BANJIR BUKAN TAKDIR,
TAKDIR-NYA BUKAN BENCANA
Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dihuni 7.515.286 jiwa. Jumlah sebenarnya, diyakini jauh melebihi angka yang terdata di kator catatan sipil. Dengan luasan wilayah 661,62 km2, lahan terbangun sebanyak 608,61 km2. Hanya 8,01 % sisa wilayah Jakarta tidak tertutup bangunan. Minimnya ruang terbuka hijau disinyalir semakin meluasnya banjir tahun 2007. Sibuknya pemerintah melakukan pembangunan fisik, menjadikan hak-hak warga terlindungi dan terselamatkan dari ancaman bencana terbeabaikan.
Background
Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya sejak Jumat dini hari telah membuat panik warga Jakarta dan sekitarnya. Jangankan early warning system, deteksi dini pun tidak ada. Warning yang diberikan banyak pihak ditapik Pemda DKI Jakarta dengan berbagai argumen. Tidak akan ada banjir besar. Sekalipun ada, Pemda DKI Jakarta telah siap mengantisipasi dampak.
Jakarta terendam mencapai ¾ kawasannya. Genangan bak kopi susu menelan rumah-rumah penduduk. 420.440 jiwa mengungsi. 57 jiwa pun meninggal sebagai dampak langsung dari kacaunya penanganan banjir. Sanggahan ; “banjir besar tidak akan melanda Jakarta” dan “kesiapsigaan”, tak terbukti sama sekali. Luasnya daerah genangan telah melumpuhkan berbagai sarana dan pra sarana yang ada. Ketidak siapan system dan sumberdaya pun memposisikan warga terkena dampak semakin menderita. Tidak terpenuhi kebutuhan dan pelayanan dasarnya. Bahkan masih banyak warga yang masih tertahan di rumah-rumah karena tidak sempat menyelamatkan diri.
Lima hari telah berlalu. Laporan pemerintah telah mampu menangani seluruh korban bencana ditepis oleh warga, baik melalui media massa maupun berbagai hasil investigasi lapangan dari banyak pihak. Hal yang sangat menyedihkan, respon yang dilakukan TNI mengambil “jatah” prajurit yang bertugas di luar daerah. Artinya, dampak banjir tidak hanya melanda warga yang tenggelam rumahnya, tapi juga banyak aspek lain.
Sampai saat ini, prakiraan kerugiaan akibat banjir sebesar Rp. 4,1 Trilyun. Hitungan ini tentu masih perlu dipertegas lagi, misalnya hilangn atau terganggunya mata pencaharian penduduk selama banjir, kesehatan warga, atau ketidak tersediaan kebutuhan dasar warga yang mengungsi serta rusaknya fungsi ekologis. Jumlah ini tentu akan berlipat-lipat ganda.
WALHI sebagai komponen masyarakat sipil, telah sejak hari pertama melakukan response atas kejadian bencana banjir. Hal yang pertama dilakukan WALHI adalah melakukan penjajakan cepat dampak bencana dan kesiapan negara dalam menagani serta memenuhi kebutuhan dasar pengungsi. Data yang terkumpul akan menjadi pertimbangan untuk pengambilan keputusan, response apa yang akan dilakukan. Sedangkan focus utama WALHI pada advokasi tetap akan menjadi prioritas utama.
WALHI untuk bencana banjir
Banjir yang telah menyebabkan ketergangguan system sosial, menimbulkan korban jiwa dan harta benda telah menjadi bencana besar. Besarnya dampak bencana tidak memungkin pemerintah dapat menangani sendiri. Untuk itu, WALHI mengambil inisiatif untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan secara langsung. Wilayah yang menjadi focus area kerja WALHI adalah Manggarai, Kampung Melayu dan Kuningan Barat yang memang mengalami dampak bencana yang cukup parah. WALHI menurunkan 3 perahu karet, satu perahu dengan mesin tempel 15 pk, melayani evakuasi warga yang masih terjebak di rumah-rumah yang tergenang. WALHI pun memobilisasi bantuan kemanusiaan dan menyalurkan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga terkena dampak bencana. Target WALHI adalah mampu menangani 14.000 pengungsi. Namun kemampuan WALHI baru dapat memenuhi 2.000 pengungsi saja.
