiga bulan. peserta training selain mempelajari berbagai alat PRA, juga diberi penjelaskan secara paripurna.. substansi dari PRA itu sendiri. titik tekan.. PRA hanya alat.. bukan tujuan. lalu dari sembilan alat PRA yang sakti mandra guna.. tidak harus juga dipake semua. antar alat bisa saling melengkapi datanya. mendatangi warga, bukan mengumpulkan warga. sebelumnya, harus ada analisis sosial dilokasi tersebut... dan bla.. bla.. lainnya.

sekarang nihhhh... PRA cukup dibikin tiga hari saja. trus peserta pelatihan diminta (karena sebagai RTL) untuk mempraktekan di desanya masing-masing. Kelucuan kerap terjadi disini. sebagai orang lokal, peserta yang lagi praktek kerap memposisikan dirinya sebagai orang luar. Nanya ini itu kepada tetangganya sendiri. atau.. kalau dah kecapean.. dipilih cara instant juga.. peserta mengisi data-data yang dibutuhkan.. beres tho... karena hasil PRA sendiri kerap hanya diposisikan sebagai bahan verifikasi project. atau.. PRA diposisikan sebagai studi. weleh.. welehh... cilaka thoooo.....?????

pendekatan instant sebetulnya juga gak lepas dari para aktor2 pelaksana project. lembaga donor, minta cepat dengan dana seminal mungkin. si pelaksana project yang ketakutan gak dpt project.. akhirnya manut maunya si lembaga donor. demikian juga si orang yang ketiban puluh untuk jalanin kegiatan yang di setting jadi instant.

Bagaimana mungkin, sebuah organisasi yang belum pernah mempelajari DRR secara sistematis, bisa langsung bikin kegiatan TOF? kenapa bisa begitu???
berawal dari si pemilik organisasi yang merasa mampu (lebih tepatnya gengsi), harus mempelajari DRR dari dasar. pengalaman lapangan dah cukup lahhhh... tiap bencana selalu melakukan response thooo... si donor, seneng juga kasih duit langsung untuk membiayai TOF. celakanya.. si trainer atau fasilitator.. juga seneng jalaninnya.. karena waktunya jadi singkat dengan bayaran yang sama..

klops.. and klops..

tantangan ke depan.. bukan lah persoalan instant atau pembedaan nama fasilitator atau trainer. tapi kembali ke capaian yang hendak dicapai. what is results for that?
menjadi menarik justru, jika kita bersama mampu menciptakan berbagai inovasi baru dalam proses training atau workshop. kalau emang evektifnya bisa dihasilkan dalam waktu singkat.. kenapa harus berlama2. but... jangan korbankan peserta atau siapapun karena ke sok tahuan kita atas sesuatu.

TRAINER OR FACILITATOR BRO... up to u....