Oleh: Yovi Toni (sudah diposting sebelumnya di blog Kompasiana)
tulisan ini merupakan karya Yovi Toni. Sangat menarik buah karya beliau dan tentu penting untuk menjadi pembelajaran kita bersama dalam penangguangan bencana. tidak hanya dalam tanggap darurat, tapi juga untuk upaya pra maupun paska bencana. tinggal, bagaimana kita melihat proses panen hujan tersebut dilakukan. apakah air hujan yang telah tertampung tersebut melalui media lain yang memiliki tingkat higienist yang cukup baik. sehingga tidak perlu sentuhan apapun karena merupakan air murni....
Rata-rata curah hujan Indonesia di atas 2 meter per tahun. Yang artinya
kalau semua air hujan yang turun tidak mengalir ke mana-mana, tidak
meresap dan tidak menguap maka Indonesia terendam setinggi 2 meter.
Jumlah yang terlalu banyak, sehingga malah menimbulkan keluhan. Kita
senang di hari-hari pertama musim hujan, lalu mengeluh di hari-hari
berikutnya dan sangat lega ketika musim hujan akhirnya benar-benar
pergi. Sekali lagi, karena kita menganggap hujan turun melampaui kebutuhan sehari-hari kita.
Di banyak tempat, dalam situasi banjir dan tanah longsor, sumber air tawar yang paling utama adalah air hujan. Bahkan untuk beberapa daerah beriklim kering di Indonesia, air hujan menjadi satu-satunya sumber air sepanjang tahun.
Tapi untuk daerah yang berlimpah air bersih, air
hujan kurang mendapatkan tempat, bahkan imejnya buruk. Ini hanya
gara-gara ada anak kena flu sehabis kehujanan, atau kena diare sehabis
minum air hujan. Air hujan dituduh sebagai biangnya.
Dan karena Indonesia berkelimpahan air tanah, kita
lebih sering mendengarkan cerita buruk tentang air hujan. Beda dengan
wilayah beriklim kering seperti Afrika, Australia Utara atau di
Pakistan, di mana air hujan sangat dihargai.