Target 14.000 jiwa bukan berarti WALHI menyediakan seluruh kebutuhan dasar mereka. WALHI hanya akan memastikan, penyintas banjir dapat terpenuhinya kebutuhan dasarnya, baik hunian sementara, air bersih dan sanitasi, pelayanan kesehatan maupun makanan. Strategi WALHI untuk dapat memastikan pemenuhan 14.000 jiwa pengungsi adalah dengan membangun critical mass warga atas haknya sebagai warga negara. Hak mendapatkan seluruh kebutuhan dasar sesuai dengan standar minimum penanganan bencana. WALHI bersama warga terkena dampak akan mendesak Negara untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Dapat mengakses secara mandiri kepada lembaga-lembaga penyedia bantuan kemanusiaan.
Target jangka menangah dan panjang akan menjadi bagian dari penganan bencana banjir di areal focus kerja WALHI adalah kesiapan dan kemampuan mengahadapi ancaman bencana banjir. Bersama warga, Walhi akan melakukan berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Melakukan advokasi terhadap berbagai kebijakan yang meningkatkan kerawanan dan kerentanan.
Penanganan bencana
Banjir telah datang. Fakta lapangan, Pemda tidak paham bagaimana pengelolaan risko bencana. Warga terkena dampak dibiarkan mempertahankan hidupnya ditengah keterbatasan fasilitas. Untuk mengurangi penderitaan warga, perlu dibangun berbagai terobosan dengan pendekatan target jangka pendek dan menengah. Target utama dari berbagai inisiasi adalah mengurangi penderitaan warga terkena dampak bencana. Hal yang pertama adalah memenuhi seluruh kebutuhan dasar, memberikan informasi yang benar tentang kebencanaan, memperbaiki system penanganan dan komitmen untuk bekerja maksimal pada fase pemulihan.
1. Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi :
Tempat hunian :
Tidak ada kesiapan sama sekali menghadapi banjir. Mesjid, sekolah, gereja, kolong jembatan layang maupun jalan bukan untuk tempat hunian sementara. Dari banyaknya warga yang menggunakan tempat-tempat ini saja, telah menunjukan bahwa tidak pernah disiapkan, kemana warga harus mengungsi ketika banjir terjadi. Berapa kapasitas tersedia untuk jumlah penduduk rentan.
Tempat hunian sementara (tempat pengungsian), paling tidak harus tersedia ruang 3,5 m2 per kepala. Jika warga yang akan mengungsi berjumlah 1.000 orang, maka harus tersedia ruang 3500 m2. Ruangan pengungsian harus terlindung dari cuaca, memiliki ventilasi udara serta dapat menjaga privasi.
Bisa saja tempat-tempat yang ada seperti sekolah, mesjid atau gedung-gedung pemeirntah di siapkan untuk pengungsian. Untuk ke arah itu, bangunan yang ada perlu disiapkan untuk kebutuhan itu jika sewaktu-waktu diperlukan. Sehingga bangunan-bangunan tersebut dapat disiapkan juga dengan kegiatan rumah tangga, ruang bermain anak, sanitasi maupun penyediaan fasilitas publik lainnya. Yang jelas, tempat hunian harus mempertimbangkan jumlah jiwa yang akan ditempatkan di pengungsian tersebut.
Air bersih
Ketersediaan air bersih menjadi factor penentu bagi kesehatan pengungsi. Sebagai kebutuhan pokok, air bersih mutlak diperlukan. Kebutuhan tubuh manusia adalah 2,5 lt perhari. Namun kebutuhan lain perlu dipertimbangkan khususnya untuk menjaga kesehatan. Kondisi emergency, setiap jiwa membutuhkan minimal 7,5 – 15 lt per hari untuk kebutuhan munum, memasak dan membersihkan tangan serta peralatan makan. Jika pengungsi berjumlah 420.220 jiwa, maka perhari dibutuhkan air bersih 3.303.300 lt per hari.
