Kupret merapatkan dekapan tangannya ditubuhnya sendiri.. sesekali, dia membenahi pakaian yang tidak cukup tebal melindungi hawa dingin dari pengatur udara hotel.. ada rasa sesal tidak memakai baju yang tebal. Kalau perlu.. jaket bulu angsa untuk di daerah dingin.. agar konsentrasinya mendengar dan mebahas materi2 penting community base disaster risk reduction tidak terganggu. Mau keluar dari ruang yang sedikit menyiksa.. dia merasa gengsi.. selain ada rasa sayang jika harus tertinggal mendengar para pakar menyampaikan berbagai teori dan pengalaman penerapan CBDRR tersebut..
Ketika waktu diskusi tiba... ruangpun begitu ramai setelah sebelumnya hanya satu suara yang memenuhi ruangan. "lalu, kapan dan dimana CBDRR itu bisa diterapkan?, Kupret bertanya lantang sebagai bagian usaha menghilangkan rasa dingin yang menyelimuti tubuhnya". Kumo, sang pakar CBDRR pun dengan tenang menjawab.. tentu dengan penuh keyakinan. "CBDRR idealnya dilakukan sebelum terjadinya bencana". "karena masyarakat berkesempatan mengetahui berbagai jenis bahaya yang berpotensi menjadi bencana di wilayahnya", "juga mengetahui kapasitas dan kerentanannya". "lalu secara partisipatif, disusun sebuah rencana aksi bersama pengurangan risiko"... lalu... bla.. bla.. bla... Kumo terus mengumbar kata2nya selama 15 menit tanpa jeda.
"Taapiiiiiiiii..... jangan salahhhh... CBDRR pun dapat diterapkan saat kejadian bencana, dari mulai respon darurat, bantuan darurat, pemulihan maupun pembangunan kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi)". Kumo mengakhirinya sambil melepas senyum termanisnya kepada ratusan peserta pertemuan nasional tersebut.
Sementara di sebrang sana.. Kacung pun menggigil kedinginan.. badannya basah kusup akibat guyuran hujan. tenda yang dia bangun dari sisa2 bahan bangunan tidak cukup melindungi dia dan keluarganya terciprat air yang ditumpahkan dari "langit". Tidak hanya Kacung rupanya.. masih ada ribuan kacung dan kacing mengalami hal yang sama.. kedinginan akibat hujan atau terpaan angin yang tak bersahabat. Bahkan menahan rasa lapar pun menjadi bonus penanganan bencana yang belum menemukan sistemnya. Menggadaikan sementara kehidupannya di masa depan adalah pilihan yang harus diterima diantara ribuan warga lain yang mencoba membantu melalui berbagai lembaga kemanusiaan yang turun ke lokasi2 bencana.
Jikalau CBDRR bisa diterapkan saat kejadian bencana, kenapa tidak sekarang? dimana warga Sumbar, Jambi, Jawa Barat, Madina dll saat ini dalam posisi menderita karena ketidak jelasan sistem penanganan bencana. Jika CBDRR mempu menjamin, hak2 warga terpenuhi, baik kebutuhan dasarnya maupun hak mendapatkan perlindungan.. kenapa masih terus didiskusikan. tidak kah cukup diskusi2 itu dilakukan sebelum2nya. tidak kah cukup keberadaan teknologi saat ini merangkum hasil kerja otak para cerdik pandai menerapkan CBDRR ini? apalagi dengan kontras yang sangat tinggi seperti dialami kacung dan kupret. sekalipun sama2 kedinginan, tapi dalam kontek yang jauh berbeda. sebagai orang yang gak ngerti apa2 seperti saya ini.. tentu teramat sayang... mengeluarkan biaya yang pasti super besar untuk penyelenggaraan serangkaian diskusi itu.
"Jangan salah boss... seluruh peserta membiayai dirinya sendiri. bahkan untuk penginapan dan makanan yang mereka santap. Kami penyelenggara, hanya mencoba memfasilitasi pertemuan ini.. jadi anda salah kalau mengatakan, biaya yang dikeluarkan penyelanggara itu super besar".
"Eithhhh... anda lupa kawan.. sekalipun peserta mengeluarkan biaya sendiri.. tetap harus dihitung sebagai biaya. hanya sumbernya saja yang berbeda. yang namanya transport papua - makasar, tetep harus bayar pake uang kan. belum lg biaya menginap selama 3 hari, perdiem dan transport lokal. sekalipun bukan anda atau penyelenggara yang keluarkan. Kalau anda hitung secara keseluruhan, berapa dana yang dikeluarkan untuk ini semua kawan?"
"Hayyaahhh... ente aktifis, selalu saja menggunakan pandangan negatif". "Apakah tidak ada sedikit ruang untuk berpikir positif, teman". please, anda biasa juga mengikuti pertemuan model gini khan?".