Air harus memiliki tempat tertutup dan bersih sehingga terhindar dari vector penyebar penyakit. Letak untuk mengambil air tidak lebih dari 500 meter serta antrian untuk mengambil air tidak lebih dari 15 menit. Untuk memenuhi tempat air dengan kapasitas 20 lt, tidak lebih dari 3 menit. Jika air harus disuplai dari luar daerah, harus dipastikan, sumber air dan kualitas air dan alat pengangkut serta keberlanjutan dari sumber air asal.
Pengelolaan air harus dilakukan oleh pengelola pengungsi, sehingga terjadi keadilan untuk mengakses air bersih. Prioritas kan pada kelompok rentan seperti bayi, anak-anak, manula, wanita hamil dan menyusui, difable, maupun penderita penyakit HIV/Aid dll.
Sanitasi
Sanitasi adalah hal yang sering terlupakan dalam situasi pengungsian. Dampak dari buruknya sanitasi akan berpengaruh pada kesehatan pengungsi. Sampah padat dan cair akan mengundang vector dan mengantarkan penyakit ke pengungi. Drainase yang buruk di sekitar pengungsi, selain terkesan kumuh, juga akan menjadi sarang berbagai kuman.
Jamban perlu disediakan dengan cukup. 1 jamban untuk 20 jiwa. Lokasi jamban harus accessible untuk seluruh kalangan (anak-anak, perempuan, orang tua). Jarak jamban tidak terlalu dekat dengan pemukiman dan tidak pula terlalu jauh (kurang lebih 20 meter).
Makanan
Makanan adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Setiap mahluk hidup butuh suplemen untuk bisa bertahan hidup atau tetap sehat. Yang terpenting dari makanan adalah kecukupan gizi. Paling tidak, setiap orang harus terpenuhi 2.100 kalori perhari. Kekurangan gizi akan memudahkan orang menjadi sakit. Pelayanan kesehatan yang tidak memadai akan menyebabkan kematian. Selain gizi, juga harus terpenuhi vitamin dan mineral yang cukup.
Banjir yang terjadi sejak Jumat dini hari yang begitu cepat tidak memberi kesempatan warga untuk menyelamatkan bahan pangan. Lumpuhnya sector bisnis dan aspek transportasi serta aspek-aspek kehidupan lain menyebabkan masyarakat tidak bisa bekerja dan memperoleh penghasilan. Sehingga, warga pada posisi ketergantungan mutlak. Minimnya bantuan dari masyarakat semakin mempersulit warga untuk dapat memperoleh bahan pangan yang memadai.
Pelayanan kesehatan
Adalah keniscayaan, dalam pengungsian warga yang hidup dalam keterbatasan fasilitas daya tahan tubuh melemah. Tekanan psikologis atas beban yang dihadapi secara spontan cukup berpengaruh pada kesehatan warga. Apalagi kebutuhan dasar seperti air bersih, tempat hunian dan pangan tidak terpenuhi.
Untuk itu, pelayanan kesehatan menjadi sangat penting. Diare, ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), campak, kolera, gizi buruk, dan campak
Untuk menjamin terlayaninya pelayanan kesehatan warga, paling tidak harus ada 1 orang tenaga medis untuk 500-1.000 warga, bidang untuk 2.000 penduduk, 1 orang penyelia untuk 10 kunjungan dan penyelia senior.
Obat-obatan harus tersedia sesuai dengan kebutuhan. Dalam bencana banjir, penyakit yang umum diderita warga adalah diare, ISPA, penyakit kulit, flu/influenza dan campak. Perlu disiapkan ruang isolasi jika teridikasi pengungsi mengidap penyakit menular dan segera di bawa ke rumah sakit rujukan.
2. informasi kebencanaan
kapasitas atau kemampuan pemerintah yang terbatas dan keterbatasan lain telah terjadi. Kegagalan ini jangan sampai menambah penderitaan warga yang sudah menjadi korban banjir. Untuk itu, pemerintah melalui Bakornas, Satkorlak atau Satlak harus membuka diri terhadap publik perbaikan system pengananan bencana. akses informasi kebencanaan adalah hal penting untuk dikelola.