"Tentu kawan, kalau dihitung2, gak cukup jari saya dan jari ente saya mengikuti pertemuan model gini". "tapi persoalannya adalah.. tentang pantas tidak pantasnya penyelenggaraan pertemuan yang membahas satu topik yang saat ini sedang dilakukan diluar sana". ente tahu juga sobat.. bagaimana kacaunya penanganan bencana. ente tahu juga.. kalau badan nasional penanggulangan bencana masih dikerdilkan dari sisi politis di negeri ini. ente juga tahu.. kalau sistem koordinasi, termasuk dikalangan masyarakat sipil masih belum genah". "kalau bicara prioritas.. mana yang lebih urgent, kita menurunkan seluruh tim ahli yang ikut dalam acara ini ke lokasi bencana, mempengaruhi kebijakan penanganan bencana agar lebih ok, atau kita tetep berkutat pada urusan wacana dan obral cerita keberhasilan2 penerapan CBDRR".
"Gak gitu pak lik... kegiatan ini kan sudah direncakan jauh hari, lebih jauuuuuuhhhh dari kejadian gempa di jabar maupun di sumbar". ente obyektif lah. ente juga pernah menjadi pelaku project kan. kalau donor sudah ok terhadap rencana yang kita ajukan.. gak enak lah kalau harus menunda", sambil tersenyum kecut.
"wah.. kalau dah larinya kesitu.. susah juga yaa.. apalagi pake bonus eksistensi gitu.. tambah kerumitannya", sambil tersenyum mengejak.
Dialog pun berhenti.. kedua sohib itu enggan melanjutkan diskusi melalui "yahoo messenger" karna telah tahu posisi masing2. Tanpa ada kejelasan? Ya.. karena emang gak perlu ada kejelasan atau penjelasan. dua2nya mempunyai argement yang membenarkan keduanya. Tinggal balik ke nurani saja. Jika nurani pun tidak bisa menjawab.. ya tanya saja pada rumput yang bergoyang...
Lalu... benarkah CBDRR bisa diterapkan sesaat setelah kejadian bencana. artinya, saat emergency response dan relief dilakukan... CBDRR sebetulnya otomatis bisa bekerja. Lalu.. apakah kerja2 ER dan relief yang dilakukan banyak lembaga.. yang konon juga mengaplikasikan commmunty base melakukan itu????
Sebuah lapsit tiba2 masuk melalui miling list bencana.. jelas dalam subject email menyebutkan KEBUTUHAN MEDESAK PENGUNGSI PADANG..
dalam badan email, selain jumlah jiwa yang meninggal dan luka2, bangunan yang terkena dampak, juga kebutuhan2 yang perlu segera dipenuhi. rentetan list kebutuhan diantaranya.. mie instan, beras, lauk pauk/sarden,abon dll, air mineral, obat-obatan, medis, susu bayi, pembalut, pakaian, tenda/terpal dan masih banyak lagi. terselip juga kebutuhan alat berat, BBM (solar), dan alat angkut.
diakhir email, terselip kabar.. kalau puluhan jorong dari kecamatan "anu" belum menerima bantuan karena akses transportasi terputus. dan tentu saja undangan untuk memberikan bantuan.
Dari puluhan lapsit atau hasil assessment, rasanya belum ada yang menyampaikan sumberdaya yang ada ditingkat lokal. baik sumber air bersih yang ada dan bisa digunakan warga, tanaman pangan (baik umbi2an, biji2an maupun buah2an), maupun sumberdaya untuk membuat tempat hunian sementara. tidak juga ada berita kalau disana terdapat orang yang mempunyai kapasitas membuat temporary shelter atau hunian sementara, ahli masak, ahli pengobatan dll. dan.. tidak juga ada informasi.. apa yang telah dilakukan warga untuk mempertahankan kehidupannya.
Yang muncul.. selalu kebutuhan-kebutuhan yang harus didatangkan dari luar. Tenda/ terpal, mie instan atau makanan siap saji, air mineral, obat2an kimiawi, makanan dan susu bayi dll. apakah memang tidak ada sumberdaya yang bisa digunakan untuk fungsi yang sama? Jika kita berbicara lagi tentang CBDRR.. bukankah sumber utama kekuatan ada ditangan masyarakat.. tentunya dengan sumberdaya yang mereka miliki sendiri.
kalau iya, lalu..
apakah ini artinya kalau penerapan CBDRR masih jauh dari harapan? jangan2.. lembaga2 yang menjalankan CBDRR pun saat menangani Relief tidak paham mengimplementasikannya. atau.. berbeda divisi atau bidang.. antara bidang DRR atau CBDRR dengan bidang tanggap darurat? jadi wajar kalau mereka gak singkron..
Kalau betul ini kejadiannya.. ini jauh lebih bahaya lagi.. lah.. gimana mau mengajak masyarakat untuk ber-CBDRR.. kalau diantara mereka saja gak mampu mengsingkronkannya. dalam satu lembaga.. DAHSYATTTTT....
1 comment:
Update lagi dong
Post a Comment