Sehingga berbagai informasi, baik berkatian dengan sebaran dan jumlah pengungsi, daerah yang belum tertangani, kebutuhan mendesak atau informasi dapat di tutup oleh lembaga lain. Informasi tentang potensi ancaman pun perlu disampaikan kepada publik. Sekalipun early warning system belum dapat dijalankan, paling tidak warga mempunyai informasi dasar sebagai bagian dari deteksi dini.
Informasi tentang penanganan bencana menjadi sangat penting. Baik masyarakat terkena bencana, warga berkepentingan terhadap wilayah bencana maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan akan dengan mudah menjalankan misi atau rutinitasnya.
3. Reformasi system penangan bencana
Kecepatan dan ketepatan adalah motto dalam penanganan emergency response. Untuk mencapai itu, perlu sebuah system yang baik dan disepakati bersama. Koordinasi adalah salah satu alat untuk menyamakan pandangan, dan membangun kesepakatan-kesepakatan dalam penanganan bencana.
System yang saat ini ada sudah terbukti gagal. Penanganan di Aceh, Nias, Jember, Banjarnegara atau Jogjakarta jelas-jelas menyebabkan bertambahnya penderitaan warga terkena dampak bencana. sehingga perlu keberanian untuk merubah system yang ada. Mengajak berbagai kalangan yang mempunyai kapasitas dan pengalaman untuk mencari system yang lebih simple dan melibatkan banyak pihak serta terbuka. Satu visi, selamatkan warga dari dampak bencana dan posisikan warga terkena dampak bencana sebagai manusia yang bermartabat.
Memetakan seluruh kekuatan yang akan terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan, memetakan sumberdaya (logistik, pangan dan kebutuhan dasar), bangunan-bangunan yang dapat dipakai untuk hunian sementara, kebutuhan minimum untuk pengungsi serta jalur-jalur evakuasi dan pendistribusian harus segera dilakukan. Sehingga kekuarangan yang ada, dapat segera di penuhi. Misalnya air bersih. Untuk memenuhi 420.220 jiwa, maka perhari dibutuhkan air bersih 3.303.300 lt per hari. Pemda sanggup memenuhi air bersih berapa? Ketersediaan air yang ada di tempat pengungsian berapa? Lalu berapa yang harus dipenuhi oleh pihak lain dan dari mana pemenuhan tersebut. demikian juga dengan kebutuhan lain seperti pangan, pelayanan kesehatan, tempat hunian dll.
Pemulihan, jangan dilupakan
Paska kejadian bencana adalah fase yang cukup menentukan bagi keberlanjutan pengelolaan risiko bencana. Namun kenyataan di banyak kasus, fase ini tidak dianggap penting. Pemerintah sendiri cenderung melawati fase ini dan langsung menuju ke fase pembangunan kembali. Dari pengalaman yang ada, fase recovery atau pemulihan jika dilakukan dengan baik bisa menjagi bagian mengurangi risiko dan dampak bencana pada waktu yang akan datang. Memperkuat masyarakat untuk berbuat lebih dalam mereduksi risiko bencana.
Kejadian yang masih membekas, akan mengantarkan komunitas rentan lebih peduli menghadapi risiko bencana. membangun kesiapsiagaan, memetakan sumber-sumber ancaman dan kawasan rawan serta komuntias rentan misalnya. Atau membangun kesiapsiagaan ditingkat komunitas. Fase recovery juga dapat menjadi pintu masuk membangun daya kritis warga atas haknya.
Untuk itu, WALHI akan memfokuskan fase ini sebagai media untuk membangun kesiapsigaan ditingkat komuntias terhadap ancaman banjir. WALHI bersama komunitas secara bersama-sama akan melakukan advokasi kebijakan yang dapat meningkatkan kerentanan. Bersama-sama warga pula melakukan berbagai upaya mitigasi bencana.
Bencana banjir yang terjadi bukan lah takdir. Takdirnya bukan menjadikan banjir sebagai bencana. karena ketidak siapan, ketidak pedulian serta pembiayaran atas hak-hak rakyat lah yang menyebabkan benjir menjadi bencana.
terlindungi & terselamatkan dari bencana..
adalah HAK DASAR MANUSIA
No comments:
Post a Comment